33. Destiny - Wehai

1632 Words
Tes masuk ke fakultas kedokteran sudah berhasil dilewati oleh Zulla. Berbekal kemampuannya, Zulla dinyatakan lolos dan tentunya akan menjadi maba. Begitu pula dengan Lingga. Lelaki berwajah cantik, berkulit putih itu pun berhasil mengikuti jejak Zulla. Keduanya sama-sama masuk ke fakultas kedokteran. Tentunya, hal ini dilakukan Lingga agar tetap bisa berdekatan dengan Zulla meski tidak sebagai kekasih. Bisa menjadi teman saja sudah cukup. Tanpa Zulla sangka, ternyata Tara juga masuk ke kampus tempatnya belajar. Hanya saja, gadis itu masuk ke fakultas seni jurusan musik. Dan entah sebuah keberuntungan, kebetulan atau apa, gedung mereka bisa dibilang lumayan dekat. Tak hanya itu, Gladys juga kuliah di sana dan sama-sama mengambil jurusan musik seperti Tara. Hanya saja, sesuai kelulusannya, Gladys adalah senior Tara. Usai kejadian di tempat kamping waktu itu, Gladys tidak pernah lagi mengganggu atau menjahili Zulla, Tara dan Yudha setiap lelaki itu datang menjemput Zulla ke tempat les. Namun hubungan mereka juga tidak bisa dibilang baik. Mereka hanya saling diam. Sekarang, Zulla sudah tidak les di sana, melainkan jadi pelatih untuk anak-anak baru. Begitu pula dengan Gladys yang juga menjadi pelatih. Walau Zulla tidak kuliah di seni musik, tapi kata gurunya di tempat les, Zulla memiliki bakat yang mumpuni kalau untuk mengajari anak-anak baru. Tak terasa, Zulla, Lingga dan Tara sudah berada di semester dua. Waktu berlalu begitu cepat. Mereka bertiga jadi lebih sering ke mana-mana bertiga. Seperti makan, mengerjakan tugas, jalan-jalan, dan nongkrong. Tentunya kalau mereka ada kesempatan kumpul dalam waktu bersamaan. Seperti sore hari ini. Mereka makan bertiga di kafe steak setelah nonton. Sama persis seperti apa yang dulu Zulla lakukan bersama Becca dan Vanko. Setiap selesai nonton, pasti makan steak. Tapi sudah sembilan bulan lamanya, Zulla juga tidak mendengar kabar dari Vanko. Lelaki itu juga tidak aktif di sosial medianya. Membuat Zulla jadi sering bertanya-tanya, sebenarnya Vanko ke mana? Sementara Becca, gadis itu sudah tidak ada kabar tepat dua tahun bulan ini. Ingatan tentang pertengkaran mereka kembali terngiang di kepala Zulla. Dan sebisa mungkin Zulla mengabaikannya. Kayak kata Om dokter, kalau waktunya sudah tiba dan kalau dikasih kesempatan lagi, pasti gue akan ketemu lagi kok sama Becca, sama Vanko juga. Desah Zulla dalam hatinya. "Makan di sini, ngingetin gue sama mereka." gumam Zulla pelan, tapi masih bisa didengar jelas oleh Lingga dan Tara. Tangan Lingga yang sudah ingin terayun ke arah mulutnya tiba-tiba berhenti mendengar apa yang dikatakan Zulla. Tentu Lingga paham ke mana arah ucapan Zulla meski gadis itu tidak mengatakannya secara gamblang. "Lo inget sama Becca sama Vanko lagi?" tanya Tara pelan-pelan. Anggukan kepala yang Zulla berikan menjadi jawaban untuk Tara. Walau baru sekali bertemu dengan Becca dan Vanko, tapi Tara masih mengingat jelas rupa mereka seperti apa dan bagaimana. Bagaimana dengan Zulla yang sudah menjadi temannya bertahun-tahun, pasti begitu berat sekali. "Gue yakin, mereka juga baik-baik saja." sahut Lingga berusaha menghibur Zulla supaya tidak terlalu kepikiran lagi. Ramainya orang di kafe tempat mereka makan steak, masih belum cukup untuk membuat Zulla merasa tidak sendiri. Lamun kini, gadis itu tersenyum dan akan kembali seperti biasa buat menganggap ini bukan hal terberat dalam hidupnya. "Tuhan pasti menjaga mereka, gue yakin itu." angguk Zulla meyakinkan dirinya sendiri. Meski merasa prihatin dan kasihan, tapi Lingga dan Tara juga tidak bisa apa-apa. Mereka hanya bisa menyemangati Zulla agar tidak larut dalam kesedihan. "Kita ada jadwal manggung 'kan hari ini?" Tara mencoba mengubah topik pembicaraan supaya mengalihkan pikiran Zulla juga. Betul sekali. Ketiga remaja itu juga punya jadwal menyanyi di sebuah kafe di setiap hari jumat sampai minggu. Dari menyanyi di kafe, mereka bisa mendapatkan uang jajan sendiri walau tidak sebanyak uang saku pemberian orang tua mereka dalam satu bulan. Tapi yang penting, mereka senang melakukannya dan tidak mendapat larangan dari orang tua. Malam ini adalah malam sabtu, hampir saja mereka lupa karena keasikan jalan-jalan dan makan di sana. Segera saja, Zulla  mengemasi barangnya dan menghabiskan makanannya. Begitu pula dengan yang lain. Waktu manggung sebentar lagi dan mereka harus datang sebelum para tamu menanyakan mereka.   ***   Sahabat sejatiku... Hilangkah dari ingatanku...   Suara merdu milik Zulla sudah menyapa gendang telinga semua pengunjung yang berdatangan. Tak bisa disangkal lagi, banyak para remaja datang ke kafe hanya untuk mendengarkan suara mereka bertiga. Antara Zulla, Lingga dan Tara, ketiganya bernyanyi namun kadang selang-seling, kadang sesuai permintaan pengunjung dan tak jarang juga mereka bernyanyi bersama-sama. Di antara ketiganya, Lingga adalah idola para kaum hawa yang baru memasuki masa pubertas. Sering kali Lingga mendapat request dari mereka untuk menyanyikan lagu yang mereka inginkan. Perjalanan sampai di sini tentunya tidak mudah. Mereka bersama-sama merayu pemilik kafe agar mau menerima mereka. Saat itu, kafe sedang dalam masa sepi pengunjung sehingga membuat pemiliknya berpikir kalau beliau tidak bisa menggaji mereka. Namun akhirnya, Zulla dan kedua kawannya berhasil. Malah karena adanya mereka, banyak orang kembali berdatangan ke kafe itu dan hal ini membuat sang pemilik kafe tidak merasa rugi sudah menerima mereka bertiga.   Aku raja kau pun raja...   Ulasan tentang kebersamaannya bersama Becca kembali memenuhi rongga otak Zulla. Dia teringat masa dulu, pertemanan mereka begitu sama. Tidak ada yang merasa lebih unggul dari satu sama lain. Jika Zulla menganggap dirinya putri, begitu pula dengan Becca.   Aku hitam kau pun hitam...   "Ayo, kita lakuin bareng." cengir Becca seraya menarik tangan Zulla. Saat itu, Zulla tak mengerti kenapa Becca mau membantunya saat dihukum oleh guru. Padahal guru tidak menghukum Becca juga.   Arti teman lebih dari sekedar materi...   Tanpa ada yang sadar, Zulla meneteskan air mata namun secepat kilat dia menghapusnya agar tidak membuat orang lain mengkhawatirkannya. Dalam suasana kafe yang begitu hanyut terbawa merdunya suara Zulla, sampai tanpa sadar lagu sudah selesai. Banyak tepuk tangan untuk Zulla yang dia dapatkan. Padahal, Zulla merasa kalau teknik menyanyinya masih biasa-biasa saja. "Keren lo..." bisik Tara tepat di samping telinga Zulla. Salah seorang pelayan datang dan memberikan selembar kertas pada Lingga. Tapi tak lama, Lingga memberikan kertas itu pada Zulla dan memberi tahu bahwa ada request lagi dari tamu. "Baik, ini ada request lagi dari tamu di meja nomor tiga belas." ujar Zulla seraya memegangi kertas yang tadi diberikan Lingga padanya. Namun ketika mendongak, Zulla sedikit kaget oleh siapa yang ada di meja tersebut. Seseorang yang dia kenal ada di sana sedang tersenyum padanya. Rasa rindu yang sempat terpendam karena beberapa waktu tidak bertemu, membuat kerinduan itu sedikit terobati. Terlebih lagi, orang itu tersenyum begitu manis padanya.   ***   "Kak Alfa... Ayo ke sana." Alfa tak tahu lagi, sedari tadi dia diseret-seret oleh sepupunya yang begitu dia sayangi. Gadis itu merengek ingin mengajak Alfa ke kafe yang katanya memiliki suasana bagus. Meskipun Alfa menolak, tapi beginilah jadinya. Dia tetap menuruti walau dalam perjalanan ada saja drama tentang mereka. "Pelan-pelan jalannya, ngapain juga harus cepet-cepet sih?" Walaupun Alfa mau, tapi sedikit kesal kalau harus mengikuti apa yang dikatakan sepupu perempuannya. Alfa ingin kalau mereka pergi secara santai, tidak tergesa-gesa seperti ini seperti sedang dikejar deadline pekerjaan saja. "Nanti keburu mulai." "Astaga. Lagian lama juga 'kan kata kamu." dengus Alfa. Tibalah mereka di garasi, Lidya segera memasuki mobil Alfa dan duduk manis di kursi penumpang. Alfa pun juga menyusul Lidya dan dia segera meninggalkan rumah menuju kafe yang ingin dikunjungi Lidya. "Sebenarnya bukan cuma malam hari ini saja. Tapi 'kan, Kak Alfa punya waktunya hari ini." gumam Lidya yang sebenarnya juga merasa bersalah sudah mengganggu waktu istirahat kakak sepupunya. "Enggak usah ngerasa bersalah kalau akhirnya kamu juga ngerengek minta ke sana." dengus Alfa sampai membuat Lidya nyengir kuda. Bahan bakar mobil terus berkurang sejauh jarak dari rumah orang tua Alfa ke kafe tujuan Lidya. Untung saja, jalanan tidak terlalu macet. Dengan begini, setidaknya Lidya tidak mengomel lebih banyak lagi. Sepuluh menit berlalu, dan sampailah mereka di tempat parkir sebuah kafe yang memang cukup ramai. Terlihat dari pengunjungnya yang sampai di halaman luar yang juga disediakan, pelayannya sibuk berlalu lalang mencatat pesanan dan mengantarkan makanan. "Ini kafenya?" tanya Alfa lebih memastikan setelah dia baru keluar dari mobil menyusul Lidya yang sudah melompat lebih dulu dari dalam mobil. Lidya mengangguk dan langsung menarik Alfa lagi memasuki kafe. Kebetulan sekali, meski ramai tapi di dalam masih ada meja kosong. Segera mereka duduk di sana agar tidak didahului orang lain. Mata Alfa tak menyangka kalau dia melihat seorang gadis yang dikenalnya cukup baik sedang bernyanyi di depan sana seraya memetik senar gitarnya. Dia nangis, pasti keinget temennya lagi. Batin Alfa yang tak sengaja melihat sang vokalis meneteskan air mata. "Gimana? Enggak nyesel 'kan aku ajak ke sini? Suaranya bagus banget, Kak. Banyak orang yang sengaja dateng ke sini cuma buat dengerin suaranya." jelas Lidya tanpa mengalihkan pandangan dari penyanyi wanita di panggung. "Dia namanya Zulla, temennya itu Tara, dan yang cowok Lingga. Suara mereka sama-sama bagus. Selain pandai bermain gitar, Zulla juga terkenal kalau dia pinter mainin kalimba." Lidya masih menceritakan sang vokalis yang sedang menyanyikan lagu milik band terkenal Indonesa berjudul, Sahabat Sejati. "Kalau aku bilang, aku kenal dia dengan baik, kamu percaya apa enggak?" tantang Alfa apakah Lidya akan percaya padanya atau tidak. "Kak Alfa ngaco." cibir Lidya tak mempercayai kakak sepupunya. Alfa tertawa mendengar perkataan Lidya. Memang ini respons yang dibayangkan Alfa tadi. "Gimana kalau kita request lagu?" Meski terdengar seperti pertanyaan, tapi sebenarnya itu adalah sebuah permintaan dari Lidya. Alfa berdesis, tapi dia mengangguk mengiyakan. Mengetahui hal ini, tentu saja Lidya kegirangan. "Mau request lagu apa?" tanya Alfa memberi kesempatan pada Lidya untuk itu. "Mau lagu Destiny punya WHY." kata Lidya. Alfa menulis keinginan sepupu perempuannya dan memberikan kertas itu kepada pelayan agar memberikannya ke Zulla. Lagi pula, Alfa mendengar kalau Zulla juga sudah selesai bernyanyi. "Meja nomor tiga belas, request lagu Destiny punya Wehai." baca Zulla sedikit bingung kenapa tulisannya seperti itu tapi untungnya, Zulla paham yang dimaksud Alfa. Hanya saja, gadis itu sedikit kaget dan cemas serta cemburu pada seorang remaja yang duduk di samping Alfa. Siapa dia? Hubungannya sama Om dokter apa? Kenapa mereka terlihat akrab? Tanya hati Zulla. Dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya. *** Next...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD