“Na, gue ketemu sama calon suami lo,” kataku pada Nabila yang baru saja bangkit dari kasur. Mukanya masih muka bantal, ada belek dan masih menguap.
“Hmm.” Nabila tak peduli mengucek mata lalu pergi.
“Lo nggak tanya gitu, apa yang terjadi?”
“Gue nggak peduli, yang nikah kan lo bukan gue.”
“Apa kata lo?” Aku terperanjat mendengar ucapan Nabila.
“Maksudnya lo yang gantiin gue.” Ia cengengesan masuk ke dalam kamar mandi.
Aku hanya ber-oh menghempaskan tubuh di kasur sambil membuka w******p, mencari nama Heru. Tidak ada pesan darinya, bahkan pesanku masih centang dua abu-abu.
“Manusia planet ini ke mana sih? Kenapa juga cuekin gue?” gumamku menekan tombol panggil, lalu kudekatkan hp pada telinga.
“Nomor yang ada tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.”
“Nah, kenapa lagi gak aktif.” Aku berdengus melempar ponsel ke kasur. Masa bodo dengan apa yang terjadi, perlahan kupejamkan mata.
“Sa, mandi sana gih!”
“Nanti deh, jam 12 malam,” kataku memiringkan tubuh, meraih bantal guling lalu memeluk dengan erat.
“Mulai kumat. Cantik-cantik modal parfum doang, tapi malas mandi,” cecar Sabila segera aku membuka mata, menoleh padanya.
“Kambing aja nggak mandi harganya mahal, apalagi gue yang manusia.”
“Oh, ya udah, lebaran ini siap-siap gue jual buat kurban,” balasnya dengan cepat.
“Masa bodo.” Aku memejamkan kembali mataku tapi dengan cepat Nabila malah menarik tanganku dengan keras hingga tubuhku tegak.
“Mandi! Habis itu kita ke tukang jahit, ambil gaun nikah!” katanya melempar handuk ke wajahku.
Aku mendengus kasar beranjak bangun. Aku paling malas kalau mandi, tapi karena habis dari pasar, terpaksa aku harus mengguyurkan air ke tubuhku. Jangan tanyakan berapa kali aku mandi dalam sehari. Jawabannya aku mandi sehari sekali dan kalau libur aku tidak mandi-mandi, toh di apartemen full AC, keringat jarang keluar dan hobi rebahan. Cita-cita? Tentu pengen jadi orang kaya.
Jika sudah mandi pun aku tidak butuh lama, cukup lima menit saja, aku sudah menyelesaikan ritual mandi.
“Cepat pakai baju! Gue tunggu 5 menit! Nggak pakai lama,” kata Nabila saat aku baru melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi.
“Gue bisa mandi ekspres tapi gue nggak bisa dandan ekspres,” kataku dengan santai berjalan ke arah lemari, memilih kaos polos dan pleated skirt dengan outer kemeja jeans.
“Udah, pokoknya gue nggak mau jamuran nungguin lo.”
“Hmm.” Aku cuek saja ketika Nabila banyak komplain. Toh selama ini dia paling bawel mengaturku di apartemen, mulai dari urusan bangun tidur saat ke kampus yang kadang keteter nau’dzubillah. Bayangkan saja, masuk kampus jam 8 aku berangkat dari rumah jam 8, dan sampai di kampus jam 08:15 WIB dan aku cukup santai menanggapinya, disuruh keluar ya keluar, disuruh masuk ya masuk. Jangan tanyakan tentang nilaiku saat ujian, pasti A, karena aku punya backingan yang cukup top, yaitu si cukup Mamat. Nama dia Ahmad dan nama keren Mamat. Dia mahasiswa paling pintar di kelas, sedikit digoda apalagi dipanggil ‘Mamat Sayang’ duh langsung kelepek-kelepek, semuanya dikasih, malahan tugas kampus pun dia yang kerjakan.
Hebat bukan? Dan kalian dilarang meniru sampai urat malu kalian putus dan lebih tepat tak tau malu. Hehehe.
Lima menit waktu yang diberikan Nabila, tapi malah kuhabiskan dua puluh menit untuk makeup. Meskipun simpel tapi alis tetap harus dibikin ala-ala korea dan tak lupa softlens.
“Lo memang nggak bisa buat janji. Janji karet lo,” hardik Nabila kepanasan menungguku yang kelamaan.
“Bawel lu.” Aku mengambil kunci, tas dan hp lalu keluar dari kamar yang diikuti Nabila dari belakang.
“Loh, Bunda kenapa nggak siap-siap?” tanya Nabila melihat Bunda Nurma masih dengan daster.
“Kalian pergi berdua saja ya! Bunda harus masak dulu.”
“Kenapa nggak sekalian aja? Nanti kita makan di luar,” kataku menatap Bunda Nurma.
“Kita kan baru selesai belanja, Sabila. Nggak mungkin Bunda nggak masak.” Bunda Nurma memberi alasan yang logis dan aku pun mengangguk paham.
“Kalau begitu kami pamit dulu ya!” Nabila mencium punggung tangan Bunda Nurma, begitu juga denganku.
“Sa, jadi lo ketemu sama Zayyan di pasar?” tanya Nabila begitu masuk ke dalam mobil.
“Hmm. Untung dia nggak tau, kalau gue itu bukan elo,” jawabku sambil memundurkan mobil ke jalan, lalu memutar setir agar ban berbelok ke kiri baru setelah itu aku injak gas.
“Memangnya bunda gue nggak panggil lo Sabila gitu?” tanyanya menatapku cukup serius. Ia tampak penasaran dan aku pun menggelengkan kepala.
“Nggak lah … tapi lucu juga ya kalau si Ayan gue goda.” Mendadak aku menyengir kuda saat membayangkan gelagat Zayyan saat aku goda, seperti menahan gengsi tapi padahal dia juga tergoda.
“Lo apain anak orang oy?”
“Hmm, cukup kedip-kedip nakal gitu. Hahaha.” Aku kembali tergelak. Mendadak Zayyan seperti mainan saja.
“Oh, pantesan dia minta buru-buru nikah sama gue, ternyata lo pancing napsu dia,” selidiknya menyeringai dan aku pun mengedikkan kedua bahu.
Tak terasa perjalan menuju ke butik yang kami habiskan untuk sekadar membahas Zayyan itu pun terasa singkat. Kini aku menghentikan mobil di depan butik Amisya, gegas turun untuk melihat seperti apa gaun yang dijahit oleh bunda Nurma. Katanya untukku juga ada.
“Assalamu’alaikum, Ci.”
“Wa’alaikumsalam,” jawab seorang pemilik butik. Nabila memanggilnya Cici, seorang Cina mua’alaf. Dia menyambut kami dengan hangat, langsung membawa ke ruangan di mana gaun pengantin sudah dipajang di manekin.
“Wow, gila, bagus banget.” Kedua mataku membelalak melihat gaun pengantin berwarna putih dengan kristal Swarovski yang menyebar mengikuti pola.
“Siapa yang jadi pengantin?” tanya Cici melihat kita berdua silih berganti.
“Dia,” jawab kami dengan kompak saling menunjuk. Aku menatap Nabila dengan mata yang sedikit terbuka lebar, dia pun balik membalas menatapku.
“Dia yang pengantin, Nabila.” Nabila tersenyum mengenalkanku sebagai pengantin dan namaku juga berganti Nabila.
Sungguh nggak ada akhlak lo Nabila!
“Mari ikut saya!” Punggungku didorong oleh Nabila, dengan terpaksa mengikuti Cici ke ruang ganti.
Baju yang tadi kulihat pada manekin kini sudah membalut tubuhku. Sangat bagus dan pas. Aku dan Nabila memang memiliki tubuh yang sama, bedanya aku lebih tinggi sedikit darinya, dan yang membuat aku heran, lengannya juga pas. Apa jangan-jangan Nabila sengaja memberi ukuran bajuku untuk Cici?
Aku membuka pintu, berjalan dengan perlahan-lahan. Ekor yang panjang dan rok yang sempit membuatku tidak leluasa, apalagi Cici juga meminta untuk aku memakai high heel.
“Calon pengantin pria juga sudah siap.” Aku mengerutkan kening mengikuti sorotan mata Cici dan … kedua mataku langsung membelalak, diikuti dengan mulutku yang menganga.
“Ka—mu.” Aku hendak melangkah pergi tapi sialnya malah tumit sepatu menginjak ekor kebaya dan … Bruk!
Zayyan mundur begitu cepat hingga tubuhku jatuh ke lantai. Kulihat di seberang sana Nabila cekikan menertawakan aku, lalu aku menoleh ke arah Zayyan yang tampak biasanya. Geram rasanya, segera kulepas sepatu dan memukul kakinya.
“Apa yang kamu lakukan?” tanyanya berusaha menjauh dan aku melempar sepatu ke wajahnya, tapi dia berhasil menghindar.
“Harusnya lo tangkap gue, bukan bikin gue jatuh. Kampret!” umpatku sebal.
“Memangnya kamu halal bagiku?” katanya begitu santai, membuat emosiku mendidih. Dengan cepat aku bangun, mengangkat gaun dengan tangan kiri dan tangan kanan memegang sepatu, lalu berlari mengejar Zayyan yang sudah lari.
“Lo ini dasar laki-laki nggak guna. Nggak peka, perempuan jatuh nggak ditolongin, malah dibikin jatuh gitu aja,” cerocosku sambil terus berlari mengejarnya, mengelilingi sofa, manekin, meja dan semua yang ada di sana. Sampai pada akhirnya aku ngos-ngosan.
“Capek,” kataku menghempaskan b****g di sofa.
“Minum dulu!” katanya menyodorkan minuman padaku.
“Makasih. Nanti kita lari-lari lagi,” kataku membuka tutup botol lalu menegak air sampai habis.
“Kalian berdua benar-benar kocak. Udah gue edit, masukin ke t****k,” kata Nabila tiba-tiba datang memperlihatkan video yang diambil.
“Na, lo benar-benar cari perkara sama gue!” Aku memelototi Nabila yang malah terkekeh seperti orang tak bersalah.
“Maaf, sepertinya ada yang salah. Kata bu Nurma pengantin perempuan yang berhijab,” ucap Cici sontak membuat Nabila dan aku terperanjat. Saling menatap dengan menggigit bibir bawah.
Mampus, ketahuan!