1. Gadis Kecil
Di tengah malam begini, pihak rumah sakit dihebohkan oleh seorang pasien yang ternyata adalah istri dari seorang dokter di rumah sakit swasta bernama Xim Medika Hospital. Bisa dibilang heboh karena di malam hari ini ada sekitar lima perempuan di dalam ruang bersalin dan kekurangan dokter obgyn. Hanya ada satu dokter yang membantu proses persalinan.
"Ish... Dokter yang lainnya ke mana sih, sus?" dokter tampan itu sangat khawatir melihat istrinya sudah hampir kewalahan menahan rasa sakit.
"Sebentar dok, sabar dulu." sahut seorang suster yang juga berusaha menenangkan keluarga pasien lain.
Tak lama, seorang perempuan yang juga sebagai dokter datang menuju ke arah suami pasien yang tak lain adalah Marsel Fabiano. Dokter wanita itu adalah Fana, dia berjalan terburu-buru mendekati Marsel.
"Ayo saya bantu proses persalinannya." ujar Fana sambil menatap Marsel.
Marsel tidak tega melihat istrinya kesakitan, tapi mau bagaimana lagi. Namanya juga orang mau melahirkan, di mana-mana pasti merasa sakit. Fana sudah bersiap, ada dua orang suster juga yang membantu. Marsel berdiri di samping istri tercintanya dengan harapan bayi mereka lahir selamat serta tidak kurang suatu apa pun.
"Ayo Bu, ikuti instruksi saya ya." pandu Fana.
"Tarik nafas, buang, tarik lagi..." kata Fana yang bersikap tenang meski sedang dilanda kebingungan.
Dua orang suster tadi membantu mengelap peluh di pelipis Fana dan mengontrol alat medis lainnya.
"Terus sayang... Ayo tarik nafas, buang, tarik nafas lagi, buang lagi." kini Marsel mengulangi apa kata Fana.
Lelaki tampan berkulit putih nan muda itu tidak mengeluh sama sekali saat istrinya meremas tangannya seerat mungkin. Malah yang ada, Marsel ikut tarik-buang nafas seperti apa yang diinstruksikan oleh Fana.
Jerit suara terus terdengar, beginilah susah dan sakitnya seorang perempuan melahirkan. Mempertaruhkan nyawanya demi sang buah hati agar bisa selamat lahir ke dunia.
Sebenarnya bagi para wanita, bukan kematian yang membuat mereka takut saat melahirkan. Namun pergi meninggalkan buah hatinya sendiri di dunia tanpa tahu siapa yang akan mengurusnya.
Sedari tadi Marsel tidak berhenti memberi semangat kepada istrinya agar terus berjuang. Di luar sana sudah banyak yang menanti kelahiran sang cucu pertama di keluarga Fabiano.
***
"Cucu Oma cantik banget, hallo sayang..." tidak salah lagi, wanita paruh baya yang menggendong bayi mungil itu adalah Erika.
Siapa yang tidak suka menyambut kehadiran cucu dari putra kandungnya. Apalagi ini adalah cucu pertama. Banyak tawa dan senyum bahagia akan kelahiran bayi mungil berjenis kelamin perempuan, keturunan dari Marsel dan Airin.
Di dalam ruang rawat Airin tidak banyak orang. Hanya ada Marsel, Erika, Hans dan Rafli. Airin sendiri tidak memiliki keluarga, wanita itu besar seorang diri dan pernah tinggal di panti asuhan.
"Siapa nama putri kecil kalian?" Erika memandang putra dan menantunya secara bergantian.
"Aku mau kasih nama Azulla Violeta Fabiano, panggilannya Zulla. Bagaimana?" Marsel memandang semua anggota keluarga, berharap mereka semua setuju.
"Namanya cantik, kayak cucu Oma yang cantik." sambut Erika, wanita paruh baya itu benar-benar bahagia memiliki cucu pertama.
Menikah di usia muda tidak membuat Marsel menyesal. Sekarang di usianya yang baru menginjak dua puluh tiga tahun, dia sudah memiliki seorang putri cantik yang lahir sehat.
Perempuan berparas manis yang baru saja mempertaruhkan nyawanya di dalam ruang bersalin semalam itu tersenyum tatkala jemarinya diremas oleh sang suami. Rasa bahagianya benar-benar lengkah. Memiliki suami tampan, mapan serta baik hati, putri kecil yang sehat, adik ipar yang menerimanya, dan mertua yang tidak rewel. Mungkin hampir semua perempuan ingin menduduki posisi Airin sekarang.
***
"Sayang, boleh minta tolong?" suara lembut Airin mengalihkan pandangan Marsel.
Karena saking sayangnya Marsel pada Airin, tentu saja dia pasti mau menolong apa yang istrinya inginkan. Sudah satu tahun tiga bulan mereka menikah. Usia Zulla juga sudah lima bulan, tentunya bayi mungil itu semakin aktif.
"Minta tolong apa sayang?" langsung saja Marsel siap bersedia.
"Gendong Zulla dulu sebentar saja, aku mau ke kamar mandi. Kalau dia dibaringkan di kasur, malah rewel." Airin mengedipkan kedua mantanya berulang kali sambil merayu yang akhirnya malah membuat Marsel tertawa.
"Iya sayang, sini anak cantik digendong sama Ayah." sepelan mungkin Marsel mengambil alih Zulla dari gendongan Airin.
"Terima kasih sayang." kecupan manis Airin hadiahkan di sebelah pipi Marsel.
Manis sekali pasangan itu, kadang hingga membuat Erika iri melihatnya. Masih sangat kentara kalau usia mereka itu masih muda. Kadang kala juga mereka malah terlihat seperti ABG baru jatuh cinta.
Selama Airin di kamar mandi, Marsel memilih menimang-nimang Zulla dengan candaan yang dia bisa. Inilah yang dilakukan Marsel setiap hari minggu, berdiam diri di rumah dan bermain bersama istri serta buah hati tercinta.
"Zulla rewel kalau dibaringkan ke kasur, iya sayang? Kenapa?" meski Marsel tahu jika putri kecilnya belum bisa bicara, dia tetap suka mengajak Zulla mengobrol seperti sekarang.
Terdengar ocehan dari bibir mungil Zulla, seolah bayi kecil itu mengerti bahasa Ayahnya. Bibirnya bergerak-gerak lucu sampai membuat Marsel tersenyum sendiri.
"Kamu tahu tidak, setiap kali Ayah kerja itu yang ada di dalam pikiran Ayah cuma kamu. Rasanya ingin cepat-cepat pulang dan menggendong kamu." curhatnya pada sang anak.
Karena merasa lelah berdiri, Marsel akhirnya membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Lelaki itu juga membaringkan Zulla di atas tubuh kekarnya. Celotehan Zulla terdengar semakin kencang.
Melihat suaminya begitu penyayang, hati Airin jadi semakin sayang. Dia merasa tidak salah menerima perasaan lelaki tampan yang berprofesi sebagai dokter bedah itu. Airin masih berdiri di depan pintu kamar mandi yang ada di dalam kamar mereka.
"Mama sama kamu itu adalah semangat Ayah. Terus tumbuh menjadi putri yang cantik, baik hati, cerdas, sehat, dan terus memancarkan kebahagiaan buat Ayah sama Mama." Marsel tidak pernah lelah mengatakan ini pada Zulla setiap kali mereka bersama.
"Zulla pasti akan tumbuh menjadi putri yang sangat baik karena dia memiliki Ayah sebaik kamu." ujar Airin yang kini ikut berbaring di sebelah Marsel.
Perempuan itu sedikit heran, tadi Zulla rewel jika diajak berbaring. Tapi kenapa saat bersama Marsel, bayi kecil mereka malah terlihat senang-senang saja.
Kepala Marsel menoleh ke samping, dia tersenyum mendapati istrinya berbaring di sampingnya. Dia curi kecupan singkat di kening Airin hingga membuat buah hati mereka cemburu melihatnya.
"Zulla akan tumbuh menjadi perempuan hebat karena dia memiliki Mama sekuat kamu. Kita akan membesarkan Zulla dan anak-anak kita bersama-sama. Kamu ibu terbaik untuk putra-putriku." lagi, kecupan singkat Marsel berikan di pipi Airin.
"Yakin? Tidak ada wanita lain?" Airin memang sangat suka menggoda Marsel.
Wanita itu tidak menyangka, Marsel mau dengannya. Pasalnya jika dipikir-pikir, Airin hanyalah seorang gadis yang tidak memiliki orang tua dan masa depannya juga bisa dibilang absurd. Namun bagi Airin sendiri, kehadiran Marsel di hidupnya membuat masa depannya tidak absurd lagi. Tujuan wanita itu sekarang hanyalah menjadi istri dan ibu yang baik bagi Marsel serta anak-anak mereka. Karena Marsel, hidup Airin berubah dan menjadi lebih berwarna.
"Wanita lain siapa sih sayang? Cuma kamu, percaya deh sama aku." Marsel masih memandang Airin dari ekor matanya.
"Ya siapa tahu nanti bosan sama aku, terus..."
"Kamu berisik ya, aku cuma cinta sama kamu seorang. Tidak ada yang lain, cuma Airin di hati Marsel."
"Gombal..." Airin malah menjulurkan lidahnya mengarah ke Marsel.
Benar-benar terlihat seperti anak kecil, mereka masih saling ledek dan tidak mau kalah. Meski sudah ada buah hati di antara mereka. Tapi inilah yang membuat mereka merindu satu sama lain jika sedang berpisah.
Plak!
"Aw..." bukan, ini adalah suara Airin yang mengaduh saat melihat wajah Marsel dipukul oleh Zulla.
Bayi kecil itu seperti bosan karena dianggurkan dan orang tuanya asik sendiri tanpa menghiraukan dirinya. Marsel bukannya marah, dia malah terkekeh dipukul oleh putri kecilnya.
"Si kecil mulai aktif ya, Bun." komentar Marsel setelah berhasil menyingkirkan tangan mungil Zulla dari wajahnya.
Terdengar gelak tawa dari bibir Airin mendengar Marsel bicara seperti barusan. Akhir-akhir ini memang banyak sekali orang yang mengatakan kalimat tersebut.
Zulla kecil bingung melihat Airin tertawa lepas lalu ganti melihat Marsel yang menahan tawa. Hingga pada akhirnya Zulla menangis tanpa diketahui sebab pastinya kenapa.
Wajah Zulla memerah, terutama di bagian alis dan hidungnya. Melihat sang bayi menangis tanpa alasan malah membuat Marsel benar-benar tertawa. Lelaki itu tidak mampu membendung tawanya lagi. Semakin terbahak Marsel dan Airin, semakin kencang pula tangisan Zulla.
"Cup... Cup... Cup... Sayang, maafkan Mama ya." ujar Airin berusaha menghentikan tawanya yang sebenarnya masih ingin meledak.
Diambilnya Zulla kecil dari atas tubuh Marsel. Wanita itu mengambil dot berisi ASI dan memberikan kepada gadis kecilnya. Tangisan Zulla berhenti saat itu juga. Sedangkan Marsel masih berusaha menghentikan tawanya.
"Nanti malam biar ganti aku yang menjaga Zulla." kata Marsel sambil bangun dari ranjang untuk mengambil ponselnya yang tadi dia letakkan di meja rias.
"Kamu besok piket malam, Yah?"
"Iya, jadi nanti malam kamu tidur yang nyenyak saja." Marsel kembali duduk di sebelah Airin.
"Memangnya kamu tidak kecapekan kalau harus menjaga Zulla nanti malam?"
Lelaki tampan yang menjadi dokter sudah dari satu tahun lalu itu meletakkan ponselnya di atas nakas samping ranjang. Kini Marsel menatap wajah Airin serius kemudian ganti melihat Zulla yang sudah tenang tidak menangis.
"Demi kamu, aku kuat kok." cengir Marsel sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Cis... Gombal lagi kan." tak bisa dipungkiri, wajah Airin bersemu merah setiap kali Marsel melontarkan kata-kata gombalan padanya.
"Tapi suka kan digombalin?" lagi, Marsel kembali mengedipkan sebelah matanya genit.
Airin jadi teringat bagaimana dulu lelaki di sampingnya itu mengejar cintanya. Marsel tak pernah kenal lelah meski beberapa kali Airin sempat menolak. Ketakutan wanita itu adalah, dia takut cintanya terhalang restu orang tua dengan alasan dirinya orang tak punya. Seperti kebanyakan kisah di luar sana jika mereka berasal dari keluarga terpandang, mereka akan malu memiliki menantu yang tidak punya apa-apa. Namun kenyataannya yang Airin terima tidak begitu, Erika dan Hans sangat menerimanya dan tidak pernah memandangnya sebelah mata.
"Satu hal yang harus kamu tahu.”
"Apa?" Marsel mendekatkan wajahnya ke wajah Airin.
"Aku bahagia menjadi bagian terpenting dalam kisah hidupmu, Ayah." ujar Airin tulus dari hati.
Hati Marsel terenyuh mendengar perkataan Airin. Rasa cinta dan sayangnya pada perempuan itu sungguh begitu besar. Jika Marsel tidak benar-benar cinta pada Airin, mana rela dia melepas masa lajangnya di usia yang sangat muda. Dan sekarang keluarga kecil mereka dipenuhi kebahagiaan dengan hadirnya bayi kecil bernama Azulla.
***
Next...