Banyak murid yang sedang bersorak di sisi lapangan. Mereka sedang menyoraki sepasang kekasih yang baru saja jadian. Vanko dan Becca, kedua remaja itu berhasil mengundang perhatian seisi sekolahan karena tindakan mereka sekarang. Lebih tepatnya lagi, Vanko yang membuat dirinya dengan Becca menjadi pusat perhatian.
Di jam istirahat kedua itu, Vanko tiba-tiba menarik tangan Becca yang sedang duduk di tangga sisi lapangan basket. Gadis itu duduk di sana bersama Zulla karena memang menuruti ajakan Zulla yang ingin menonton anak basket latihan.
Sebagai perempuan yang berstatus kekasih Vanko, tentu saja Becca beberapa kali melirik lelaki itu saat melempar bola ke ring dan mencetak angka three point. Becca masih belum berani menunjukkan perasaannya pada Vanko seperti layaknya pasangan pada umumnya. Gadis itu masih malu-malu, padahal Vanko selalu menunjukkan perasaannya pada Becca. Hal yang membuat Becca ragu, tentu saja karena Zulla. Gadis itu masih takut kalau sikap Zulla selama ini hanya pura-pura tegar di depannya saja.
"Cieee... Becca diajarin sama pacar!" sorak Zulla ikut senang melihat mereka berdua.
Di tengah-tengah lapangan, Becca sangat nervous sekarang. Keringat dingin mengucur membasahi pelipisnya. Banyak sekali orang yang melihatnya sekarang. Becca bisa mencium aroma parfum bercampur keringat dari Vanko karena lelaki itu sangat dekat dengannya.
"Bec, jangan grogi gitu dong!" suara Zulla lagi-lagi terdengar sampai ke telinga Becca.
Karena kesal sekaligus malu, Becca menoleh ke arah Zulla dan ingin berteriak balik. Namun entah Becca sedang ditimpa kesialan atau keberuntungan, saat dia menoleh ke kanan, di waktu yang bersamaan pula Vanko berjalan ke arah kanannya dan tanpa sengaja bibir Becca menempel di pipi kiri Vanko. Mata Becca melebar, kedua remaja itu sama-sama kaget akan hal barusan. Begitu pula Vanko yang juga kaget, padahal niatnya tadi ingin mengambil bola basket dari tangan kiri Becca.
Secepat kilat, Becca langsung mundur. Gadis itu merasa kalau wajahnya pasti memerah sekarang. Tubuh Becca semakin panas dingin tak karuan ketika Vanko menolehkan wajahnya ke arah Becca dan menatapnya cukup lama.
Bukannya membalas suara Zulla, yang ada malah Becca semakin mendapat sorakan kegembiraan dari banyak siswa-siswi yang menonton. Untung saja, lapangan basketnya lumayan jauh dari ruangan guru. Jadi Becca bisa merasa sedikit tenang tanpa adanya guru yang melihat kecelakaan barusan. Bisa gawat kalau sampai guru melihat, orang tuanya bisa dipanggil ke sekolah besok juga.
"Sorry, gue enggak sengaja." ujar Becca lirih karena takut kalau Vanko memarahinya akibat kejadian barusan.
Tanpa disangka oleh Becca, bukannya marah, Vanko malah tersenyum tampan padanya dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa barusan. Mengalami hal ini, Becca merasa jantungnya hampir copot. Apalagi saat Vanko maju satu langkah ke hadapannya. Gadis itu semakin gelagapan dan bingung.
"Lo mau apa?" tanya Becca bagaikan orang bodoh.
Lagi-lagi, Vanko tidak menjawab menggunakan suara, namun dengan tindakannya. Kepala sampai d**a Vanko mendekati Becca hingga lelaki itu bisa mencium wangi shampo yang dipakai pacarnya. Aroma lavender menguar-nguar di hidung Vanko sampai rasanya, dia ingin mencium rambut itu secara langsung.
"Lo ja-"
"Gue mau ambil bola basket, my pinky."
Belum sampai Vanko berhasil mengambil bola basket di tangan kiri Becca, bola berwarna oranye itu sudah menggelinding terlebih dahulu karena terlepas dari tangannya. Becca merasa tubuhnya lunak seketika, napasnya tercekat hingga dadanya terasa sesak. Meski Vanko sudah tidak ada di depannya lagi lelaki itu sedang mengambil bola basket yang barusan menggelinding. Tapi sesaknya masih terasa.
Cie... My pinky!
Rasa-rasanya, Becca ingin menggali tanah untuknya bersembunyi bagaikan cacing. Dia malu karena semua yang menonton tahu nama panggilan Vanko untuknya.
Ish... Vanko ngapain juga sih pakai manggil gue my pinky segala di depan orang. My pinky, my pinky, kayak apa aja gue. Gerutu Becca dalam hatinya.
"Bec, biasa aja dong! Jangan pingsan, my pinky!"
Suara itu, membuat lamunan Becca tentang panggilan my pinky yang diberikan Vanko kembali tersadar dari tatapan kosongnya. Siapa lagi yang berteriak semangat kalau bukan Zulla.
"Ish... Gue kutuk lo jadi kodok!" balas Becca dari tengah lapangan.
"Gue bukan cowok, jadi enggak bisa jadi pangeran kodok!" balas Zulla.
Tanpa disangka, ternyata Vanko kembali berdiri di belakangnya dan lelaki itu memperlihatkan kemampuannya tentang bermain basket.
"Lo ngajak gue ke sini cuma pengen mempermalukan gue 'kan?" bisik Becca di samping telinga Vanko, karena memang jarak mereka sangat dekat.
"Ngomong apa sih lo? Jelas gue mau ngajarin lo main basket lah, biar pas penilaian besok nilai lo bagus." balas Vanko dengan nada berbisik pula.
"Ish... Gue enggak minta diajarin, gue juga enggak masalah kalau dapet nilai jelek."
Bohong. Apa yang terucap dari bibir Becca barusan adalah sebuah kebohongan. Dia tidak benar-benar kesal atau marah. Becca bersikap dan berkata seperti itu hanya karena dia malu pada semua murid yang melihatnya barusan.
"Tapi gue masalah kalau punya pacar nilainya jelek di materi basket, apalagi gue kapten basket di sekolah."
Kali ini, Vanko tidak lagi melempar bolanya ke ring sendiri. Lelaki itu benar-benar mengajari Becca tentang teknik melempar bola ke ring agar tidak meleset.
Apabila Vanko sedang sibuk mengajari Becca bermain basket, berbeda dengan Zulla yang malah teringat tentang lelaki yang sudah berhasil mengambil hatinya.
Lapangan tidak seramai tadi, beberapa orang sudah beranjak dari sana dan hanya tertinggal beberapa orang saja yang masih penasaran tentang hubungan Vanko dan Becca.
Kemarin, Zulla ikut bersama Marsel ke rumah sakit. Awalnya Zulla merasa lelah dan ingin segera istirahat, namun ketika mendengar ayahnya akan ke rumah sakit untuk membagikan undangan pernikahan, Zulla berubah pikiran dan merengek pada Marsel agar memperbolehkannya ikut ke rumah sakit.
"Padahal kamu tuh habis les, Kak. Mending istirahat di rumah, daripada kecapekan." ujar Marsel saat mereka baru turun dari mobil menuju pintu masuk rumah sakit.
"Enggak apa-apa, Yah. Aku juga kangen jalan-jalan sama Ayah." sebisa mungkin Zulla membuat alasan yang tidak akan dicurigai Marsel.
Mendengar pengakuan putrinya, Marsel langsung merasa tidak keberatan. Wajar saja, banyak waktu yang mereka lewatkan dan tentunya hal itu sangat bisa membuat Zulla rindu padanya meski setiap hari bertemu.
"Ya sudah, ayo kita bagikan undangannya." dengan sayang, Marsel merangkul bahu Zulla.
Kedua manusia, ayah dan anak itu sudah masuk ke rumah sakit. Marsel memberi salam pada resepsionis dan Zulla tahu kalau nama resepsionis itu adalah Nina. Namun tak hanya itu, Marsel juga berhenti sejenak untuk memberikan undangan pada Nina.
Selesai di meja resepsionis, Marsel langsung mengajak Zulla menaiki lift khusus untuk para anggota organisasi di rumah sakit. Mereka menuju ke lantai yang paling atas terlebih dahulu. Saat lift terbuka, Zulla tetap mengikuti langkah kaki ayahnya. Ternyata kali ini, Marsel mengajaknya ke ruang presdir. Undangan yang diberikan Marsel, tentu mendapat tanggapan positif dari banyak warga rumah sakit.
Ada rasa senang di dalam hati Zulla ketika Marsel memperkenalkannya kepada setiap orang yang bertanya. Ayahnya itu mengatakan bahwa Zulla adalah putrinya yang sangat cantik dan pandai. Namun orang yang Zulla nanti-nanti belum terlihat juga.
Penyebaran undangan masih berlangsung. Marsel menggunakan waktu istirahatnya untuk menyebar undangan kepada teman sejawatnya. Kini, mereka turun ke lantai empat dan setelah beres baru ke lantai tiga.
Sesampainya di lantai tiga, Zulla sangat berharap akan bertemu dengan dokter tampan itu seperti dulu dirinya bertemu di lantai tiga. Zulla seolah tidak memiliki lelah, dia tetap berjalan ke mana ayahnya melangkah. Sampai akhirnya, mereka berhenti di depan sebuah ruangan dan ada meja suster jaga di samping pintunya.
"Dokter Marsel, ada yang bisa saya bantu?" suster tadi menghampiri Marsel secara sopan.
"Dokter Alfa ada?" meski sebenarnya kesal, tapi Marsel juga tidak boleh membeda-bedakan teman sejawatnya.
"Oh.. Kebetulan tadi sedang ke ruangan pasien karena ada pasiennya yang kritis." jawab suster itu seraya mengingat-ingat kalau apa yang dia katakan memang benar.
Marsel mencari undangan bernama Alfa di antara banyaknya undangan yang dia bawa sampai ketemu.
"Nah, itu dokter Alfanya sedang menuju ke sini." suster tadi memberi tahu Marsel bahwa Alfa memang sedang berjalan ke arah dirinya berdiri.
Kepala Zulla mengikuti petunjuk yang diberikan suster tadi. Jantung Zulla serasa hampir meledak. Di dalam sana berdegup begitu kencang saat melihat dokter yang dimaksud bernama Alfa. Dokter yang dia rindukan selama ini benar-benar bisa dilihatnya lagi.
Belum juga Alfa sampai di tempat Marsel dan Zulla berdiri. Rasa-rasanya Zulla sudah tidak mampu lagi menahan kegugupannya dan memilih izin pada Marsel untuk ke kamar mandi.
"Jangan lama-lama." pesan Marsel sebelum Zulla benar-benar pergi dari sana.
Zulla benar-benar ke toilet. Gadis itu memegang dadanya sendiri, seolah-olah itu memang konsepnya seperti barusan. Jemari lentiknya mengusap dadanya rasa-rasanya hampir kehabisan oksigen.
"Hah... Hah... Hah... Ternyata hah..." desah Zulla sambil meremas baju bagian dadanya.
"Ternyata namanya Alfa. Dokter Alfa."
Zulla mengangguk mengerti perasaannya akan sangat senang kalau bisa melihat dokter tampan itu lagi. Apalagi Zulla bisa mengetahui namanya.
***
Next...