18. Tak Karuan

2001 Words
Bukan sebuah kebohongan, Marsel dan Alexa benar-benar mengajak Becca dan Vanko makan bersama. Sebagai orang yang baru bertemu dan Marsel juga Alexa adalah orang dewasa, jelas hal itu membuat Vanko dan Becca sedikit canggung. Makan-makan kali ini diadakan di kafe khusus makanan seafood yang beberapa waktu lalu didatangi oleh Marsel dan Alexa berdua. Kalau sampai mereka berdua balik lagi, berarti masakan di kafe itu enak dan membuat pengunjung ketagihan. Kebetulan, para anak-anak juga suka akan masakannya. Ada banyak yang mereka pesan, ada kerang, kepiting, cumi-cumi dan ikan bakar. Lidah mereka dimanjakan di sana sampai perut mereka semua kenyang. Sungguh kenikmatan yang didambakan kebanyakan orang. Kebetulan sekali, acara makan-makannya sudah selesai dan sekarang tinggal nongkrong sembari menikmati dessert yang sudah dipesan. Walaupun ketika makan itu tidak sopan kalau sambil bicara, namun dengan makanlah bisa bicara lebih santai dan hal itu juga dilakukan oleh kebanyakan orang. "Jadi Becca ini temennya Zulla dari TK?" "Hehe... Iya Om." angguknya. Karena takut salah bicara, akhirnya Becca sedari tadi hanya menjawab ya atau tidak saja. Bukan karena dia tidak nyaman, tapi Becca lebih takut kalau salah bicara. Tidak beda jauh dengan Vanko yang juga seperti itu. Tapi bedanya, kalau Vanko dia lebih ke arah gugup ketimbang takut salah bicara. "Berarti ini pertemuan pertama kita ya?" "Enggak Om." cengirnya yang benar-benar ingat kalau ini bukan pertemuan pertamanya dengan Marsel. "Aku sudah pernah ketemu sama Om di sekolah, dulu Om Marsel 'kan tiap hari nganter Zulla sama Yudha ke sekolah." Becca lebih memperjelas lagi. "Ish... Masa Ayah lupa sih." dengus Zulla mencibir ayahnya. "Karena tiap hari ketemu pasien, makanya wajar kalau Ayah lupa, Kak." sahut Alexa mencoba memberi pengertian pada anak gadisnya agar tidak terlalu marah. "Oh... Om inget sekarang. Kamu yang dulu pas TK masih ngedot itu 'kan?" Seketika wajah Becca memerah kalau mengingat masa kecilnya. Tebakan Marsel tidak salah dan dia memang masih ngedot sampai kelas dua SD. "Hehehe... iya, Om." dalam rasa malunya, Becca mengakui itu. Bisa Zulla lihat kalau Becca sepertinya sangat malu. Bisa jadi karena ada Vanko di sana yang mengetahui masa kecilnya. Atau karena Becca memang malu mengingat hal-hal dulu. "Tidak perlu malu, wajar saja 'kan dulu masih kecil." Marsel menepuk pelan bahu Becca agar gadis itu tidak terlalu malu lagi. Mereka lanjut mengobrol masih usaha menghabiskan dessert yang masih tersisa. Hanya saja, namanya obrolan antara orang dewasa dan anak remaja pasti lebih hati-hati lagi. Coba kalau hanya ketambahan Yudha saja, dijamin tidak secanggung ini. Tapi namanya ini Marsel yang mengajak makan. Lima belas menit lewat sudah, dessert juga sudah habis. Marsel juga harus segera pulang dan bersiap-siap berangkat kerja. Jadi mereka tidak bisa berlama-lama lagi di sana. "Ini ada sedikit hadiah dari Om dan Tante buat kalian." Alexa memberikan dua paper bag masing-masing untuk Becca dan Vanko. Melihat ini, jujur saja kalau kedua teman baik Zulla itu sedikit kaget. Padahal, mereka selama ini sama sekali tidak mengharapkan imbalan apa pun atas apa yang mereka lakukan untuk Zulla. Becca dan Vanko melakukannya dengan ikhlas, terutama Becca yang sudah menghibur Zulla dari masih di bangku SD. "Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih kami berdua karena selama kami tidak ada di samping Zulla, kalian sudah mau menjadi teman yang baik untuk Zulla. Terutama buat Becca, yang sudah sangat baik kepada anak gadis Om dan Tante. Semoga kalian suka sama hadiahnya ya." ujar Marsel meneruskan maksud Alexa tadi. Mendapat hadiah seperti ini, membuat Becca merasa sedikit gugup. Hal yang paling dia sukai adalah mendapatkan hadiah dari orang lain meski bukan di hari lahirnya. "Padahal Om sama Tante tidak perlu repot-repot, kami berdua ikhlas kok. Dan memang sudah seharunya kami menghibur teman kami kalau ada yang sedih. Tapi terima kasih banyak atas hadiahnya. Saya pasti bakal suka, dan akan saya simpan baik-baik." Vanko mewakili perasaan Becca yang tidak mampu dia ungkapkan. "Saya juga pasti suka kok, Om. Terima kasih banyak." sambung Becca seraya mengambil paper bag itu dan memasukkan ke dalam tasnya. Menurut Marsel, kedua anak remaja itu sudah cukup dewasa. Buktinya, mereka sudah bisa berkata seperti itu padanya. Bisa menghargai pemberian orang lain. Zulla tentunya senang bisa melihat kedua orang yang dia anggap teman dekat itu tersenyum bahagia. Dia juga ingin membagi kebahagiaannya kepada mereka, bukan hanya kesedihannya saja. Rasanya tidak adil kalau hanya kesedihan saja yang dibagikan. Pertemuan berakhir di sana. Zulla dan Yudha tentunya ikut pulang bersama ayahnya. Sedangkan Becca, dia menolak untuk diantar pulang karena punya alasan masih ingin pergi ke suatu tempat. Tak beda jauh dengan Vanko, lelaki itu juga menolak dan bilang kalau dia akan pulang naik taksi. Tapi Zulla malah berpikir bahwa kedua temannya itu sengaja menolak dan mencari alasan karena ingin berkencan. "Bye..." Becca membalas lambaian tangan Zulla saat mobil yang dikendarai Marsel melaju meninggalkan area kafe. Kini tersisa Becca dan Vanko saja di depan kafe. Jika dulu Becca merasa biasa saja saat ada kesempatan berdua dengan Vanko, berbeda dengan sekarang yang lebih merasa grogi dan tak jarang dia akan salah tingkah. "Lo mau balik bareng gue?" tawar Vanko. Benar-benar berubah, sikap Vanko pada Becca tidak seperti kemarin-kemarin lagi. Lelaki itu tidak lagi bicara kasar dan keras padanya. Selalu bicara pelan dan lembut, hingga membuat Becca jadi bingung untuk membedakan ini hanyalah akting atau memang dari hati. Kepala Becca menggeleng, alasannya untuk pergi ke suatu tempat tadi bukan sebuah kebohongan atau alasan. Dia memang ingin mencari sesuatu yang dia inginkan selama beberapa hari belakangan ini. Dan kebetulan, hari ini dia baru mendapatkan kesempatan untuk mencarinya. "Gue mau mampir ke toko alat kerajinan tembikar dulu, mau nyari sesuatu." angguk Becca sedikit meringis karena ini baru dalam hidupnya, memberi tahu kepada pacar ke mana dia akan pergi. Becca hanya diam, dia tidak tahu apakah ini benar atau tidak. Padahal biasanya, dia kalau mau pergi tinggal pergi saja. Ini juga pertama kalinya Becca menjalin hubungan, jadi semuanya serba pengalaman pertama baginya. "Mau gue temenin?" dengan sukarela, Vanko menawarkan diri pada Becca. Lagi-lagi kepala Becca menggeleng, dia merasa tidak enak kalau harus merepotkan Vanko segala. Terlebih lagi, Becca takut kurang leluasa saat nanti berbelanja. "Lo pulang aja terus istirahat, karena pasti lo capek 'kan. Gue bisa belanja sendiri kok." entah yang ke berapa kalinya Becca nyengir memperlihatkan gigi putih nan rapinya hari ini. Mereka sama-sama terdiam sekarang. Becca tidak tahu harus berkata apa, dan dia menunggu Vanko bicara tapi lelaki di depannya itu tak kunjung bersuara. Hal itu membuat Becca semakin merasa bodoh di depan Vanko. Dia sampai menggoyang-goyangkan ibu jarinya dari balik sepatunya sehingga tidak ada yang bisa melihat. "Eum... Van, gue pergi dulu ya." karena tak tahan terus-menerus diam, Becca memilih pamit lebih dulu. Tidak ada jawaban juga. Vanko serasa berubah menjadi bisu sekarang. Dia menatap Becca yang terlihat gelisah. Tak tahu kenapa, mendapat penolakan seperti ini membuat Vanko jadi bertanya-tanya dalam hati, apakah dia memang sama sekali tidak dibutuhkan? "Bec..." "Ya?" Becca seketika mendongakkan kepalanya menatap Vanko. Dua menit berlalu, Vanko masih diam dan itu semakin membuat Becca bertanya-tanya apakah ada yang salah darinya. Bahkan, Becca tidak berani mundur satu langkah saja, takut kalau apa yang dia lakukan salah. Dadanya berkecamuk, akan tetapi dia tidak terlalu paham kenaa suasananya berubah menjadi seperti ini sampai membuat hatinya kurang tenang. "Ayo gue temenin terus gue anter pulang." Jantung Becca serasa ingin lepas sekarang saat dia merasakan tangannya diraih oleh Vanko dan digenggam lelaki itu. Sekarang, Becca hanya bisa diam mengikuti langkah kaki Vanko. Gadis itu tidak bisa berkata apa-apa lagi. "Enggak usah gandengan tangan juga." Becca menarik tangannya dari genggaman tangan Vanko, lalu gadis itu lebih memilih meremas-remas tali tas ranselnya agar memiliki alasan supaya Vanko tidak berusaha memegang tangannya lagi. Tak bisa dipungkiri, sebenarnya Becca senang ketika tangannya digenggam oleh Vanko, tapi entah apa yang membuat gadis itu masih enggan. Selain senang, hatinya juga masih belum siap. "Kenapa?" Vanko merasa heran karena sepertinya Becca sangat menjaga jarak dengannya. Bahkan, menggenggam tangan saja tidak boleh dan kalau diingat-ingat, dari malam di mana Vanko berusaha menggenggam jemari Becca, baru sekarang inilah dia berani menggenggam jemari Becca lagi. Dan lagi-lagi, usahanya gagal. "Enggak apa-apa, tapi gue malu kalau dilihat orang." meski sebenarnya bukan ini alasan utama Becca, tapi dia berharap kalau Vanko tidak akan curiga lebih jauh lagi. "Oke, gue ngerti." angguk Vanko mencoba mengerti. Sepasang kekasih itu masih lanjut berjalan menuju toko yang dimaksud Becca dan kebetulan jaraknya tidak terlalu jauh dari kafe tempat mereka makan tadi.   ***   "Pokoknya, gue harus jadi dokter juga. Biar bisa lebih leluasa deketin dokter Alfa." kikik Zulla di kamarnya. Selain karena Alfa, motivasi utama Zulla tetaplah Marsel. Gadis itu ingin menjadi seperti ayahnya yang menolong banyak orang. Kalau dipikir-pikir, pekerjaan itu begitu mulia dan Zulla suka meski hanya baru memikirkan saja. Di depan gadis itu sudah ada beberapa buku pelajaran yang akan diajarkan besok. Kebetulan dua minggu ini banyak ulangan karena sebentar lagi ujian tengah semester. Tentunya Zulla bertekad untuk mengumpulkan nilai-nilai sempurna. Selain buku pelajaran, gadis itu juga suka membaca buku tentang medis yang mungkin sebenarnya terlalu rumit untuk anak seusianya. Akan tetapi, Zulla suka dan dia ketagihan untuk lagi dan lagi membaca. Pelajaran yang sedang dipelajari pertama oleh Zulla adalah matematika. Beberapa soal juga dia kerjakan terlebih dahulu agar kalau besok bertatap muka dengan guru, dia bisa tahu di mana letak kesalahannya. Satu, dua soal lolos Zulla kerjakan, tapi di soal ketiga ada kesalahan. Bukan kesalahan dia menghitung, melainkan kesalahan Zulla menuliskan sesuatu di buku khusus untuk coret-coretannya. Alfa Alfa Alfa Alfa Alfa Alfa Alfa Alfa Alfa Begitu semua isi bukunya dalam beberapa baris. Tanpa sadar, Zulla menuliskan nama dokter tampan yang kemarin dia lihat. Pikiran Zulla malah semakin kacau setelah melihat Alfa. Bukan rasa rindunya yang berkurang, melainkan malah dia ingin kembali melihat wajah Alfa lagi. "Astaga... Kenapa bisa penuh sama nama dokter Alfa semua?" kaget Zulla ketika menyadari bahwa selembar bukunya hanya berisi tulisan Alfa, bukan jawaban dari soal nomor tiga. Segera saja Zulla merobek kertas itu dan meremasnya lalu dia masukkan ke dalam gelas minumnya yang berisi air putih. Jangan salah paham, Zulla tidak mungkin meminum air itu setelah terkontaminasi dengan serpihan kertas dan tinta. Zulla hanya tidak ingin ketahuan menyukai Alfa saja, makanya Zulla memilih menghancurkan kertas itu dengan cara direndam di dalam air. "Ish... b**o banget sih gue, kenapa pula yang gue tulis malah nama dokter tampan?" dengusnya lalu mencoba kembali fokus dan berusaha mengerjakan soal ketiga. Belum sampai lima menit, pikiran Zulla kembali kacau dan yang ada hanyalah Alfa seorang. Akhirnya karena tidak tahan, Zulla memilih mengambil kotak P3K di dalam lacinya dan melihat-lihat ulang kotak itu. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali Zulla melihatnya selama ini. Setiap kali Zulla merasa rindu pada Alfa, pasti yang dia lakukan adalah melihat kotak P3K di depannya itu. Tapi baru kali ini Zulla merasa pikirannya benar-benar kacau karena Alfa. "Apa dokter Alfa masih inget sama gue? Kira-kira kalau kita ketemu, gimana ya reaksinya? Kaget atau gimana?" tanya Zulla pada kotak P3K itu yang sudah jelas tidak akan bisa menjawabnya. Pilihan utama untuk dilihat tetaplah lollipop berbentuk hati. Zulla jelas tidak tahu lollipop itu dari siapa. Namun yang pasti, lollipop itu jelas sangat berharga bagi Alfa karena sampai disimpan segala. Walau Alfa akhirnya kehilangan lollipop itu setelah mengobati lukanya. "Kira-kira apa hubungannya dokter Alfa sama orang yang ngasih lollipop ini?" tanyanya lagi entah pada siapa. "Pasti orang itu spesial deh di hidup Om dokter." Zulla mendesah pelan. Tiba-tiba saja, Zulla kembali teringat kata-kata Becca tadi ketika mereka di kebun binatang. Bagaimana kalau semisal apa yang dibilang Becca benar? Bisa kaget dadakan Zulla yang ada. "Kok gue jadi takut sama perkataannya Becca tadi. Gimana kalau Om dokter emang udah punya pacar atau tunangan? Gimana kalau malah lebih dari itu, istri misalnya?" Zulla dilanda gelisah mengingat hal itu. Dia sangat ingin memastikan apakah Alfa masih sendiri atau sudah ada yang punya. Tapi Zulla juga tidak berani kalau mengkonfirmasinya langsung. "Ish... Taulah, gue bingung juga." Seperti biasa, saat sudah setengah frustrasi maka Zulla akan mengembalikan lollipop tadi ke dalam kotak P3K dan memasukkannya ke laci seperti semula. Bukannya lebih tenang, tapi Zulla malah merasa pikirannya semakin tak karuan. Bahkan Zulla sampai mengacak-acak rambutnya sendiri karena kesal, kepalanya hanya terisi oleh mana Alfa. *** Next...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD