Bab 3

1061 Words
"SABILA PUTRI!" suara teriakan Nabila menggema ke seluruh apartemen, sontak membuatku kaget. Mata celingukan mencari tempat sembunyi. Suara langkah kaki semakin cepat, tanpa menunggu lama aku berlari mendekat jendela, bersembunyi di balik gorden. Brak! Suara pintu membuatku terkejut. "Sa, gue tau lo di dalam. Lo sembunyi di mana? Hah?" Suara Nabila tampak sangat marah. Aku memejamkan mata sambil menggigit gorden dan tiba-tiba debu malah masuk ke dalam hidungku ... Hachi! “Sial, harusnya gorden gue cuci,” gerutuku dalam hati. Apesnya gara-gara gorden setahun tidak kucuci hidungku sampai gatal-gatal. Segera kubekap mulutku tapi telingaku malah menangkap suara langkah yang semakin mendekat. "Di sini lo rupanya. Hebat ya!" omelnya menarik kupingku. "Ampun, Na, gue minta maaf." Aku meringis, mengaduh padanya tapi tetap saja telingaku dijewer lalu dihempaskan saat tiba di kasur. "Jangan nodai aku!" Aku menyilang d**a dengan tatapan melas. "Gue tetap akan marahin lo." Dia hirup napas dalam-dalam lalu ... "Kenapa lo bikin hidup gue ancur Sabila Putri?" teriaknya langsung kututup kedua telingaku. Gendang telinga rasanya hampir pecah. Singa berhijab ini benar-benar mengaung. "Lo tau, bunda telpon suruh gue pulang besok. Acara nikahan gue dipercepat. Astagfirullah Sabila ... Berdosa sekali," teriaknya lagi mengusap gusar wajahnya. Dia tampak frustrasi dengan pernikahan dadakan yang tak sesuai dengan keinginan dia. "Ya udah nikah aja. Habis itu cerai nikah sama Bara," jawabku menyepelekan. "Lo pikir enak apa? ... Pokoknya gue nggak mau tau, lo bantu gue mikir buat gagalin pernikahan gue." Nabila menghempaskan b****g di sebelahku. Sama-sama memikirkan cara menggagalkan pernikahan. "Kabur aja gimana?" kataku spontan. Nabila tampak mangut-mangut. "Gini aja, lo gantiin gue nikah." "Dih, ogah." Buru-buru aku menggelengkan kepala. Nikah muda? Siapa yang mau? "Lo cuma gantiin gue doang. Pokoknya gue atur supaya pernikahan gagal deh," bujuknya padaku dan aku tetap menggeleng kepala sambil menyilangkan tangan. "Gini, nanti pas akad, lo nyamar jadi gue. Lo tenang aja, nikah nggak bakalan sah kalau nama sama orangnya beda." Aku menatapnya cukup serius. "Maksud lo gimana sih? Gue bingung." "Jadi gini, nanti saat akad, lo pakai cadar, duduk aja nggak usah ngomong! Terus nanti kan akad pakai nama gue, jadi pernikahan ini dianggap nggak sah karena nama sama orang beda. Gue munculnya pas udah selesai acara, jadi biar nggak malu-maluin bunda," jelasnya panjang lebar dan aku mangut-mangut. Idenya lumayan bagus. "Oke deh, gue mau. Demi lo ... tapi seriusan kan nikahnya nggak sah?" Aku kembali memastikan sekali lagi. "Iya serius. Percaya sama gue." **** Seminggu menjelang pernikahan, aku dan Nabila sudah bertolak ke Bandung. Harusnya bunda Nurma meminta untuk pulang lebih cepat tapi aku sengaja mengakalinya dengan mengatakan ujian kampus. Padahal sekarang sudah jatahnya libur, tapi aku lebih nyaman di Jakarta karena bebas. "Assalamualaikum," ucap Nabila saat masuk ke dalam rumah. Aku tersenyum mengikutinya yang disambut oleh Bunda Nurma yang telah kuanggap seperti ibuku sendiri. "Wa'alaikumsalam ... Alhamdulillah kalian sudah tiba dengan selamat." Bunda Nurma memeluk Nabila lalu bergantian denganku. "Kalian pasti lelah, sana istirahat dulu! Nanti sore kita ke tukang jahit, lihat baju apa sudah selesai." "Nikah seminggu lagi, baju masih di tukang jahit, Bun?" tanyaku sedikit kaget. "Gimana lagi, nikahnya saja dipercepat. Lagian sih kamu, Nabila, jangan main sosor-sosor saja kalau belum sah. Ingat hijabmu ... jadinya kan begini, semua harus ekspres." Nabila tersenyum kecut, menoleh padanya dengan pelototan mengerikan, tapi aku malah cekikikan. Bagaimana tidak, semua berawal dariku. Rencana mau bikin Zayyan ilfeel, eh malah ngajak nikah cepat. "Na, kayaknya si Ayan emang demen sama lo." Aku menyenggol lengan Nabila berusaha menggodanya. "Dia ketemu sama lo bukan gue." Nabila begitu santai dan aku pun mengangguk kepala. "Dia napsu atau apa ya? Baru ketemu langsung pengen cepat-cepat nikah." Aku menghempaskan b****g di kasur. "Kayaknya sih. Ah, bodo ah. Malas aku mikir nikah." Nabila menutup pintu kamar, melepaskan jilbab dan segera naik ke ranjang. "Tidur! Nanti sore kita pergi." "Duluan aja. Gue mau jalan-jalan dulu." "Ke mana?" tanyanya saat melihatku bangkit dari kasur. "Jajan lah. Apalagi." "Hmm, jalan lupa bawain gue siomay!" "Beli aja sendiri." Gegas aku beranjak keluar dari kamar Nabila. "Loh, kenapa belum tidur?" tanya Bunda Nurma tiba-tiba muncul. "Mau beli jajan, Bun ... Bunda sendiri mau ke mana udah rapi aja?" tanyaku saat melihat bunda Nurma sudah rapi dengan baju gamis biru muda dan hijab senada. "Ke pasar. Bunda mau belanja." "Sama aku yuk, Bun." "Nggak capek dari Jakarta?" "Udah biasa." **** Aku mengekori ke mana pun langkah, bersyukur pasar tidak becek sehingga aku bebas bergerak. "Assalamualaikum, Tan." Deg! Jantungku berdegup kencang saat mendengar suara yang masih menancap di telingaku. Itu ... Aku menoleh untuk memastikan dan benar, Zayyan yang mengucap salam pada Bunda Nurma. Aku pun jadi kelimpungan, asal mengambil sayur menutupi wajahku. "Aduh, Neng gelis! Sayur kenapa dipakai tutup wajah?" tanya tukang sayur padaku. “Si bapak ini mulutnya kenapa nggak bisa diam sih? Amsyong kan jadinya,” gerutuku dalam hati. Kesal. "Sabila." Perlahan kusingkirkan sayur dari wajahku. Bibir cengengesan menatap Bunda Nurma yang mendadak memanggil namaku. "Bun, mau bayam?" Aku sodorkan sayur padanya. "Ini kangkung, Sabila. Bukan bayam." Aku tertawa kikuk menggaruk tengkuk yang tak gatal. Bisa-bisanya aku tak mengenali jenis sayur. Ah, ini gara-gara aku tahunya makan saja. Sementara itu kulirik wajah Zayyan tampak tersenyum seperti tengah menertawakan aku. "Anak gadis sekarang mah, saking manja sayur saja tidak tau namanya," kekeh ibu-ibu yang tengah ikutan membeli sayur. Itu sebuah ejekan tapi aku tak peduli. "Sebelum nikah, harus belajar mengenal sayur, ikan, bumbu dapur, biasakan main ke dapur, masak, biar selepas nikah bisa menyenangkan lidah suami," timpal ibu yang lain. "Aku biasa kok ke dapur, Bu,” sahutku dengan cepat. "Hah, pintar masa dong?" Ibu satunya kaget dan aku pun menyengir kuda. "Buat konten t****k doang." "Astagfirullah, Neng gelis. Kalau seperti itu terus suami mah bisa kelayapan cari makan di luar," nasehat ibu-ibu. "Nggak apa-apa. Lebih baik istri pintar pijit tapi nggak bisa masak, daripada pintar masak nggak pintar pijit. Yang ada malah cari tukang pijit enak di luar sana," kekehku menoleh ke arah Zayyan yang tak sengaja menatapku, lalu kukedip mata nakal. "Iya kan, Iyan?" tanyaku padanya dengan selembut mungkin. Panggilan Ayan pun aku ganti dengan Iyan, biar keliatan seksi di telinga. Hayo, panas nggak? Panas nggak? Aku ingin tertawa melihat wajah Zayyan seperti tercekat. Meskipun dominan menunjukkan sikap dingin. "Ehm," dia berdeham mengangguk pelan. "Nah, calon suami kekinian aja lebih suka istri pintar pijat," celetukku menyeringai. "Hush, kamu ini. Jangan goda-goda anak orang!" Bunda Nurma mencolekku dan aku hanya tertawa kecil. "Nanti jadi calon iparku juga, Bun."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD