34. Penasaran

1730 Words
Cekrek! Cekrek! Dua kali bisa berfoto dengan Zulla, Tara dan Lingga membuat Lidya teramat bahagia. Awalnya, Lidya memang menganggap kalau Alfa bohong dan mengada-ada tapi sekarang sudah tidak lagi. Tadi setelah acara musik selesai, Alfa memanggil Zulla dan kedua temannya. Mereka berbincang di kafe lain yang jaraknya sedikit jauh dari kafe tempat Zulla bernyanyi. "Wah... Enggak nyangka kalau Kak Alfa beneran kenal sama Kak Zulla." kekeh Lidya yang baru percaya setelah Alfa membuktikannya. Mereka tadi sempat berbincang, ternyata  Lidya adalah adik dari sepupunya Alfa yang dulu waktu ulang tahun ingin dibelikan n****+ yang juga diincar Zulla. Kakaknya Lidya ternyata seumuran dengan Zulla dan sedang melanjutkan perguruan tinggi di Singapura. Alasan Alfa begitu menyayangi Lidya dan kakaknya, hal itu karena orang tua mereka sudah meninggal sejak Lidya masih berusia empat tahun. Mendengar ini, Zulla sedikit paham akan perasaan Lidya yang pastinya begitu merasa kehilangan mendiang orang tua mereka. Itu yang Zulla rasakan saat dulu Airin meninggal dunia. Maka dari itulah, keluarga Alfa begitu menyayangi dua bersaudara itu. "Kalau nanti dateng lagi ke kafe, jangan sungkan kalau mau nyapa." kata Zulla berusaha membuat Lidya senang. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Zulla rasa ini sudah waktunya pulang dan dia tidak mau membuat orang rumah cemas berlebihan. Mereka berpisah di sana dan pulang ke rumah masing-masing. Begitu pula dengan Tara dan Lingga. Kebetulan, malam hari ini Zulla dijemput Yudha yang baru selesai hangout bersama teman di tempatnya les renang. Bukan nongkrong biasa, tapi katanya merayakan ulang tahun salah satu teman Yudha yang baru menginjak usia tujuh belas tahun. "Tujuh belasan ntar kamu mau di mana?" Zulla berusaha membuka topik obrolan agar tidak terlalu sepi. "Tujuh belasan apaan?" heran Yudha. "Kamu ntar kalau umur tujuh belas." kata Zulla memperjelas maksudnya. "Wah... Ckckck..." Yudha menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak paham, dari mana kakaknya mendapatkan kata-kata itu. Padahal tadinya Yudha pikir tujuh belas Agustus, ternyata bukan. "Biasa aja kali, enggak usah sok kaget begitu." Zulla mencibir adiknya yang dirasa terlalu lebay. Mobil berbelok ke kiri secara mulus. Zulla akui kalau Yudha bisa menyetir begitu apik. Tapi kadang mereka juga takut kalau ada razia, Yudha belum tujuh belas tahun dan tentunya belum memiliki KTP serta SIM. Tapi untung saja, Yudha tidak terlalu sering mengendarai mobil. "Gue mau ngerayain tujuh belas tahun gue buat bikin KTP sama SIM secepatnya biar enggak perlu was-was lagi kalau ternyata ada razia.” ujarnya santai. "Cis... Perayaan ulang tahun apaan tuh? Itu tuh emang wajib lo dapetin, tapi bukan perayaan." lagi-lagi Zulla mencibir. Yudha mengedikkan bahunya tak tahu. Dia saja belum kepikiran mau apa setelah menginjak usia tujuh belas tahun selain memang ingin memiliki KTP dan SIM. Lima menit lagi, Zulla dan Yudha sampai di rumah orang tua mereka. Orang rumah sudah hafal semua kalau kedua anak remajanya pulang terlambat pasti ada yang dilakukan di luar. Seperti Zulla yang menyanyi di kafe. Kecuali Yudha, pulang sekolah dia langsung pulang dan baru main lagi. Sampailah mereka di rumah. Setelah membunyikan klakson dua kali, gerbang akhirnya terbuka. Yudha kembali menginjak gas pelan-pelan sampai di depan pintu garasi. Kakak beradik itu langsung keluar dan memberikan kuncinya kepada Pak Mus, biar saja sopirnya yang memarkirkan mobil ke garasi. "Kak Zulla sama Kak Yudha pulang!" seru Zulla saat baru memasuki rumah. Baru juga masuk, mereka sudah disambut oleh teriakan ceria Khael dan Zalle yang berlari ke arah mereka. Melihat kedua adiknya bersikap manja dan manis seperti ini, membuat rasa lelah Zulla dan Yudha menjadi hilang. "Kalian mau makan dulu atau mandi dulu?" tanya Alexa menyambut kedua anak remajanya yang baru masuk rumah. Ketika melihat Alexa, Zulla melihat bundanya tersenyum kepadanya dan semua. Bagi Zulla, kecantikan di raut wajah Alexa tidak pernah luntur. "Wah... Pantes Ayah selalu jatuh cinta ke Bunda. Bunda aja masih secantik dulu, padahal aku udah jadi anak kuliahan kayak Bunda dulu pas pertama kali jadi Bundaku." puji Zulla yang benar-benar mengagumi kecantikan dan wajah awet muda yang dimiliki Alexa dan Marsel. "Setuju." sahut Yudha sambil mewarnai gambar yang dibuat Khael. "Kalian ini emang paling bisa menggoda Bunda." Alexa terkekeh, tersipu malu dia mendengar pujian dari anak gadis dan perjakanya. "Jadi kalian mau yang mana dulu?" "Makan dulu, Bun." rengek Zulla seraya mengusap perut datarnya yang terasa lapar. "Aku udah makan, Bun." yang ini adalah suara Yudha. Di rumah hanya ada mereka karena Marsel sedang di rumah sakit. Rasanya sudah biasa tidak ada Marsel di rumah.   ***   Sepulang dari kafe, Alfa menghadap laptopnya tanpa henti. Sampai pukul sebelas malam pun matanya masih terbuka lebar. Seolah-olah, Alfa tidak diserang rasa kantuk sekarang ini. Tapi mungkin memang wajar ketika melihat ke arah mejanya. Di sana ada segelas kopi, gelas bukan cangkir. Segelas kopi besar yang diminum Alfa. Entah apa yang dikerjakan oleh Alfa, tapi dia tampak sibuk. Jadinya tidak berhenti men-scroll ke bawah, ke atas dan ke bawah lagi. Matanya pun tidak teralihkan ke arah lain.   Pegang pundakku jangan pernah lepaskan... Bila kumulai lelah... Lelah dan tak bersinar...   Di tengah waktu sibuknya, tiba-tiba Alfa teringat akan suara Zulla ketika menyanyikan lagu milik band yang juga pemilik lagu berjudul Sephia. Tangan Alfa bergerak ke atas, lalu melepas kacamata anti radiasinya. Lelaki itu seolah sedang mendengar suara Zulla ketika bernyanyi tadi. "Bagus juga suaranya. Enggak sia-sia dia les nyanyi selama ini." kekeh Alfa sambil berusaha membawa kesadarannya kembali. Wajahnya terus memancarkan sebuah senyuman sambil mematikan laptopnya dan ketika melihat jam digital di atas nakas samping ranjangnya, ternyata sudah lewat dari jam dua belas. Alfa segera meletakkan laptopnya ke atas meja dan berbaring. Dia ingat, kalau besok ada keperluan ke tempat lain sebelum ke rumah sakit.   ***   Hari demi hari terus datang silih berganti. Zulla melewatinya tanpa mengeluh. Setiap apa yang terjadi, semuanya berusaha dia terima dengan lapang hati. Motivasi utamanya belajar giat tetaplah Alfa. Sampai tak sadar, sekarang sudah ada di akhir semester dua. Sebentar lagi, Zulla akan menghadapi ujian untuk ke semester tiga. Kira-kira, mungkin tiga tahun lagi dirinya bisa menjadi KOAS. "Semangat Zulla, tiga tahun lagi lo bisa deketin Om dokter. Setelah sarjana, gue pasti ambil program KOAS." angguknya berusaha menyemangati diri sendiri. Satu butir bakso berhasil masuk ke mulut kecil Zulla. Dia mengunyahnya perlahan agar tidak tersedak. Gadis cantik itu sedang berada di kantin seorang diri. Tidak ada Lingga ataupun Tara yang ada di sampingnya. Alasannya, Lingga katanya ada keperluan ke tempat fotocopy. Sedangkan Tara, gadis itu sudah tidak ada kelas lagi dan katanya di rumah sedang ada hajat kecil-kecilan bersama keluarga besar. Saat sedang asik makan, Zulla melihat Gladys tampak kebingungan mencari tempat duduk yang kosong. Otomatis, Zulla menoleh ke setiap penjuru dan memang ramai. Adapun tempat kosong, tapi ada tas di atas kursinya yang artinya itu tempat sudah untuk orang lain. "Gladys!" panggil Zulla untuk menawarkan tempat duduk di depannya atau di sampingnya yang kebetulan kosong. Di saat ramai begini, Zulla jadi sedikit heran pada dirinya sendiri. Semua kursi ada orangnya dan dia sedang duduk sendirian. Tapi kenapa tidak ada yang datang padanya untuk meminta berbagi tempat? Gladys mendekat, sepertinya gadis itu mendengar seruan Zulla tadi. Dapat Zulla lihat, Gladys sedang membawa mangkuk panas berisi mie ayam yang kini dia letakkan di atas meja. "Lo manggil gue tadi?" heran Gladys lebih memperjelas lagi. "Duduk aja, kantin penuh 'kan!" titah Zulla berbaik hati. "Oh... Thanks." Gladys langsung duduk di sana meski sedikit canggung. Begitu pula Zulla yang sesekali melirik ke arahnya. Hal yang baru Zulla ketahui dari Gladys, bahwa dia tidak memiliki teman satu pun. Rumor yang beredar, hal itu dikarenakan Gladys yang katanya tidak suka memiliki teman dekat atau akrab. Banyak orang yang berbisik-bisik bahwa Gladys lebih nyaman sendiri. Tapi Zulla akui, dengan prinsip yang Gladys tanamkan selama ini, hal positifnya dia jadi lebih mandiri ketimbang yang lain karena mengerjakan dan melakukan apa pun bisa sendiri. Walau tidak menutup kemungkinan juga Gladys kadang kala membutuhkan bantuan orang lain. "Selamat ya, lo jadi peserta utama yang bakal mewakili lomba dari Indonesia nanti." Zulla akhirnya membuka suara agar tidak ada kecanggungan lagi, meski tetap saja sama. "Oh... Lo juga peserta 'kan, tapi emang kayaknya gue bakal menang." Zulla mencibir dalam hati. Meski Gladys sudah tidak merundungnya, tapi sifat sombongnya masih belum hilang. Namanya juga sifat, tidak akan semudah itu untuk mengubahnya. "Gue juga akan berusaha buat jadi pemenang." tentunya Zulla tidak mau kalah. Satu setengah bulan lagi, ada lomba menyanyi antar negara se-Asia yang diselenggarakan di Singapore. Beberapa tempat les yang ada di lima kota besar di Indonesia dipilih untuk mengirimkan murid terbaik mereka dan audisinya sudah berlangsung satu minggu lalu. Setiap negara, berhak mengirimkan minimal tiga peserta dan maksimal tujuh peserta. Sedangkan dari Indonesia, ada empat peserta yang akan mewakili nama bangsa di sana. Lebih kerennya lagi, Gladys terpilih sebagai calon peserta utama dari Indonesia. Banyak pihak yang mengharapkan kepulangannya membawa kemenangan. "Tapi emang gue akui, dari segi musik lo lebih segalanya daripada gue." angguk Zulla harus mengakui kemampuan Gladys. "Gue enggak tahu, barusan itu pujian atau hinaan buat gue." kekeh Gladys tapi masih terdengar sinis. "Terserah lo mau menganggapnya apa. Hinaan atau pujian." Zulla mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Gladys tersenyum sinis mendengar jawaban Zulla. Dia lanjut makan saja, lagi pula perutnya juga terasa begitu lapar. "Gue yakin, kalaupun nanti gue enggak juara. Masih ada lo yang menjadi harapan. Suara dan cara lo bermain musik juga enggak kaleng-kaleng." Zulla melihat ke arah Gladys yang sedang menyuapkan mie ke mulutnya. Tidak menyangka sekali, Gladys bisa berkata seperti itu untuknya. "Gue ngomong gitu, bukan berarti gue mau ngalah dari lo. Gue bakal tetap berusaha buat jadi pemenang." lanjut Gladys karena Zulla hanya diam tidak menanggapinya. Anggukan yang berulang membuat leher Zulla jadi sedikit pegal. Dari yang dia tangkap, Gladys juga berharap dirinya menang. "Lo mau latihan bareng gue?" tawar Zulla mencoba lebih mendekat lagi ke Gladys. Sebenarnya Zulla cukup penasaran, hal apa yang membuat Gladys jadi seperti itu. Atau mungkin dari lahir, atau ada faktor lain. Dan Zulla ingin berusaha menjadi orang terdekat Gladys meski mungkin jalannya sulit atau bahkan mustahil mengetahui bahwa Gladys tidak suka memiliki teman dekat. "Hah... Enggak usah bercanda. Gue bisa latihan sendiri." Sudah bisa Zulla tebak, pasti Gladys akan menolaknya secara cuma-cuma. Mungkin saja, rumor itu benar adanya. "Ya siapa tahu aja, nanti gue bisa nyuri teknik rahasia lo supaya bisa nyanyi dengan apik." "Suara gue emang udah cantik dan indah buat menyapa telinga." lagi-lagi Gladys menyombongkan dirinya sampai membuat Zulla merasa ingin muntah. Matanya menatap Gladys, tapi ternyata gadis itu juga sedang menatapnya sambil tersenyum dengan wajah judesnya seperti biasa. Zulla hanya bisa mendesah dan lanjut makan. *** Next...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD