“Kamu mau ke mana?” tanya Ratih melihat Citra memakai mini dress dengan tas kecil di bahunya sambil menuruni anak tangga.
“Clubbing lah sama teman-teman,” jawab Citra cukup santai. Terus berjalan ke arah pintu.
“Tutup semua pintu rumah! Jangan biarkan Citra keluar!” Ferry yang mengetahui anaknya akan pergi lekas meminta ART untuk menutup pintu. Jika dulu mungkin terlalu lemah karena tak ingin terjadi pertengkaran tapi tidak dengan sekarang. Ada tamu di rumah dan itu adalah mantunya sendiri.
“Papa keterlaluan banget sih?” ketus Citra berdecak sebal.
“Sekarang kamu balik ke kamar!” titah Ferry menunjuk ke arah tangga.
“Nggak, Pa. Aku mau keluar!” Citra bersikukuh.
“Jangan pernah membantah Papa!” tegas Ferry.
“Papa gak usah ngurus hidup aku lagi, aku udah dewasa,” teriak Citra.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Citra. Ferry menatap Citra penuh murka. Kali ini dia tak dapat lagi menahan amarahnya seperti yang sebelumnya hanya membiarkan anaknya pergi malam pulang pagi.
“Papa!” Ratih buru-buru menghampiri Citra. Tak pernah sebelumnya ia melihat suaminya begitu marah. Dia takut Ferry menjadi gelap mata dan akhirnya Citra menjadi nahas di tangannya.
“Citra, cepat kamu masuk ke kamar! Jangan biarkan Papa semakin marah!” bisik Ratih merangkul pundak Citra.
Air mata berjatuhan di pipi Citra sambil melirik Ferry penuh kebencian. Perlahan dia kembali berjalan menaiki anak tangga.
“Sejak kapan lo berdiri di situ?” Citra menatap Zayn yang berdiri di samping tangga.
Zayn melihat luka di sudut bibir Citra. “Sini saya obati,” ucap Zayn hendak merangkul Citra.
“Gak usah sok baik deh lo!” Citra menepis tangan Zayn, lalu bergegas menuju ke kamarnya.
Zayn segera menyusul Citra ke kamar. Dia melihat Citra duduk di atas ranjang sambil memeluk bantal dengan air mata yang terus mengalir di pipinya. Zayn tak sanggup melihat air mata yang turun di pipi Citra, dia pun akhirnya memilih menghampirinya.
“Lo ngapain sih di sini? Lo mau ngeledikin gue karena papa nampar gue?” cerocos Citra memelototi Zayn yang duduk di tepi ranjang.
“Enggak kok. Saya hanya ingin memastikan apa bidadari saya masih terlihat cantik ketika sedang menangis,” jawab Zayn dengan lembut.
“Ihh … apa-apa sih lo.” Citra memukul Zayn dengan bantal. Bukan karena benci tapi mendadak suasana hatinya menjadi senang hanya dengan serpihan pujian dari Zayn.
Zayn menangkap bantal, lalu meletakkan di sampingnya. “Sini, biar saya obati luka di bibir, Mbak Citra!” kata Zayn menarik tangan Citra hingga Citra bangun dan mengikuti suaminya. Tangan kiri masih memegang sudut bibir yang terasa kebas, apalagi sudut bibirnya berdarah.
Zayn membawanya ke dapur, lalu menuntunnya duduk di meja mini bar. Mengambil es batu dan handuk kecil, lalu hendak mengkompres pipi Citra yang memar dan sudut pipi yang berdarah.
“Nggak usah, biar gue aja,” tolak Citra memegang handuk kecil berisi es batu.
“Biar saya bantu.” Mendapat persetujuan dari Citra, Zayn pun mulai mengompres dengan pelan agar tak membuat Citra meringis kesakitan.
“Lukanya harus segera itu obati biar semakin cantik ketika berdandan.” Zayn memberi pujian di sela kompres.
Tanpa sadar Citra terpana dengan ketampanan dan pujian dari Zayn. Senyuman pun tersembunyi rapat di balik sifat gengsi.
Kruk …
Suara perut yang ditimbulkan oleh rasa lapar Zayn membuat suasana hati Citra buyar.
“Lo lapar?” tanya Citra melihat Zayn yang sedang menahan rasa malu.
“Iya.” Zayn mengangguk pelan.
“Kenapa gak bilang dari tadi?” Citra bergegas bangun. Dia mencari makanan di dalam lemari, lalu meletakkan di depan Zayn.
“Nah, makanlah!”
“Mbak Citra, tidak ikut makan sekalian?”
“Lo makan aja. Gue lagi males makan,” jawab Citra masih jengkel dengan sikap Ferry.
Zayn membaca bismilah sambil mengambil makanan lalu menyuapi Citra yang sedang mangap akibat rasa sakit.
“Loh kok malah nyiapin gue,” protes Citra suaranya terpendam karena mulutnya yang penuh dengan makanan.
“Kesal boleh, asal jangan lapar!” sahut Zayn cengengesan.
Citra buru-buru mengunyah lalu menelannya. “Tapi−“ Setiap Citra hendak angkat suara langsung Zayn menyuapinya hingga Citra mengangkatnya karena kekenyangan.
“Eumm lo dari tadi suapin gue aja … Lo sendiri gak makan?” tanya Citra mengunyah lalu menelan sisa makanan di mulutnya.
Zayn tersenyum menyerahkan minuman pada Citra. “Minum dulu setelah makan! Baru setelah itu ngomong lagi.” Citra segera mengambil gelas dari tangan Zayn, lalu meminumnya agar bisa melanjutkan obrolannya.
“Alhamdulillah.” Zayn menuntun agar Citra mengucap hal serupa ketika merasa kenyang. Tapi Citra sama sekali tidak menurutinya.
“Sekarang gue udah kenyang. Sekarang giliran lo yang makan.” Citra mengambil makanan, lalu menyuapi Zayn tapi malah ditahan.
“Kenapa?”
“Baca doa dulu.” Zayn menadah kedua tangannya seraya berdoa. Baru setelah mengusap wajahnya ia membuka mulut—siap menerima suapan demi suapan dari istrinya.
“Emang mesti ya baca doa makan ngangkat tangan dulu ke langit?” tanya Citra sambil menyuapi Zayn.
“Itu tata krama saat berdoa agar Allah cepat mengijabahkan doa kita.”
Huk … Huk …
Suara batuk yang semula pelan kini semakin nyaring terdengar. Citra sangat mengenali suara batuk itu, sehingga dia dengan jelaknya meletakkan sendok lalu pergi begitu saja tanpa pamit. Bahkan panggilan dari Zayn juga enggan di dengar.
“Citra, Papa−” Citra semakin mempercepat langkahnya bahkan tak menoleh ke arah Ferry yang berjalan menghampirinya. Itu menyakitkan dan Ferry hanya bisa mengusap dadanya.
Melihat kemarahan Citra membuatnya sadar dengan sikapnya yang terlalu kasar kepada Citra. Tidak seharusnya Ferry lepas kontrol hingga menjatuhkan tangan ke pipi anak yang selama ini belum pernah disentuhnya dengan kasar sedikitpun.
Selang beberapa saat kemudian, Ferry juga melihat Zayn berjalan dari arah yang sama dengan Citra.
“Zayn, tunggu!” Ferry mempercepat langkahnya menghampiri Zayn.
“Ada apa, Pa?” Zayn menghentikan langkah dan menoleh ke belakang.
“Sepertinya Citra sangat marah sama Papa. Tolong katakan sama dia, Papa sangat menyesal … Papa hanya terbawa emosi saja,” pinta Ferry penuh harap. Sorotan mata memancarkan sebuah aura penyesalan yang teramat dalam.
“Papa tenang saja. Saya yakin Citra tidak akan bisa marah terlalu lama sama Papa,” ujar Zayn menyemangati Ferry yang sedang resah.
Ferry menganggukkan kepala. Ia menyerahkan semuanya pada Zayn. Kehadiran Zayn di sisi putrinya membuatnya lebih tenang untuk menitipkan Citra padanya. Ia yakin suatu hari nanti anaknya bisa menjadi wanita yang shaleha.
*
Zayn membuka pintu, melihat Citra duduk bersandar di kepala ranjang sambil memainkan ponselnya. Dia tau Citra saat ini sedang kesal. Zayn pun menutup pintu lalu berjalan menghampirinya.
“Kenapa bibir seksinya malah cemberut seperti itu?” goda Zayn seraya duduk di tepi ranjang.
Citra meletakkan ponselnya di atas nakas. “Udah ah, gue mau tidur,” ucap Citra mendorong bahu Zayn.
“Jangan marah-marah! Saya tidak mau punya istri tua sebelum saatnya.”
“Ihh … berani lo bilang gue tua,” Citra geram, tangannya dengan cepat meraih bantal lalu memukul Zayn dengan kuat.
“Makanya Mbak Citra jangan suka marah-marah!” Zayn menahan pukulan dengan kedua tangannya.
“Terus kalau gue marah-marah masalah buat lo?” ketus Citra tak berhenti memukul Zayn.
Zayn yang tak tahan pun akhirnya menarik bantal hingga membuat Citra hilang keseimbangan dan jatuh ke atas tubuhnya.
Bruk …
Jantung Zayn berdegup kencang saat melihat wajah Citra dari jarak yang sangat dekat. Untuk pertama kalinya ia harus tertindih oleh seorang wanita yang kini sudah menjadi istrinya. Bukan tentang cinta, tapi perasaan aneh yang belum pernah dirasakan saat kulitnya tersentuh oleh wanita.
Citra tak ingin berlama-lama di atas Zayn, dia pun segera bangun. Mengambil rokok dan korek dalam laci, kemudian pergi ke arah balkon.
Teringat akan amanah yang disampaikan Ferry, Zayn segera bangun menyusul Citra. Seketika ia terperanjat saat melihat Citra yang sedang menyalakan rokok.
“Lo mau?” tawar Citra menyerahkan bungkusan rokok.
“Tidak, terima kasih,” tolak Zayn menggeleng kepala seraya duduk di samping Citra.
“Gimana rasanya?” tanya Zayn melirik Citra yang sedang memandang langit.
“Apanya yang gimana?”
“Hidup sebagai perempuan yang nakal?”
“Hoo … enaklah. Hidup bebas, tenang,” jawab Citra menghirup udara malam dengan rokok di sela jari telunjuk dan jari tengah.
“Kalau saya menjadi lelaki nakal gimana menurut Mbak Citra?” Bibir Zayn selalu tersungging manis.
“Ayo,” ucap Citra bersemangat.
“Tapi jangan deh … kasihan elo-nya kalau sampai nakal. Nggak ada obatnya. Sia-sia amal ibadah lo,” imbuh Citra melihat penampilan Zayn dengan seksama.
Zayn tergelak tawa mendengar pernyataan Citra.
“Kenapa lo ketawa? Ada yang lucu?” tanya Citra mengernyit keningnya. Menghisap rokok kembali lalu menghembuskannya dari mulut dan hidung. Citra memang sangat ahli dalam merokok.
“Saya salut dengan Mbak Citra. Mbak Citra nakal, tapi tidak mau mengajak orang lain untuk nakal.”
“Gue gak munafik. Gue tau yang gue lakukan ini salah. Tapi seenggaknya gue gak menanggung dosa karena mengajak orang berbuat nakal. Cukup gue tanggung dosa sendiri aja.” Zayn kembali terkagum-kagum dengan sosok perempuan di depan matanya itu. Misi untuk menarik Citra ke jalan Allah semakin terbuka.
“Oh ya, tadi saya bertemu dengan papa di bawah−.”
“Stop! Gue gak mau dengar lo sebut nama papa disini!” tegas Citra langsung menyela ucapan Zayn.
Lantas Zayn paham dengan suasana hati Citra saat ini. Dia sama sekali tidak ingin merusaknya. Dia malah berdalih saling mengobrol santai untuk membuat Citra nyaman ketika berada bersamanya. Pintu hati seorang wanita ada di telinga. Zayn yakin dengan obrolan manis dan nyaman bisa membuat Citra menerima statusnya saat ini.