"Aku duluan!" teriak Zulla sesaat setelah dia baru masuk ke rumah.
"Aku duluan!" kali ini ganti suara Yudha yang terdengar.
"Gak boleh! Pokoknya aku duluan!"
"Yang tua harus ngalah, Kak!"
Kedua remaja itu sedang berebut untuk menemui adik baru mereka yang lahir dua hari lalu. Antara Zulla ataupun Yudha sendiri sangat menyukai kehadiran anggota baru di keluarga. Walaupun awalnya, Zulla sedikit kesal karena Alexa hamil yang kedua kali. Ditambah lagi, saat Alexa hamil kedua, usia Khael masih enam bulan.
Langkah kaki yang begitu menggema memenuhi seisi rumah. Mereka berdua sedang menaiki tangga rumah dengan berlari. Tujuan Zulla dan Yudha mana lagi kalau bukan kamar kedua orang tua mereka.
"Syut... Jangan berisik."
Tiba-tiba saja, Erika keluar dari kamar Marsel seraya menunjukkan jari telunjuknya di depan hidung. Dalam sekejap, Zulla dan Yudha pun seketika diam.
"Jangan berisik, adik bayinya baru tidur." ujar Erika memberi tahu kedua cucunya.
Harapan bisa bermain dengan Zalle, pupus sudah. Benar, adik kedua Zulla bernama Khael dan adik ketiganya bernama Zalle. Beda-beda tipis memang dengan Zulla. Memang, Marsel dan Alexa sengaja memberi nama mirip yang mirip dengan anak sulungnya.
"Kalau Khael?"
Harapan mereka kini hanya tersisa Khael saja. Adik mereka yang baru berumur satu tahun setengah.
"Khael juga tidur, tadi habis makan terus mandi lanjut tidur di kamar sama Bunda."
Tidak jadi lagi Zulla dan Yudha mau bermain dengan kedua adik mereka.
"Sudah, sekarang kalian cepetan mandi. Keburu makin sore nanti."
Zulla mengangguk, begitu pula Yudha pun ikut mengiyakan titah dari omanya. Lagi pula, mereka berdua juga kelelahan habis sekolah dari pagi sampai sore. Belum lagi tadi pagi upacara, pasti hari yang sangat melelahkan.
***
Lima hari berlalu, di hari sabtu ini Zulla masih les musik. Sebenarnya, gadis itu tidak terlalu ingin menekuni dunia musik. Zulla hanya ingin mengisi waktu luangnya saja dengan hal yang lebih bermanfaat.
Teman baik Zulla masih sama, hanya Tara seorang di sana. Begitu pula dengan gadis yang selalu menjahili Zulla dan Yudha dari kecil, siapa lagi kalau bukan Gladys. Padahal, guru les mereka juga bilang kalau potensi Gladys sangat baik dan dia tidak kalah dari Zulla. Makanya Zulla sedikit heran, apa yang membuat Gladys begitu iri padanya.
"Oke, latihan cukup sampai di sini. Jangan lupa buat mengerjakan tugas yang Ibu berikan ya dan sampai jumpa minggu depan." guru les yang berusia sekitar empat puluhan itu menyudahi pertemuan mereka dan langsung keluar.
Para murid sebanyak lima belas orang langsung merapikan alat musik mereka masing-masing dan satu persatu sudah keluar. Tak beda jauh dengan Zulla dan Tara. Mereka berdua keluar ruangan secara bersamaan.
Bruk!
"Ups... Sorry, gue sengaja." ujar Gladys saat dia berhasil menabrak Zulla dari belakang sampai membuat tas Zulla jatuh.
Jika Zulla les ganti hari, berbeda dengan Tara dan Gladys yang les setiap hari. Makanya, meski bukan hari minggu, Zulla tetap bertemu dengan teman dan musuhnya itu.
“Jangan macem-macem lo sama Kakak gue." tanpa Zulla tahu, ternyata Yudha sudah ada di sana menunggunya.
Bola mata Gladys berputar malas melihat hal ini. Dia selalu saja kesal berlipat-lipat ganda setiap melihat Yudha ada di sana. Kejadian waktu itu saat Yudha mendorongnya hingga jatuh, masih terekam jelas di ingatan Gladys dan itulah yang membuatnya semakin tidak suka pada Yudha. Begitu pula sebaliknya, Yudha selalu marah setiap kali melihat Gladys meski itu tidak sengaja.
"Anak kecil aja belagu lo pakai sok-sokan ngebelain Kakak lo segala." desah Gladys tanpa mau menatap ke arah Yudha.
"Jangan pernah ngatain gue anak kecil ya!" sentak Yudha seraya menunjuk wajah Gladys kesal dan marah.
Melihat adiknya dan Gladys selalu bertengkar seperti ini, membuat Zulla gerah. Dia sampai menggertakkan giginya karena saking malas dan muak. Ingin sekali rasanya Zulla berteriak pada mereka berdua agar diam, tapi remasan tangan Tara membuat Zulla mengurungkan niatnya. Dia tidak jadi melakukan hal itu, dan memilih memendam emosinya di dalam hati.
"Udah, enggak usah peduliin nenek lampir. Kita balik aja." lerai Zulla sebelum akhirnya dia menarik tangan Yudha dan pergi dari sana.
"Mulut lo bau pakai ngatain gue nenek lampir!" balas Gladys yang tidak terima dibilang nenek lampir oleh Zulla.
Meski antara Zulla, Yudha dan Tara mendengar apa yang dikatakan Gladys tadi, tapi di antara mereka bertiga tidak ada yang menanggapi Gladys. Mereka bersikap seolah-olah tidak bisa mendengar.
Setiap les, ada saja yang membuat Zulla harus bersabar lebih untuk menghadapi Gladys. Dia juga tidak habis pikir, kenapa dari dulu sampai sekarang pun Gladys masih tidak suka padanya. Ya, meski Zulla juga tidak berharap dia disukai oleh Gladys.
"Tu orang kayaknya bener-bener gila deh. Tiap ketemu, ada aja yang dia lakuin buat ngejahilin lo." Tara juga tak habis pikir pada Gladys.
"Dia bukan jahil, tapi jahat." sahut Yudha bersungut-sungut.
Zulla mendesah mendengar perkataan Tara dan Yudha barusan. Mereka berdua klop sekali kalau sedang bertemu seperti ini.
"Tapi, Gladys juga enggak akan kayak begitu kalau enggak ada sebabnya."
"Emang selama ini, lo jahatin Gladys duluan? Enggak 'kan? Otak dia aja udah sakit." dengus Tara yang memang sangat kesal melihat itu semua dari dulu.
Satu persatu, anak tangga menuju luar gedung sudah mereka lewati. Sekarang, mereka sudah benar-benar ada di luar gedung tempat les mereka selama ini. Ketiganya, berjalan sangat pelan seolah-olah takut melukai jalanan yang terbuat dari semen itu.
"Ya meski bukan gue penyebabnya, tapi pasti ada. Bisa jadi Gladys ngelakuin hal itu karena ada penyebab lainnya. Semacam mencari perhatian dari orang lain gitu." Zulla mencoba saja menebak apa yang sekiranya masuk di akal.
"Cara dia salah kalau dia nyari perhatian dengan cara kayak begini."
Mau dibagaimanakan juga, Yudha tetap tidak suka pada Gladys. Terlebih pada tingkah gadis itu. Apalagi kalau mengingat usia Gladys sebenarnya lebih tua satu tahun dari Zulla, harusnya gadis itu bisa lebih dewasa. Akan tetapi, memang benar kata orang, kalau usia tidak menjamin kedewasaan.
"Yang penting, kita enggak boleh ngebales dia dengan cara begitu pula. Kalau kita ngebales dia dengan cara yang sama kayak dia, terus apa bedanya kita sama dia?"
Untuk hal satu ini, Tara setuju pada Zulla. Memangnya siapa yang mau memiliki impian untuk menjadi jahat. Pasti hanya satu dibandingkan sepuluh ribu yang ada.
Tak lama, ada sebuah motor datang. Lelaki berkacamata itu adalah kekasih Tara yang selalu menjemputnya ke tempat les di hari sabtu dan minggu. Melihat hal ini, Zulla jadi sedikit iri. Dia ingin juga punya pacar, tapi lelaki yang disukai Zulla masih Alfa.
"Cowok gue udah dateng, gue balik duluan ya." pamit Tara seraya melambaikan tangannya gembira.
"Da... Hati-hati ya di jalan." balas Zulla membalas lambaian tangan Tara.
Setelah kepergian Tara, tak lama ada mobil datang. Mobil siapa lagi kalau bukan mobil yang dikendarai oleh Pak Mus buat menjemput Zulla dan Yudha.
"Yud, gimana kalau kita mampir makan fried chicken dulu?"
"Boleh, aku juga mau. Tapi traktir." kikik Yudha yang tak ingin rugi tapi ingin makan enak.
Tanpa pikir panjang, Yudha langsung berlari meninggalkan Zulla dan masuk mobil. Lelaki itu sudah tidak sabar buat makan fried chicken secepatnya.
***
Deretan guci berwarna-warni tampak indah berbaris rapi dari ujung kiri ke kanan. Tak hanya itu, masih ada cawan, gelas, teko dan banyak lagi yang terpajang di sana. Keindahan memanjakan mata bagi setiap orang yang datang ke sana.
Beberapa kali, Becca mengelap peluhnya yang berjatuhan saat sedang membuat sebuah karya. Hasil dari belajarnya sejak kecil, sekarang Becca sudah bisa menghasilkan karya sendiri dan karyanya patut untuk diperdagangkan.
Tangan Becca kotor oleh tanah liat. Dari pagi, gadis berambut keriting itu sibuk di galeri milik tantenya. Becca mendapatkan pesanan sebanyak lima pasang mug berbentuk buah-buahan yang dipesan dari China. Sudah satu minggu ini setiap pulang sekolah, Becca selalu menuju ke galeri tantenya.
Rere, nama tante Becca atau adik dari ayahnya. Seorang perempuan yang baru berusia dua puluh delapan tahun itu tidak mau mengakui karya keponakannya menjadi karyanya. Rere selalu jujur kepada konsumennya. Jika yang terjual adalah hasil buatan tangan Becca, maka Rere akan berkata yang sebenarnya.
"Bec, kalau capek istirahat aja dulu. Tante bisa bantu." tegur Rere yang sebenarnya kasihan pada Becca, tapi juga senang karena dengan begini maka banyak orang di luar sana yang semakin mengenal karya keponakannya.
"Bentar lagi beres kok, Tan."
Tanpa Becca sadari, di sana ada Vanko yang baru saja tiba untuk menjemputnya. Awalnya, Rere mau memberi tahu Becca kalau Vanko datang, hanya saja, Vanko melarang karena tidak mau mengganggu Becca.
Vanko akui, dia salut pada Becca yang serius menekuni seni tembikar hingga gadis itu bisa sampai sekarang. Becca juga sudah memiliki penghasilan sendiri dari karya-karya yang dia buat.
"Oke, selesai." Becca tampak puas akan hasil karyanya.
Masih belum menyadari kedatangan Vanko, Becca melanjutkan step berikutnya dan dia langsung mencuci tangan di wastafel khusus untuk pengrajin tembikar saat sedang bekerja. Gadis itu juga melepas kain yang dipakai untuk menutup badannya agar pakaiannya tidak kotor.
"Udah? Nanti biar Tante yang matiin ovennya." sahut Rere seraya membawa dua gelas minuman dingin dari dapur kecil yang ada di galeri.
"Enggak apa-apa, Tante. Aku enggak mau ngerepotin." cengirnya seraya mengambil gelas dari nampan yang dibawa Rere tadi.
Segar, saat Becca berhasil membasahi tenggorokannya menggunakan air dingin itu.
"Jangan minum sendiri aja dong, itu pacarnya enggak ditawarin?" kikik Rere seraya menunjuk Vanko yang masih berdiri menatap Becca dan Rere.
Pandangan Becca ikut ke arah dagu Rere. Benar sekali, Vanko sedang tersenyum ke arahnya sekarang ini.
"Lo dari kapan di sini?" kaget sekaligus heran Becca.
Gelas berisi air dingin berwarna kuning tadi dibawa oleh Becca dan dia berikan pada Vanko. Mengetahui dirinya dilihat oleh Vanko sedari tadi, membuat Becca sedikit malu.
"Dari lo enggak berhenti ngelap keringet." kekeh Vanko.
Saat menoleh ke sekitar, ternyata Rere sudah tidak ada di sana. Sekarang hanya tersisa mereka berdua saja.
"Lo ada apa pakai nyari gue ke sini segala?" tanya Becca seraya menaikkan sebelah alisnya.
Pertanyaan Becca membuat Vanko tersenyum. Dia meletakkan gelas yang diberikan Becca tadi ke atas meja di belakangnya.
"Emang buat nemuin pacar sendiri itu butuh alasan ya? Atau nanti-nanti, gue butuh buat janji dulu kalau mau ketemu sama lo?" kekehnya bercanda.
Becca hanya nyengir kuda mendengarnya. Gadis itu merasa jantungnya masih berdebar setiap bersama Vanko, masih sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Bahkan Becca masih sangat menyukai dan mencintai lelaki di depannya itu.
"Sorry, gue salah." angguk Becca.
"Enggak perlu minta maaf, lo juga enggak salah apa-apa." sahut Vanko.
Suhu di dalam galeri bisa dibilang lumayan dingin karena ada lebih dari tiga pendingin ruangan yang selalu menyala. Hal itu dimaksudkan agar yang sedang membuat tembikar tidak terlalu kepanasan. Walau meski masih saja berkeringat.
"Lo mau jalan sama gue 'kan?" bukannya memberi penawaran, tapi Vanko langsung bertanya seperti itu yang membuat Becca jadi berpikir lebih dari dua kali.
"Tapi gue habis keringetan, bau badan gini."
Wajar saja seorang gadis tidak PD kalau jalan bersama kekasihnya tapi bau keringat. Apalagi kalau gadis itu sangat menyukai kekasihnya seperti Becca.
"Gue enggak nyium bau keringat kok. Udah, enggak apa-apa kali. Gue udah jauh-jauh ke sini, masa enggak jadi jalan sih." keluh Vanko.
Sebenarnya, Becca merasa tidak enak hati juga kalau menolak ajakan Vanko. Tapi dia sedikit kurang nyaman kalau sebenarnya dia keringetan begini.
"Enggak usah banyak mikir, gue nerima lo apa adanya kok."
Setelah berpikir lebih dari lima kali lipat, akhirnya Becca menganggukkan kepala. Dia kasihan pada Vanko yang sudah jauh-jauh datang menjemputnya ke galeri Rere.
Setelah menghabiskan minum yang dibuatkan oleh Rere, Becca dan Vanko pamit dari sana. Sedangkan karya hasil tangan Becca yang di dalam oven tadi akan diurus oleh Rere.
Becca tidak menyangka kalau Vanko akan membawa mobil ke sini. Gadis itu pikir, Vanko membawa motor.
Kenapa Vanko bawa mobil sih? Bisa bau asem semua tuh seisi mobil yang ada. Desah hati Becca yang menyesali kendaraan Vanko kali ini.
Meski sebenarnya, Becca juga tidak tercium bau keringat. Tapi gadis itu merasa kurang nyaman saja.
Kedua remaja itu sudah masuk ke mobil dan kini kendaraan roda empat itu melaju meninggalkan galeri. Becca juga tidak tahu, Vanko akan membawanya ke mana.
Di dalam mobil, hanya ada percakapan seputar tembikar di antara mereka berdua. Beberapa kali, Vanko juga memberikan respons baik untuk Becca. Sampai akhirnya, mereka tak sadar kalau mobil yang dikendarai Vanko sudah sampai di tempat parkir yang ada di sebuah wisata kuliner.
"Kita jajan aja di sini, lo pasti laper 'kan?"
"Tapi kayaknya penuh deh." Becca melihat ke arah luar dari dalam jendela mobil.
Saat Vanko melihat ke sekitar dari dalam, ternyata memang benar, di tempat wisata kuliner itu sangat ramai. Hampir tidak ada tempat duduk yang kosong.
"Kalau gitu, lo tunggu sini aja. Biar gue yang beli." Vanko sudah berniat buat turun tapi Becca menarik jaketnya hingga Vanko kembali duduk.
"Kenapa?"
Vanko melihat Becca melepaskan tangannya dari jaket yang dia pakai. Dia sedikit tersenyum miris melihat hal itu.
"Kita pergi aja, gue enggak masalah kok kalau enggak makan di sini."
Kepala Vanko mengangguk, dia mengiyakan permintaan Becca dan pergi dari sana. Wajar saja, malam minggu memang banyak tempat ramai. Sekarang, tujuan Vanko adalah taman yang tak jauh dari sana.
Tak sampai sepuluh menit, Vanko sudah kembali berhasil memarkirkan mobilnya di sekitar taman. Meski taman juga ramai, tapi setidaknya di sana ada banyak tempat makan dan tempatnya luas.
Saat sedang akan membuka seatbelt, Becca merasa sedikit kesusahan. Dia tidak tahu kenapa sulit dilepaskan. Sampai akhirnya, Vanko mengetahui hal itu.
"Sini, biar gue coba."
Usai membuka seatbelt yang menahan tubuhnya sendiri, Vanko beranjak dari tempat duduknya dan bersiap melepaskan pengait seatbelt kekasihnya. Namun tanpa disangka, Vanko malah terpaku pada bibir merah cherry milik Becca.
Mengetahui Vanko menatapnya tanpa berkedip, Becca juga menjadi sedikit salah tingkah. Dia panas dingin tak karuan hanya karena sebuah tatapan. Apalagi sekarang, Vanko malah semakin memajukan kepalanya dan semakin dekat. Saat sudah sangat dekat, Becca mendorong pelan d**a Vanko dan menutup bibirnya karena Becca terbatuk.
Mendapat penolakan dari Becca, membuat Vanko hanya tersenyum miris. Dia kembali duduk di joknya. Vanko tahu, kalau sebenarnya Becca hanya pura-pura batuk saja sekarang.
"Sorry..." Becca hanya mengucapkan kata itu seraya menggigit bibir bawahnya.
"Gue juga enggak mau ketularan batuk." sahut Vanko dan langsung mencabut kunci mobilnya dan membawa dompetnya turun dari mobil.
Gue cuma enggak mau lo ngelakuin ini cuma karena nafsu doang. Gue tahu, selama ini cewek yang lo suka itu Zulla. Gue cuma lo jadiin sebagai alat supaya Zulla cemburu. Batin Becca yang belum berani turun dari mobil.
Di saat seperti ini, Becca sebenarnya ingin pulang saja. Tapi lagi-lagi, Becca tidak tega kalau harus membuat Vanko lebih kesal lagi padanya.
Dua tahun setengah mereka pacaran, selama ini pula Becca belum pernah memperbolehkan Vanko menciumnya. Bahkan hanya berpegangan tangan saja, itu sangat jarang terjadi kecuali kalau memang Becca benar-benar mengizinkannya.
***
Next...