“Cerai?” Ahmad terkejut melihat Rumi begitu berani untuk bertanya hal seperti itu padanya.
“Maaf, Mbak Rumi. Untuk cerai itu sangat sulit. Ustadz paham agama, cerai itu perbuatan yang dibenci Allah meskipun dalam islam dibenarkan.
“Oh gitu. Ya sudah, jadi istri kedua juga tidak apa-apa.” Rumi malah mesem-mesem memainkan ujung hijabnya sendiri. Dan ini semakin membuat Ahmad bingung.
“Kalau poligami, sepertinya ustadz tak tertarik. Tapi entahlah, selamat mengajukan proposal sama Allah. Saya masuk dulu ya.” Buru-buru Ahmad mengakhiri pembicaraan yang tak penting itu. Dia menutup pintu dan meninggalkan Rumi sendiri yang masih tersenyum dengan harapan baru.
“Ya Allah, semoga aku jadi istri pak ustadz. Biarkan gak jadi istri pertama, kedua, ketiga atau ke empat juga gak malah. Tapi lebih baik biarkan mereka pisah dulu dan akhirnya aku jadi istri satu-satunya.”
*
Suasana terasa sangat hening. Tak ada satu katapun yang keluar dari mulut mereka. Citra terus saja sibuk membalas pesan di hpnya sedangkan Zayn sibuk mengemudi hingga mobilnya berhenti di sebuah butik khusus pakaian muslimah.
“Ngapain kita berhenti di sini?” tanya Citra celingukan.
“Mbak Citra biasanya pakai baju size apa?” Bukan malah menjawab tapi malah balik bertanya.
“Mau beli baju. Ayo kita turun!” Citra hendak membuka pintu mobil.
“Mbak Citra tunggu di sini saja, biar saya yang turun.”
“Gue ada di sini, nggak perlu lo yang pilihin,” sahut Citra bersikukuh ingin turun.
“Mbak Citra, jangan turun! Saya tidak ingin Mbak Citra turun dengan mengenakan pakaian seperti ini.”
Citra tertegun seraya melihat bajunya. Akan terlihat memalukan jika Citra harus keluar dengan pakaiannya saat ini. Apalagi kalau ada teman-temannya yang melihatanya, pasti pamornya akan langsung turun.
“Oke. Gue pakai size s.”
Zayn melirik tubuh Citra sekilas untuk memastikan size lalu beranjak pergi. Sementara Citra mengalihkan rasa bosan dengan membuka sosial media, sekadar scroll dan membalas komentar masuk di berandanya.
Selang beberapa saat kemudian, Zayn kembali menemui Citra dengan menyerahkan paper bag untuknya. Citra dengan senang menerimanya, lalu segera membukanya.
“Loh, ini kok dress syar’i?” Citra kaget saat mengeluarkan pakaian dari paper bag. Dia menoleh pada dua butik yang berdiri berdampingan, satu untuk pakaian syar’I dan satu lagi menjual baju remaja tren kekinian, yang berkiblat pada Korea dan Barat.
“Mbak Citra pakaikan saja. Pasti sangat cocok untuk Mbak Citra.”
“Ogah, gue nggak mau pakai ini!” tolak Citra menyerahkan kembali paper bag pada Zayn. Dia memilih turun untuk membeli pakaian yang nyaman di pakai, tentunya bukan pakaian tertutup yang membuatnya gerah. Lantas Zayn tak ingin Citra pergi sendiri malah mengikuti.
“Duduk aja di sini! Gak usah ikut milih baju, yang ada mood gue malah rusak.”
Zayn tak ingin membuat keributan. Dia manut, duduk di sofa dan matanya masih tetap mengawasi gerak gerik Citra.
“Lo coba yang ini.” Citra menyerahkan beberapa pakaian yang dipilihnya untuk dipakaikan Zayn.
“Baju saya masih banyak di rumah,” tolaknya lembut.
“Lo sekarang lagi jalan sama gue, gue nggak mau lo pakai pakaian udik kayak gini,” ujar Citra melihat pakaian yang dipakai Zayn dengan sinis.
“Eist … jangan banyak protes! Sekarang coba pakai baju ini!” imbuhnya kembali membuat Zayn tak bisa berkata apa-apa selain menuruti kemauan Citra.
Tak lama kemudian, Zayn keluar dengan style casual. Wajah Zayn terlihat jauh lebih tampan dan keren sampai membuat Citra tak bisa berkedip.
Tak ingin larut dalam tatapannya, Citra kembali memilih beberapa baju lagi yang cocok untuk Zayn, lalu memintanya untuk memakai semua yang dipilihnya.
“Mbak, tolong bungkus semua ini!” titah Citra menyerahkan semua baju pilihannya.
“Mbak Citra, untuk apa baju sebanyak ini?” Zayn bingung degan sikap Citra yang memborong semua baju untuk dirinya.
“Mulai detik ini, setiap kali lo jalan sama gue, lo wajib pakai pakaian yang gue beli hari ini,” tegas Citra.
“Dan satu lagi, baju ini buang aja,” sambung Citra mengambil baju koko Zayn, lalu membuangnya ke tong sampah.
“Mbak Citra, jangan seperti ini!” Zayn hendak mengambil bajunya kembali tapi dengan cepat Citra menarik tangannya.
“Jangan ambil baju itu lagi! Biarin aja di situ. Baju jelek pun,” cerocos Citra.
“Tapi Mbak−.”
“Udah, diam aja, banyak kali komplain.”
*
Dengan penampilan Zayn yang sekarang ini membuat Citra lebih percaya diri jalan bersama dengannya. Selesai berbelanja, rasa lapar kini tak lagi sanggup untuk ditahan. Makan pagi kesiangan. Itulah yang terjadi pada mereka.
Di sebuah restoran, Citra memesan makanan tanpa rasa malu, sedangkan Zayn agak merasa risih dengan pakaian Citra yang masih terbuka. Hatinya sudah terguncang dengan kata dosa dan tubuhnya yang akan terdorong ke dalam neraka karena seorang istri yang mengumbar aurat.
“Muka lo kenapa ditekuk terus dari tadi? Lo malu jalan sama gue?” tanya Citra menatapnya serius.
Zayn menggeleng kepala. “Saya hanya merasa sedikit kasihan pada diri sendiri.”
“Kenapa lo?” Citra mengernyit keningnya.
“Saya memiliki seorang istri yang cantik dan anggun, tapi sayang, kecantikan dia hanya untuk dipamerkan untuk orang lain bukan untuk saya sebagai suaminya,” ujar Zayn dengan kalimat sindiran.
“Gue tau lo nyindir gue. Tapi asal lo tau ya, meskipun gue udah nikah sama lo, jangan pernah lo sok-sok atur kehidupan gue,” sahut Citra sinis.
Zayn tersenyum pahit tapi masih dalam situasi yang tenang. “Bagaimana kalau kita buat kesepakatan.”
Citra menuding keningnya. “Kesepakatan apa?”
“Mbak Citra meminta saya untuk memakai pakaian pilihan Mbak Citra setiap kita jalan. Bagaimana kalau Mbak Citra memakai pakaian pilihan saya setiap saya ajak Mbak Citra bertemu dengan keluarga ataupun teman-teman saya?”
Citra bergeming. Pikirannya mulai memikirkan segala hal secara terperinci. “Oke, gue setuju,” jawab Citra mengulurkan tangannya. Zayn pun tersenyum sambil menyambut uluran tangan Citra.
Makanan pesanan mereka kini sudah sampai. Citra mengambil sendok, lalu hendak menyantap makanannya.
“Kalau tidak mau baca doa, setidaknya baca basmalah,” ucap Zayn melirik Citra yang hendak makan.
“Cerewet ya.” Citra berdecak kesal.
“Bacalah kalau tidak mau dengar saya cerewet.” Zayn malah membalas dengan santai.
Citra menggertakkan giginya saking sebalnya. Namun tak ingin terus diceramahi, akhirnya dia pun membaca basmallah, lalu makan. Zayn tersenyum bahagia. Meskipun harus menerima segala bentakan dari Citra, tapi dengan dia menuruti hal kecil saja sudah membuka jalan untuknya terus menuntun Citra kembali ke jalan Allah.
“Apa Mbak Citra menyesal dengan pernikahan ini?” Zayn membuka obrolan ketika begitu lama mereka diam.
“Hmm, banget.” Tanpa menutupi apapun dari Zayn, Citra lebih memilih berterus terang dan tak peduli dengan perasaan orang di depannya.
“Kalau seandainya Allah tumbuhkan rasa cinta di hati Mbak Citra?”
Citra meletakkan garpu dan pisau seraya tertawa menggelengkan kepala. “Mustahil.”
“Tak ada yang mustahil kalau Allah berkehendak.”
“Gue yang akan bentengi diri gue buat gak jatuh cinta sama lo.” Citra menatap manik mata Zayn, cukup percaya diri.
“Baik. Kita buktikan saja.”
“Hei!”