"Kalau lo butuh bahu buat bersandar, gue selalu ada buat lo." kata Becca dengan wajah cerianya.
"Yakin?"
"Ish... Lo enggak percaya banget sama gue." Becca tampak tak puas akan respons Zulla yang terlihat meremehkannya.
Rambut keriting Becca jatuh ke rerumputan seiring dengan kepalanya yang mendarat. Kedua gadis itu sedang menikmati awan di lapangan luas yang cukup bersih tapi sepi. Mereka hanya berdua, tidak bersama teman yang lainnya dan tidak ada orang selain mereka di sana. Zulla ikut berbaring di samping Becca yang tersenyum cantik bagaikan matahari bersinar di pagi hari.
"Ya siapa tahu nanti tiba-tiba lo pergi tanpa kabar." celetuk Zulla membuat Becca menoleh ke arahnya.
"Gue pergi? Pergi ke mana?" kekeh Becca.
"Ya gue enggak tahu." Zulla kembali menyahut sambil mengedikkan kedua bahunya.
"Gue enggak akan pergi dari samping lo. Kita akan tetep jadi temen sampai nanti." kata Becca tulus.
Merasakan tangan Becca melingkar di pinggangnya khas orang memeluk saat tertidur, membuat Zulla tersenyum senang. Zulla tak tahu, bagaimana kalau semisal Becca hilang dari pandangannya tanpa kabar dan penjelasan.
Zulla meletakkan buket bunga mawar pink di depan gerbang rumah orang tua Becca yang tampak sepi selama satu tahun lebih. Hanya ada para pekerja rumah tangga saja di sana. Wajah Zulla dipenuhi oleh air mata. Sesekali dia menghapusnya dengan punggung tangannya yang basah.
"Selamat ulang tahun yang kedelapan belas tahun ya, Bec." sekuat tenaga Zulla menahan air matanya agar tidak tumpah semua.
Usaha Zulla gagal, dia tetap tidak bisa membendung air matanya. Isak tangis terdengar jelas dari bibir Becca. Tanpa Becca tahu, dari kejauhan ada seorang lelaki yang selama satu tahun belakangan ini sudah menjadi teman dekatnya. Siapa lagi kalau bukan Lingga.
Usai Zulla mengumpati Vanko sekitar empat belas bulan yang lalu, hubungan mereka benar-benar retak dan hanya Lingga yang bersikap netral. Di bulan ini, adalah bulan kelima belas Becca menghilang tanpa jejak.
"Gue b**o banget, kenapa dulu gue pake bilang begitu segala." isaknya lagi.
"Dan sekarang, lo bener-bener hilang tanpa meninggalkan apa-apa."
Berulang kali Zulla menghapus air matanya yang terus menerus berjatuhan. Hal yang paling membuat sesak, sampai selama ini, tidak ada satu pun orang yang tahu keberadaan Becca. Bahkan, sekolah mengumumkan bahwa Becca resmi dikeluarkan.
"Kenapa lo harus bertindak sampai sejauh ini, Bec?"
Penyesalan menyelimuti hati Zulla. Berulang kali Zulla menyalahkan diri sendiri, kenapa waktu itu dia harus menyalahkan Becca? Kenapa Zulla harus mengutarakan kekecewaannya pada Becca? Dan kenapa, Zulla tidak langsung menghubungi Becca di hari minggunya? Kenapa Zulla terlalu tak acuh pada teman dekatnya sendiri? Hal yang selalu membuat Zulla menyesal dan merasa bersalah.
"Udah dua kali lo ulang tahun dan gue enggak bisa ngucapin langsung ke lo."
Dalam sunyinya malam, Zulla mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Pasti itu Lingga yang berusaha membujuknya buat pulang.
"Kayaknya gue harus pulang, Lingga udah mau ngebujuk gue." kekeh Zulla, yang berusaha baik-baik saja padahal tidak.
Dugaan Zulla benar adanya, Lingga datang untuk membujuknya pulang. Jujur saja, Zulla salut pada Lingga yang tidak pernah lelah mengikutinya setiap Zulla datang ke rumah orang tua Becca.
"Zul, besok ujian. Mending lo pulang sekarang. Biar gue anter." ajak Lingga mengingatkan.
Tepat sekali, Zulla sudah duduk di kelas dua belas dan besok adalah ujian nasional. Selangkah lagi, Zulla bisa lulus dan menjadi mahasiswi fakultas kedokteran sesuai yang dia inginkan lalu menjadi KOAS dan mendekati Alfa.
"Gue bakal pulang, tapi gue mau pulang sendiri boleh 'kan?" tanya Zulla pada Lingga seraya memastikan kalau dirinya akan tetap baik-baik saja.
Lingga menatap Zulla lama, tapi akhirnya dia mengangguk mengiyakan dan membiarkan Zulla pulang sendiri.
"Jangan pulang malem-malem, jangan sampai besok lo enggak fokus." hanya ini pesan dari Lingga.
Sambil berusaha tersenyum, Zulla mengangguk mengiyakan peringatan dari Lingga. Meski dulu Zulla sangat kesal pada Lingga, tapi tidak lagi setelah lelaki itu perlahan-lahan bisa berubah dan tidak lagi memanggilnya My Princess.
Bukan maksudnya Zulla mau kejam, tapi Zulla juga tidak mau menerima perasaan Lingga atas dasar kasihan. Selain menyiksa dirinya sendiri, Zulla juga akan menyakiti Lingga. Jadi mereka sepakat untuk berteman saja walau beberapa kali sempat ada rumor yang menyebar bahwa mereka berpacaran. Meski begitu, antara Zulla dan Lingga juga tidak ada yang menanggapi dan hanya diam. Membiarkan orang berspekulasi dengan pikirannya sendiri-sendiri.
Lingga melihat saja Zulla pergi dari sana menuju jalan raya. Tak jauh dari sana, Zulla bisa menemukan street food yang cukup ramai oleh banyak orang terlebih remaja. Kadang kala, Zulla bisa tersenyum hanya dengan melihat tempat itu. Dulu, sering kali Zulla datang ke sana bersama Becca dan makan apa saja yang mereka mau.
"Apa lo beneran enggak kangen sama gue, Bec?" tanya Zulla lagi pada angin yang melewat.
"Seenggaknya kalau lo sakit hati sama Vanko, lo harus kembali demi gue." lanjutnya lagi.
Tanpa tujuan mau membeli apa, Zulla berjalan saja ke sana dan melihat-lihat. Mungkin saja nanti akan ada makanan yang menggoda lidahnya. Kedua sudut bibirnya kembali melengkung saat melihat sate gurita kesukaan Becca.
"Yah... Duit gue ketinggalan." desah Becca saat merogoh semua sakunya tapi tidak menemukan sepeser pun uang dari sana.
"Lo mau minjem duit gue dulu?" tawar Zulla yang kasihan juga saat melihat Becca tampak kesal karena lupa membawa uang.
"Hehehe... Boleh emang?"
Zulla mengangguk dan membiarkan Becca memesan sate gurita dengan rasa yang tidak pedas. Tanpa diduga, Becca membeli sepuluh tusuk sate gurita dan dia berniat menghabiskannya sendiri.
"Gue mau, Bec."
"Suruh siapa enggak beli. Ini buat gue semua."
"Ya elah, satu doang."
"Enggak." tolak Becca yang benar-benar tidak memperbolehkan Zulla mengambil sate guritanya meski hanya satu tusuk.
Bibir Zulla mencibir, tapi tidak dipedulikan oleh Becca. Gadis itu tetap menikmati sate guritanya tanpa merasa bersalah pada Zulla sedikit pun.
"Makan... Makan aja semua..." desahnya pasrah yang tidak berhasil mendapatkan sate gurita dari genggaman Becca.
"Hahaha... Nih buat lo satu." akhirnya Becca mengalah dan memberikan satu tusuk sate gurita pada Zulla.
"Mau saya belikan sate gurita?"
Zulla terkesiap saat mendengar ada suara berat yang menyapa gendang telinganya. Ketika menoleh ke kanan, Zulla semakin dikagetkan oleh wajah lelaki yang masih dia cintai. Hal ini berhasil membuat wajah Zulla merah merona dan secepat kilat Zulla membuang pandangan agar lelaki itu tidak menyadari akan warna merah di pipinya.
Benar. Alfa memergoki Zulla sedang berdiri cukup lama di depan tenda makanan yang menjual sate gurita. Mungkinkah ini memang takdir mereka? Selalu saja bertemu secara tidak sengaja seperti malam ini.
"Om dokter?" kekeh Zulla yang tampak kikuk.
"Ya? Saya bisa membelikan sate gurita sesuai yang kamu mau. Mumpung saya lagi baik hati." tawar Alfa lagi.
Kayaknya, gue beneran jodoh banget deh sama Om dokter. Hati Zulla tersenyum mengalami hal ini.
"Ah... Aku cuma seneng aja lihatnya, bukan maksudnya pengen."
Setelah bisa mengontrol kekagetannya, Zulla sudah bisa tertawa ringan. Setiap berada di samping Alfa, Zulla merasa dunianya berbeda 180° dari biasanya. Seolah-olah beban kesedihan yang bertumpu di pundaknya terangkat begitu saja.
Zulla tidak tahu, di ramainya tempat ini, kenapa dia bisa tidak sengaja bertemu dengan Alfa. Padahal banyak sekali orang yang ada di sana meski sekarang bukan malam minggu tapi hari ini adalah weekend.
"Seneng itu tanda pengen. Biar saya belikan beberapa buat kamu."
Tanpa menghiraukan Zulla yang bersikeras kalau dia tidak sedang ingin makan sate gurita, Alfa langsung memesan sepuluh tusuk sate gurita. Tak lama, Alfa mengajak Zulla duduk di bangku yang ada di sepanjang jalan. Semua orang berhak duduk di setiap bangku di sana karena itu memang disediakan untuk umum.
"Ini sate guritanya, gratis dan tidak usah bayar." Alfa memberikan sate itu pada Zulla tapi yang dilakukan Zulla hanya memandangnya sambil tersenyum sampai membuat Alfa bingung.
"Kenapa satenya cuma dilihatin sambil senyum-senyum begitu? Ayo dimakan."
"Sebenarnya, aku ngelihatin sate gurita tadi bukan karena aku pengen, Om." gumam Zulla masih disertai senyuman di wajah.
"Jangan bohong, kamu tidak perlu malu sama saya." Alfa masih tidak percaya pada omongan Zulla.
Meski Zulla sedang bersedih mengingat Becca, tapi setiap bersama Alfa pasti Zulla tetap bisa tersenyum seperti sekarang ini. Dia juga tidak tahu apa alasannya tapi rasanya Zulla hanya ingin tersenyum saja.
"Aku enggak bohong, Om dokter."
"Lalu, kenapa kamu ngelihatinnya sampai sebegitunya kalau kamu tidak ingin makan sate gurita?"
"Aku lagi kangen temenku, dia suka banget sama sate gurita." kata Zulla pelan sambil menatap sate yang dibeli Alfa tadi.
"Temen kamu yang tiba-tiba pergi itu?"
Bukan tanpa alasan kenapa Alfa tahu tentang hal ini. Semua itu karena dulu Zulla pernah bercerita pada Alfa kalau gadis itu sedang bersedih kehilangan teman perempuannya yang entah ke mana. Dan pertemuan mereka pun terjadi secara tidak sengaja seperti malam ini dan hari-hari sebelumnya.
Zulla mengangguk, dia berusaha kuat meski aslinya Zulla begitu penasaran ke mana Becca pergi sampai-sampai Zulla tidak bisa mendengar kabarnya sedikit pun. Bahkan orang yang bekerja membersihkan rumah orang tua Becca pun semuanya tutup mulut. Entah mereka memang tidak diperbolehkan mengatakan tentang keberadaan Becca, atau entah memang mereka juga tidak tahu di mana Becca berada.
"Mungkin saja, kepergiannya yang tanpa kabar itu bukanlah sebuah hal yang dia rencanakan." ujar Alfa membuat Zulla mengerutkan keningnya.
"Maksud Om dokter apa?"
"Bisa jadi awalnya memang dia berniat pergi untuk beberapa hari saja. Tapi karena ada hal yang mengharuskannya tetap diam di sana, yang entah di mana keberadaannya itu, jadi mau tak mau dia tetap tinggal di sana." walaupun sebenarnya Alfa juga tidak begitu yakin akan perkiraannya tentang hal ini.
"Jadi maksud Om dokter, dia semacam terjebak di sana begitu?"
"Maybe. Saya juga tidak tahu. Tapi yang pasti, kalau dia masih menganggap kamu sahabatnya, suatu saat nanti dia akan kembali lagi mencarimu."
Zulla tersenyum kecut mendengarnya. Dia tidak begitu yakin kalau Becca akan mencarinya nanti setelah mengingat kalau gadis itu pergi terlalu lama tanpa ada kabar sekalipun.
"Aku tidak punya kepercayaan diri sebesar itu untuk mengharapkan dia akan mencariku lagi. Kalau memang dia masih menganggap aku teman, pasti dia sudah menghubungiku dari lama." kekeh Zulla, merasa di dalam hatinya begitu ngilu.
"Kalau kamu masih menganggap dia sebagai temanmu, kamu harus punya rasa percaya diri yang tinggi. Memang tidak untuk sekarang, tapi mungkin untuk beberapa tahun ke depan. Siapa yang tahu?"
Zulla mengangguk, setelah dicerna dan diserap baik-baik apa yang dikatakan Alfa, ternyata ada benarnya juga.
"Wah... Enak ya jadi orang dewasa, bisa mikir secara bijak. Aku jadi pengen cepet-cepet dewasa." lagi-lagi Zulla terkekeh, tapi kali ini memang sebuah kekehan tawa yang sebenarnya.
"Jadi dewasa itu tidak ditentukan oleh umur. Banyak orang yang umurnya semakin tua tapi pikirannya tidak dewasa."
Entah yang ke berapa, Zulla mengangguk dan setuju akan perkataan Alfa. Dan Zulla juga sudah melihat beberapa orang yang tidak dewasa di usianya yang bisa dibilang matang.
"Om tahu? Hari ini, ulang tahunnya dia. Dan untuk kedua kalinya, aku enggak bisa ngucapin langsung ke dia. Aku cuma bisa berdiri di depan gerbang rumahnya, berharap kalau dia akan keluar dari sana atau dia pulang dari jalan-jalan. Tapi hasilnya masih sama, tidak ada siapa-siapa yang keluar dari rumahnya atau datang ke rumahnya selain para pekerja di sana yang mengurus rumah itu." curhat Zulla lagi kembali ke pembahasan awal tentang Becca.
Selama apa pun Zulla berdiri di depan gerbang rumah orang tua Becca, Zulla tidak juga menemui apa pun dan siapa pun yang bisa mencerahkan kekhawatirannya. Meski begitu, Zulla tetap melakukannya beberapa kali seolah hari kemarin dia belum melakukan hal itu.
"Kalau gitu, mari kita rayakan ulang tahun temanmu itu bersama saya." ajak Alfa.
Tak paham lagi, Zulla merasa kalau Alfa memang dihadirkan oleh Tuhan untuk menghiburnya. Bahkan sebenarnya, Zulla tidak berani merayakan ulang tahun Becca sendirian. Tapi sekarang, Alfa mengajaknya dan membuat Zulla merasa sedikit memiliki kekuatan.
"Om yakin?"
"Sangat yakin."
Kepala Zulla mengangguk, dia mau kalau Alfa yang menawarinya.
"Saya cari kue dan lilin dulu. Tunggu di sini sebentar ya."
Pandangan Zulla tak lepas dari kepergian Alfa yang katanya akan mencari apa yang barusan Alfa sebut. Dalam hati, Zulla menyukai keputusannya tadi yang memilih pulang sendiri ketimbang diantar Lingga. Coba kalau tadi dia menerima ajakan Lingga buat pulang, pasti tidak akan bertemu dengan Alfa di sini.
Lima menit berlalu, Zulla bisa melihat Alfa berjalan ke arahnya sambil membawa sesuatu. Sebuah keresek berisi kardus martabak diletakkan oleh Alfa ke hadapan Zulla. Bahkan lelaki itu juga membeli minuman untuk mereka berdua.
"Tidak ada yang menjual kue di sini, jadi saya putuskan buat membeli martabak manis saja. Dan buat lilinnya juga tidak ada yang jual, akhirnya saya beli lilin yang sudah terpakai milik penjual martabak." kata Alfa sambil nyengir kuda.
Tanpa diduga, Zulla tertawa melihat ini dan memaklumi karena memang tidak semua pedagang menjual lilin. Sampai akhirnya, Alfa menyalakan lilin itu menggunakan korek bekas yang juga dia beli dari pedagang martabak. Sebelum meniup lilin, Zulla memberikan wish birthday untuk Becca.
Bec, kalau semisal lo beneran terjebak di tempat yang enggak gue ketahui di mana keberadaan lo sekarang. Gue harap, lo tetap baik-baik saja. Gue selalu berdoa buat kesehatan lo dan kebahagiaan lo. Kalau semisal nanti lo balik ke sini, gue mau lo nemuin gue dan kasih gue kesempatan buat bilang maaf ke lo.
Kira-kira, seperti itulah doa yang dipanjatkan Zulla untuk Becca di hari ulang tahun temannya itu. Dan sekarang, Zulla berhasil memadamkan api lilin itu dalam sekali tiup.
Alfa memberikan tepuk tangan pelan untuk Zulla lalu mengambil satu potongan martabak manis dan dia berikan pada Zulla lalu dia mengambil untuk dirinya sendiri. Dalam keheningan, Alfa bertanya-tanya dalam hati tentang hal yang tidak dia mengerti.
Kenapa gue mau ngelakuin ini? Heran Alfa dalam hatinya.
"Om, makasih ya mau udah ngelakuin ini buat aku. Sekarang, aku merasa jauh lebih baikan ketimbang tadi. Padahal sebenarnya, aku enggak punya keberanian buat ngerayain ulang tahunnya Becca sendirian." ujar Zulla membuyarkan lamunan Alfa.
Saat Alfa tersenyum dan menampilkan lesung pipinya, Zulla sama sekali tidak bisa memalingkan pandangannya ke arah lain. Apa yang ada di wajah Alfa adalah salah satu alasan tersendiri buat senyuman di wajah Zulla.
"Ini hanya kebetulan saja. Lagi pula, saya juga jenuh di rumah dan malas kalau jalan-jalan sendirian." desah Alfa sambil membersihkan tangannya menggunakan tisue basah yang dia beli tadi.
"Om dokter 'kan bisa ngajak pacarnya jalan-jalan." kekeh Zulla yang sebenarnya memancing Alfa untuk mengakui statusnya.
Zulla hanya ingin memastikan apakah lelaki yang dia sukai itu masih sendiri atau statusnya sudah berubah. Sejujurnya, Zulla sedikit salut karena dari dia masih SD sampai sekarang, Alfa masih melajang.
"Hah... Pacar apanya? Saya tidak punya pacar apalagi pasangan yang bisa saya ajak jalan."
Terdengar jelas kalau Alfa mendesah, seolah-olah dia bosan akan kehidupannya yang masih saja sama dari tahun ke tahun.
Tunggu sebentar lagi, Om. Kalau nanti aku resmi jadi mahasiswi dan ada kesempatan buat deketin Om dokter, aku akan berusaha membuat Om mengakhiri masa lajang itu. Tekad Zulla dalam hati untuk mendapatkan Alfa masih sama seperti dulu.
"Kalau cewek yang kira-kira suka sama Om, gimana? Ada enggak?" lanjut Zulla yang masih penasaran, siapa perempuan yang sekiranya ada di dekat Alfa.
"Yang suka sama saya?"
"Ya..."
Lagi-lagi, Alfa terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. Lelaki itu yakin kalau tidak ada perempuan yang sedang menaruh hati padanya.
Ish... Aku punya hati buat Om dokter! Jerit Zulla yang hanya berani dalam hati saja.
"Ini sudah malam, ayo saya antar pulang. Sekalian saya juga mau pulang." ajak Alfa setelah melihat jam yang melingkar di tangan kirinya ternyata sudah jam delapan.
"Hehehe... Enggak ngerepotin, Om?" cengirnya yang masih saja malu-malu.
"Kamu ini, sudah sering saya mengantar kamu pulang." kekeh Alfa.
Akhirnya Zulla mengangguk dan ikut Alfa menuju tempat di mana lelaki itu memarkirkan kendaraan roda empatnya sambil membawa kardus berisi martabak manis dan sate gurita yang tadi dibeli Alfa.
***
Next...