Citra membuka matanya lalu mengedarkan pandangan sambil mengucek matanya memastikan ia tidak salah dalam melihat. Dia segera bangkit lalu duduk di tepi ranjang, mencari berkas-berkas ingatan dalam kepalanya. Wajah Zayn sama sekali tidak terlintas dalam kepalanya, hanya menikmati dunia malam bersama dengan Rio dan teman-temannya yang masih tersimpan rapi.
Tak ingin larut dalam kebingungan, ia segera beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang sudah sangat lengket dan bau alkohol masih menempel pada bajunya. Iya, Zayn semalam tak bisa mengganti baju Citra karena tidurnya tak pernah tenang, ada salah—kadang miring ke kiri, kadang ke kanan dan kadang tengkurap.
Begitu selesai mandi, Citra kesulitan mencari baju, selama menikah belum pernah ia membawa baju dari rumahnya, selain itu baju-baju yang dibelinya semuanya tertinggal di dalam mobil Sisil. Citra tipe orang yang tak ingin ribet apalagi mengenakan baju yang sudah kotor, dia segera membuka lemari Zayn, mencari sebuah baju yang bisa di pakainya.
Kemeja lengan putih menjadi pilihannya, meskipun longgar karena tubuh Citra jauh lebih kecil dari Zayn, tapi setidaknya bisa dipakai dengan mengenakan tali pinggang miliknya sendiri dan yang paling penting kemejanya menutupi b****g.
Merasa sangat percaya diri, Citra pun keluar dari kamarnya. Seperti yang sudah-sudah, dia langsung berjalan melewati Zayn yang masih setia dengan kitab di tangannya.
Lantas Ahmad yang baru saja masuk, langsung terkejut melihat pakaian yang dipakai Citra, terlalu terbuka sampai betis terlihat begitu sempurna—mulus tanpa bulu bahkan gigitan nyamuk. Ahmad segera beristigfar seraya menutup matanya dengan kesepuluh jari, tapi masih tetap menghalangi pintu.
“Minggir! Lo halangi jalan gue.” Citra memberi penegasan. Dan itu membuat Zayn menutup kitab lalu bangkit menghampirinya.
“Hari ini Mbak Citra tidak diizinkan untuk pergi sendiri.”
Citra memalingkan tubuhnya seraya berkacak pinggang. “Atas dasar apa lo larang gue keluar?” tanyanya sinis.
“Atas dasar saya ini suaminya, Mbak.” Zayn menjawab dengan cepat tapi tetap santai.
Citra menganggukkan kepala seraya melipatkan tangan di dadanya. “Kalau begitu, lo ceraikan gue, kita selesai,” ucap Citra menyungging bibirnya sekilas.
Raut wajah Zayn langsung berubah, menatapnya dengan serius tanpa berkedip. “Pernikahan bukan untuk sekedar main-main. Jangan pernah minta cerai karena saya tidak akan pernah menceraikanmu!”
“Kalau begitu, jangan halangi gue pergi!” kata Citra segera beranjak pergi tapi Ahmad malah berdiri sambil membuka lebar ke dua tangannya dan memastikan agar tak ada celah untuk perempuan di depannya kabur. Bisa gawat kalau kejadian kemarin malam terulang lagi.
“Lo cepet minggir!” Citra menatap tajam.
“Sudah, Mbak Citra di rumah saja. Kasihan Ustadz kalau sampai harus babak belur lagi hanya demi melindungi Mbak Citra dari lelaki berandalan di luar sana,” kata Ahmad kesal. Matanya masih memandang lantai agar terhindar dari pandangan yang mengotori matanya.
“Ahmad!” Ahmad terkejut, lalu menatap Zayn yang menggelengkan kepala. dan justru membuat Citra membelalak lalu menoleh, sejenak dia menajamkan penglihatannya pada sudut bibir Zayn yang terlihat terluka. Segera dia mendekat dan menyentuhnya, sontak Zayn terkejut dan mundur.
“Kenapa menghindar? Apa ini cuma alasan lo buat bikin respect sama lo?” Bukan respect tapi Citra malah berpikiran negatif.
“Mbak Citra ini benar-benar ya. Saya tak habis pikir dengan Mbak Citra, sudah ditolong malah menuduh lagi,” cerocos Ahmad geram kembali menundukkan kepala.
“Kalau gitu, sini gue cek.” Dengan kasar Citra menarik kerah baju Zayn hingga pandangan mereka bertemu dengan jarak yang sangat dekat. Zayn yang belum pernah berdekatan dengan wanita sebelumnya langsung menundukkan pandangannya. Ahmad yang tak sengaja melihat Zayn pun dengan secara spontan memalingkan wajahnya. Momen itu tidak layak untuk para jomblo sepertinya.
“Aww …” Zayn meringis kesakitan saat tangan Citra menekan sudut bibirnya yang terluka.
Sudah begitu adanya karena Citra bukan perempuan lemah lembut yang akan memperlakukan Zayn dengan penuh cinta.
“Siapa yang mukulin lo?” tanya Citra menatapnya serius.
“Pacar Mbak,” sahut Ahmad dengan cepat. Ia sudah bisa menebak Zayn tidak akan memberitahukannya pada Citra.
“Jadi ini yang bikin gue gak bisa hubungi dia lagi?” Citra mendorong tubuh Zayn dengan murka, sontak membuat Ahmad berkacak pinggang.
“Ya Allah … asal Mbak Citra tau saja, kalau bukan karena Ustadz, Mbak Citra sudah diper−.”
“Ahmad, cukup!” Zayn lagi-lagi menghentikan Ahmad.
“Lo diam! Biar dia lanjutin ucapan dia,” tegas Citra menunjuk Zayn dengan murka.
Hening. Citra kembali menatap Ahmad, memintanya untuk melanjutkan.
“Kalian gak usah capek-capek ngejelekin Rio di depan gue. Karena gue tau, Rio gak akan pernah melakukan apapun ke gue tanpa izin dari gue,” tegas Citra menatap mereka silih berganti. Dia sangat percaya dengan pria bertato itu. Wajar, sudah dua tahun menjalin kasih tapi tak pernah bertindak di luar batas. Semua yang dilakukan atas dasar sama-sama setuju dan selama ini Citra tetap membatasi diri untuk tidak melakukan hubungan intim karena belum terikat pernikahan.
“Ya Allah, kenapa ada wanita sebodoh ini di dunia ini,” gumam Ahmad menatap langit.
“Lo ngatain gue bodoh?” Ternyata Citra bisa mendengar suara Ahmad. Telinganya sangat tajam bahkan sorotan matanya juga. Ingin rasanya menelan Ahmad hidup-hidup.
“Asal kalian tau ya. Gue sama sekali gak akan percaya sama ocehan kalian berdua yang ngejelek-jelekin Rio,” imbuhnya kembali memperingatkan.
“Terserah mau Mbak Citra percaya atau tidak. Tapi setidaknya jangan pernah Mbak Citra merepotkan Ustadz lagi,” balas Ahmad tak sanggup mendengar tuduhan Citra yang sangat menyakiti hati mereka.
“Kan gue udah bilang, ceraikan gue, jadi gue nggak akan merepotkan kalian lagi,” sahut Citra dengan santai.
“Mbak Citra, cukup!” hardik Zayn masih dalam emosi yang terkontrol.
“Udah ah, gue pusing lama-lama di sini.” Citra menutup telinganya seraya melangkah pergi, tapi Ahmad masih saja menghalanginya.
“Mbak Citra mau ke mana? Biar saya antar,” tawar Zayn menatap punggung Citra.
Citra kembali memalingkan tubuhnya menatap Zayn. “Gue mau pulang ke rumah. Lo nggak lihat apa? Gue sampai pakai baju lo saking gue nggak ada baju di sini,” cerocos Citra menunjukkan baju yang sedang dipakainya.
“Hffttt …” Ahmad menahan tawanya. Sejak melihat pakaian yang dikenakan Citra dia sudah curiga itu baju milik Zayn.
Zayn melihat Citra sekilas, lalu mengedarkan pandangannya sambil tersenyum kecil. Satu sisi dia juga merasa bersalah, karena sebagai seorang suami dia belum memberikan pakaian yang layak untuknya.
“Ahmad, kunci mobil!” Zayn menadahkan tangan. Ahmad buru-buru merogoh sakunya, lalu menyerahkan kunci mobil kepada Zayn.
“Ayo Mbak Citra! Biar saya antar,” ajak Zayn. Citra menganggukkan kepalanya, lalu beranjak pergi yang diikuti Zayn.
“Allah, sampai kapan aku bisa bertahan di sini?” gumam Ahmad memijat pelipis. Lalu menatap rumah yang sudah kosong.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.” Ahmad kembali keluar saat mendengar suara salam dari seorang perempuan di depan rumah.
“Pak ustadznya ada?” tanya perempuan cantik berjilbab biru. Senyuman kecil itu membuat kedua lesung pipinya muncul dan dia adalah salah satu perempuan tercantik di kampung itu.
“Baru saja keluar sama istrinya. Ada apa, Mbak? Ada yang bisa saya bantu?”
Dia menggeleng. “Saya mau tanya, memangnya pak ustadz menikah karena apa sih?”
“Oh, itu. Ustadz dituduh berzina. Padahal bukan. Kami cuma membantu mbak Citra pingsan di pinggir jalan … Yah, tapi yang namanya orang-orang yang tak suka dengan ustadz, ada saja jalan untuk membuat mereka menikah.”
Perempuan itu malah berbinar, senyumnya semakin lebar. “Berarti nikah karena terpaksa dan tanpa cinta ya?”
“Cinta? Ustadz tak akan pernah mencinta perempuan seperti mbak Citra. Mbak Rumi saja jauh lebih indah di pandang daripada perempuan itu.” Ahmad memang mengakui kecantikan Rumi dan juga sikapnya yang ramah lembut. Apalagi penampilannya selalu tertutup.
Pujian itu malah membuat Rumi tersenyum malu dan menundukkan wajahnya. “Mas bisa saja … tapi apa mereka bisa cerai dan … dan saya ada kesempatan untuk jadi istri pak ustadz?”