Nur tiba di dekat pagar rumah. Pagar tertutup tapi tidak terkunci.
"Ceroboh!" Desis Nur sambil membuka pintu pagar. Setelah menutup, dan mengunci pintu pagar, Nur memarkir sepeda di samping garasi seperti biasanya.
Rinai hujan kembali turun, meski tidak lagi sederas tadi. Kata orang hujan seperti ini akan lama berakhirnya, alias awet hujannya.
Nur mengambil kunci rumah dari dalam tas. Ia memasukan anak kunci ke dalam lubangnya. Tapi kuncinya tidak bisa masuk, ada benda yang mengganjal di dalam lubang kuncinya.
"Ya Allah, apa Kak Wahyu lupa mencabut anak kuncinya, lalu aku harus bagaimana?" Gumam Nur sendirian. Nur memutar gagang pintu, ternyata pintu bisa dibuka.
"Syukurlah pintunya tidak dikunci. Tapi ini sebuah kecerobohan," gumam Nur lagi. Ia masuk ke dalam rumah, dikuncinya pintu, dicabut anak kunci. Ia letakan anak kunci di atas lemari kecil, yang berada di dekat pintu kamar Wahyu yang tertutup.
Setelah meletakan tas berisi kotak bekal di atas meja dapur, Nur segera masuk ke dalam kamarnya, ia ingin segera mandi. Setelah mandi Nur hanya berdiam di dalam kamarnya, menikmati acara televisi, sambil menuggu waktu maghrib tiba.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
"Cantika," gumamnya dengan nada ceria.
"Assalamuallaikum, Nul!" sapaan riang dari seberang sana terdengar.
"Walaikum salam Cantika cantik, ada apa mau maghrib telpon?"
"Aku kangen, hari minggu kamu pulangkan, Nul?"
"Iya, kok tahu?"
"Tahu dong, kan diundang juga ke rumah mertuamu."
"Memangnya ada acara apa di sana?"
"Haah, kayapa ikam nih, yang baisi acara mintuha ikam, kenapa jadi betakun wan aku, Nul?" (Bagaimana kamu ini, yang punya acara mertuamu, kenapa bertanya ke aku, Nul)
Nur terdiam sesaat.
"Enghh, Kak Wahyu cuma bilang, kalau hari minggu diminta orang tuanya untuk pulang, tidak mengatakan yang lainnya" jawab Nur akhirnya.
"Kalian baik-baik saja'kan, Nul. Tidak terjadi sesuatu yang buruk'kan di antara kalian? Kak Wahyu tidak menyakitimu'kan?" Cantika memberondong Nur dengan pertanyaan yang penuh rasa curiga.
"Kami baik-baik saja," sahut Nur berusaha tetap mempertahankan nada riang pada suaranya.
"Aku tahu, aku tidak pantas ikut campur urusan rumah tanggamu, Nul. Kamu juga tidak boleh menceritakan urusan rumah tanggamu pada orang lain. Tapi jika kamu ingin berbagi, apa yang kamu rasakan, aku siap untuk mendengarkan"
"Aku baik-baik saja, Cantika," ujar Nur berusaha meyakinkan Cantika.
"Benar?"
"Iya, oh ya, bagaimana kabar Abba, Amma, Paman Soleh, dan Aska?"
"Mereka baik"
"Aku sudah tidak sabar ingin menggendong Aska."
"Makanya sering-sering pulang, Nul. Banjarbaru-Landasan ulin itu cuma belasan kimoleter."
"Kilometer!"
"Ya itu!"
"Maunya aku begitu, tapi semuakan tergantung Kak Wahyu"
"Hihihi, benar juga ya. Azan maghrib Nul, sudah dulu ya, aku tunggu hari minggu. Assalamuallaikum, Nul."
"Walaikum salam, Cantika cantik."
***
Nur yang bersiap berangkat kerja menatap pintu kamar Wahyu. Ia mendengar suara bersin, dan batuk dari dalam kamar Wahyu. Nur bimbang, ingin mengetuk pintu atau tidak. Nur masih diam di depan pintu kamar Wahyu, ia merasa dilema dengan apa yang harus dilakukannya. Tiba-tiba pintu kamar Wahyu terbuka, Nur mundur dua langkah dari tempatnya berdiri. Tatapan mereka bertemu, Nur mengalihkan pandangannya pada tubuh Wahyu yang terbungkus sweater, dan jaket.
Suara batuk Wahyu membuat Nur menatap wajah Wahyu.
"Kak Wahyu sakit?"
"Matamu tidak melihat keadaanku seperti apa? Pakai bertanya segala!" Jawab Wahyu ketus.
"Maaf, apa ada yang bisa aku bantu, Kak?"
"Aku tidak butuh bantuanmu. Sekarang kamu pergi saja bekerja kalau kamu mau. Aku bisa mengurus diriku sendiri!" Wahyu meninggalkan Nur yang diam terpaku. Dengan langkah yang gontai Wahyu menuju dapur.
Nur memejamkan mata, lalu menarik napas sedalam-dalamnya, baru ia menyusul Wahyu ke dapur.
Andai Wahyu tidak sedang sakit, ia pasti sudah pergi dari tadi. Tapi saat ini ia tidak tega meninggalkan Wahyu di rumah sendirian.
Di dapur Nur melihat tubuh Wahyu yang bergetar seperti orang kedinginan. Tampaknya Wahyu ingin membuat minum untuk dirinya sendiri.
"Tolong biarkan aku membantu Kak Wahyu, Kakak sedang sakit, anggap saja Nur yang membantu Kakak sebagai seorang teman dari kampung, bukan Nur yang sudah Kakak sebut namanya saat di depan Penghulu." ujar Nur, yang berusaha menghalangi Wahyu mengambil gelas, dari dalam lemari tempat perabot makan.
Nur mendongakkan kepala, menatap wajah Wahyu yang terlihat pucat. Tatapan mereka bertemu, ini jarak terdekat di antara mereka berdua, sepanjang pernikahan. Sebelumnya mereka belum pernah pada posisi sedekat ini. Wahyu membuang pandangannya dari wajah Nur. Mata Nur yang besar, dan bola matanya yang hitam legam, juga alisnya yang tebal, dan hitam sudah membuat Wahyu teringat pada Cantika.
Wahyu memutar tubuhnya.
"Terserah kamu saja!" Sahut Wahyu akhirnya.
"Kakak kembali saja ke kamar, nanti aku antarkan tehnya. Apa Kakak ingin sarapan? Tadi aku memasak sop haruan, kalau Kakak mau, akan aku antar ke kamar Kakak sekalian?" Tanya Nur, tanpa peduli sikap dingin Wahyu kepadanya. Melihat Wahyu yang seakan tak berdaya, membuat luluh hatinya.
Wahyu menganggukan kepala, ia memang merasa lapar, karena sejak semalam belum makan. Ia terserang demam sejak kemaren sore. Kemarin ia kehujanan saat meninjau lokasi proyek untuk perumahan, yang baru dibangun perusahaannya. Karena itulah ia tergesa pulang, karena ingin segera mandi. Tapi demam justru menyerangnya dengan hebat tadi malam. Beruntung ia mempunyai persediaan obat yang bisa meringankan rasa sakitnya.
Wahyu tidak kembali ke kamarnya, ia memilih berbaring di sofa ruang tengah, dinyalakan televisi. Tidak berapa lama, Nur datang dengan nampan berisi segelas teh hangat, sepiring nasi, dan semangkok sop ikan haruan (gabus). Nur meletakan nampan di atas meja, lalu memindahkan semuanya dari atas nampan ke atas meja. Wahyu bangun dari berbaringnya. Ia duduk menghadapi apa yang dihidangkan oleh Nur.
"Berapa?" Tanya Wahyu tanpa menatap ke arah Nur yang berdiri tidak jauh darinya.
"Berapa apanya, Kak?" Nur mengernyitkan kening, karena tidak mengerti maksud Wahyu.
"Berapa aku harus bayar makanan ini?" Wahyu mendongakan kepalanya. Ditatap Nur yang tampak terkejut dengan ucapannya. Hati Nur terasa teriris sembilu, karena Wahyu tidak menghargai ketulusannya.
"Terserah Kakak mau bayar berapa, aku harus pergi bekerja, Assalamuallaikum!" Nur segera berbalik, ia kembali ke dapur untuk meletakan nampan, dan mengambil tas bekalnya. Tanpa berkata apapun lagi, Nur melintasi tempat Wahyu duduk. Ia juga tidak mau menatap wajah Wahyu barang sejenak. Dengan menahan tangis, Nur mengayuh sepeda menuju butik tempatnya bekerja.
'Jangan menangis Nur, ini pilihanmu, kamu harus kuat, harus kuat. Tunjukan pada Wahyu kalau kamu bukan wanita lemah!'
Batin Nur menguatkan dirinya sendiri.
BERSAMBUNG