Citra berusaha untuk tak terprovokasi dengan ucapan Zayn meskipun hati kecilnya malah memberi respons, bukan tak mungkin waktu mengambil alih semuanya hingga menyalakan bara api cinta yang sulit untuk dipadamkan. Namun sebagai seorang yang keras kepala dan tak suka diatur, dia tetap berteguh pada prinsip, menjalankan hidupnya dengan Zayn untuk beberapa waktu agar ketika semuanya kembali kondusif dia bisa kembali merajut cinta bersama dengan sang kekasih.
Citra tak menyangka perjalan pulang ke rumah akan begitu lama. Bagaimana tidak, pertama mampir di butik lalu makan, dan sekarang ke masjid. Walaupun tak ikut turun melaksanakan shalat dzuhur, tapi Citra harus menunggu untuk waktu yang cukup lama baginya.
“Lo bikin gue mati di sini.” Itulah omelan pertama saat Zayn masuk ke dalam mobil.
“Lama ya?”
“Pake nanya lagi.” Citra berdecak sebal.
“Adem banget di dalam. Makanya betah,” kekehnya pelan.
“Cepat nyetir lagi! Kelamaan di jalan yang ada kita gak bakalan sampe,” protes Citra dan Zayn manut.
Dua karakter yang berbeda. Zayn harus menambah tingkat kesabaran agar tak terjadi perpecahan dalam menghadapi sikap Citra yang keras.
Kembali hening, Citra fokus pada layar ponsel di tangannya sedangkan Zayn memilih untuk bershalawat dan kadang ikut murotal.
“Nyanyi aja. Gak usah ngaji,” seru Citra matanya masih enggan melepas dari gadget.
“Kamu saja! Saya tak pandai bernyanyi.”
“Gue suruh lo bukan nyuruh balik.” Citra menatap kesal. Dia berharap Zayn bisa melakukan apa yang diminta bukan sebaliknya.
“Demi perempuan yang baru saya nikahi, saya akan coba bernyanyi, tapi saya cuma bisa satu lagi dan selain itu Mbak Citra tak bisa request. Gimana?”
“Terserah, yang penting nyanyi.” Citra tak terlalu peduli dengan apa yang akan dinyanyikan suaminya, yang terpenting Zayn bernyanyi bukan membaca qur’an.
Senyap, detik kemudian Citra menoleh, menatap Zayn tanpa berkedip ketika telinganya mendengar musik—lagu rock yang butuh nada tinggi.
“She’s gone out of my life …”
Lagi Citra menganga karena Zayn benaran bernyanyi dan suara di nada rendah cukup bagus. Tanpa sadar Citra sudah melupakan ponselnya saking terbius dengan suara Zayn.
Dan kali ini Citra sudah bersiap-siap saat Zayn mengambil nada tinggi. Dia takut pria di sampingnya tak sampai ataupun malah ngos-ngosan.
“Lady, won’t you save me? … my heart belongs to you …”
Kali ini Citra benar terpukau. Mulut menganga dan mata melebar. Zayn benar-benar bisa menaikkan nada tinggi tanpa fals.
“Lady, can you forgive me? … for all I’ve done to you … Lady, oh lady.”
Citra bertepuk tangan menggelengkan kepala. Masih betah mendengar sampai akhirnya Zayn menyudahi bernyanyi karena musiknya sudah berakhir.
“Luar biasa. Gue gak nyangka suara lo bakalan tinggi banget. Terbuat dari apa tenggorokan lo?” Citra spontan menyentuh leher Zayn sampai membuat sang empu kaget dan menekan rem dadakan.
“Lo napa sih? Kalau gak becus sini biar gue yang nyetir,” protes Citra saat tubuhnya hampir terpental, untung memakai seatbelt.
“Maaf.” Zayn gugup. Belum pernah ada perempuan yang nekad menyentuh leher, tentu sentuhan itu membuatnya terkejut dan panas dingin.
“Maaf, maaf, lo jangan mentang-mentang gue puji malah bikin gue kecelaka. Amal gue masih belum cukup, gue gak mau mati muda,” cerocos Citra masih kesal dengan Zayn.
Zayn tak membalas, dia kembali menyetir.
Keheningan kembali terjadi sampai akhirnya Citra membuka suara karena masih penasaran kenapa Zayn yang katanya tidak bisa bernyanyi malah bisa menyanyikan lagu dengan nada tinggi yang terbilang sangat susah itu.
“Hmm, so, katanya lo gak bisa nyanyi, tapi tadi apa? Mau pamer gitu?”
“Saya memang tidak pandai bernyanyi. Hanya lagu itu yang saya bisa karena teman saya sering menyanyikan lagu itu ketika patah hati. Jadi saya hafal.”
“Hmm, kirain lo yang patah hati. Lihat dari wajah lo, mendalami banget … tapi andai lo patah hati karna nikah sama gue dan gak bisa nikah sama pacar lo, gue siap kok diceraiin sekarang.” Citra menatap wajah Zayn sungguh-sungguh. Memang sudah ada niat sejak awal bahwa pernikahan ini bukanlah hubungan yang layak untuk dipertahankan. Tanpa cinta, semuanya bullshit.
“Pacar pertama saya, ya Mbak Citra.”
Citra memutarkan bola mata. Malas mendengar gombalan. “Gak usah ngengombal, karena gue gak suka. Sekali gue gak suka sama orang dan tetap akan sama. Gak akan berubah.”
“Hati milik Allah. Hanya Allah yang bisa membolak-balikkan hati manusia. Yang benci bisa jadi cinta dan yang cinta mungkin akan tergila-gila atau bahkan menjadi musuh. Wallahualam.”
“Bentar-bentar ceramah. Ribet nikah sama ustadz. Entah dosa apa gue ni sampai harus nikah sama lo.”
Zayn tak ingin membalas lagi karena pasti tak berujung. Berdebat dengan perempuan hanya membuang waktu karena selama mereka masih sanggup untuk berbicara akan terus mengeluarkan semua kosa kata yang pasti tak akan mau dikalahkan. Itulah Citra Humaira.
Tak terasa mereka sudah sampai ditempat tujuan. Begitu membuka pintu, mereka sudah disambut hangat oleh Ferry dan Ratih. Ah, Citra tak termasuk, karena Ratih dan Ferry menyambut kedatangan guru sekaligus mantu mereka.
Lantas Citra enggan peduli, dia malah masuk tanpa basa-basi, terus berjalan menaiki tangga.
“Citra … ajak suamimu masuk ke kamar juga!” titah Ferry memanggil anaknya yang bahkan tak menghentikan langkah.
“Suruh bibi aja antar ke kamar tamu.” Begitu enteng menjawab seperti lupa akan statusnya sebagai istri.
“Citra!” panggil Ferry meninggikan suara.
“Sudah, Pa. Biar saya di antar sama bibi saja,” ucap Zayn menghentikan amaran Ferry.
“Tidak bisa seperti itu. Kalian sudah menikah, jadi harus tinggal sekamar.”
“Benar yang dikatakan Papa … Ayo Zayn, Mama antar ke kamar Citra,” sahut Ratih. Zayn manut mengikuti ibu mertuanya menaiki tangga hingga tiba di sebuah kamar yang berada di paling pojok. Ratih langsung membuka pintu dan mempersilakan Zayn masuk ke dalam.
“Mama ngapain suruh dia masuk ke kamarku?” protes Citra menatap mereka dengan kesal.
“Zayn ini suamimu. Sudah sepatutnya kamu berbagi kamar dengannya,” jawab Ratih terlihat lebih serius dari biasanya.
“Aku nggak mau berbagi kamar sama dia, Ma,” tegas Citra.
“Kalau kamu tidak mau satu kamar sama Zayn. Kamu pindah gudang saja,” balas Ratih santai.
“Mama! Yang anak Mama dia apa aku sih?” Citra mengepal ke dua tangannya. Menatap penuh amarah.
“Jangan banyak protes! Kalau kamu tidak senang dengan keputusan Mama, Mama minta Papa blokir semua kartumu!” serunya kembali.
Usai mengancam Citra, kini Ratih melihat menantu idamannya. “Mama tinggal dulu. Kalau butuh apa-apa panggil aja bibi di bawah,” ujarnya lembut.
“Baik, Ma.” Zayn tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ratih membalas senyumannya, lalu keluar meninggalkan mereka.
Citra melipatkan tangannya di d**a seraya mendelik Zayn. “Lo, gue izinin tinggal satu kamar sama gue, tapi ingat, lo jangan pernah sentuh barang gue! … Dan gue juga gak mau berbagi tempat tidur sama lo. Kalau lo ngantuk lo bisa tidur di sofa, gak senang tidur di lantai!” tegas Citra menunjukkan sofa lalu lantai.
“Terima kasih, Mbak Citra.” Zayn tersenyum. Citra meliriknya sinis, lalu kembali berjalan ke arah ranjang. Zayn pun meregangkan otot-ototnya, lalu merebahkan tubuhnya di sofa. Meskipun kantuk dan lelah, Zayn tetap tidak ingin tidur di kala sore hari. Dia pun menyiasati dengan membaca mushaf yang ada di ponsel.
Tak terasa matanya tak sanggup lagi untuk bertahan, hingga ia terlelap dalam tidurnya. Citra yang masih belum tidur, tiba-tiba memalingkan wajahnya menatap Zayn. Ada rasa penasaran yang tersimpan di hatinya. Dia pun bergegas bangun, lalu mengendap-endap menghampirinya.
Senyuman kagum terlihat sekilas di bibir Citra saat memandang wajah Zayn yang sangat tampan ketika sedang tidur. Hatinya masih tersirat kata balas budi karena Zayn telah membantunya ketika sedang mabuk, dia pun mengambil ponsel dari tangannya Zayn, lalu memindahkannya di atas nakas. Selanjutnya dia mengambil selimut dan menyelimuti Zayn hingga menutupi sebagian tubuhnya.
Ketika melihat Zayn sudah tertidur dengan nyaman, dia pun kembali merebahkan tubuhnya di ranjang.
Jam terus berputar hingga cahaya matahari hilang dari langit. Tak terasa suara ketukan pintu membuat Zayn terkejut.
Zayn beristigfar bergegas bangun. Matanya melihat sebuah selimut, lalu melihat ranjang Citra yang kini sudah kosong. Masih linglung, Zayn pun menarik lengannya dan seketika terperanjat saat melihat jarum jam yang kini sudah menunjukkan angka 8.
Waktu shalat magrib dilewatkan begitu saja membuat rasa sesal di d**a. Tak ingin menunggu lama, Zayn segera berjalan ke arah kamar mandi.
“Udah bangun?” tanya Citra baru keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah dan mengenakan handuk yang melilit di dadanya.
Zayn terkejut dengan penampilan Citra segera menundukkan wajahnya. “Iya … Kenapa tidak membangunkan saya?”.
“Gue gak tega bangunin lo. Gue lihat lo kelelahan, jadi gue biarin aja lo tidur,” jawab Citra santai sambil berjalan melewati Zayn.
“Lain kali bangunkan saya ketika sudah waktu sholat,” pinta Zayn tulus.
“Heumm … kalau gue ingat.”
Zayn menganggukkan kepala, lalu masuk ke kamar mandi. Usai bersih-bersih dan wudhu, Zayn mendirikan shalat. Kali ini ia mengqada shalat magrib di waktu isya. Pertama shalat isya setelah itu baru berdiri lagi untuk mengqada shalat magrib.
Citra yang sedang duduk di depan meja rias, terus saja memandangi Zayn dari pantulan cermin. Zayn sangat lama melakukan gerakan shalat hingga dalam mengaminkan doa pun juga lama.
“Entah apa yang dibacanya.”
Zayn melipat sajadah lalu meletakkan di tempat semula. “Mbak Citra sudah shalat?” tanya Zayn meliriknya sekilas.
“Nggak. Males,” jawabnya cuek.
Zayn berjalan mendekati Citra, lalu bersandar di tepi meja rias. “Shalatlah dulu!” titah Zayn lembut.
Citra meletakkan sisir dengan kasar lalu menatap Zayn dengan tajam. “Gue kan udah pernah bilang sama lo. Jangan pernah lo atur-atur gue.” Citra menggebrak meja lalu beranjak pergi.
“Ya Allah, berikan hamba ini kesabaran dalam mendidik istri hamba.”