24. Pacar

2757 Words
Sambil mengoceh tak jelas tanpa suara, Zulla terus menghindari Lingga. Dia berjalan tanpa arah sampai akhirnya, Zulla memilih masuk ke toko buku. Setidaknya, kalau di sana Lingga tidak akan terlalu banyak bicara. Dan dugaan Zulla benar adanya, Lingga seketika memelankan suaranya karena selain toko buku, di sana juga ada tempat untuk membaca. Zulla langsung mencari-cari n****+ romantis yang sekiranya bisa dia beli dan baca. Lingga masih mengekor di belakangnya. Sampai-sampai hal itu membuat Zulla gerah dengan sendirinya. "Princess, jangan tinggalin gue gitu aja dong. 'Kan lo yang ngajak gue pergi dari sana." tuntut Lingga pada Zulla. Memang benar, Zulla mengajak Lingga pergi dari kafe steak tempat mereka makan barusan. Setelah adanya pertanyaan Lingga tentang hal pribadi tentang hubungan Vanko dan Becca tadi, suasana jadi berubah super canggung. Akhirnya untuk menghargai privasi sepasang kekasih itu, Zulla mengajak Lingga pergi dari sana setelah membayar makanannya. Dan sekarang, Lingga menagihnya. "Lo bisa enggak sih jangan panggil gue Princess? Risi gue dengernya. Dan juga, gue bukan siapa-siapanya lo." bisik Zulla penuh akan kalimat penegasan di setiap katanya. Bukan Lingga namanya kalau dibilang begini dia langsung menurut. Jelas dia akan menganggap apa yang dikatakan Zulla adalah pujian baginya. "Tenang aja, pasti gue bakal manggil lo, Princess terus." kedua ibu jadi Lingga terangkat ke atas. Mendapat dua jempol, bukan membuat Zulla senang tapi malah membuatnya semakin stres merasakan Lingga yang sangat-sangat keras kepala. Gadis itu bahkan sampai meremas kepalanya sendiri menghadapi Lingga. Zulla tidak tahu harus bagaimana bersikap pada Lingga. "Argh... Ish, mending sekarang lo cariin gue minum. Beliin gue es teh di lantai paling bawah, di depan sana. Gue lihat tadi kayaknya enak." titah Zulla seraya tersenyum cantik untuk mengelabui Lingga. "Lo enggak akan ninggalin gue sendirian di sini 'kan?" tanya Lingga berbisik karena dia merasa ada yang tidak beres. Tiba-tiba saja Zulla memintanya membelikan es teh di lantai satu. Walaupun ada eskalator dan lift, tapi tetap saja sedikit memakan waktu untuk pergi ke sana. "Atau lo mau gue tinggalin sekarang?" Kepala Lingga menggeleng mendengarnya, dia masih ingin jalan-jalan bersama Zulla di sini. "Makanya cepetan, gue haus banget ini. Lo enggak inget? Gue tadi habis makan belum sempet minum gara-gara keburu ngajak lo pergi?" Jika tadi Lingga menggelengkan kepalanya, kali ini dia mengangguk patuh. Kalau diingat-ingat memang begitu, Zulla pasti haus. "Oke, gue beliin sebentar ya. Enggak akan lama." angguk Lingga lagi. "Lama juga enggak apa-apa." sahut Zulla lirih, sampai Lingga tidak sadar dan tidak mendengarnya. Lingga benar-benar pergi dari sana. Rasanya lega bagi Zulla karena tidak diganggu lagi oleh lelaki tampan berkulit putih dan memiliki lesung pipi itu. Sebenarnya kalau dilihat-lihat, Lingga tidak ada buruknya kalau dijadikan pacar. Lelaki itu tampan, murah senyum, kulitnya putih, manis juga, suaranya pun merdu, pandai dalam hal pelajaran, dan juga anak dari orang berada. Sekilas kalau dilihat dari luar, Lingga bisa dibilang lebih dari sempurna untuk dijadikan pasangan. Tapi apa boleh buat, tetap hati yang berbicara dan menentukan karena hati tak dapat memilih kepada siapa dia jatuh ke hati lain. "Hah... Gue enggak tertarik sama Lingga bukan karena masalah penampilan. Tapi karena hati gue udah punya orang lain aja." desah Zulla lirih seraya kembali memilih n****+ romantis yang berdiri dari ujung ke ujung. Jemarinya menelusuri n****+-n****+ itu satu persatu. Ada banyak n****+ dari beberapa penulis terkenal Indonesa yang digemari anak-anak remaja, termasuk Zulla. Hingga akhirnya, Zulla sudah menjatuhkan pilihannya pada sebuah n****+ yang memiliki sampul berwarna biru muda. Saat akan mengambilnya, tak sengaja ada tangan lain juga yang mendarat di sana. Kebetulan, n****+ itu tersisa satu saja. Gue yang pertama megang, gue enggak boleh kalah dari dia. Tekad Zulla dalam hatinya sebelum dia memastikan siapa orang yang juga menginginkan n****+ tersebut. "Kalau kamu mau, kamu bisa ambil novelnya." Suara berat yang sangat amat Zulla kenali terdengar barusan. Gadis itu masih blank tapi rasa-rasanya dia sebenarnya sadar dan tidak sedang bermimpi. Apaan? Kenapa tiba-tiba gue bisa mikirin Om dokter? Tanya Zulla dalam hatinya yang merasa sedikit aneh. "Ini, buat kamu saja novelnya." Saat menoleh, ternyata Zulla tidak sedang bermimpi atau berkhayal. Orang yang kebetulan juga memegang n****+ itu memang benar-benar Alfa. Zulla kaget melihatnya, dia juga bertanya-tanya dalam pikirannya kenapa Alfa menginginkan n****+ itu yang mayoritasnya dibaca oleh remaja seusianya. Apa n****+ ini cocok buat jadi bacaannya Om dokter? Tanya Zulla dalam hatinya lagi, karena dia tidak berani menanyakan secara langsung. "Om dokter? Kok Om bisa di sini?" tanyanya gugup bagaikan orang bodoh. "Oh... Saya lagi nyari n****+ ini buat sepupu saya yang lagi ulang tahun hari ini. Dia bilang katanya pengen n****+ ini, jadi saya nyari. Karena tinggal satu, jadi buat kamu saja. Biar nanti saya nyari lagi di toko lain." jelas Alfa yang memilih mengalah untuk Zulla. Terkesima dan terkesan. Dua kata yang mewakili perasaan Zulla saat ini. Dia tidak menyangka kalau Alfa akan semudah ini mengalah untuknya meski lelaki itu sebenarnya lebih membutuhkan ketimbang Zulla. "Ah... Sepupu Om lagi ulang tahun? Kalau begitu, buat Om saja novelnya. Lagi pula, aku enggak pengen-pengen banget juga. Barusan iseng doang nyari n****+ yang cocok, jadi aku belum terlalu membutuhkan hehehe..." Tanpa disangka, Zulla berkata demikian. Dia ingin membuat kesan baik di depan Alfa bagaimanapun caranya. Termasuk mengalah seperti ini. Namun memang yang barusan Zulla katakan juga tidak sepenuhnya salah. Dia ke toko buku juga karena Lingga. Bukan karena niat dari awal. "Yakin kamu enggak pengen banget?" tanya Alfa memastikan seraya menaikkan sebelah alisnya ke atas menatap Zulla dengan senyuman manis yang Alfa miliki. Mimpi apa gue semalam bisa enggak sengaja ketemu sama pangeran hati begini? Kata hati Zulla memuji ketampanan Alfa. "Hallo... Zulla, kamu masih sadar?" Alfa sampai melambaikan tangannya di depan wajah Zulla untuk memastikan. "Oh... Maaf, Om hehehe... Iya, buat Om saja novelnya." angguk Zulla mengatakan hal ini meski dia tidak tahu apa yang dikatakan Alfa. "Makasih ya kalau begitu." Alfa mengambil n****+ pemilik sampul berwarna biru muda itu. Sungguh, Zulla tak bisa berpaling dari pesona yang dimiliki Alfa. Padahal, lelaki itu hanya orang yang sudah dewasa dan tidak mungkin memikirkan tentang pacaran dengan anak sekolah. "Kamu sendirian ke sini?" tanya Alfa sedikit berbasa-basi. "Oh, iy-" "My Princess, ini udah gue beliin es teh di lantai satu kayak yang lo minta." Belum sempat Zulla menjawab pertanyaan Alfa, tiba-tiba suara Lingga mengganggu pertemuan tak sengaja antara Zulla dengan Alfa. Otomatis Zulla mengumpat dan merutuki kedatangan Lingga di waktu tak tepat. Padahal, kalau Lingga datang lebih lambat lagi, mungkin Alfa tidak akan berpikir yang aneh-aneh. "Oh... Dateng sama pacarnya?" Alfa tersenyum saja melihat dan mendengar lelaki tampan yang baru saja datang memanggil Zulla, My Princess. "Bukan!" pekik Zulla disertai kedua matanya yang melotot sempurna. Kening Alfa jadi mengerut, tak mengerti akan arti reaksi Zulla kali ini. Seolah-olah gadis itu takut kalau dirinya salah paham. Tapi memang benar, Zulla tidak mau Alfa sampai salah paham. "Eh... Maksudnya Om jangan bilang-bilang ke Ayah ya hehehe... Kita enggak pacaran kok, takut kalau Ayah curiga nanti." alibi Zulla yang sampai menyeret nama Marsel dalam kasus kali ini. Padahal bukan niatnya. Alfa mengangguk beberapa kali akhirnya dan hanya tersenyum saja. Tanpa Alfa tahu, kalau senyumannya barusan bisa membuat Zulla semakin klepek-klepek. "Emang sekarang belum pacar sih, tapi nanti juga bakal jadi pa-" "Emppp..." Lingga meronta saat bibirnya dibekap secara dadakan oleh Zulla. Gadis itu tidak mau Alfa mendengar kelanjutan kata-kata dari bibir Lingga. "Hahaha... Kalian lucu banget sih. Semoga hubungan kalian enggak ketahuan sama Ayah kamu ya. Saya enggak akan ngomong kalau hari ini Om ketemu kamu lagi sama pacar kamu." kekeh Alfa. Bola mata Zulla kembali melebar. Padahal dia sudah berusaha melakukan hal seperti itu agar Alfa tidak salah paham. Tapi ternyata lelaki itu masih mengira bahwa dirinya pacaran dengan Lingga. "Bu-" Kata-kata Zulla terhenti saat Alfa melambaikan tangannya ke atas lalu menerima panggilan telepon yang masuk entah dari siapa. Tapi perlahan, Alfa menjauh dari sana. Eum... Ini udah mau pulang. Kalau acaranya mau dimulai duluan, aku enggak masalah. Samar-samar, Zulla mendengar Alfa berkata seperti itu. Mungkin memang lelaki itu akan menghadiri acara ulang tahun sepupunya. Sampai akhirnya, Alfa tak terlihat lagi meski hanya punggungnya saja. Perlahan-lahan, tangan Zulla di mulut Lingga juga mengendur sampai akhirnya terlepas. "Ini es teh yang lo minta, Princess." tanpa punya rasa malu atau perasaan bersalah atas apa yang sudah terjadi, Lingga memberikan satu gelas cup es teh yang berhasil dia beli. Wajah Zulla sudah tak terkira marahnya. Kesal sangat kesal dan juga marah pada Lingga. Gadis itu sampai bersungut-sungut saat menatap ke arah lelaki yang sekarang sedang nyengir kuda memperlihatkan gigi putihnya. "Ish... Es teh, es teh! Mulut lo tuh harusnya dijadiin es teh biar enggak bisa ngomong! Minum aja sendiri!" Zulla pergi begitu saja tanpa menghiraukan Lingga lagi yang kebingungan. Bahkan, panggilan Lingga yang berulang kali pun tak dihiraukan oleh Zulla. Terus saja berjalan sampai Zulla dibawa turun oleh tangga berjalan.   ***   Kompleks perumahan tempat rumah orang tua Becca memang sepi. Hal itu disebabkan oleh sibuknya para penghuni kompleks itu yang seluruhnya adalah pengusaha kaya. Hanya para pembantu dan pekerja di rumah saja yang biasanya sering terlihat. Sudah dari setengah menit yang lalu Vanko menghentikan mobilnya di depan rumah kedua orang tua Becca yang terhalang oleh pagar lumayan tinggi. Usai kepergian Zulla dan Lingga di kafe steak food tadi, Vanko memutuskan untuk mengantar Becca pulang saja. Lagi pula, hari juga sudah gelap meski belum terlalu malam. Sepasang kekasih itu hanya diam, Becca juga belum ada niatan buat turun. Begitu pula Vanko yang tidak bertanya kenapa Becca belum turun dari mobilnya. Suasana dalam mobil benar-benar canggung. Lebih tepatnya setelah malam minggu kemarin mereka jadi canggung. "Buat tugas bahasa Inggris tadi, padahal lo enggak perlu ngelakuin itu segala buat gue. Sekarang, nilai lo masih nol dan malah dapet hukuman dari Miss Tisha juga. Sebagai gantinya, biar gue nanti yang nulisin hukuman itu buat lo." akhirnya Becca membuka suara setelah dua menit saling diam. Walau Becca tahu kalau selama ini Vanko tidak benar-benar mencintai atau sekedar menyukainya, tapi mendapat sikap dingin dari Vanko seperti ini membuat Becca tidak nyaman. Meski semua perhatian Vanko selama ini hanya dia lakukan untuk membuat Zulla cemburu, tapi Becca akui kalau dia menyukai kebohongan itu. "Nanti gue kasihin ke lo kalau udah beres. Kalau gitu, gue turun dulu. Makasih udah nganterin." Becca sudah melepaskan pengait seatbelt-nya dan bersiap akan membuka pintu. "Daripada lo bilang begitu tadi, bukannya lebih menghargai lagi kalau lo bilang makasih? Karena gue, nilai bahasa Inggris lo masih bagus." sindir Vanko sampai kata-katanya berhasil menghentikan pergerakan Becca. Kedua mata Becca terpejam, dia merutuki kebodohannya karena lupa belum mengucapkan terima kasih pada Vanko karena buku tugas tadi pagi diberi nama Becca Areera. "Maaf, gue lupa kalau gue belum bilang makasih ke lo. Makasih ya, buat tugas tadi pagi." ujar Becca lebih memperjelas. Kali ini, Becca bisa mendengar kalau Vanko tersenyum sinis usai dirinya mengatakan maaf. Becca jadi semakin gugup, dia sampai menggigit bibir bawahnya sendiri karena jujur Becca juga tidak tahu harus bicara atau bersikap bagaimana. Becca hanya takut salah langkah saja. "Kalau lo masih marah sama gue karena malam itu, gue minta maaf. Bukan maksud gue sengaja atau gi-" "Tapi lo emang sengaja." sambar Vanko terlebih dulu sebelum Becca menyelesaikan kata-katanya. "Gue tahu lo bakal kecewa, tapi gue cuma enggak mau kalau suatu saat nanti lo menyesal karena udah ngasih ciuman pertama lo buat gue." Alasan yang diberikan Becca kali ini tidak sepenuhnya bohong. Saking sayangnya Becca pada Vanko, dia bahkan sampai berpikir sejauh itu. "Gue enggak mau bikin cowok yang gue suka ternoda sedikit pun karena gue. Gue juga enggak mau kalau nantinya waktu lo udah enggak sama gue, lo bakal menyesali apa yang udah lo lakuin sama gue. Makanya selama ini gue berusaha menjaga lo supaya tetap murni, supaya di kemudian hari enggak ada yang lo sesali karena sesuatu yang udah pernah kita lakuin." jujur Becca. Vanko tak habis pikir. Seharusnya dia yang berkata dan memperlakukan Becca seperti itu. Harusnya hal itu diucapkan oleh seorang lelaki, bukan perempuan. Tapi di kisahnya berbeda, Becca yang mengatakannya. Bukan dirinya, dan itu berhasil membuat hati Vanko tertohok. "Sorry kalau gue bikin lo capek, gue masuk dulu." pamit Becca lagi. "Becca..." panggil Vanko seraya menahan pergelangan tangan kekasihnya hingga lagi-lagi Becca tak jadi membuka pintu. "Eum?" Becca otomatis menoleh ke arah Vanko. Mata Becca melebar, dia tidak menyangka apa yang dia rasakan sekarang. Sebuah benda kenyal nan hangat menempel di bibirnya. Becca ingin menghindar tapi malah yang ada, dia mentok ke jok mobil dan Vanko tetap mencium bibirnya. Bukan ciuman yang disertai lumatan, hanya ciuman biasa, bibir mereka saling menempel. Tapi Vanko melakukannya cukup lama sampai membuat Becca malu setengah mampus. Tubuh gadis itu sudah panas dingin seketika, wajahnya juga merah. Untung saja kondisi di sana remang-remang, jadi Vanko tidak akan melihat wajahnya memerah bagaikan kepiting rebus. Setalah satu menit lebih Vanko mencium bibir Becca, lelaki itu memundurkan kepalanya namun tak jauh. Lelaki itu melihat wajah Becca dari dekat dan dia bisa melihat jelas kekagetan di sana. Sepasang mata mereka saling tatap meski sebenarnya ini sulit bagi Becca. Tapi Becca juga tidak bisa mengalihkan pandangan ke arah lain. Hingga akhirnya Vanko tersenyum begitu tampan kepada Becca dan membuat gadisnya semakin bingung tujuh turunan. "Yang barusan emang first kiss gue, dan gue enggak akan menyesalinya sampai kapan pun karena gue ngasih ke cewek baik kayak lo." ujar Vanko lembut seraya merapikan dan menyelipkan rambut keriting Becca ke belakang telinga. Becca merasa dia sedikit kesulitan bernafas sekarang. Bahkan, dia merasa kepalanya agak pusing. Tenggorokannya tercekat. Tapi Becca juga tidak bisa mengalihkan pandangan ke arah lain. "Eum... Ehm...?" Becca tidak tahu apa yang akan dia katakan. Kekagetan Becca tak berhenti sampai di sana saja ternyata. Vanko kini menggenggam jemarinya erat lalu mengecup punggung tangannya sampai Becca semakin sesak napas saja dibuatnya. Melihat reaksi Becca yang menurutnya lucu, hal itu semakin membuat Vanko tersenyum. "Gu-gue... Gue..." "Kita pacaran, jadi ayo kita lakukan seperti layaknya orang pacaran pada biasanya." pinta Vanko membuat bibir Becca kembali terkatup. "Mak-maksud lo ap-apa?" tanyanya terbata-bata. "Saling berpegang tangan seperti ini, saling berbagi bahu, saling berbagi pelukan menenangkan, saling berbagi beban, dan saling memahami satu sama lain." ujar Vanko lebih memperjelas maksud dari perkataannya. Jujur saja, hati Becca berbunga-bunga mendengar apa yang dikatakan Vanko baru saja. Hal yang sedari lama ingin dia lakukan tapi Becca tidak berani mengatakannya karena takut dianggap gadis tak tahu diri. "Untuk masalah ciuman, gue enggak akan nyium lo tanpa persetujuan dari lo. Kalau gue mau nyium lo, gue bakal izin dulu dari lo." Bugh! Satu pukulan mendarat di d**a Vanko dari kepalan tangan Becca, tapi malah membuat Vanko tertawa melihatnya. Dia tahu kalau Becca pasti sedang salah tingkah karena dia membahas tentang ciuman. "Percaya sama gue, apa pun yang gue lakuin sama lo meski semuanya yang pertama buat gue, sampai nanti pun gue enggak akan pernah menyesalinya." kata Vanko penuh keseriusan. Kali ini ganti Becca yang tersenyum, dia merasa tersanjung akan kata-kata yang keluar dari bibir Vanko. Senyuman Becca tentu membuat Vanko ikut kembali tersenyum. Gemas saja dia melihat Becca sekarang ini. Cup! Satu kecupan dari Vanko kembali mendarat di bibir Becca dan untuk kedua kalinya Vanko kembali mendapat pukulan di dadanya. "Ish... Belum lima menit lo bilang katanya enggak akan nyium gue tanpa izin. Tapi yang barusan apa? Ish, penipu." cibir Becca merasa kesal, tapi sebenarnya dia juga senang. "Lo 'kan belum jawab iya atau enggak. Ya masih boleh lah gue nyium lo la-" "Iya, gue mau. Gue iyain." sambar Becca cepat sebelum Vanko kembali menempelkan bibirnya ke bibir Becca lagi. "Yah... Telat." desahnya pura-pura sedih. Posisi mereka berdua masih sama, Vanko mengukung tubuh Becca menggunakan kedua tangan kekarnya dan lelaki itu tepat berada di depan Becca dengan posisi dia sedikit lebih tinggi dari Becca. Jadi kesannya, Vanko seperti berada di atas Becca. "Udah malem, cepetan pulang. Gue juga mau mandi, terus ngerjain tugas." titah Becca yang tak ingin Vanko sampai rumah terlalu malam. "Sekali lagi boleh ya?" tanya Vanko ambigu. "Apaan?" kening Becca mengerut karena tak paham. Bibir Vanko maju khas seperti orang ingin mencium sampai-sampai Becca tertawa melihatnya. "Tadi udah dua kali." kekeh Becca seraya menutup bibirnya. "Sekali lagi aja, terus ntar gue langsung pulang." minta Vanko lagi. Tak ada jawaban dari Becca, tapi gadis itu mengecup bibir Vanko terlebih dulu dan langsung mendorong pelan d**a pacarnya lalu membuka pintu mobil. Becca sukses keluar dari mobil dengan senyuman gembira. "Nanti kalau udah sampai rumah, gue telepon." kata Vanko sebelum menghidupkan mesin mobilnya lagi. "Eum... Hati-hati di jalan. Bye..." Becca langsung menutup pintu mobil bagian penumpang dan membiarkan Vanko pulang. Becca juga langsung masuk ke rumah dengan wajah cerianya. Dia tidak menyangka kalau Vanko bisa bersikap romantis juga seperti itu. "Oke, nikmatin aja pas masih jadi pacar." angguk Becca meyakinkan dirinya kalau dia bisa. *** Next...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD