bc

Cie Istri Ustadz

book_age18+
62.0K
FOLLOW
399.7K
READ
love after marriage
arranged marriage
arrogant
badgirl
comedy
sweet
humorous
campus
city
lecturer
like
intro-logo
Blurb

“Pak Us, gue akan uji keimanan lo.”

Katanya nikah bohongan, tapi malah terjebak nikah sah. Seharusnya Nabila yang jadi pengganti tapi malah Sabila, si gadis polos dan nakal, kerjaannya cuma menggoda Zayyan, ustadz muda dingin dan cuek.

Bagaimana kisah rumahtangga pasangan yang saling bertolak belakang ini?

***

Lanjut baca kisah anaknya ...

CIE KAWIN

PAK RT, YUK NIKAH!

chap-preview
Free preview
Bab 1
“Saya nikahkan dan saya kawinkan Sabila Putri dengan—” “Maaf, Pak penghulu, nama putri saya Nabila Putri bukan Sabila Putri,” potong Bunda Nurma sukses mengundang semua sorotan mata. Mampus. Aku menggigit bibir bawah yang terhalang oleh kain tipis yang menutupi sebagian wajahku, tak kusangka Nabila berani mengganti namaku di kertas putih yang terletak di atas meja. Seharusnya yang tertulis Nabila Putri binti Adam bukan Sabila. Ingin sekali aku mengutukinya menjadi belatung karena sudah menipuku. Aku hanya diminta duduk menggantikannya karena dia pergi bersama dengan Bara, tapi kenapa aku jadi terseret? Bukankah dia hanya minta mengganti orang bukan nama? Bukankah katanya jika nama dan orang berbeda maka pernikahan dianggap tidak sah? Ya Tuhan, apa Nabila sudah membohongiku? Apa dia sengaja mengantarku pada pernikahan aneh ini? Sungguh aku tidak ingin menikahi seorang ustadz muda, aku ingin menikah dengan laki-laki yang gaul bukan alim. Ampun, akan seperti apa hidupku, baju seksiku, oh? Aku tidak ingin menggunakan pakaian tertutup—panas. Bunda, cepat tolongi aku! “Baiklah, kita ulangi.” Jantungku berdetak lebih cepat berharap pernikahan cepat berlalu dan dinyatakan gagal. “Saya nikah dan kawinkan Nabila Putri binti Rinaldi Efendi—.” “Pak, nama suami saya Adam,” protes Bunda Nurma lagi. Mampus. Kali ini tamat sudah riwayatku. Nabila, cepatlah kembali, tolong aku! Bunda Nurma menoleh padaku yang langsung kutekukkan wajah, perlahan tangannya menyibak cadarku hingga terlihat sudah wajah asliku yang cantik ini. “Sabila?” Aku mendongak menyengir kuda. “Nabila di mana?” tanyanya sangat serius. “Kabur sama Bara.” Aku menjawab apa adanya. Semua orang menoleh padaku, termasuk calon suami Nabila dan juga orangtuanya. “Apa yang sebenarnya terjadi?” Ummi Hanifah mendekat kebingungan. Aku menyibak selendang tile di kepalaku kemudian berdiri memandang Ummi Hanifah, Zayyan dan Bunda Nurma. “Jadi gini, aku diminta Nabila buat gantiin dia nikah. Katanya kalau nama sama orangnya salah, nikahnya gak sah.” Ketika sudah sampai dititik ini masa bodo dengan janjiku pada Nabila, yang penting aku jujur untuk menyelamatkan diri dari pernikahan konyol ini. “Astagfirullahal ‘adzim.” Ummi Hanifah memegang d**a, tubuhnya ambruk, untung Zayyan lekas membopong ke kamar. Aku ikutan panik karena aku ikut terseret dalam masalah ini. Bersama dengan Bunda Nurma kami menyusul Zayyan dan Ummi Hanifah, tidak perduli lagi dengan mulut orang yang mempertanyakan pernikahan ini. Zayyan mengusapkan minyak kayu putih pada hidung Ummi Hanifah hingga perlahan menyengir dan membuka matanya. “Nurma, apa yang terjadi ini?” lirihnya mengusap d**a memandang wajah Bunda Nurma yang panik sendiri. “Saya juga tidak tau Mbak. Saya bingung kenapa Nabila jadi seperti ini.” “Bu Hajjah, orang-orang pada tanya, apa pernikahan tetap dilanjutkan?” tanya Bu RT menghampiri. “Batal,” jawabku dengan cepat. “Astagfirullah.” Lagi-lagi Ummi Hanifah menyebut mengusap dadanya. Mungkin stres karena memikirkan malu apalagi konon katanya mulut ibu-ibu komplek itu agak rada pedas kalau lagi gosip. “Pernikahan tetap dilanjutkan, Bu RT.” “Eh, siapa yang jadi pengantinnya?” Aku menatap Zayyan cukup serius. “Kamulah, siapa lagi.” “Eh, nggak bisa dong. Gue nggak mau.” Spontan aku menggeleng kepala. Sudah cukup pacarku marah gara-gara Nabila memintaku menjemput Zayyan di bandara, tapi tidak kali ini. “Sabila, mau ya menikah dengan Nak Zayyan!” pinta Ummi Hanifah sungguh-sungguh. “Ummi, Iyan ini jodohnya Nabila, bukan aku. Aku sama sekali nggak pantas, juga nggak mau. Tanya aja sama Bunda Nurma, pakaianku sama sekali nggak tertutup, susah kalau hidup berumahtangga sama ustadz muda kayak dia,” paparku dengan sejelas-jelasnya. Ummi Hanifah menoleh pada putranya, “bagaimana menurutmu?” Langsung kupelototi agar menolak. “Zayyan nggak masalah, Ummi. Zayyan mampu kok mendidik Sabila.” “Eh, apa-apaan ini? Gue nggak mau pakai pakaian kayak gini, panas. Pokoknya gue nggak mau nikah sama lo,” protesku dengan cepat. “Sabila, nggak apa-apa. Menikahlah dengan Zayyan! Zayyan laki-laki yang baik dan akan menyayangimu lebih dari orangtuamu sendiri.” Bunda Nurma mengiba menyeret orangtuanya yang tentunya membuat dadaku sesak. Apalagi selama ini hanya sama Bunda Nurma aku mengadu semua keluh kesah akan hidupku yang tidak pernah jelas. Hening! Aku mengangguk pelan. “Baiklah. Aku setuju.” “Mana hpmu biar Bunda hubungi orangtuamu!” “Aku telpon sendiri aja, Tan.” Aku menepi mengambil ponsel dan menghubungi papa. Ini untuk pertama kali aku menghubunginya, rasanya tanganku sangat berat untuk menekan tombol panggil. “Halo, Pa.” “Ada apa, perlu uang? Bukannya kamu bilang nggak butuh uang dari Papa lagi?” Duh, rasanya sangat malas menghubungi Papa, baru saja mengatakan halo sudah diserang. Sabar, Sabila, setelah ini kamu nggak akan telpon papamu lagi! Ini terakhir kali kamu mendengar makian orang yang sudah berjasa membuatmu lahir ke dunia ini meskipun tak pernah mendapatkan cintanya. “Aku mau nikah, Pa. Aku butuh Papa buat jadi wali.” “Apa, nikah?” pekiknya langsung kujauhkan ponsel dari telinga. “Hei, kau sudah gatal mau nikah di usia muda? … Ah, sudahlah. Terserah apa keputusanmu, aku tidak peduli padamu.” Lagi, dadaku terasa sesak mendengar hinaan ini. Tetap saja aku tidak ingin berperang dengannya yang pastinya akan membuatku lelah saja. “Aku cuma butuh wali, Pa. Setelah ini terserah mau makiku seperti apa, aku nggak peduli karena aku akan terbebas dari Papa.” Tetap tenang. “Anak kurang aja. Keluar dari rumah, hidup bebas terus telpon-telpon mau nikah. Sudah sana bilang sama penghulu, kamu anak yatim.” “Baik, Pa. Makasih.” Segera kututup telpon. Telingaku panas setiap menghubunginya. Menjadi keluarga broken home memang meresahkan kehidupan. Jika aku tidak cuek dan menganggap semuanya bodo amat mungkin air mataku akan meleleh detik ini juga. Di saat semua anak menikah didampingi keluarga tapi aku malah berjuang sendiri seperti anak yatim piatu. Aku berjalan mendekat menatap wajah Ummi Hanifah, Bunda Nurma dan Zayyan yang sudah menunggu jawaban dariku. “Nikah tanpa wali bisa nggak?” “Papamu kenapa? Nggak setuju?” tanya Ummi Hanifah lantas aku menggeleng. “Dia sibuk, nggak bisa datang. Katanya suruh wakilkan sama penghulu, apa bisa? Kalau nggak bisa ya udah kita nggak usah nikah,” dustaku demi menjaga nama baik keluargaku, meskipun aku tidak terdaftar lagi dalam kartu keluarga mama maupun papa. “Bisa saya bicara dengan papamu?” tanya Zayyan dengan sopan. Aku tak langsung menjawab, tapi kupandangi wajahnya yang menunduk tak berani menatap wajahku. “Ini!” Aku menyerahkan ponselku padanya. Zayyan segera mengambil dan menepi, ingin sekali aku menguping tapi tangan Bunda Nurma malah menghalauku. Keningku mengernyit memperhatikan wajah Zayyan yang cukup serius, rasa penasaran juga terus mencuat hingga akhirnya Zayyan keluar entah siapa yang dicari. Namun beberapa saat kemudian dia kembali bersama dengan penghulu. “Pernikahannya sudah bisa diselenggarakan.” Aku terkejut menatap Zayyan dengan serius meskipun tatapanku tak pernah dibalas. “Kok bisa?” “Papamu sudah setuju,” katanya mengembalikan ponselku. “Papa setuju?” Mataku melebar dan penasaran dengan apa yang dibicarakan Zayyan sampai mendapatkan restu dari Papa yang terkenal galak. “Gimana bisa?” "Kamu tidak perlu tau. Yang penting sekarang kita menikah.” Aku melongo, kedua tanganku diseret oleh Ummi Hanifah dan Bunda Nurma yang tersenyum bahagia. Ini seperti mimpi, aku kembali duduk di tengah para tamu undangan menatap penghulu yang menjabat tangan Zayyan untuk membacakan akad. “Saya terima nikah dan kawinnya Sabila Putri binti Rinaldi Efendi dengan mas kawin tersebut, tunai.” “Sah.” Semua orang bersorak mengucap sah, menadahkan tangan ikut mengaminkan doa yang dibacakan penghulu, lantas aku masih merasakan ini sebuah mimpi. Ah yang benar saja? “Bangun, sambut suamimu!” bisik Bunda Nurma membuatku kaget. Perlahan aku menegakkan tubuhku, namun nahas, kakiku malah kesemutan dan jatuh dalam pelukan Zayyan. “Duh, pengantin baru udah nggak sabaran,” goda para tamu undangan. Aku tersenyum kecut membenarkan posisi tubuhku. Tangan Zayyan kini menyentuh ubun-ubunku membacakan doa yang entah apa itu, aku sama sekali tidak tahu. “Cium tangan suami!” titah Bunda Nurma. Aku menoleh menganggukkan kepala. Meraih tangan Zayyan lalu menciumnya. Wangi! Aku tersenyum—terlena dengan bau tangannya yang wangi, sepertinya dia menyemprot parfum di tangan. “Nafsu amat.” Aku kaget dan langsung kulepaskan tangan Zayyan hingga membuat semua orang terkekeh. “Dasar kamu ini, sabar atuh sampai nanti malam.” Aku tertegun lalu menggaruk tengkukku yang tidak gatal. “Sekarang cium kening!” titah Bunda Nurma, langsung menjinjit dan kukecup kening Zayyan sampai terdengar suara tawa dari semuanya. “Astagfirullah, Sabila.” Bunda Nurma mengusap wajahnya, lantas aku menoleh dengan wajah polos. “Ada yang salah?” “Tentu, harusnya Zayyan yang mencium keningmu.” Deg! Mukaku langsung merah—malu banget ternyata bisa sampai salah seperti ini. Ya Tuhan, coba putar waktu sedikit lagi, aku benar-benar awam prosesi nikah. Zayyan tersenyum mengangkat daguku kemudian mencium keningku sekilas. “Gini yang benar jangan main nyosor aja.” Aku terperanjat saat mendengar ucapan Zayyan. Ternyata mulutnya bisa juga seperti ibu komplek.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
18.9K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
201.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
218.5K
bc

My Secret Little Wife

read
115.0K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook