Setelah Nur pergi, Wahyu terdiam di tempatnya, meski Nur tidak mengungkapkan secara nyata, tapi Wahyu tahu kalau Nur merasa marah kepadanya, itu bisa ia rasakan dari nada bicara, dan sikap Nur.
Wahyu tidak ingin berpura-pura bisa menerima Nur. Ia ingin Nur tahu, kalau ia tidak tertarik sedikitpun pada Nur. Tapi untuk berpisah dengan Nur ia belum bisa, karena kondisi kesehatan Neneknya. Neneknya ternyata yang mengusulkan pada kedua orang tuanya agar ia menikahi Nur. Wahyu tidak ingin kondisi kesehatan Neneknya semakin memburuk, kalau ia, dan Nur berpisah.
Wahyu menatap makanan di hadapannya. Sop ikan haruan sungguh menggodanya, apa lagi ia merasa sangat lapar, karena belum makan sejak semalam.
Wahyu mulai menyuap makanannya, ia terdiam sejenak untuk merasakan masakan Nur yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Harus ia akui kalau rasanya enak, lebih enak dari sop haruan buatan ibunya. Wahyu terus mengunyah, tanpa terasa makanan di piring, dan di mangkok sudah berpindah semua ke dalam mulutnya.
Wahyu menatap piring, dan mangkok kosong di depannya dengan perasaan gamang.
'Harus kuakui, masakan Nur enak' puji Wahyu di dalam hatinya.
Wahyu masuk ke kamar, mengambil obat di atas meja. Lalu ia kembali ke ruang tengah, dan kembali duduk di sofa. Di minum obat, setelahnya ia kembali berbaring, sambil menikmati acara televisi. Tanpa sadar ia tertidur di sofa di depan televisi.
****
Meski merasa marah pada Wahyu, tapi Nur merasa hatinya tidak tenang, karena meninggalkan Wahyu yang sedang sakit sendirian. Ia tidak bisa konsentrasi bekerja, dan rasa gelisahanya terbaca oleh Bunda Aira, pemilik butik. Bunda Aira mendekati Nur, yang tampak jelas terlihat tidak seperti biasanya.
"Kamu baik-baik saja, Nur?" Tanya Bunda Aira.
"Iya, Bun." Nur tersenyum, sambil menganggukkan kepala.
"Tapi kamu kelihatan tidak tenang, kalau kamu merasa kurang enak badan, sebaiknya istirahat saja." Bunda Aira menyentuh lembut bahu Nur.
"Maaf Bun, kalau boleh saya ingin pulang." Akhirnya Nur mengungkapkan juga keinginannya.
"Tentu saja boleh, pulang, dan istirahatlah. Kamu ingin pulang sendiri atau ingin diantar supirku, Nur? Aku takut kamu tidak bisa mengayuh sepedamu dalam keadaan kurang sehat" tawar Bunda Aira.
"Insya Allah saya masih kuat naik sepeda, Bun," jawab Nur, ia tidak ingin merepotkan bossnya yang sangat baik.
"Ya sudah, pulanglah. Kalau ada apa-apa kabari saja Bunda ya." Bunda Aira kembali mengusap lembut bahu Nur.
"Iya Bun, terimakasih banyak." Nur menganggukkan kepala, lalu bangkit dari duduk, dan membereskan pekerjaannya.
Nur berpamitan pada Bunda Aira, dan teman-temannya. Setelah itu ia segera pulang dengan mengayuh sepeda seperti hari-hari sebelumnya.
Tiba di rumah, Nur segera membuka kunci pagar, dan memasukan sepedanya. Setelah kembali mengunci pagar, ia membuka kunci pintu depan. Nur masuk ke dalam rumah, ia tergugu di tempatnya saat tiba di ruang tengah. Televisi masih menyala, tapi yang menonton tengah tertidur di atas sofa. Wahyu terlihat sangat lelap dalam tidurnya, tidak terpengaruh oleh suara dari televisi yang menyala.
Perlahan Nur mengambil piring, mangkok, dan gelas bekas Wahyu. Dibawa ke dapur, dan langsung ia cuci. Setelah selesai, Nur membuka pintu kulkas, di dalam kulkas masih ada sayur, dan ikan yang dibelinya. Nur mengambil bayam, labu merah, kacang panjang, dan gambas, dari kulkas. Begitu pintu kulkas ditutup, ia terperanjat, dan bergerak mundur. Sayur di tangannya jatuh berhamburan di lantai dapur.
"Haaa! Astaghfirullah hal adzim!" Nur berseru kaget, ia mengusap dadanya, karena keberadaan Wahyu, yang tiba-tiba saja ada di hadapannya.
"Kamu sedang apa?" Tanya Wahyu dingin.
"Mau masak makan siang, Kak." sahut Nur sambil berjongkok memunguti sayuran.
"Beberapa hari ini mungkin aku harus makan masakanmu, nanti kamu hitung saja berapa aku harus membayar semua yang aku makan," ucap Wahyu, ia berbalik, dan pergi tanpa menunggu jawaban dari Nur. Nur menatap Wahyu dengan mata berkaca-kaca.
'Jika Kak Wahyu tidak bisa menganggapku sebagai istri, tidak bisakah Kak Wahyu menganggapku sebagai teman. Agar hubungan kita tidak sedingin, dan sekaku ini'
Ingin sekali Nur mengucapkan kalimat itu, tapi sayangnya ia hanya bisa menyimpan di dalam hatinya. Setelah meletakan sayuran di atas meja dapur, Nur berniat mengambil ikan di dalam kulkas. Tapi suara bell dari pagar depan membuatnya membatalkan niatnya. Setengah berlari Nur ke luar dari dapur.
"Biar aku yang buka, Kak," ujar Nur saat melihat Wahyu berusaha bangkit dari berbaringnya di sofa.
Ternyata yang datang adalah Bayu adik Wahyu.
"Assalamuallaikum, Nur."
"Walaikum salam Kak Bayu" meski Bayu adik iparnya, tapi tidak merubah panggilannya kepada Bayu. Nur mendorong pintu pagar, agar mobil Bayu bisa masuk ke halaman rumah. Setelah Bayu memasukan mobil, Nur kembali menutup pagarnya.
Bayu turun dari mobil dengan beberapa map di tangannya.
"Kak Wahyu sakit ya Nur?"
"Iya Kak."
"Sudah ke dokter?"
"Belum, kalau bisa Kak Bayu saja yang membawa Kak Wahyu ke dokter, kalau menyetir sendiri takut kenapa-kenapa."
"Makanya kamu belajar menyetir, Nur, masa Ibu Boss tidak bisa menyetir."
Nur hanya tersenyum mendengar ucapan adik iparnya.
"Kak Bayu ingin minum apa?"
"Es sirop saja Nur."
"Baik Kak." Nur segera masuk ke dapur.
"Bayu!" Wahyu menatap Bayu yang langsung duduk di sofa single, di samping sofa yang jadi tempatnya berbaring.
"Mau aku antar ke dokter?" Tawar Bayu.
"Tidak perlu, aku hanya demam biasa. Aku sudah minum obat," jawab Wahyu.
"Aku membawa berkas yang harus segera Kakak tanda tangani." Bayu menunjuk berkas yang ia letakan di atas meja.
"Sekarang?"
"Tahun depan, ya sekaranglah Kak. Kalau nanti buat apa aku antar ke sini."
Nur datang dengan segelas es sirop, dan segelas teh hangat di atas nampan yang dibawanya.
"Kak Bayu mau ikut makan siang di sini?" Tanya Nur.
"Masak apa Nur?" Bayu balik bertanya.
"Sayur bening, ikan sepat siam goreng, sama sambal acan," jawab Nur.
"Waah siip tuh, aku makan siang di sini saja, sesekali merasakan masakan kakak ipar, ayo aku bantu Nur biar cepat," sahut Bayu sambil terkekeh, lalu ia bangkit dari duduknya, dan mengikuti langkah Nur menuju dapur. Wahyu diam saja, ia meraih map-map yang dibawa oleh Bayu, dan mulai memeriksanya satu persatu, sebelum ia tanda tangani.
Wahyu mengangkat kepala dari berkas-berkas di depannya, saat mendengar tawa Bayu, dan Nur dari dalam dapur. Wahyu merasa penasaran, apa yang mereka bicarakan, sehingga tawa mereka terdengar begitu riang.
BERSAMBUNG
Sebelum baca ini, baca dulu Mr. and Mrs. Farmer, dan Suami Pilihan Cantika.