Bab 9

1375 Words
Seharusnya hanya tinggal sehari di rumah mertuanya, malah membuatnya harus tinggal beberapa hari demi menyenangkan hati Citra. Semula Citra enggan kembali ke rumah kecil milik Zayn dengan alasan kamar sempit, panas dan tidak memiliki pemanas air. Sebagai seorang suami, Zayn hanya mendengarkan saja keluh kesah istrinya dengan tenang tanpa membantah sedikitpun. Ia tahu wanita itu paling pantang untuk dibantah, karena jika ia melakukannya perdebatan sengit akan terjadi dan sifat wanita tidak akan mengalah. Karena itu ketika mereka sudah kembali ke kediaman Zayn, kamar yang semula hanya bermodal kipas angin kini sudah berganti dengan ac yang membuat seluruh kamar menjadi dingin. Kembali ke rumah, berarti kembali pada aktifitas kesehariannya. Zayn mulai mengisi pengajian seperti biasanya. Jadwal pengajian yang padat membuatnya tak sering tinggal di rumah. Melihat Citra yang kini sudah berada di sisinya, Zayn meminta agar Citra selalu mengikutinya ke mana pun ia pergi. Permintaan Zayn selalu ditentang keras oleh Citra dengan alasan ia ingin bebas menikmati dunianya tanpa harus terikat dengan statusnya sebagai istri. Citra tipe wanita millennial yang hidup bebas tanpa adanya aturan yang mengikat. Zayn dapat memahami maksud dari Citra, meskipun Zayn terlihat udik di mata Citra, tapi dia sangat memahami dunia millennial. Zayn memberi kebebasan pada Citra untuk pergi ke mana pun yang diinginkan tapi dengan syarat ia harus ikut bersamanya. Bayang-bayang Rio yang hendak memerkosa Citra masih belum lekang dalam ingatannya. Cekcokan terjadi dalam rumah itu hanya dua pendapat yang berbeda. Zayn selalu mengarah yang terbaik, tapi Citra selalu pada prinsipnya. Hingga tanpa sepengetahuan Citra, Zayn sudah meminta Ferry untuk menonaktifkan semua kartu milik Citra. Uang dapat menekan Citra untuk terus bergantung pada Zayn dan terlebih lagi Zayn juga sudah menekan teman-teman Citra untuk tidak lagi membantunya. Hal ini yang membuat Citra terpaksa harus mengikuti Zayn. Sesuai dengan kesepakatan Citra harus memakai pakaian yang tertutup ketika Zayn membawanya ke sebuah majelis. Bibirnya yang terus mencibir Zayn hingga pakaian yang sudah disiapkan Zayn berhasil dipakainya. Ahmad senyam-senyum sendiri saat melihat Zayn sangat pintar dalam menaklukkan Citra. Tak butuh waktu lama, Citra sudah berhasil berada dalam genggaman meskipun tak sepenuhnya. Sebuah masjid yang berjarak 12 km dari rumahnya menjadi awal pertama Zayn membawa Citra dalam mengisi pengajian. Penampilan Citra yang mengenakan baju dress dengan shawl yang menutupi sebagian kepalanya masih dimaafkan oleh Zayn sebagai pemula. Mobil Zayn yang memasuki area parkiran Masjid langsung di sambut oleh salah satu panitia Masjid. Ali sebagai panitia Masjid langsung membukakan pintu mobil untuk Zayn. Mempersilakan Zayn untuk keluar dengan rasa hormat yang tinggi. Memang benar, yang bisa meninggikan derajat manusia di dunia, selain uang dan jabatan, itulah ilmu. Begitu Zayn keluar, dia membukakan pintu untuk Citra, sebagai penghormatan kepada istri. “Ayo keluar!” ajak Zayn lembut. Lantas Citra menggeleng kepala. “Gak. Gue tunggu di mobil aja.” “Yakin mau tinggal sendirian di dalam mobil? Pengajiannya lama loh, bisa sampai dua jam lebih,” jelas Zayn membujuknya. “Iya gue yakin.” Citra menganggukkan kepala. Sementara itu, Ali mengernyit keningnya saat melihat Zayn sedang berbicara. Rasa penasaran menuntunnya untuk melihat siapa yang ada di dalam mobil. Sekelebat matanya membelalak ketika melihat seorang perempuan berambut cokelat yang ditutupi sebagai shawl. Saking penasarannya, Ali pun bertanya, “Pak Ustadz itu siapa?” Zayn membalikkan punggung menatap Ali. “Dia ini is−.” “Saudaranya,” jawab Citra dengan cepat sambil mencubit pinggang Zayn. Zayn menggigit giginya dengan keras menahan rasa perih karena kuku runcing Citra menancap di kulit. “Salam kenal, saya Ali, panitia di masjid ini.” Ali memperkenalkan dirinya dengan mengatup kedua tangannya di d**a. Citra tersenyum terpaksa sambil menganggukkan kepala. Jiwa kesombongannya masih belum bisa dihilangkan dari dalam dirinya. Wajar, karena Citra tipe perempuan setia, dia tak akan ramah pada laki-laki yang tak dikenal apalagi laki-laki udik di matanya dengan setelan koko ataupun jubah. Enggak banget. “Kalau begitu, mari Pak Ustadz kita masuk! Para jamaah sudah menunggu Pak Ustadz dari tadi.” “Baik, duluan saja!” Ali menganggukkan kepala, lalu beranjak pergi. “Ahmad, sini!” Citra melambaikan tangannya. “Ada apa?” “Gue ingatkan sama kalian berdua ya! Kalau ada yang nanya gue siapa, bilang aja saudara kalian. Gue gak mau status gue ketauan,” ujar Citra memperingati mereka. Tatapannya terlihat sangat serius. “Mbak Citra tenang saja. Saya tidak akan membocorkan status Mbak Citra. Lagi pula kasihan Pak Ustadz kalau sampai ada orang yang tau istrinya kelakuannya begini.” “Ahmad, jangan seperti itu!” Zayn menatap Ahmad agar tidak meladeni Citra lagi. “Terserah lo mau bilang apa. Lagian gue juga enek banget sama kalian yang udik, kampungan … Tapi whatever, gue ingatin sekali lagi, jangan sampai ada yang tau! Ingat itu!” Ahmad ingin marah dengan Citra karena telah menghinanya dan Zayn, tapi tatapan Zayn membuat mulutnya harus tertutup rapat dengan berat hati menganggukkan kepala sebagai tanda mereka menyetujui permintaan Citra. Citra melambaikan tangan agar mereka segera pergi, dengan begitu ia bisa video call dengan teman-temannya, terutama dengan Rio. Dia sungguh sangat merindukan Rio, semenjak malam itu Rio belum pernah menghubunginya sama sekali. Lantunan ayat suci Al-Qur’an yang dibacakan Zayn saat mengimami shalat membuat bulu kuduk berdiri. Suara merdu itu sampai di telinga Citra, Rio, Sisil dan Jono. “Lo lagi di mana, Cit?” tanya Sisil penasaran dengan suara merdu itu. “Gue lagi di parkiran masjid.” Citra menyalakan kamera belakang. “Hah? Lo kok mau-mau aja?” Semua orang terkejut. Citra dengan segera mengarahkan kamera depan. “Gimana lagi. Semua kartu gue dibekukan sama papa. Gue bergantung sama dia sekarang.” Citra membuang napas kasar, pasrah akan hidup yang dijalani sekarang. Untuk sementara, dia hanya bisa patuh pada keputusan orangtuanya. Toh hidup dia selama ini didedikasikan untuk menikmati dunia, sehingga tak pernah kesulitan dalam mencari uang. “Sorry ya, gue gak bisa bantu lo,” sahut Sisil. Ia terpaksa harus berbohong karena tidak ingin terlibat masalah dengan Zayn. Begitu juga dengan Rio dan Jono. “Iya gak apa-apa kok … Oh ya, Yank jemput gue dong. Gue mau clubbing lagi sama kalian,” pinta Citra melas. “Sorry Yank, belakangan ini gue sibuk, jadi gak bisa jemput lo,” tolak Rio mencari alasan. Cukup sekali kena amukan dari Zayn dan tak ingin berusahan lagi. Lagipula tinjuan Zayn masih terasa sampai sekarang. “Iya. Kita juga udah lama gak clubbing. Lo tau dong! Orangtua kita pada nyerahin bisnis ke kita,” tambah Jono meyakini Citra. Dia juga sama, tak ingin terlibat dengan Zayn. Meskipun Zayn dipandang sebagai laki-laki udik tapi ketika sudah marah, mirip seperti singa. Ingatannya masih merekam saat baku hantam di klub ditambah dengan panggilan masuk yang mengancam dirinya andai ikut membantu Citra untuk berbuat dosa. Citra hanya bisa pasrah, meskipun ia dapat merasakan respons dari teman-temannya berbeda dari biasanya tapi apapun itu dia berusaha menanamkan pikiran positif. * Pengajian telah usai ditandai dengan pembacaan doa oleh Zayn. Seperti biasa, usai pengajian banyak pemuda-pemudi yang datang menghampiri Zayn guna meminta Zayn menuliskan sebuah kalimat motivasi di dalam buku belajar mereka. Berhubung tak ingin membuat Citra menunggu terlalu lama, Zayn meminta Ahmad untuk mengumpulkan buku mereka lalu membawanya pulang. Ia ingin mengerjakannya di rumah. Begitu Zayn dan Ahmad keluar dari masjid, Citra segera keluar dari mobil. Dia berdiri di depan mobil dengan menunjukkan ke arah jam di tangannya sebagai sebuah isyarat. Zayn pun mempercepat jalannya menemui Citra. “Maaf ya menunggu lama,” ucap Zayn bersikap lembut dan manis saat melihat wajah Citra sangat cemberut. “Cepat masuk! Gue udah lapar ni,” ketus Citra. Menunggu berjam-jam di dalam mobil membuatnya jenuh dan kesal. “Lain kali ingat ada orang yang nunggu lo di mobil.” Citra meluapkan kekesalannya meskipun mobil sudah bergerak meninggalkan masjid. “Lah, salah sendirilah. Ustadz sudah bilang pengajiannya berlangsung lama. Mbak Citra saja yang keras kepala minta tinggal di mobil,” seru Ahmad tak terima disalahkan. “Bacot. Perasaan gue gak ngomong sama lo. Kenapa lo cerocos mulu kayak kaleng kejepit truk?” Citra menatap tajam. Paling kesal dengan Ahmad yang suka menyela ucapannya. “Saya—” “Sudah, jangan diteruskan! Ini pasti karena efek lapar kan?” Zayn selalu menjadi penengah dan penyejuk setiap tutur kata yang sangat indah didengar. Tak pernah meninggi apalagi memaki. Citra berdengkus memijat pelipis. “Ini semua gara-gara lo. Coba gue gak nikah sama lo, gue gak bakalan hidup semiskin ini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD