Ketika melihat daftar namanya berada di paling atas sebagai siswi yang lulus dengan nilai tertinggi, Zulla berteriak senang. Usaha memang tidak pernah mengkhianati hasil. Kerja keras dan pengorbanan Zulla selama satu bulan terakhir ini untuk mempertaruhkan waktunya buat lebih banyak belajar tidak mengecewakannya.
Wajah Zulla dihiasi oleh senyuman. Dia bertaruh, dengan nilai sebagus itu, pasti dia akan bisa dengan mudah masuk ke fakultas kedokteran seperti yang dia inginkan selama ini. Mengikuti jejak ayahnya adalah hal yang paling diinginkan Zulla sejak kecil.
"Selamat, gue ikut seneng." tiba-tiba lamunan Zulla dibuyarkan oleh kedatangan Lingga yang entah dari mana.
Guna mengungkapkan rasa bahagianya, Zulla menghambur ke pelukan Lingga sehingga membuat lelaki itu merasa jantungnya berdebar-debar tak karuan. Tapi Lingga juga tidak bisa menghentikan tindakan Zulla yang terlihat begitu bahagia.
"Dengan nilai itu, gue yakin bisa masuk ke fakultas kedokteran." kata Zulla lirih masih dalam posisi memeluk Lingga.
Tanpa Zulla sadari, dari kejauhan ada seorang lelaki yang melihatnya tanpa berpaling seolah sedang mengawasinya tanpa henti. Dia tersenyum kecut melihat pemandangan itu. Tangan kanannya yang dipakaikan gelang rantai mengepal kuat-kuat. Seolah sedang melampiaskan kemarahannya tapi tak lama, dia kembali bersikap seperti biasa.
Gue akan mencoba mengikhlaskan lo dengan kebahagiaan yang lo pilih, Zul. Batin lelaki itu tanpa mengalihkan pandangan dari Zulla ke arah lain.
Sementara Zulla sendiri, dia masih saja memeluk Lingga erat. Sampai akhirnya, Zulla melepaskannya sendiri ketika sadar ini masih di sekolah dan banyak teman seangkatannya di sekitar sana. Zulla takut saja kalau nantinya ada rumor kedekatan mereka lebih dari teman meski setelah dirinya resmi menjadi alumni SMA Vertusa.
"Sorry... Gue terlalu seneng." cengir Zulla seraya menggaruk tengkuk belakangnya yang terasa tidak nyaman karena tidak gatal.
"Enggak apa-apa, gue ngerti kok." angguk Lingga.
Banyak teman seangkatan Zulla yang juga menerima kelulusan kali ini berlari ke arah lapangan basket. Mereka saling menyemprotkan pilox berwarna-warni ke seragam yang tidak akan mereka pakai lagi. Tak beda jauh dengan Lingga yang juga mengeluarkan dua pilox warna hijau muda dan merah. Tapi ternyata, Zulla juga memberi kejutan kecil dengan mengeluarkan spidol permanen berwarna biru dan hitam.
"Oke... Kita semprotin semuanya. Habisin semua, jangan sampai tersisa." Lingga begitu antusias, dan tanpa aba-aba dia langsung menyemprotkan pilox hijau muda ke seragam Zulla.
Tidak ada guru yang melarang hal ini. Semua guru hanya tersenyum dan turut merasa senang karena tidak ada murid yang tertinggal. Semuanya dinyatakan lulus dan akan mendapatkan ijazah.
Kebanyakan murid melakukan hal itu, mewarnai seragam dengan pilox menggunakan semua warna. Meninggalkan tanda tangan dari teman sekelas atau juga dari teman yang akrab, teman satu ekstrakurikuler dan hal itu ditentukan oleh mereka. Tapi ada juga beberapa murid yang memilih diam dan tidak membiarkan seragam mereka kotor agar bisa disumbangkan.
Tak beda jauh dengan Zulla. Seragamnya sudah penuh oleh beberapa warna dan tanda tangan. Begitu pula gadis itu juga memberikan tanda tangannya ke teman-teman yang memintanya.
Sampai tak sadar, tiba-tiba Zulla akan memberikan tanda tangannya di punggung Vanko. Di waktu bersamaan, Vanko membalikkan badannya dan mereka saling temu pandang. Sudah lima belas bulan tidak saling bicara, menyapa apalagi bercerita, membuat mereka berdua sama-sama canggung dengan sendirinya.
"Kalau lo enggak mau gue kasih tanda tangan, gue juga enggak peduli." Zulla sudah hampir pergi tapi Vanko berusaha menghentikan Zulla dengan kata-katanya.
"Lo temen gue dari lama, mana mungkin gue enggak mau nerima tanda tangan dari lo. Buat kenang-kenangan gue juga, siapa tahu setelah ini kita enggak akan pernah ketemu lagi."
Langkah kaki Zulla benar-benar terhenti, dia menoleh ke belakang dan melihat wajah Vanko begitu serius. Segera saja Zulla membubuhkan tanda tangannya di seragam Vanko yang masih ada celah kosong. Setelah melakukan itu, Zulla ganti menyodorkan punggungnya ke Vanko agar dia juga mendapatkan tanda tangan kelulusan dari temannya sedari SMP.
"Gue kira lo enggak mau tanda tangan gue." kekeh Vanko sembari menyoretkan spidol berwarna merah yang dia bawa ke punggung Zulla.
"Gue juga mau." tiba-tiba Lingga datang dan ikut memperlihatkan punggungnya pada Vanko.
Tentu saja, Vanko akan memberikan tanda tangan juga di punggung Lingga dan begitu pula sebaliknya. Sudah sangat lama mereka tidak mengobrol bertiga seperti ini dan kalau dirasa-rasa, ternyata mereka tanpa sadar merindukan masa seperti ini.
"Habis ini, lo ada waktu enggak?" tanya Zulla memberanikan diri setelah merasakan respons Vanko juga tidak terlalu buruk.
"Kenapa emangnya?"
"Gue mau minta waktu lo sebentar, ada yang mau gue bicarain." Zulla berhasil mengatakannya dengan lancar.
Kening Vanko mengerut, memikirkan apa yang kira-kira akan diobrolkan Zulla dengannya. Tapi tak lama, Vanko mengangguk sekitar tiga kali.
"Boleh." kata Vanko lebih memperjelas lagi.
***
"Ini minuman buat kalian." Lingga meletakkan cup berisi es teh untuk kedua orang yang selama ini dia anggap sebagai teman dekatnya.
Zulla mengangguk dan mengucapkan kata terima kasih melewati gumaman bibirnya. Begitu pula Vanko hanya mengangguk belaka.
Sebagai orang yang paling paham sama konflik antara Zulla dan Vanko selama ini, Lingga memilih pergi dari sana dengan alasan kalau dia kebelet ke toilet. Lelaki itu ingin memberikan waktu untuk mereka berdua menyelesaikan kesalahpahaman yang sudah berlangsung lama. Entah mereka menganggapnya perang dingin atau seperti Lingga, yang meyakini bahwa semuanya hanya salah paham belaka. Tapi yang jelas, Lingga ingin mereka berdua mengobrol dengan nyaman tanpa ada dirinya.
Bunga flamboyan berjatuhan terbawa embusan angin yang menerpa tiada henti. Sehingga terlihat seperti sedang hujan api menjatuhi Zulla dan Vanko yang masih sama-sama berdiam diri. Kelopaknya sampai menghiasi juga memenuhi tempat-tempat sekitar dan tanpa sengaja, angin itu telah mempercantik beberapa bangku nan meja yang ada di sana.
Mempercantik? Mungkin saja iya.
"Gue minta maaf atas perkataan gue dulu ke lo." ujar Zulla yang pertama kali membuka suara.
Segar.
Hawa segar datang dari angin yang terus menari tanpa rupa. Bagaikan sebuah gambaran untuk perasaan Vanko sekarang. Mendengar Zulla sudah mau bicara lagi dengannya saja, membuat Vanko sudah bahagia.
"Gue juga salah. Enggak seharunya gue make kata-k********r dan merendahkan dia begitu saja." Vanko tak kuasa mengangkat kepalanya, wajahnya kini mengarah ke bawah tepat berpapasan dengan cor yang tertutup bunga flamboyan.
"Kita sama-sama salah. Tapi gue ngerti, gue sama lo juga manusia biasa yang punya emosi. Wajar aja kalau kadang emosi itu ingin menunjukkan keberadaannya kalau dia juga bagian dari kita." kata Zulla berusaha bijak sambil tersenyum secantik mungkin.
Vanko ikut tersenyum mendengar ini. Kalau dipikir-pikir memang apa yang dikatakan Zulla juga ada benarnya. Sebaik-baiknya manusia, pasti juga memiliki emosi yang ingin ditunjukkan kalau dia sedang marah.
"Gue mau, kita bisa temenan kayak dulu lagi. Gue udah kehilangan Becca yang entah di mana kita enggak ada yang tahu keberadaannya. Dia hilang bagaikan uap air yang mendidih."
"Bahkan uap air yang mendidih saja, masih bisa dirasakan hangatnya. Tapi dia enggak sama sekali." sahut Vanko tiba-tiba seraya meringis menarik sudut bibir kirinya ke atas.
Kepala Zulla menoleh ke arah Vanko, dia seolah sedang menerawang pikiran Vanko sekarang yang tak bisa dia mengerti. Lima belas bulan tidak saling menyapa dan bicara, membuat Zulla kesulitan memahami Vanko di saat ini.
"Cukup gue kehilangan Becca, jangan lo juga. Cukup satu aja yang pergi, jangan sampai dua. Cukup segini aja gue ngerasa sakitnya kehilangan temen. Gue enggak mau kehilangan temen lagi." ujar Zulla penuh kepiluan.
Bagi Zulla, menunggu Becca saja sudah membuatnya hampir setengah frustrasi. Apalagi kalau sampai dia melepaskan Vanko begitu saja.
"Gue enggak peduli lo mau suka atau masih suka sama gue. Yang gue peduliin cuma hubungan pertemanan kita. Tahu gue juga salah, baru bilang begini ke lo setelah hampir satu setengah tahun berlalu. Tapi gue enggak mau lebih terlambat lagi dan menyesali semuanya."
Entah yang ke berapa Vanko tersenyum, tapi bukan senyuman bahagia. Dia bahkan lupa, bagaimana caranya tersenyum seperti orang-orang yang terlihat gembira.
Kelopak-kelopak kecil milik bunga flamboyan masih terus berguguran. Terasa seperti berada di musim gugurnya Indonesia meski tidak ada. Jemari Vanko mengambil satu kelopak bunga flamboyan dan memainkannya. Zulla melihat Vanko memakai gelang rantai pemberiannya dulu, dia tersenyum karena ternyata Vanko memang masih menganggapnya teman.
"Gue juga enggak mau kehilangan lo sebagai temen, Zul. Sorry, karena selama ini gue terlalu pengecut dan enggak berani ngajak lo ngomong duluan."
Pengakuan adalah hal paling melegakan sepanjang hidup. Seolah-olah beban berat terangkat dari pundaknya hingga terasa begitu ringan. Ini yang dirasakan kedua remaja yang akan menginjak usia dewasa tersebut.
Zulla benar-benar merasa jauh lebih baikan. Dia sedikit menyesal, kenapa tidak dari lama dia mengajak Vanko bicara seperti ini.
"Thanks, lo udah mau maafin gue." Zulla berusaha bersikap seperti biasa walau masih sedikit canggung.
"Kita saling maafin aja." angguk Vanko.
Usai pembahasan barusan, mereka sama-sama diam seraya menikmati es teh yang tadi dibeli oleh Lingga. Antara keduanya baru sadar, kalau Lingga tidak juga kembali dari toilet.
"Gue mau ngewujudin mimpi gue buat jadi dokter, gue mau masuk ke fakultas kedokteran." Zulla memberi tahu tentang tujuan belajarnya setelah lulus dari sekolah.
"Gue ikut seneng dengernya dan gue doain, jalan lo menuju rumah sakit lancar ya." kekeh Vanko.
"Pasti. Meskipun enggak lancar, gue akan tetap berusaha untuk bisa sampai. Walaupun gue harus ketemu jalan berkerikil, bercabang, bergelombang, berlubang, jalanan batu dan juga jalanan berduri. Gue akan melewatinya sehingga gue bisa sampai di tujuan." angguk Zulla yang bertekad untuk benar-benar serius pada apa yang dia pilih.
Zulla merasa dadanya begitu sesak tapi dia tidak butuh inhaler buat membantunya kembali bernafas normal. Hal yang Zulla inginkan untuk membantu meredakan sesaknya, hanyalah mendengar keberadaan dan keadaan Becca. Tapi Zulla yakin, Vanko juga tidak tahu menahu tentang itu. Terlihat jelas dari respons Vanko tadi.
"Lo sendiri mau lanjut ke mana?"
Tentunya, niat Zulla bertanya hanya untuk tahu ke mana tujuan Vanko setelah ini. Sebagai teman, kalau pilihan Vanko positif, sudah jelas Zulla juga akan memberinya semangat balik.
"Gue masih belum tahu, tapi kayaknya gue mau ngabisin banyak waktu buat diri sendiri dulu. Gue juga bakal sulit dihubungi dan juga sulit diajak ketemu." kekeh Vanko yang juga tidak tahu apa tujuannya.
"Lo gila. Masa gue mau ngehubungin dan ngajak temen sendiri ketemu aja enggak bisa sih?" kesal Zulla.
Jelas sekali, sudah lama tidak berkumpul jadi wajar saja kalau Zulla juga merasa kangen buat kumpul-kumpul sama Vanko.
"Saat ini, gue juga enggak tahu apa maunya diri gue sendiri. Makanya, gue pengen menikmati waktu sendiri lebih banyak lagi."
Melihat senyuman di wajah Vanko, bisa Zulla ketahui kalau lelaki itu tidak sedang bercanda sekarang. Walaupun Vanko tertawa, tapi seperti ada rasa putus asa di baliknya.
Apa selama ini lo juga ngerasa kehilangan Becca, Van? Zulla bertanya dalam hatinya, karena dia juga tidak berani bertanya langsung pada Vanko.
Setelah merasa obrolan ini memang selesai, Zulla berdiri dan berjalan ke hadapan Vanko sembari mengulurkan tangannya pada teman laki-laki pertamanya. Ketika mendongak, bisa Vanko lihat dengan jelas Zulla sedang tersenyum padanya.
"Jangan mau kalah sama keadaan. Gue yakin lo bisa ngelewatinnya entah bagaimanapun lo berusaha dan berjalan." ujar Zulla yang terdengar seperti ucapan penyemangat bagi Vanko.
Dengan senang hati, Vanko menerima uluran tangan Zulla seraya berdiri. Dia mengangguk mengerti dan menarik kedua sudut bibirnya menjadi sebuah senyuman paksa.
"Thanks untuk semuanya, Zul. Terutama buat pelajaran hidup yang sudah lo beri ke gue."
Mendengar Vanko berkata bagaikan orang dewasa, hal itu membuat Zulla tertawa terbahak-bahak meski tidak sampai membuat perutnya sakit.
"Lo ngomong kayak gini, udah kayak orang mau mati aja tahu enggak?" kekeh Zulla mencoba bercanda lagi seperti dulu.
Vanko ikut tertawa mendengarnya. Sedikit ngeri juga Zulla membawa-bawa tentang kata mati.
"Hahaha... Pokoknya thanks buat semuanya." katanya lagi.
Kepala Zulla mengangguk beberapa kali lalu mereka saling melepaskan jabat tangan dan Zulla melihat ke sekeliling. Area sekolah sudah sepi, entah ke mana teman-teman mereka pergi. Saking sibuknya berbincang dengan Vanko tentang masa lalu, Zulla sampai tak sadar kalau sekolahan sudah benar-benar sepi.
Keduanya memutuskan untuk pulang. Tidak ada acara Vanko mengantar Zulla pulang karena gadis itu akan pulang bersama Lingga. Vanko tidak tahu kalau hal ini akan terjadi, Zulla bisa lebih dekat dan berhubungan baik dengan Lingga setelah kejadian pertengkaran kecil yang melibatkan seorang gadis yang tak diketahui keberadaannya hingga detik ini.
Mereka benar-benar berpisah di tempat parkir. Zulla masuk ke mobil Lingga dan mendesah pelan. Bisa Lingga tebak kalau desahan itu adalah desahan kelegaan karena masalah dengan Vanko sudah beres.
"Sorry, tadi gue beneran kebelet terus pas mau balik ke sana, gue ngerasa enggak enak kalau ngeganggu lo sama Vanko yang lagi serius." kata Lingga mencari alibi yang sekiranya tidak akan dicurigai oleh Zulla.
Mendengar alasan yang diberikan Lingga, gadis itu hanya tersenyum dan pura-pura percaya. Padahal, Zulla tahu alasan sebenarnya kenapa tadi Lingga pamit ke toilet. Sambil memakai sabuk pengaman, Zulla mengangguk paham.
"Kita pulang sekarang?" tanya Lingga memastikan.
Pertanyaan Lingga berputar di otak Zulla selama berulang-ulang seolah dia sedang memutuskan untuk apa sekarang. Lelaki itu masih sibuk dengan ponselnya dan memainkan gim.
"Boleh ke pantai dulu enggak sih?"
Meski sebenarnya ingin, tapi Zulla memilih bertanya. Takutnya kalau Lingga kurang setuju dengan kemauannya.
"Boleh, 'kan gue udah nanya. Jadi terserah lo mau ke mana dan gue siap." angguk Lingga.
Benda pipih yang sedari tadi dipijit oleh Lingga itu kini dia masukkan ke dalam tas. Zulla tersenyum senang melihatnya. Meski Lingga hanya teman, tapi lelaki itu selalu memprioritaskan dirinya ketimbang gim. Tidak seperti lelaki biasanya, yang meski sudah berpacaran tapi yang dipentingkan hanya permainan di ponselnya saja.
"Kita ke pantai sekarang. Let's go!" teriak Lingga.
Dengan senang hati dan penuh semangat, Lingga meninggalkan area parkir sekolah. Hari ini adalah hari terakhirnya parkir di sana sebagai pelajar. Besok-besok kalau mobilnya parkir di tempat parkir sekolah lagi, statusnya sudah berbeda.
"Tawaran jalan-jalan kali ini, anggep aja sebagai hadiah dari gue karena lo sudah berhasil melewati masa sulit di sekolah selama satu tahun setengah ini." jujur Lingga atas niatnya.
"Thanks, karena lo udah mau jadi temen gue meski sering banget gue perlakukan kurang baik." kekeh Zulla.
"Ish... Enggak usah bilang begitu. Nanti gue minta lo jadi cewek gue lagi, kalau lo ngomong kek gitu lagi." kini ganti Lingga yang terkekeh.
Benar sekali. Zulla tahu kalau Lingga juga punya rasa padanya seperti Vanko. Tapi entah kenapa, Zulla lebih menghargai perasaan Lingga ketimbang Vanko.
Berulang kali Lingga mengungkapkan sayang pada Zulla. Tapi tanggapan Zulla tetap saja penolakan halus.
"Sorry, gue enggak bisa bales perasaan lo." ujar Zulla sedikit merasa bersalah.
"Apaan sih lo? Biasa aja kali. Gue juga enggak minta buat lo bales perasaan gue kok." kekehnya masih sambil fokus menyetir.
“Udah biasa juga ditolak.”
Kata-kata Lingga barusan berhasil membuat Zulla terbahak-bahak. Keduanya tertawa bersama sekarang mengingat kalau memang sering sekali Zulla menolak Lingga. Ini salah satu hal yang membuat Zulla jadi nyaman dan suka memiliki teman seperti Lingga. Dia tersenyum dan mengangguk mengiyakan kata-kata Lingga.
***
Next...