Aku berdiri bersama dengan Nabila menundukkan wajah sambil bersikutan tangan di depan Zayyan. Tingkah kami mirip sekali seperti bocah yang sedang ketahuan nyolong mangga tetangga.
“Ada penjelasan?” Suara dingin itu menyeruak bersama dengan auranya yang terkenal cuek nan dingin.
Aku memicing mata, menggigit bibir bawah, terus menyenggol lengan Nabila. Aku sama sekali tidak tau harus memulai dari mana karena ini semuanya ulah dari Nabila. Aku mah ikut doang.
“Maaf, Kak. Ini semua salahku. Aku yang minta Sabila buat nyamar jadi aku,” kata Nabila berterus terang. Aku mengangkat wajah mengangguk-anggukkan kepala.
“Alasan?”
“Ya … aku mau lihat dulu gimana calon suamiku yang sebenarnya.” Aku menoleh, menatapnya lekat. Bisa-bisanya Nabila berbohong, bukan katakan saja kalau dia enggan mau menikah karena sudah kepincut cinta Bara Bere.
“Terus?” tanya Zayyan lagi sambil menyilangkan tangan di d**a.
“Jangan terus-terus aja, Pak, belok kiri dong, entar nabrak,” sahutku menatapnya yang langsung dialihkan.
Dih, sok alim ni!
“Hust, lo pikir tukang parkir apa?” kata Nabila mencubit lenganku.
“Maap. Lagian, terus-terus dari tadi.”
Zayyan membuang napas kasar. “Pulanglah! Ini sudah mau magrib.”
“Eh, gitu doang?” kataku menatapnya dengan serius.
“Udah, ayo kita pulang!” Nabila menarik tanganku untuk segera pergi.
Sampai di luar aku membuang napas kasar seraya melepaskan tangan Nabila. “Kenapa nggak bilang kalau lo nggak mau nikah sama dia, biar masalah ini clear?” Aku menatapnya cukup serius, tapi Nabila memilih masuk ke dalam mobil. Mungkin agar tak ada orang yang mendengarkan pembicaraan kami.
“Nggak mungkinlah, Sa. Dengan penampilan lo yang bar-bar aja pas ketemu dia, dia ngotot percepat nikah, apalagi kalau gue bilang alasan gue yang sebenarnya? Bisa-bisa malam ini juga gue nikah sama dia.”
Aku mangut-mangut. Entah apa yang ada dipikiran Nabila, sungguh otakku tak sampai. Apa mungkin karena aku terlalu santai ya?
Ah sudahlah. Sebaiknya pulang.
****
Akad nikah semakin dekat, sebagai pengantin Nabila pun harus dipingit, tentunya bersama denganku yang terus menemaninya. Dilarang keluar dan menghabiskan waktu untuk berjoget-joget di depan layar hp. Yap, membuat t****k, kadang bosan juga main game dan itu-itu saja. Namun yang paling enak itu ketika tukang spa datang, aku juga ikut tengkurap di kasur menikmati pijatan lembut, dibaluri dengan lulur kemudian berendam dengan air mawar. Kalau seperti ini, fix, tiap hari aku mau mandi. Apalagi ada yang mandiin? Hehe.
Sekalian jadi mayat!
Astagfirullah, berdosa sekali.
Tak terasa, hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Nabila terlihat sangat santai menghadapi pernikahan yang akan segera usai. Pintu tertutup rapat dan membiarkan MUA mengerjakan tugasnya untuk memoles makeup pada wajah dia dan aku. Setelah semua selesai, MUA keluar dari kamar dan gegas Nabila menutup rapat pintu kamar, tak lupa mengunci agar tak ada orang yang lihat.
“Apa?” tanyaku melihat Nabila cengengesan.
“Ganti.” Dia dengan mudah membuka kebaya yang dipakai, kemudian menyerahkan padaku. Oke, aku hanya mengikutinya saja Dalam kurun waktu 30 menit, semua yang ada pada Nabila berpindah padaku, termasuk hiasan kepala.
“Jangan lupa pakai ini!” katanya memasangkan cadar menutupi sebagian wajahku. Hampir saja mangap-mangap karena tak terbiasa.
“Udah, sempurna!” Nabila kembali tersenyum melihatku—pengantin bercadar. Aku menoleh ke arah cermin rias, melihat penampilanku sekarang membuatku mengedik ngeri.
“Kenapa?”
“Kayak ninja,” kekehku yang merasa aneh dengan cadar.
“Jangan gitu! Lo cantik banget kayak gini. Kalau lo beneran jadi bininya Zayyan, pertahankan pakaian gini.”
Langsung kupelototinya yang terkekeh. “Jangan ngaur!”
“Nabila, sudah siap, Nak?” teriak Bunda Nurma sambil mengetuk pintu.
“Udah, Bun. Tunggu pakai cadar dulu!”
“Loh kenapa pakai cadar?” tanya bunda Nurma di balik pintu.
“Nggak apa-apa, Bun. Aku suka aja, biar nanti kak Zayyan penasaran lihat aku.” Nabila kembali mengoceh dengan kebohongannya. Heran, kenapa mulut Nabila mudah sekali berbohong? Sedangkan aku, ujung-ujungnya pasti ketahuan.
“Baiklah. Cepat ya! Rombongan pengantin pria sudah sampai.”
“Ayo cepat!” kata Nabila. Aku menghela napas pelan menganggukkan kepala.
“Terus lo mau ke mana?” tanyaku serius.
“Gue bakalan pantau dari depan. Tunggu sampai akad batal baru gue balik.” Nabila berbicara cukup meyakinkan ada aku pun mengangguk patuh.
Kini aku berjalan ke arah pintu, membukanya perlahan. Jantung sudah disco, dan aku menarik napas lalu membuang, kulakukan berkali-kali sampai tenang.
“Ayo!” Bunda Nurma datang menuntunku duduk di antara para tamu undangan, bersama dengan Bunda Nurma yang menemani.
Hening, semua fokus pada prosesi acara akad. Zayyan terlihat sangat gagah dan tampan dengan beskap Sunda duduk di depan penghulu. Dalam hatiku tak tega jika harus mempermainkan pernikahan sakral ini, tapi apa boleh buat, semuanya demi sahabatku satu-satunya yang sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri.
“Ini mah, yang nikah bukan lagi anak-anak. Tapi sudah pro. Pasti hafal doa sebelum menyentuh istri kan?” goda Pak penghulu yang disambut gelak tawa dari para tamu undangan yang tadinya diam seperti kuburan. Aku pun ikut tertawa.
“Insya Allah, Pak.”
“Bagus. Sudah siap untuk menikah?” tanyanya lagi.
“Enggak, Pak,” jawabku, tapi hanya dalam hati, sedangkan Zayyan malah lagi-lagi mengucapkan. “Insya Allah siap.”
Pak penghulu mulai menyampaikan tausiah singkat tentang pernikahan. Aku sendiri blank tak tau apa yang disampaikan, karena saat ini pikiranku tertuju pada Nabila yang kata pergi tak jauh dari sini.
Hingga tiba pada puncak acara—ikrar akad nikah. Rumah Bunda Nurma kembali hening. Semua para tamu undangan fokus menatap Zayyan dan Pak penghulu yang sedang berjabat tangan.
Cepatlah selesai. Semoga gagal. Amin.
Aku terus berdoa dalam hati.
“Saya nikah dan kawinkan Sabila Putri—”
“Maaf, Pak penghulu, nama anak saya, Nabila Putri.”
Aku deg-degan saat Bunda Nurma mengkomplain nama yang salah diucap, tiba-tiba otakku berpikir cepat. Kenapa nama bisa salah? Apa jangan-jangan Nabila mengerjaiku?
“Kita ulang … Saya nikah dan kawinkan Nabila Putri binti Rinaldi Efendi—.”
“Pak, nama suami saya Adam.” Bunda Nurma kembali protes.
Fix, aku dikerjai. Nabila benar-benar jadi manusia nau’dzubilah sekali, berani-beraninya dia menjebakku. Awas saja.
Bunda Nurma segera bangun membuka penutup wajahku dan semuanya terungkap. Para tamu undangan mendadak ricuh dengan pengantin yang tertukar dan Ummi Hanifah pun mendadak pingsan.
Aku merasa bersalah, karena kebodohanku yang mengikuti arahan Nabila malah membuat semuanya menjadi kocar-kacir. Tapi siapa sangka, kalau aku malah terjebak dalam permainan Nabila, atas permintaan Ummi Hanifah, Bunda Nurma dan kemantapan Zayyan, aku terpaksa menggantikan Nabila menikah, tentunya dengan namaku yang asli. ‘Sabila Putri binti Rinaldi Efendi.’
“Pengantinnya sengaja ditukar atau gimana ni?” tanya salah satu dari para tamu undangan.
“Maaf, ada kekeliruan.” Bunda Nurma kesulitan untuk menjawab. Karena saat mencetak undangan jelas tertera nama Nabila Putri anak kandung dari bapak Adam dan ibu Nurma. Tapi di hari H malah jadi Sabila putri binti Rinaldi efendi. Siapa yang tidak bingung?
****
“Dia di mana?” Kenapa belum masuk-masuk juga?” gumamku melihat pintu kamar masih tertutup rapat.
Bukankah ini malah pertama? Harusnya sebagai laki-laki, Zayyan masuk lebih cepat dong? Terus kenapa dia belum masuk juga?
“Dia lagi ngapain sih di luar? Jangan bilang lari dapat siraman rohani dari bunda? Duh, bisa kacau, kalau dia banyak tau soal hidupku.” Mendadak aku cemas sendiri. Bahaya kalau Zayyan mengetahui semua tentangku apalagi tau kelemahanku. Jelas dong, aku tidak ingin kalah dari dia.
Aku melompat dari kasur, berlari ke arah pintu dan ceklek!
“Lama banget sih lo.” Aku menarik tangan dia, menutup pintu dengan rapat.
“Kenapa? Tunggu jatah?”
Deg! Mataku membulat menatapnya lekat. “Dih, jangan harap!”
Zayyan melepaskan tanganku begitu saja, tapi aku kembali menangkap dan menyeret dia ke tempat tidur.
“Ini apa coba main nyosor lagi?”
“Apa sih? Masih diingat aja yang tadi.” Aku memutar bola mata jengah. Bisa-bisanya aku mencium kening dia di depan para tamu undangan.
“Lalu?”
Aku segera duduk di atas ranjang dengan bersila, menatap manik matanya dengan cukup serius.
“Kita bahas pernikahan.” Dia mengangguk pelan. “Jadi gini, sebenarnya gue tu udah punya pacar.”
Zayyan terlihat tidak terkejut sama sekali, terlihat lebih santai.
“Terus?”
“Ya gue tetap akan pacaran dan kita akan pisah kalau lo udah nemu orang yang lo cinta,” ujarku secara gamblang. Tapi Zayyan masih diam.
“Oi, dengar nggak sih yang gue bilang tadi?” teriakku sebal karena Zayyan sama sekali tak memberi respon apapun.
“Kamu maunya seperti apa?” Zayyan mulai menatap sangat serius.
“Ya, seperti yang tadi gue bilang. Nikah tanpa cinta dan kita juga harus pisah.”
“Nggak mau.”
“Eh!” Sontak aku kaget dengan jawaban dia yang to the point. “Nggak bisa gitu dong. Kita nikah nggak cinta.” Aku kembali protes. Bagaimanapun aku tidak bisa menjalani pernikahan tanpa cinta. Meskipun dia lebih tampan dari Heru tapi Heru jauh lebih keren dari Zayyan yang kulihat dengan baju koko, kemeja dan celana bahan.
“Nggak peduli. Kita sudah nikah dan saya tidak mau bercerai,” jawabnya begitu enteng seraya beranjak pergi ke kamar mandi.
“Tapi kita nggak cinta. Memangnya lo mau hidup sama gue tanpa hubungan suami istri?” Aku sedikit memberi penekanan padanya, kalau aku tidak akan melakukan hubungan lebih jauh. Iya kali, malah aku bunting, siapa yang mau?
Zayyan sama sekali tidak menggubris, wujudnya menghilang begitu saja dibalik pintu kamar mandi. Aku berdengkus seraya menghempaskan tubuhku di atas kasur.
“Nasib. Sepertinya gue memang harus jalani pernikahan ini … Aaah, Nabila …” geramku berguling-guling di atas kasur.
"Udah ah, pura-pura tidur aja." Aku berusaha tenang memejamkan mata. Hanya sebentar lalu kembali terbuka. Jantungku berdegup kencang, apalagi ucapan Nabila masih terngiang di kepalaku.
"Dia nggak mau cerai, gimana kalau malam ini ... gimana kalau malam ini aku diunboxing?" Pikiranku mulai melantur. Napas naik turun karena mulai gelisah memikirkan malam pertama. Apalagi ucapan Nabila yang mengatakan Zayyan sangat pro karena sudah banyak mempelajari tata cara bercocok tanam, seketika tubuhku mengedik ngeri menutupi dengan selimut.
"Gimana kalau gue bilang lagi PMS, terus dia gak minta kan?" Aku kembali menyeringai mengangguk-anggukkan kepala. Benar, cara ampuh menghindari malam pertama adalah 'datang bulan' toh haram.
Aku menghela napas lega seraya tersenyum puas merapikan tidurku. Otakku benar-benar encer.
Pintu kamar mandi kembali terbuka, Zayyan keluar dengan setelan baju tidur. Aku kembali bangun menatapnya.
"Kenapa belum tidur? Tunggu saya?" tanyanya untuk pertama kali menatapku.
"Iya, eh ... enggak," jawabku menggigit bibir karena hampir keceplosan.
"Sudah siap saya gauli?" Dia mendekat, tatapannya membuat jantungku berdegup kencang, segera menutup tubuhku dengan selimut.
"Nggak usah panikan, saya cuma ambil batal. Bukan ambil perawanmu."
Aku menyibak selimut melihat dia membawa bantal ke sofa, lalu merebahkan tubuhnya di sana.
"Kenapa tidur di situ?" tanyaku keheranan.
"Saya tidak akan menyentuhmu sebelum kamu meminta langsung pada saya," ucapnya sangat santai.
"Dih, jangan harap! Lebaran monyet baru gue mau," balasku dengan cepat. Siapa yang juga akan mau disentuh sama dia.
"Benarkah?" Dia menoleh, kami kembali saling bertatapan dan aku tanpa ragu mengangguk kepala.
"Nafsu perempuan 9 loh, dan nafsu laki-laki 1, yakin bisa bertahan tanpa nafkah batin?" Seringai di bibir Zayyan sungguh menyebalkan. Awalnya aku yang ingin menggoda dia tapi kenapa sekarang malah dia yang goda aku? Ah, tidak bisa dibiarkan!
"Kenapa lo balik tanya gue? Harusnya gue lah yang tanya sama lo, emang lo bisa hidup tanpa gue kasih jatah?"
"Hmm, kalau saya nggak khilaf."