Acak-acakan. Dua kata yang menggambarkan kamar Becca malam hari ini. Dari sore tadi, kedua gadis itu dihebohkan oleh acara besok di sekolah. Malam minggu besok akan ada acara pesta ulang tahun sekolah yang kelima puluh tujuh tahun. Setiap tahunnya memang selalu dirayakan. Tapi yang membedakan, di acara nanti akan ada reuni akbar dari alumni pertama sampai alumni tahun kemarin. Jadi pasti akan ramai sekali. Bahkan mungkin ada yang datang antara orang tua dan anaknya karena mereka sama-sama alumni dari SMA Vertusa.
Karena itu adalah sekolah yayasan, dari TK sampai SMA. Jadi khusus tahun ini diadakan dalam satu bulan. Di minggu pertama, dari tingkat SMA dulu. Baru minggu depan dari tingkat SMP dan seterusnya. Karena memang konsepnya reuni akbar untuk tingkat SMA. Jadi tidak bisa digabung seperti tahun-tahun sebelumnya. Untuk tingkat TK-SMP sendiri, Zulla dengar hanya akan diadakan study tour sesuai tingkat pelajaran mereka.
Di kamar Becca, ada banyak sekali barang-barang cewek berserakan. Dari pakaian, aksesoris rambut, tas, sepatu dan make up. Lingga hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah mereka berdua. Sementara Vanko, lelaki itu sedang menikmati waktu rebahannya di atas ranjang sang kekasih. Vanko seperti orang tidur tapi setiap diajak bicara selalu menyahut.
"Sumpah, gue tu enggak ngerti sama sekali sama cewek ya. Mau ke pesta besok malem aja ribetnya dari sekarang." Lingga mendesah entah yang ke berapa.
"Ya 'kan namanya cewek tu harus kelihatan cantik." sahut Zulla sambil menatap wajahnya di cermin.
Memang, jarang-jarang sekali mereka berkumpul di dalam kamar Becca seperti ini. Biasanya kalau mereka ke rumah Becca, yang ada mereka hanya berkumpul di ruang tamu atau teras. Walau ini juga bukan yang pertama.
Semua kamar Becca dipenuhi oleh warna merah muda. Kesukaannya pada warna itu begitu terlihat dari barang-barang yang mayoritasnya berwarna pink. Karena itu jugalah, kenapa Vanko memanggil Becca dengan sebutan My Pinky.
"Eh tapi, gue cuma punya alat make up doang. Gue enggak bisa makenya." cengir Becca sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Zulla mendesah, mereka saling tatap karena sama-sama tidak tahu caranya memakai make up. Ya maklum saja, namanya juga anak remaja yang belum kenal skincare.
"Terus kalau lo enggak bisa pakai make up, kenapa peralatan dandan lo komplit banget kek begitu My Pinky?"
Kedua gadis itu sama-sama menoleh ke arah Lingga yang tiba-tiba memanggil Becca dengan sebutan My Pinky.
"Cuma gue yang boleh manggil Becca, My Pinky." sela Vanko masih dalam posisi yang sama.
Mata Becca melotot ke arah Lingga sampai lelaki itu hanya nyengir kuda sambil mengucapkan maaf.
“Semua alat make up itu nyokap gue yang beliin.” desah Becca yang kembali ingat kalau mamanya sangat ingin Becca bisa bermain make up.
Mereka lanjut heboh dengan obrolan tentang rencana ke pesta besok. Malam ini, Zulla memutuskan buat menginap di rumah Becca. Dan tak lama, Lingga pamit pulang karena harus membantu mamanya membuat kue pesanan ibu-ibu arisan. Begitu pula dengan Vanko yang juga pamit. Lelaki itu merasa kurang nyaman sendirian berada di antara dua gadis. Kini tersisa Zulla saja yang masih ada di kamar Becca.
Kebetulan, malam ini mereka tadi sudah makan di bawah. Becca dan Zulla juga sudah mandi saat baru sampai tadi. Di kamar Becca, Zulla merasakan suasana baru. Ini pertama kalinya Zulla menginap di rumah Becca.
"Kalau gue tahu nginep di rumah temen bakal seasik ini, gue pasti udah nginep dari dulu."
Zulla merebahkan badannya ke ranjang yang tadi bekas dipakai oleh Vanko. Pengalaman pertama bagi Zulla menginap di rumah teman dekatnya. Tapi dia sedikit takut kalau tidak bisa tidur nantinya.
"Lo boleh nginep di sini kapan aja kalau lo mau." sahut Becca ikut berbaring di samping temannya.
"Asli gue boleh nginep di sini kapan aja semau gue?" Zulla tampak antusias akan tawaran Becca.
"Eum... Boleh."
Becca mengangguk sambil membalikkan badannya jadi tengkurap dan mengangkat setengah badannya menatap Zulla. Dia tersenyum pada Zulla, tak menyangka kalau pertemanan mereka sudah selama ini tapi ini pertama kalinya Zulla menginap di rumahnya.
"Bonyok lo enggak akan marah?"
Zulla mengikuti Becca, tapi bedanya dia memberikan tumpuan pada dagunya menggunakan salah satu bantal milik Becca.
"Ngapain bonyok gue marah, mereka malah seneng kalau gue ada temen di rumah." kekeh Becca membuat Zulla ikut senang.
"Oke, nanti gue bakal lebih sering nginep di sini kalau lagi ada perlu." kikik Zulla sambil membayangkan kalau dia selalu mendapat izin dari Marsel dan Alexa.
Kedua gadis itu lanjut bercerita ini dan itu, sampai tak terasa mereka sudah terjaga sampai pukul sebelas malam. Padahal biasanya, jam sembilan malam Zulla sudah tidur. Tapi entah kenapa, saat bersama Becca rasanya enggan berhenti bercerita. Seakan-akan tidak ada lagi hari esok buat Zulla untuk berbagi dengan teman dekatnya itu.
***
Tepat seperti dugaan Zulla kemarin. Pesta perayaan ulang tahun sekolah sekaligus reuni akbar, acaranya sangat ramai. Dari tadi, mereka terus mendengarkan cerita dari para alumni yang lulus di lima tahun pertama dari SMA Vertusa. Dan sekarang saatnya acara dansa.
Semua orang bergembira saat musik dansa diputar. Terlebih bagi para pasangan yang memang menantikan momen seperti ini. Tapi sayang, salah satu pasangan yang begitu mengguncang sekolah tidak melakukan dansa bersama.
Zulla tidak tahu kenapa tiba-tiba Vanko mengajaknya ke samping sekolah yang sedikit sepi dari orang-orang. Di sana tidak ada siapa-siapa meski suasananya begitu terang oleh lampu-lampu.
"Lo apa-apaan sih, Van? Ngapain juga lo ngajak gue ke sini?" kesal Zulla.
Tanpa disangka-sangka, Vanko mengatakan apa yang seharusnya tidak dia katakan pada Zulla. Di malam itu, tanpa disangka terjadilah perdebatan antara Zulla, Vanko dan Becca. Tapi Becca lebih banyak diam saja.
Apa yang dikatakan Vanko, tidak bisa diterima oleh Zulla. Gadis itu memilih pergi dari area sekolah dan pulang. Dia marah pada Becca dan Vanko. Tangisnya keluar di dalam taksi. Zulla hanya ingin secepatnya sampai rumah dan berusaha melupakan semuanya.
"Mereka tega banget sih sama gue." gumam Zulla lirih sambil sesekali menghapus air matanya yang membasahi pipi.
Tak lama, Zulla merasakan ponselnya berdering. Bisa Zulla lihat kalau orang yang meneleponnya itu adalah Lingga. Zulla tidak ada niat sama sekali buat menerima panggilan itu. Dia masih dalam kuasa emosi yang meluap-luap.
Pokoknya, Zulla hanya ingin segera sampai di kamarnya. Menangis sampai dia lega dan berusaha melupakan apa yang dia dengar tadi. Atau malah, Zulla akan berusaha tidur langsung agar besok saat bangun suasana hatinya sudah membaik. Walau sebenarnya Zulla juga tidak yakin akan semudah itu mengabaikan.
***
Mata Zulla bengkak karena menangis semalaman. Dia tidak bisa tidur karena memikirkan Becca. Perasaan Zulla sekarang antara merasa bersalah, kasihan dan marah pada Becca menjadi satu. Gadis itu berusaha memijat wajahnya saat sedang cuci muka agar tidak terlalu bengkak. Karena jujur saja, Zulla sedikit malu keluar kamar kalau semisal orang rumah melihatnya. Tapi untunglah, tadi Zulla mendengar dari asisten rumah tangga bahwa Marsel membawa Alexa serta dua adiknya ke rumah nenek Zulla. Sebenarnya, Alexa juga sudah mengajak Zulla tadi pagi. Tapi gadis itu beralasan lelah karena acara semalam. Jadilah, Alexa juga tidak bisa memaksa. Sementara Yudha, adiknya itu sedang latihan renang dari seminggu lalu.
Barusan, Zulla mendengar bahwa Lingga datang ke rumah. Pasti lelaki itu khawatir akan kondisinya karena mengingat semalam Zulla juga pergi begitu saja. Zulla tentunya akan menemui Lingga yang sudah menunggu sekitar dua menit.
Setelah memastikan kondisi wajahnya jauh mendingan, Zulla segera mengganti pakaian dan turun menuju halaman samping rumah. Di sana ada gazebo yang nyaman dipakai untuk berbincang ringan. Terlebih lagi, kalau di depan atau di ruang tamu rasanya kurang nyaman.
Dari kejauhan, Zulla melihat Lingga sudah menunggunya. Perlahan-lahan, Zulla mendekati Lingga yang sedang menikmati pemandangan di samping rumahnya.
"Sorry, udah bikin lo nunggu lama." ujar Zulla.
Bahkan bisa Lingga dengar jelas kalau suara Zulla masih serak akibat menangis semalaman. Melihat mata bengkak gadis yang dia sukai, Lingga tampak bersedih. Dia mengajak Zulla duduk di sana dan berusaha tersenyum agar Zulla ikut senyum sepertinya.
"Ya ampun My Princess, wajah cantik lo." Lingga begitu prihatin melihat Zulla yang tampak mengenaskan.
"Lo ke sini mau menghibur gue?" Zulla berusaha terkekeh meski sebenarnya sulit.
"Don't cry, My Princess."
Tanpa Zulla sangka, Lingga memberinya sebuah sapu tangan berwarna biru langit. Dengan senang hati, Zulla menerima sapu tangan itu dan mengelap matanya menggunakan sapu tangan pemberian Lingga.
"Gue yang keterlaluan atau mereka yang keterlaluan?" tiba-tiba saja Zulla bertanya seperti ini pada Lingga.
Lelaki yang mengaku sangat pandai memasak itu hanya mengedipkan kedua matanya berulang kali secara cepat. Seolah sedang menelaah dan memutuskan siapa yang salah dan benar.
"Ya menurut gue, kalian enggak sepenuhnya salah dan enggak sepenuhnya benar juga. Becca dan Vanko udah tahu konsekuensinya tapi mereka tetap lanjut dengan pemikiran mereka sendiri-sendiri. Sedangkan lo, sebagai teman terdekat mereka kurang peka atas apa yang terjadi di antara mereka sebenarnya. Tapi ya mereka melakukan itu punya alasan masing-masing, termasuk lo juga pasti punya alasan tersendiri."
Kata-kata Lingga terngiang di telinga Zulla. Sampai sekarang, Zulla belum berani menghubungi Becca meski sebenarnya dia ingin.
"Pokoknya lo tenangin diri lo aja dulu, untuk urusan Becca sama Vanko, bisa dibicarain lagi nanti-nanti. Masih banyak waktu, Zul."
Usulan dari Lingga membuat Zulla mengangguk. Lelaki itu langsung pamit karena dia mengaku bahwa kedatangannya barusan hanya untuk sekedar memastikan kondisi Zulla saja. Setelah melihat Zulla bisa dibilang baik-baik saja, Lingga merasa sedikit lebih tenang.
***
Minggu telah usai, kini para murid SMA Vertusa sudah mulai belajar kembali sesuai jadwal pada biasanya. Tapi di kelas Zulla dan Vanko, di sana ada yang berbeda. Bangku di sebelah Vanko kosong. Becca tidak masuk sekolah hari ini dan itu membuat Zulla cemas.
"Ada yang tahu Becca ke mana?" tanya guru yang mengajar hari ini.
Semuanya diam, tidak ada yang menyahut karena memang tidak ada yang tahu.
"Vanko, kamu tahu ke mana Becca?" karena guru yang mengajar juga tahu kalau Vanko adalah pacarnya Becca, jadi lelaki itu yang menjadi sasaran utama mendapat pertanyaan.
"Tidak, Bu." sahutnya lirih.
"Zulla...?" kini ganti ke Zulla.
"Saya enggak tahu, Bu." Zulla pun menggelengkan kepalanya pelan.
Tidak ada surat keterangan yang datang dari pihak Becca sampai-sampai absen Becca pada hari ini statusnya alpa. Zulla jadi semakin merasa bersalah, kenapa tidak dari kemarin dia menghubungi Becca.
Pelajaran berlanjut, Zulla menjalani dengan setengah hati kali ini karena memang tidak tenang akan keberadaan Becca. Sampai-sampai, tak terasa dua mata pelajaran sudah berlalu. Bel istirahat pertama sudah berbunyi. Semua murid berbondong-bondong keluar kelas menuju kantin. Tapi tidak dengan ketiga remaja yang dua di antaranya diselimuti emosi.
"Ke mana Becca?" tanya Zulla sedikit emosi pada Vanko.
"Gue enggak tahu." jawabnya ogah-ogahan.
"Bisa-bisanya ya lo, enggak tahu ke mana cewek lo setelah kejadian malam itu? Emang b******k tahu enggak lo jadi cowok." pertama kalinya Zulla mengumpati Vanko.
Lingga tak menyangka kalau Zulla bisa juga berkata kasar pada Vanko. Padahal Lingga kira, Zulla tidak akan semarah ini pada lelaki berdagu tirus itu.
Mendengar Zulla mengumpatinya seperti ini, Vanko hanya tersenyum sinis dan acuh tak acuh. Dia mengabaikan Zulla dan lebih memilih fokus ke ponselnya sendiri bermain game.
"Wah... Gue udah salah ngira kalau lo itu cowok baik. Nyesel gue udah menganggap lo kayak gitu." desah Zulla lalu mengajak Lingga keluar kelas agar tidak terlalu emosi hanya karena melihat Vanko tak peduli pada Becca.
***
Satu hari sudah selesai, sampai akhirnya satu minggu terlewati dan satu bulan pun berlalu. Becca tak kunjung datang ke sekolah. Bahkan wali kelas dan guru BP pun sampai mendatangi kediaman Williams, tapi hasilnya nihil. Rumah itu tampak kosong tak berpenghuni.
Zulla kelabakan mencari keberadaan Becca yang tidak tahu di mana. Nomor ponselnya pun tidak aktif, meski berulang kali Zulla menghubunginya. Zulla juga beberapa kali datang ke rumah Becca, memanggilnya di depan gerbang tanpa bisa dihitung lagi berapa kali bibirnya menyerukan nama Becca. Namun teman baiknya itu juga tak ada muncul walau hanya sekali.
Seperti hari ini, Zulla datang ke rumah Becca dan memanggilnya di depan gerbang berkali-kali. Gadis itu tidak sendiri, dia pergi bersama Lingga.
"Becca! Bec! Becca!" panggil Zulla seraya meletakkan kedua telapak tangannya di samping bibirnya supaya suaranya bisa terdengar lebih jelas.
Di saat Zulla begitu serius memanggil Becca, gadis itu tidak sengaja melihat mobil yang dia kenal parkir di kejauhan dan orangnya tampak sedang memperhatikannya. Senyum sinis tercetak di wajah Zulla, dia berjalan dan mendekati mobil itu.
"Turun lo!" sentak Zulla pada Vanko.
Mau tak mau, Vanko turun dari mobil. Tak ada kata dari Vanko, dia hanya diam saat berjalan ke arah Zulla.
"Semua ini gara-gara lo ya! Kalau lo enggak egois dan nyakitin Becca, dia enggak akan pergi begitu aja!" sentak Zulla pada Vanko yang memang sangat marah.
"Gue enggak ngerasa salah. Beccanya aja yang lebay pakai sok-sokan hilang tanpa kabar biar diperhatiin. Dia aja yang serakah. Dan gue juga enggak bisa ngatur perasaan gue buat siapa." Vanko masih membela dirinya sendiri.
Hati Zulla semakin panas mendengar apa yang Vanko katakan. Lelaki itu seolah-olah menyudutkan dan menganggap bahwa semua ini salah Becca.
"Lo mikir dong, empat tahun kalian pacaran. Terus lo enggak ada perasaan apa-apa gitu ke Becca? Tega lo jadi cowok ya."
"Salah gue di mana? Gue udah bersikap baik sama Becca selama ini. Gue enggak pernah nyelingkuhin dia, gue enggak pernah kasar sama dia kecuali malam itu."
Zulla terkekeh sinis mendengarnya. Lingga berusaha menghentikan perdebatan mereka berdua, tapi lelaki itu kalah oleh Zulla dan Vanko.
"Apa aja yang udah lo lakuin sama Becca?" dengan berat hati Zulla menanyakan hal ini.
"Kenapa lo nanya tentang itu? Kepo banget lo sama sejauh mana hubungan gue sama Becca?" kekeh Vanko.
Tangan Zulla terkepal kuat-kuat. Ingin sekali rasanya gadis itu meninju wajah tampan Vanko yang mulus tanpa bekas luka.
Kedua remaja itu benar-benar tidak memerhatikan tempat. Mereka berdebat di pinggir jalan. Meski tidak ada yang memerhatikan mereka, tapi tetap saja hal ini tidak pantas.
"Gue nanya, sampai mana hubungan lo sama Becca?"
"Bentar gue inget-inget." Vanko sepertinya memang sengaja mengulur waktu agar Zulla semakin kesal.
"Jangan bercanda lo sama gue."
"Kalian bisa udahan enggak sih? Malu kalau sampai ada yang lihat." geram Lingga sambil meremas rambutnya sendiri mendengar pertengkaran antar sahabat itu.
Akhirnya, Lingga yang diam sendiri karena dia mendapat pelototan dari Zulla dan Vanko.
"Gue tanya sekali lagi, sejauh mana hubungan lo sama Becca?"
"Enggak jauh-jauh amat, temen lo itu bener-bener tahu caranya menjaga diri dari laki-laki. Jadi belum banyak yang gue dapetin dari dia. Cuma bibirnya aja, bahkan gue belum sempet ngeremes dadanya meski dari luar baju seragamnya."
Mata Lingga melebar mendengar perkataan Vanko yang begitu terang-terangan pada Zulla. Tak menyangka kalau ini akan menjadi perdebatan sengit antar mereka. Zulla vs Vanko. Tak terbayangkan pada awalnya.
Plak!
Satu tamparan dari Zulla mendarat di pipi kiri Vanko. Tapi malah Zulla melihat Vanko tertawa sambil mengusap pipinya yang bekas tamparan.
"Emang cowok enggak tahu diri ya lo."
"Gue tahu diri banget malah. Kalau gue enggak tahu diri, Becca udah gue ajak tidur bareng dari lama."
Plak!
Lagi-lagi Vanko mendapat tamparan dari Zulla. Amarah gadis itu benar-benar sampai di puncaknya melihat Vanko sangat tidak merasa bersalah atas perginya Becca begitu saja yang entah ke mana tak ada yang tahu.
"Setidaknya kalau lo mau mainin Becca, jangan pernah sentuh dia sedikit pun dan jangan mainin dia selama ini. Lo cowok paling b******n yang pernah gue kenal."
Usai mengatakan hal itu, Zulla langsung pergi begitu saja. Sementara Vanko, lelaki itu hanya menatap sinis kepergian Zulla dan kembali ke mobilnya. Pandangan Vanko kembali terfokus ke arah gerbang rumah Becca yang senantiasa tertutup.
Lingga, dia tentu saja mengejar Zulla. Usai melihat perdebatan Zulla dan Vanko barusan, bisa Lingga tebak kalau permusuhan mereka bisa berlangsung cukup lama. Bisa jadi sebelum Becca kembali, maka mereka belum juga baikan.
***
Next...