Zulla sudah bertemu dengan senin lagi. Hari ini, gadis itu sedikit lesu karena semalam dia begadang mengerjakan tugas yang lupa dia kerjakan. Ditambah rutinitas senin adalah upacara.
Benar, saat ini kepala sekolah sedang berpidato di depan semua muridnya. Beberapa murid juga banyak yang mendengarkan, banyak juga yang sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Yang jelas, pidato upacara kali ini membahas tentang ucapan selamat kepada murid baru. Hal itu baru diucapkan karena minggu lalu tidak jadi upacara. Selain itu, kepala sekolah lanjut membahas tentang peraturan, visi dan misi sekolah yang tetap saja sama dengan tingkat di bawah SMA.
"Ish... Kapan sih Pak Dante udahan? Enggak tahu apa kalau hari ini tuh panas?" gerutu Zulla yang sudah menunduk-nunduk agar wajahnya tidak terkena langsung oleh sorot sinar matahari.
Dante, atau yang dikenal sebagai kepala sekolah SMA yayasan sedang berdiri di depan dan beliau dikenal orang yang betah bicara. Kalau sudah berpidato di waktu upacara begini, tidak ada yang bisa menghentikannya walau jam upacara harus mengambil jam pelajaran juga.
"Iya ih, kaki gue ampe pegel tahu enggak?" balas Becca seraya menggoyangkan kakinya yang memang terasa pegal.
Tiba-tiba saja, Vanko yang berdiri di samping kiri Becca, dia maju sedikit dan seketika Zulla tidak lagi terkena sorot matahari. Tentu saja, Becca merasa cemburu akan hal ini. Dia tersenyum miris saat dia menundukkan kepalanya.
Dia aja masih perhatian banget dan berharap dia bisa jadi bagian penting di hidup Zulla, terus malem minggu kemarin dia mau nyium gue? Gue enggak percaya kalau dia mau ngelakuin itu ke gue karena dia beneran suka ke gue. Batin hati Becca yang sedang nyeri atas perhatian yang diberikan Vanko pada Zulla secara tidak sengaja.
"Lo enggak perlu ngelakuin itu kali, Van. Lo bisa kepanasan." bisik Zulla pelan tapi bisa didengar oleh Vanko.
"Enggak apa-apa, kasihan juga gue tahu Becca kepanasan." sahutnya sembari menoleh sebentar.
"Cie... So sweet banget." Zulla selalu suka setiap melihat mereka berdua mesra dalam hal kecil begini.
Bohong. Gue tahu kalau lo bohong ngelakuin itu karena gue. Hati kecil Becca kembali menampik jawaban Vanko.
Setelah malam minggu kemarin, Vanko dan Becca tak banyak bicara. Bahkan sikap Vanko pada Becca sedikit dingin. Begitu pula Becca yang sedikit takut untuk bertanya atau mengajak Vanko ngobrol. Hanya saja, Zulla tidak menyadari hal itu.
"Gimana kalau nanti sore kita jalan-jalan ke mall?" tanya Zulla pada kedua temannya.
"Gue ikut kalau kalian mau jalan."
Kepala mereka bertiga, Zulla, Becca dan Vanko seketika menoleh ke belakang. Melihat siapa yang barusan ikut-ikutan bicara. Ternyata orang itu adalah Lingga, lelaki yang marah-marah pada Becca di hari pertama mereka bertemu.
"Gue enggak ngajak lo." tolak Zulla mentah-mentah.
"Oke, makasih atas ajakannya. Nanti gue pasti ikut." tanpa punya rasa bersalah atau malu, Lingga tersenyum pada mereka bertiga seraya menunjukkan mata sipitnya.
Sulit. Zulla merasa dia kesulitan berbicara pada Lingga. Pasalnya, lelaki itu tidak pernah mendengarnya dan selalu pada opininya sendiri. Seperti contohnya pagi ini.
Upacara selesai juga akhirnya. Rasa lega melanda, akhirnya berdiri di lapangan pun usai. Para murid bubar bagaikan semut yang memilih jalan mereka masing-masing. Tapi mayoritasnya mereka ke kantin untuk membeli minuman. Meski upacara mengambil beberapa menit di jam pelajaran, tapi tetap saja waktu istirahat selama lima menit tetap diadakan.
Begitu pula dengan Zulla dan kedua temannya, mereka baru saja masuk kelas sehabis dari kantin. Raut kekesalan tercetak di wajah Zulla saat melihat Lingga nyengir padanya.
"Nanti kalian mau ke mall mana emang?" Lingga malah orang yang paling antusias, padahal dia tidak diajak.
"Ish... Gue enggak ngajak lo." kesal Zulla.
"Gue dengan senang hati dong diajak sama, Princess."
Muak. Zulla muak setiap kali Lingga memanggilnya Princess. Bahkan kalau orang lain mendengar, mungkin bisa dikira Zulla adalah pacarnya Lingga.
"Lo bisa diem enggak sih? Gue bukan Princess dan gue enggak suka dipanggil Princess."
"Tapi gue suka manggil lo Princess karena lo Princess di hati gue." kata Lingga, bahkan lelaki itu sampai membentuk kedua jarinya seperti love ala drama Korea.
Jika di bangku depan sedang ribut antara Lingga dan Zulla, di meja belakang tidak ada percakapan. Vanko dan Becca sama-sama diam, padahal mereka minum minuman yang sama.
Seorang guru perempuan masuk kelas, seketika para murid menyembunyikan minuman dan makanan mereka ke tempat yang disediakan. Atau yang sering dibilang adalah kolong meja.
"Good morning, students." sapa guru bahasa Inggris di depan.
"Morning, Miss."
"How about last weekend? Is it fun?" tanya sang guru berbasa-basi sebelum memulai pelajaran.
"Yes, Miss."
"Okay, now collect the assignment I gave last week." titah guru yang berusia awal tiga puluhan itu.
"Mau nitip apa enggak?" tanya Zulla saat akan maju mengumpulkan bukunya.
Saat itu, Vanko berniat ingin menitipkan bukunya. Hanya saja, lelaki itu terhenti saat mengetahui Becca menggelengkan kepalanya.
"Gue lupa ngerjain." Becca merasa dirinya sudah tamat sekarang. Pasti akan mendapatkan hukuman.
"Hah? Terus gimana?" Zulla ikut kaget mendengarnya.
"Ya paling dapet hukuman dari Miss Tisha." desahnya pasrah.
Karena terlalu fokus mengurus pesanan tembikarnya, Becca sampai lupa kalau dia ada PR. Padahal meski Becca tidak terlalu pandai, dia selalu mengerjakan tugas rumahnya.
"Mending lo maju duluan, Zul." titah Vanko dan akhirnya gadis itu maju.
Saat sudah pasrah buat menerima hukuman, tiba-tiba Becca dibuat tak mengerti karena Vanko menyodorkan bukunya padanya.
"Mumpung belum gue kasih nama bukunya." katanya pelan agar tidak terdengar murid lain.
"Eh? Enggak usah. Masa lo yang capek ngerjain, gue yang dapet nilai sih. Gue nerima aja ntar kalau dapet hukuman dari Miss Tisha." tolak Becca yang tentunya tak enak hati.
"Gue juga enggak masalah kalau dihukum." Vanko masih memaksa agar bukunya diberi nama Becca.
"Gue tahu lo baik hati, tapi gue enggak bisa nerima gitu aja pekerjaan orang lain terus gue akuin. Meski gue nanti dihukum, gue enggak akan ngerasa ngerebut nilai lo."
Jujur, Becca juga tidak mau kalau nilai Vanko kosong karenanya. Becca akan merasa sangat bersalah nantinya.
Tanpa pikir panjang lagi, Vanko langsung menamai buku itu. Tentu saja, Becca senang melihatnya. Dia tidak sakit hati atau kesal karena Vanko tidak jadi memberikan tugasnya padanya. Lelaki itu juga menyusul maju ke depan mengumpulkan tugasnya.
"Lo kok bisa lupa sih, Bec?"
"Karena sibuk sama pesenan cangkir gue makanya jadi lupa."
Zulla juga kasihan pada Becca kalau nanti temannya itu mendapatkan hukuman. Tapi mau bagaimana lagi? Zulla juga tidak bisa apa-apa.
***
Acara jalan-jalan ke mall seperti yang direncanakan Zulla terwujud juga. Mereka berempat pergi bersama-sama untuk nonton. Kebetulan, ada film baru. Sebenarnya Zulla ingin nonton saja, tapi dia tidak punya teman. Akhirnya dia mengajak Becca dan Vanko. Sedangkan Lingga, lelaki itu tadi sudah tidak diajak. Namun Lingga tidak menyerah dan mengikuti mobil Vanko. Sehingga mau tak mau, Zulla mengizinkan Lingga ikut bersama mereka.
Acara nonton film selesai, mereka berempat sedang mengisi perut di tempat makan yang ada. Kebetulan, mereka sepakat untuk makan steak kali ini. Hari sudah semakin gelap, tapi mereka berempat tetap enjoy saja berada di mall.
"Gue mau jadi bagian dari geng kalian." ujar Lingga tiba-tiba membuat Zulla yang ingin menyuapkan daging ke dalam mulut jadi terhenti.
"Kami bukan geng, tapi emang temenan." sanggah Zulla yang tidak setuju kalau pertemanannya bersama Vanko dan Becca disebut sebagai geng.
"Ya kalau gitu, gue mau jadi bagian dari kalian. Jadi temen kalian."
Dalam kondisi mengunyah, Zulla ingin tertawa saja mendengarnya. Awalnya Lingga sok-sokan marah dan kasar pada Becca, terus sekarang lelaki itu meminta ingin menjadi teman mereka. Bukankah ini adalah hal yang lucu dan cocok buat ditertawakan.
"Enggak semudah itu lo biar bisa jadi temen kami." sambung Becca seraya menunjuk wajah Lingga.
"Ish... Pisaunya enggak usah dibawa-bawa nodong juga kali." ngeri sendiri Lingga melihat Becca menunjuknya menggunakan pisau yang dipakai makan steak.
"Emang apa syaratnya? Perasaan Vanko juga gampang-gampang aja jadi temen kalian."
"Eum... Enggak ya. Dia juga harus ngejawab pertanyaan dari gue dan kalau jawabannya sesuai sama yang gue dan Becca harapkan, baru bisa diterima."
Kepala Becca mengangguk, apa yang dikatakan Zulla memang benar adanya. Dulu waktu Vanko mau masuk jadi temannya dan Zulla, lelaki itu harus menjawab sesuai apa yang Zulla dan Becca harapkan.
"Mana coba pertanyaannya? Apa coba? Biar gue jawab, siapa tahu bener." tantang Lingga.
"Tapi kalau lo sekali jawab salah, lo enggak punya kesempatan lagi. Gimana?" tawar Becca.
"Bener tuh apa yang dibilang Becca. Kesempatan enggak dateng berkali-kali." angguk Zulla.
"Enggak apa-apa, gue coba aja sampai bisa." Lingga pantang menyerah.
"Kalau misalkan di waktu bersamaan, pacar sama temen lo butuh lo, hal mana yang bakal lo pilih?" pertanyaan yang dulu bisa dijawab Vanko, kini ditanyakan pada Lingga.
Di sana ada empat orang, tapi yang aktif hanya tiga saja. Sedangkan Vanko, dia lebih fokus pada apa yang dia lakukan. Barulah sampai sini, Zulla merasa ada yang aneh dari Vanko dan Becca. Hanya saja, Zulla memilih pura-pura tidak tahu.
"Ada dua kemungkinan yang akan gue pilih. Pertama, gue bakal diem aja dan enggak akan memilih salah satu. Kedua, gue akan mencoba segala dan berbagai cara supaya bisa menyelesaikan masalah mereka secara bersamaan."
Antara Zulla, Becca dan Vanko melongo mendengar jawaban Lingga. Tak sampai lima menit, lelaki itu sudah menjawabnya. Padahal, dulu Vanko sampai memikirkan jawabannya selama tiga hari baru dia berani menjawab.
"Kenapa? Kalian kenapa diem aja? Jawaban gue bener apa salah?" Lingga begitu antusias ingin mendengar tanggapan dari jawabannya.
"Lo ngasih tahu jawabannya ke Lingga?" tuduh Zulla pada Vanko yang tak habis pikir.
"Kapan? Gue aja enggak pernah ngomong sama dia."
"Jawaban lo bener tahu enggak, Ling." Becca membenarkan jawaban Lingga tadi.
Tak habis pikir, kenapa bisa Lingga menjawab cepat dengan jawaban yang tepat. Padahal, dia pikir tadinya, Lingga akan kesusahan.
"Jadi gue resmi 'kan ya? Jadi temen kalian?" wajah Lingga tampak semringah mengetahui bahwa jawabannya benar.
Dengan berat hati, karena sudah membuat perjanjian, jadi mau tak mau Zulla dan kawan-kawan akan menerima Lingga menjadi bagian dari mereka sebagai teman.
"Selamat ya hehehe..." cengir Zulla seraya menyalami Lingga.
Becca dan Vanko pun sama-sama bergantian menyalami Lingga walau sedikit berat hati.
Obrolan mereka masih terus berlanjut. Kali ini seputaran tentang masa lalu Lingga saat di sekolahnya dulu. Pastinya, Zulla juga penasaran dengan kehidupan lalu teman barunya.
"Ngomong-ngomong, katanya Vanko harus jawab pertanyaan juga. Terus siapa yang awal mula ngebentuk pertemanan ini?" Lingga begitu penasaran akan hal ini.
"Gue sama Becca duluan yang temenan karena dari TK, kita berdua barengan. Terus pas SMP, Vanko gabung jadi temen, dan sekarang lo."
Lingga mengangguk-angguk mengerti. Kalau dilihat-lihat memang, Zulla lebih dekat dengan Becca ketimbang Vanko. Ternyata juga karena mereka berteman lebih lama.
"Vanko gabung jadi temen, terus jadian sama Becca. Gue sekarang gabung jadi temen juga, bisa dong ya ntar gue jadian sama Zulla."
Wajah tampan nan putih milik Lingga tersenyum membayangkan kalau apa yang dia katakan barusan menjadi kenyataan. Menjadi kekasih Zulla, hal yang sangat diinginkan oleh Lingga.
"Ngaco aja lo kalau ngomong. Vanko sama Becca jadian itu ya karena mereka saling suka. Lah gue ke lo? Apanya yang mau gue sukain?" bukannya merendahkan, Zulla hanya menganggap ini sebuah candaan belaka.
Perkataan Zulla membuat Becca kembali tersenyum miris. Mana ada dirinya pacaran dengan Vanko berdasarkan suka sama suka. Yang ada, dia saja yang suka sedangkan Vanko tidak.
"Kalian pacaran udah berapa lama?"
"Kelas satu SMP. Ngapain lo nanya-nanya segala?" sewot Vanko meski dia juga menjawab.
Ekor mata Becca melirik ke arah Vanko tiba-tiba tapi dia langsung fokus ke chicken steak-nya lagi.
"Udah lama juga ya. Pasti kalian udah pernah ciuman 'kan?" goda Lingga terang-terangan.
"Uhuk... Uhuk..." Becca tersedak makanannya sampai dia terbatuk mendengar pertanyaan Lingga barusan.
"Apa jangan-jangan, kalian malah udah tidur bareng?" Lingga tak berhenti menggoda.
Tring!
Zulla ikut kaget mendengar pertanyaan Lingga kali ini. Tak habis pikir, kenapa lelaki itu sangat penasaran akan kehidupan asmara orang lain.
Becca semakin terbatuk-batuk saja dia karena tersedak dua kali. Walaupun Becca tidak makan pedas, tapi yang namanya tersedak tetaplah terasa nyeri dan tidak enak.
"Eherm... Uhuk..." tak beda jauh dengan Vanko yang juga tersedak mendengar pertanyaan kedua Lingga.
Setelah menghabiskan minumannya, Vanko menatap nyalang ke arah Lingga. Kesal sekali dia mendengar pertanyaan barusan.
"Lo apa-apaan sih? Enggak sopan tahu enggak nanyain hubungan orang lain. Kepo banget hidup lo." dengus Zulla, dia tidak terima Lingga bertanya hal yang lebih pribadi.
"Mulut lo enggak usah nyebarin gosip yang enggak-enggak ya. Gue macarin Becca bukan karena nafsu semata. Pacar gue bukan pemuas nafsu buat gue." jawab Vanko tegas sambil melihat ke arah Lingga.
Ingin rasanya Zulla memberikan tepuk tangan atas pemikiran Vanko. Salut dia memiliki teman seperti Vanko, yang sangat menjaga Becca.
Suasana jadi kurang nyaman karena pertanyaan Lingga tadi. Mereka hanya saling diam dan melanjutkan makan. Apalagi Becca, dia hanya menunduk. Dia merasa malu mendapat pertanyaan seperti itu tadi.
Zulla jadi merasa bersalah pada Becca dan Vanko. Karenanya yang menerima Lingga dalam pertemanan mereka, kedua temannya itu jadi mendapatkan pertanyaan tak bermutu seperti itu.
***
Next...