Sepulang sekolah, Zulla bersama Becca dan Vanko pergi ke kebun binatang. Tentunya hal itu atas izin oleh orang tua mereka masing-masing. Kecuali Becca yang tidak pernah izin pada orang tuanya kalau akan pergi ke mana-mana selama dia tinggal sendiri.
Ketiga remaja itu pergi ke kebun binatang menggunakan angkutan umum. Sedangkan motor Vanko, dia tinggal di sekolahan dan nantinya akan diambil oleh sopirnya yang sudah dia beri tahu sebelum beranjak dari sekolah. Bukan tanpa alasan mereka ke sana, tapi karena guru IPA mereka memberi tugas untuk mengamati hewan avertebrata dan vertebrata. Meski beda kelas, tapi materi dan tugas tetap sama walau Becca baru mendapat tugas itu senin hari ini.
Beberapa hewan sudah berhasil mereka amati. Tak lupa, mereka juga memotret hewan-hewan tersebut sebagai bukti. Vanko lebih banyak mengalah untuk Zulla dan Becca. Lelaki itu lebih mendahulukan mereka berdua ketimbang dirinya sendiri dan sebisa mungkin mereka untuk membuat tugas dengan isian yang berbeda.
Pengamatan sudah selesai, kini tinggal mereka menyalin apa yang mereka dapatkan. Sebuah meja berpayung dengan empat kursi yang ada di sekitar kebun binatang menjadi pilihan mereka sebagai tempat mengerjakan tugas. Untung saja, ini hari kerja, jadi tidak banyak yang datang ke kebun binatang. Dalam arti lain, sedang tidak ramai pengunjung. Sehingga membuat mereka lebih cepat menyelesaikan tugas karena tidak perlu mengantre dengan orang lain untuk mengamati beberapa hewan.
"Apa yang kita lihat tadi, kita bagi sama rata. Dan buat avertebrata yang masih kurang, kita bisa nyari di rumah masing-masing." usul Zulla.
Usulan Zulla barusan mendapat anggukan dari Becca dan Vanko. Mereka langsung memutuskan mana yang akan mereka pilih dan kebetulan untuk hewan vertebrata sudah lengkap. Sedangkan untuk hewan avertebrata masing-masing dari mereka masih kurang satu.
Jemari mereka menari di atas buku mereka masing-masing menyalin serta menjabarkan apa yang sudah mereka rangkum. Posisi duduk mereka kembali ke awal, Zulla berada di tengah, Becca ada di samping kanannya dan Vanko ada di sebelah kiri Zulla.
Di sela-sela keseriusan mereka, tiba-tiba Becca menghentikan gerakan tangannya. Dia menoleh ke sekeliling seolah sedang mencari sesuatu.
"Eh, gue mau beli minum dulu ya." pamit Becca yang sudah siap pergi untuk mencari minuman buat mereka.
"Lo di sini aja, biar gue aja yang beli minumannya." cegah Vanko tiba-tiba ikut berdiri dan tidak membiarkan Becca membeli minuman sendiri.
Zulla tersenyum saja melihat hal itu. Rasanya senang saat melihat Becca dan Vanko akur seperti ini. Tidak seperti kemarin-kemarin yang banyak berantemnya meski cuma karena hal kecil.
"Tap-"
"Gue sekalian ke toilet bentar." Vanko langsung saja pergi dari sana tanpa mau mendengarkan kelanjutan Becca dulu.
Melihat hal ini, Becca kembali duduk di kursinya dan gadis itu masih merasa heran akan tingkah Vanko padanya yang berubah drastis. Bagaikan yang awalnya ada di Kutub Utara, jadi pindah ke tengah-tengah Bumi.
"Beruntung lo punya pacar kayak Vanko, perhatian begitu sama lo meski baru jadian. Enggak kayak biasanya ‘kan dia kayak gini sama lo. Syukuri aja, Bec, selama dia berbuat baik." puji Zulla yang memang kagum pada mereka berdua.
"Cis... Lo apaan sih? Biasanya juga dia begitu 'kan? Yang selalu beliin makanan buat kita dari dulu ‘kan emang dia. Ini bukan yang pertama kali ya." desah Becca.
Kepala Zulla menggeleng, dia kali ini menghentikan tarian jemarinya dan ganti menatap Becca lekat-lekat. Kedua sudut bibirnya melengkung ke atas, tersenyum pada teman dekatnya.
"Gue seneng kalau lo seneng, Bec. Jangan ditahan lagi perasaan lo. Kalau lo suka, bilang aja suka. Kalau lo pengen perhatian ke dia, tunjukin aja rasa perhatian lo. Kalau lo sayang ke dia, jaga dia baik-baik. Jangan sampai dia terlepas dari genggaman lo." ujar Zulla seraya menguap-usap bahu Becca lembut.
Becca tak tahu lagi harus menanggapinya bagaimana. Dia masih bertanya-tanya dalam hatinya. Gadis itu masih dilanda kebingungan. Bak berjalan di permukaan bumi yang sedang tergoncang sehingga membuatnya tak tahu harus berjalan ke mana karena semua tempat bergoyang.
"Apa selama ini lo enggak ada rasa sama Vanko, Zul? Lo enggak cemburu denger dan lihat gue jadian sama dia?" pancing Becca yang begitu penasaran dan ingin tahu isi hati Zulla.
Karena tak tahan lagi menahan, akhirnya Becca memilih menanyakannya saja. Daripada terus-menerus dia pendam dan tidak mendapatkan jawaban sama sekali atas rasa penasarannya.
Perlahan, Zulla menggelengkan kepalanya seraya tersenyum manis. Membuat Becca kembali bertanya-tanya, apa arti gelengan dan senyuman itu.
"Gue cuma nganggep Vanko sebagai temen, enggak lebih. Gue udah suka sama cowok lain."
Setalah sekian lama memendam, kini Zulla memiliki keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya pada Becca. Lagi pula, Zulla merasa kalau teman akrabnya itu perlu tahu tentang ini.
Ekspresi wajah Becca yang kaget dan bibirnya yang menganga membuat Zulla terkikik geli. Dia yakin kalau reaksi Becca akan seperti ini.
"Siapa yang lo suka? Gue kenal apa enggak? Temen seangkatan atau kakak kelas? Di kelas mana dia?" saking penasarannya, Becca tidak bisa menahan rasa keingintahuannya tentang siapa yang Zulla sukai. Gadis itu begitu antusias ingin tahu.
"Bukan temen seangkatan atau kakak kelas. Lo bisa jadi kenal, bisa juga enggak."
Plak!
"Aw..." Zulla meringis ketika lengannya dipukul pelan oleh Becca.
"Jawaban lo ambigu banget woy. Jadi dia siapa? Temen SD kita dulu yang beda SMP atau siapa?" Becca sampai gemas karena Zulla masih main rahasia-rahasiaan dengannya.
"Lo kalau mau ngasih tahu gue, jangan setengah-setengah. Enggak terima gue." dengus Becca.
Mata Zulla melihat ke sekeliling, memastikan kalau Vanko belum kembali. Zulla merasa kalau dia tidak perlu memberi tahu Vanko tentang masalah ini. Cukup Becca saja yang tahu.
"Dia bukan pelajar, tapi dokter di rumah sakit tempat Ayah gue kerja. Bisa jadi lo pernah ketemu sama dia waktu periksa, bisa juga enggak. Itu yang gue maksud tadi." terbongkar sudah rahasia yang dipertahankan Zulla selama ini.
Mata Becca kembali melotot, bahkan kali ini lebih lebar dari sebelumnya. Tak habis pikir kalau ternyata Zulla menyukai om-om.
"Lo suka sama Om-om beranak?" bisik Becca di samping telinga Zulla.
"Ish... Dia belum Om-om banget. Belum tua dan gue yakin kalau dia belum punya anak. Cakep pokoknya, baik juga, senyumnya manis, punya lesung pipi. Kemarin gue habis lihat dokter itu." Zulla bagaikan menggambarkan seorang pangeran Yunani saat membicarakan Alfa pada Becca.
Rasa-rasanya, Becca benar-benar tak habis pikir kenapa Zulla bisa menyukai lelaki dewasa yang lebih suka membawa hubungan ke jenjang yang lebih serius.
"Lo yakin kalau dokter itu belum punya pacar, tunangan atau bahkan istri gitu? Tahu dari mana lo kalau dokter itu belum punya anak?"
Heran Becca karena kalau dipikir-pikir lagi, lelaki yang disukai Zulla itu seorang dokter dan katanya tampan. Pasti dokter itu sudah memiliki pasangan di usianya yang sudah matang dan memiliki pekerjaan yang mapan.
"Gue enggak tahu sih, tapi nanti gue mau coba cari tahu."
Tak!
"Ish... Lo seneng banget sih menganiaya gue."
Zulla kembali meringis karena kepalanya kini yang menjadi sasaran Becca. Gadis berambut keriting itu tak segan-segan menjitak kepala Zulla hingga terasa nyeri.
"Ya lo, bisa-bisanya suka sama orang yang belum tahu kehidupan pribadinya gimana. Kalau ternyata itu dokter udah punya istri sama anak tiga gimana? Sakit hati sendirian lo yang ada."
Becca tidak mau kalau Zulla sakit hati atas alasan menyukai lelaki yang belum dia ketahui asal-usul dan kehidupan asmaranya.
"Ngeri banget punya anak tiga." Zulla bergidik ngeri meski hanya membayangkannya saja.
Tak lama, Zulla melihat Vanko sudah berjalan menuju ke arah mereka duduk sambil membawa dua keresek berisi minuman dan makanan ringan.
"Eh, Vanko dateng. Lo jangan bilang-bilang tentang masalah ini ke dia ya. Gue mau, cuma lo doang yang tahu." pinta Zulla disertai wajah memohonnya.
"Emang kenapa?" sedikit heran juga Becca atas permintaan Zulla kali ini.
"Ya pokoknya Vanko jangan sampai tahu." mohon Zulla lagi.
"Beres."
Zulla langsung mencari bahan obrolan lainnya supaya saat Vanko tiba, lelaki itu tidak tahu tentang mereka yang membahas tentang lelaki yang disukai Zulla. Dan usaha kedua gadis itu membuahkan hasil, Vanko tidak penasaran sama sekali.
"Nih, minum buat kalian."
Satu gelas cup minuman dingin rasa coklat diberikan Vanko untuk Zulla dan yang rasa strawberry dia berikan pada Becca. Minuman kesukaan kedua gadis itu dan Vanko sudah sangat hafal.
"Thank you." sahut Zulla dan langsung mengambil gelas cup bagiannya.
Begitu pula dengan Becca yang juga mengucapkan kata terima kasih pada Vanko. Dia lanjut mencatat tugas yang masih tersisa.
Tenang aja Zul, gue enggak akan pernah ngasih tahu Vanko tentang lo yang suka sama dokter itu. Gue juga bakal pura-pura b**o dan enggak tahu kalau Vanko sebenarnya suka sama lo. Batin Becca saat dia menikmati es rasa strawberrynya.
Denger lo suka sama cowok lain, hal itu bikin gue ingin merasakan jadi pacarnya Vanko lebih lama. Meski gue enggak tahu pasti, apa motif dia sebenarnya macarin gue. Lanjut kata hati Becca.
"Oh iya, Ayah sama Bunda gue bilang kalau nanti mereka mau ngajak kalian makan setelah pulang dari sini." Zulla baru ingat kalau tadi Marsel memang mengatakan hal demikian.
"Serius?" Vanko tampak sangat antusias karena akan bertemu dengan kedua orang tua Zulla.
"Serius kok, katanya mereka mau bilang makasih sama kalian karena udah jadi temen gue selama ini dan mau menghibur gue saat mereka enggak ada di sini." kata Zulla lebih memperjelas maksud dari ajakan Marsel dan Alexa.
Becca mengangguk, dia setuju dan mau saja. Tidak beda jauh dengan Vanko yang sudah pasti kalau dia tidak akan menolak ajakan Zulla kali ini. Kesempatan yang langka dan tidak boleh disia-siakan. Kapan lagi makan gratis dan enak. Terlebih, bagi Vanko ini adalah momen bertemu dengan orang tua Zulla.
***
Next...