“Dasar Ayan, gila. Gue benci sama lo,” gerutuku sambil membasuh wajah dengan air. Berasa masih lengket, terus aku cuci menggunakan sabun berkali-kali baru setelah itu aku bilas lagi dengan air.
“Pokoknya gue nggak terima. Dia harus gue balas.” Saking geramnya aku meremas handuk kecil sekuat tenaga lalu melempar ke wastafel.
“Sabila, kamu di dalam?” Terdengar suara Zayyan sedang memanggilku seraya mengetuk pintu.
Kedua tanganku terkepal sambil menoleh ke arah pintu. Tiba-tiba lampu menyala di atas kepala. Sebuah ide brilian datang dengan cepat. Beralih ke odol, aku ambil, menaruh di dalam telapak tanganku, lalu berjalan perlahan dan membuka pintu.
“Sabila, saya—.” Belum sempat dia meneruskan ucapannya, tanganku sudah mengusap wajahnya dengan geram.
“Rasain, biar kapok.”
Zayyan tak memberontak, dia malah diam menutup mata membiarkan aku melakukan apapun padanya.
“Sudah?” tanyanya baru membuka mata melihatku yang keheranan dengan sikapnya.
‘Ini anak baik atau bodoh? Masa iya nggak ada perlawanan?’
“Saya minta maaf.”
Aku terkejut mendengar ucapan maaf yang keluar dari bibir pink natural itu. Terlihat tulus apalagi saat menatapku.
“Saya salah sudah membuat wajahmu kotor.” Aku membuang muka, seolah masih menyimpan rasa sesal. Padahal hatiku sudah membaik, mana bisa aku menyimpan dendam terlalu lama apalagi sudah berhasil membalas.
“Hmm.”
“Itu, alisnya luntur.”
“Hah, serius?” Aku kaget memegang alis, tak menunggu lama aku kembali masuk ke dalam kamar mandi, menatap wajah di cermin wastafel.
“AYAN!” pekikku merasa telah dibohongi.
Dia datang dengan santai berdiri di sampingku. Menadahkan tangan pada kran yang sudah diputar, membiarkan air jatuh pada telapak tangannya kemudian mencuci wajahnya sampai bersih.
“Lo bohong. Gue nggak nyangka ternyata lo tukang bohong,” omelku melipatkan tangan di d**a, menatap tajam. Untuk pertama kali ada laki-laki yang berani mengerjaiku.
Dengan santai Zayyan mengambil handuk, mengeringkan wajahnya, baru setelah itu menatapku yang sedari tadi menunggu balasan darinya.
“Saya serius minta maaf,” katanya sambil mengusap handuk pada pipiku. Manik mata cokelat caramel dengan hiasan bulu mata lentik dan alis tebal membuat jantungku berdegup kencang, tanpa sadar bibir tersungging mengangguk pelan.
“Oh, ternyata ada yang lagi mesra-mesra,” terdengar suara dari depan pintu. Segera aku melirik, dan ternyata Nabila sedang cekikan dengan tangan bersedekap di d**a.
“Ambil balik suami lo,” ketusku beranjak pergi.
“Ya elah, Sa, masih jaim aja lo. Padahal senang banget dapat suami Pak Ustadz. Hmm, kira-kira lo bagusan dipanggil apa ya? Umi apa aunty ni?” kekeh Nabila mengejekku.
“Antimo,” jawabku dengan ketus, lantas Nabila tergelak tawa.
“Iya antimo.” Aku memelototinya dan dia pun kembali tertawa dengan puas.
“Bunda gue di mana?” tanyanya pada akhirnya.
“Di kamar.”
“Udah gue cek, tapi nggak ada.” Nabila mulai khawatir.
“Di toilet mungkin.”
“Masa sih orang sakit bisa ke toilet?”
“Iya kali pakai pempes … dah lah, yuk lihat bunda.” Aku keluar dari kamar beriringan dengan Nabila, menuruni anak tangga, karena kamar bunda Nurma ada di bawah. Usianya yang sudah kepala lima sudah tak sanggup jika harus naik turun tangga setiap saat hingga memutuskan untuk pindah ke kamar bawah.
“Bunda … Bunda, anak durhaka pulang ni,” kataku sedikit berteriak sambil membuka pintu kamar dan beriringan dengan pintu kamar mandi yang terbuka dan menampilkan Bunda Nurma di sana.
“BUNDA,” teriak Nabila berlari memeluk Bunda Nurma, menangis haru dalam pelukan, memegang kedua pipi lalu mengecup kiri dan kanan.
“Bun, kutuk dia jadi kecebong! Dia udah berani dzolimi aku.”
“Bunda sayang sama aku, mana berani kutuk-kutuk kan, Bunda?” Nabila tersenyum dengan suaranya yang cukup manis seolah anak emas yang tak pernah merasa bersalah.
“Bunda ingin bicara dengan serius sama kalian.” Bunda Nurma menatapku tak ada senyum, cukup serius kemudian menoleh pada anak kandungnya juga. Bunda Nurma melepaskan tangan Nabila, berjalan keluar. Aku yang saling menatap dengan Sabila pun merasa ada yang aneh. Tapi tetap kuikuti langkah kakinya. Di ruang TV, Bunda Nurma sudah duduk dengan Zayyan yang barada di depannya.
“Duduk!”
Nabila dan aku bersikutan, duduk bersebelahan dengan Bunda Nurma. Cukup menegangkan tapi apa yang akan dibahas?
“Kita mulai dari Nabila.” Bunda Nurma menatap putrinya yang duduk di sebelah kanan. Tatapan yang cukup serius dan intens itu seolah sedang berada dalam ruang penyidik. “Apa yang sebenarnya terjadi sampai kamu punya ide untuk menggantikan Sabila jadi kamu?”
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskan pelan. Bunda Nurma ternyata sengaja mengumpulkan kami karena ingin menginterogasi kami satu persatu.
“Anu, Bunda ….” Nabila menundukkan wajah. Kedua tangan saling bertautan. “Aku nggak suka sama Kak Zayyan, Bun.”
“Lalu?” tanya Bunda Nurma lagi.
“Ya, aku pikir kenapa nggak Sabila aja. Kali aja jin dalam tubuh dia kabur kalau dekat sama ustadz.”
“Eh!” Aku menganga mendengar penuturan dari Nabila. Jin apaan ini? Jin malas mandi? Malas sholat, ngaji? Ah, banyak jin ternyata. Tapi kalau jin identik goda-goda, aku sendiri suka goda-goda sih, Eh!
“Astagfirullah, Nabila. Kamu sudah dewasa, Nak! Sudah 21 tahun. Harusnya bilang baik-baik kalau kamu menolak, bukan malah kabur, terus menyuruh Sabila gantikan kamu.” Bunda Nurma memijat kepala. Syok karena anaknya yang berhijab itu nakal sama sepertiku.
“Terus yang ganti nama di kertas penghulu itu kamu?”
Nabila mengangguk pelan. “Kalau namanya masih Nabila Putri binti Adam yang ada aku yang nikah, Bun. Makanya kalau pengantin ganti kenapa nggak sekalian namanya juga,” jawab Nabila begitu enteng membuat mulutku menganga dan mataku melebar.
Buset, kena tipu!
Bunda Nurma menghela napas panjang, terlihat kecewa dengan tingkah anaknya, dan kemudian menoleh padaku.
“Bunda, nggak usah tanya lagi. Biar aku ceritakan semuanya.” Sebelum Bunda Nurma bertanya, aku ingin langsung menjelaskan dengan serinci mungkin.
“Jadi gini, Nabila minta aku jadi Sabila buat jemput Iyan. Terus disuruh goda-goda biar ilfeel biar Iyan yang batalin perjodohan ini. Eh, tau-taunya malah Iyan ngajak nikah cepat-cepat. Karena aku gak ada kaitannya ya udah. Tapi Nabila minta aku gantiin dia, katanya kalau orang sama nama beda nikahnya nggak sah. Eh, tau-taunya malah dikibulin sama anak setan ini,” cerocosku sebal, kemudian menoleh pada Zayyan.
“Lo wajib ngajarin gue ilmu agama, biar gue nggak bisa dibodoh-bodohin lagi.”
Zayyan tersenyum menganggukkan kepala.
“Menurutmu gimana, Zayyan?” Bunda menoleh pada Zayyan.
“Menurut saya ini semua hanya jalan saja. Saya sama Sabila sudah digariskan untuk berjodoh, tapi mungkin dengan cara seperti ini,” jawab Zayyan sangat santai tapi membuatku panik.
“Eh, apa jodoh?” pekikku terperanjat.
“Iya. Kamu dan saya sudah terikat pernikahan. Menandakan sudah berjodoh, hanya bagaimana caranya kita mempertahankan rumahtangga sampai batas usia kita.”
Aku menggelengkan kepala. “Bun!” lalu mengguncang tangan Bunda, menatap melas dengan rengekan.
“Apa kamu siap dengan pernikahan yang kalian jalani ini, Zayyan?” tanya Bunda kembali, sangat serius. Aku menoleh pada Zayyan—menggelengkan kepala.
“Insya Allah saya siap. Saya menikah dengan menyebut nama Allah, dan saya akan berusaha untuk menjalani pernikahan ini. Apapun yang terjadi saya tidak akan mundur.” Zayyan kembali memberi jawaban dengan lugas.
“Tapi aku—.”
“Nggak apa-apa, Sabrina. Cinta itu bisa datang belakangan, yang terpenting jalani dulu. Bunda malah senang kamu nikah sama
Zayyan, setidaknya ada yang jaga kamu, ada yang membimbing kamu ke jalan yang lebih baik.”
Lidahku mendadak kelu, tak dapat berkata apa-apa lagi. Ucapan Bunda Nurma yang sangat lembut, terarah dan menyentil hidupku membuatku tak bisa berkata tidak padanya.
“Jangan cerai, Sa! Lo mati nggak bisa cium bau surga. Gue pernah dengar ceramah ustadz bilangnya gini, perempuan yang minta cerai suami tanpa sebab nggak bisa cium bau surga,” timpal Nabila.
Aku berdengkus kasar lalu mengangguk pelan. “Ya udah deh, udah terlanjur basah, ya mandi sekalian.”
“Emang lo mandi pagi tadi?” tanya Nabila dengan cepat.
“Enggak sih?” kekehku menggaruk leher yang tak gatal. “Oh ya Bunda, Nabila itu punya pacar di Jakarta. Dia sering jalan-jalan sama Bara, katanya pacaran syariah,” ujarku sangat heboh membocorkan rahasia Nabila. Tak peduli dengan tatapannya yang ingin membunuhku. Siapa suruh menjebakku sampai menikah di usia muda. Dia juga harus menerima hal yang setimpal. Ya, meskipun Bara sama Nabila cuma beda satu tahun, beda banget aku sama Zayyan yang beda 8 tahun, malah aku tidak tau lagi pekerjaannya apa? Lupa nanya, entar deh ditanyain kalau lagi berdua.
“Astagfirullah, Nabila. Ajaran sesat dari mana yang kamu pelajari, Nak?” Bunda Nurma mengusap d**a.
“Kami pacaran nggak kelewatan batas kok, Bun. Colek-colek aja.” Nabila menyengir memasang wajah polos penuh dosa. Dia memang berhijab tapi hijab kekinian. Kalau kataku, dia itu STMJ, shalat tetap maksiat jalan.
Bunda Nurma kembali beristigfar mengusap dadanya. Tak menyangka anaknya yang baik-baik bisa pacaran. Jangan bilang gara-gara aku ya! Aku memang sesat tapi tidak mengajak orang sesak.
Maaf jin! Kita beda server.
“Katakan sama pacarmu, datang ke rumah! Lamar kamu! Bunda tidak ingin kalian malah melakukan perbuatan dosa,” tegas Bunda Nurma.
“YES!” ucapku melompat kegirangan bergoyang-goyang di depan semua orang dengan memelet lidah di hadapan Nabila, lalu berbalik, berjoget b****g meledekinya.
Plak!
Duh! Siapa yang pukul bokongku?