"Kenapa Lo?" Sebuah tepukan ringan mendarat di bahu kanan Karina yang sedang menyandarkan kepalanya di meja pantry kantornya.
Karina menoleh sesaat melihat siapa yang sedang mengganggu istirahat singkatnya ini.
"Huss... Tolong jangan ganggu Saya!" Sembari sengibaskan tangannya dengan malas.
Tak lama suara air yang dituangkan ke dalam gelas terdengar, Sesil yang tadi menyentuh bahu Karina sekarang sedang mengaduk tehnya.
"Diapain lagi Lo sama pak Bara?" tanyanya yang sebenarnya tanpa diberitahupun dia tahu penyebab temannya terlihat lesu sudah pasti karena sang bos.
"Sumpah ya, di mana tempat Gue bisa tukar tambah bos?" Karina yang terlihat frustasi menghembuskan napas berat.
"Haha dari dulu gak ada berubahnya Lo," ejek Sesil yang ikut duduk di dekat Karina yang masih dengan pose yang sama.
Belum Karina membalas ucapan Sesil, Tomi masuk ke dalam pantry sembari membawa gelas.
"Hey para ladies ini jam kerja loh, malah pada ngopi-ngopi di sini, ketahuan bos bisa kena SP kalian," ucapnya sembari tertawa renyah kemudian berjalan ke arah tempat penyimpanan kopi.
"Mau di SP kek mau dipecat sekalian bodo amat, kalau bisa sekalian pecat aja, lumayan dapat dana pembatalan kontrak." Suara Karina sangat kentara dengan ekspresi wajahnya yang terlihat muram, kalau saja bukan karena hutang keluarganya dan kontrak kerja romusa yang ia tanda tangani dia yakin sebelum masa training habis ia pasti sudah mundur duluan.
"Haha sayangnya gak mungkin Lo bakal dipecat, secara bisa repot tim HRD nyari ganti orang yang bisa diperbudak." Tanpa mengubah posisi kepalanya yang menempel di meja, Karina melotot ke arah Tomi dengan tatapan membunuh.
"Diem Lo! bikin suasana hati Gue makin runyam aja."
"Haha diapain lagi Lo sama pak bos?" tanya Tomi, walau dia sudah bisa menebak pasti karena jam kerja yang keterlaluan. Sudah beberapa lama Karina tak kunjung menjawab ucapan Tomi membuat lelaki itu menoleh ke arah Sesil dan langsung mengangkat bahu tanda tidak tahu.
"Hah, Gue pengen nyantet pak Bara," rengek Karina yang terlihat benar-benar tertekan.
Sesil mengelus punggung temannya itu, dia tahu betul bagaimana perjuangan Karina menjadi sekretaris Bara.
"Sabar ya. Coba sini cerita siapa tahu bisa lebih lega walau pastinya Gue gak bisa bantu."
Karina menegakkan kepalanya menoleh ke arah Sesil dengan tatapan sendu. "Lo emang sahabat Gue yang paling the best."
Karina memeluk Sesil erat, melihat kedua perempuan itu berpelukan membuat Tomi yang melihatnya hanya menggelengkan kepala sembari menyeruput kopinya.
"Drama teroos," ejeknya yang dihadiahi tatapan sinis dari dua orang itu.
"Jadi? Lo diapaain sama pak Bara?" tanya Tomi lagi.
Karina menghela napas hendak mengutarakan unek-uneknya. "Jadi gini..." Sesil dan Tomi siap mendengar cerita Karina saat pintu pantry kembali terbuka menampakkan Stevi yang menatap mereka bingung.
"Hayo mau gosip apa tu?" tanyanya kemudian celingukan ke luar pintu pantry sebelum akhirnya mendekat.
"Jadi ada gosip apa?" ketiga orang itu menatap Stevi dengan tatapan sebal, jelas saja saat Karina yang sudah mulai akan bercerita justru diinstrupsi oleh kedatangannya.
Tanpa memperdulikan Stevi yang sudah antusias ingin mendengar gosip, Karina mulai mengingat kejadian kemarin yang membuat badannya terasa pegal-pegal dan tingkat stressnya terasa meningkat.
"Kalian tahukan perusahaan Kita ini lagi buka pabrik plastik?" Mereka bertiga kompak mengangguk tanpa bersuara siap mendengarkan lebih lanjut.
"Nah semua kerjaan yang berhubungan sama tu pabrik baru, diserahin ke pak Bara." Ketiganya kembali kompak mengangguk.
"Dan kalian pasti tahu betapa sibuknya pak Bara karena proyek ini? masa model barang yang bakal diproduksi sampai ke riset penjualan pasar semuanya diserahin ke beliau. Nah karena pak Bara yang kalian cintai itu adalah pemegang proyeknya dan sudah jelas kalau Guelah manusia yang paling sengsara dibuatnya."
Braaak....
Karina menggebrak meja membuat ketiga pendengarnya itu terlonjak kaget.
"Sialan Lo gitu doang?" ucap Stevi si anak dalam yang tidak jadi resign, ia kesal karena dia pikir akan mendapatkan gosip hangat seputar pak Bara, karena jelas satu gedung ini bahkan tahu kalau Stevi menaruh rasa pada sang Bos, padahal kemarin sudah kena semprot sampai mau resign.
"Jangan samakan penderitaan Lo sama penderitaan orang lain," ejek Sesil ke Stevi.
"Tahu gini mending Gue langsung balik."
"Balik sono, siapa suruh Lo ikut gabung di sini," usir Tomi yang memang kurang suka melihat Stevi.
Dengan menghentakkan kakinya Stevi pergi keluar pantry dan berseru akan mengadukan ketiganya yang bukannya bekerja malah bergosip di dapur.
"Sinting emang tu bocah, mentang-mentang keponakan manager sok banget gayanya. bu Grace aja yang jelas anak pemilik perusahaan gak kayak dia tu modelnya," Sesil mencebik kesal dengan kelakuan Stevi.
"Tolong jangan Lo samakan malaikat sama remahan opak," ucap Tomi sebelum kembali fokus ingin mendengar lanjutan cerita Karina.
"Terus yang bikin muka Lo selecek itu apa Neng?"
Karina menghela napas, andai dia sedang mood sudah dia lempar Stevi dengan heels yang dipakainya.
"Jadi kemarin calon supplier kita nelpon, minta ketemuan, tapi kalian tahulah ya jadwal pak Bara itu padatnya kayak apa? nah berhubung ini adalah calon supplier yang jam terbangnya sudah tinggi gak mungkin dong ditolak? secara ini orang yang bakal bantu penjualan barang kita ke luar negri.
Nah karena pertemuan itu jadwal pak Bara molor semua, dan kalian pasti tahu siapa yang sengsara setelah itu?" Karina menunjuk dirinya sendiri sebelum melanjutkan ceritanya.
"Setelah mutar otak, nelpon sana-sini untuk konfirmasi penggantian jadwal, akhirnya selesai setelah langit berubah menjadi gelap. Begitu Gue mau pulang si bos kampret muncul dah tu sambil nunjukin desain barang yang akan diproduksi, dan dia minta Gue buat bikin proposal pengajuannya ke bagian produksi.
Hah Lo bayangin di saat semua orang sudah ketemuan sama kasur, Gue masih berkutat sama kertas." Karina mencebikkan bibirnya kemudian elusan lembut terasa di punggungnya.
"Sabar sayangku," ucap Sesil menyemangati.
"Pantes aja beberapa hari sebelumnya dia baik banget ngajak pulang on time rupanya ada gajah di balik batu," rutuk Karina yang beberapa hari lalu berpikir kalau Bara sudah mulai tobat menjadi bos devil.
Sesil masih terus mengelus punggu Karina lembut.
"Terus udah selesai proposalnya?"
"Tunggu Gue belum selesai." Karina menarik napas sebelum melanjutkan cerita tragisnya kemarin.
"Setelah Gue berkutat dengan proposal kampret itu, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga puluh dua menit, dan pak Bara sudah keluar dari ruangannya, Lo tahu? dengan muka nyebelinnya itu dia cuma bilang gini ayo pulang sudah malam.
Katanya! sumpah ya pengen banget Gue tarik telinganya terus Gue teriakin KE MANA AJA PAK, MALAMNYA UDAH DARI 3 JAM-AN YANG LALU!"
Karina yang berbicara setengah menahan teriakan ngos-ngosan, berbanding terbalik dengan Sesil dan Tomi yang terlihat agak takut dengan Karina yang mulai memasuki mode bar-bar.
"Tapi dia ngantarin Lo pulangkan?" tanya sesil dan dijawab dengan anggukan oleh Karina.
"Mau dia antar Gue pulang juga capek sama gedek Gue gak akan hilang!"
"Tapikan paling gak dia kan gak ninggalin Lo sendirian. Siapa coba di kantor ini yang pulangnya di antar bos, terus kadang dijemput pula? cuma Lo doang."
"Dengar ya Tomi suami tercintanya mbak Shareen, kalau dia gak ngantarin Gue pulang setelah buat Gue pulang hampir tengah malam, beneran dah Gue bakar mobilnya," ucap Karina menggebu-gebu.
"Haha sumpah ngeri Gue kalau sampai punya sekretaris macam Lo." Tomi tertawa renyah yang malah mendapat cubitan oleh Sesil.
Tomi mengelus lengannya pelan, "Terus ada lanjutannya lagi?"
Karina mengangguk dan mulai melanjutkan ceritanya. "Udah di jalan ni mau pulang, eh dia bilang gini masa 'Saya laper Kita makan dulu ya'. Helo bapak Baradean yang terhormat, ini hampir jam sebelas malam dia ngajak Gue makan dong. Yah walaupun Gue agak laper ya, Gue lebih milih tidur oy, remuk redam badan Gue duduk seharian, emang dikiranya Gue manusia super yang gak butuh istirahat? Superhero aja masih butuh tidur."
"Tapi bukannya Lo emang sering ya lembur pulangnya Kalian makan bareng dulu?" tanya Tomi.
"Iya sih," jawab Karina membenarkan, tapikan semalam dia lelah sekali.
"Terus kita makankan tu di restoran 24 jam. Alhasil Gue sampai rumah jam dua belasan. Setelah mandi dan beberes akhirnya Gue bisa mengecap manisnya tempat tidur."
Karina tersenyum mengingat rasa bahagia saat tubuhnya menyentuh empuknya kasur. Sesil ingin mengatakan sesuatu sebelum tangan Karina menginstrupsi menyaratkan bahwa cerita tragisnya kemarin belumlah selesai.
"Tunggu, cerita Gue belum selesai, karena masih ada penderitaan yang lain."
Ia berdehem ringan sebelum melanjutkan ceritanya.
"Di saat nyawa Gue masih ngawang-ngawang, tiba-tiba hp Gue bunyi, nada telpon masuk, dan pasti kalian tahu itu dari siapa? Yak benar dari seorang Baradean. Jam tiga pagi dia nanyai surat kontrak kerja sama supplier, bangke gak tuh HAH? Jam tiga pagi woy! Ayam aja masih mimpi manis Gue dibangunin ,dimintain surat kontrak, gila gak tuh? emang paginya bakal kiamat kalau Gue kirimnya pagi aja?"
Karina mengacak rambutnya yang terlihat lepek karena memang tadi pagi tidak sempat keramas, frustasi karena kelakuan dari yang sayangnya adalah bosnya.
"Yah gimana ya Kar, emang keterlaluan sih jam tiga pagi loh, ngelanggar Ham itu," ucap Sesil menyemangati Karina.
Memang bisa diadukan ke dinas terkait, tapikan Karina sudah tandatangan kontrak di atas materai pula.
"Tapi gimana Sil, Guekan udah tanda tangan kontak. Kalau bukan karena gaji dan bonusnya gede udah lama Gue resign woy."
Tomi menyeruput kopinya hingga tandas, mendengar cerita Karina cukup membuatnya menghabiskan satu gelas kopi lagi, pagi ini.
"Tapi nanti Lo pasti dikasih bonus gede tu dari kantong pribadi pak bos, kan abis menang tender." Tomi menaik turunkan alisnya mengkode tanda-tanda Karina akan dibelikan barang mahal oleh sang bos.
"Kalau dia nanya Gue minta apa, sebagai ucapan terimakasih karena Gue cukup berjasa di proyek kali ini, jelas Gue minta berlian," ucapnya dengan semangat empat lima.
"Gue Aamiinin dah ya." Sesil mengelus punggung Karina lagi memberi semangat pada mantan teman kontrakannya itu.
"Lah bikin kopi lagi?" tanya Karina saat melihat Tomi berjalan kembali ke lemari penyimpanan kopi.
Tomi menghela napas, yah dia juga begadang tadi malam. "Ngantuk, saran Gue lebih baik gak minta punya anak kembar kalian wahai kaum hawa, capek oy ngurusnya. Apalagi nangis mulu tiap malam ganti-gantian," keluhnya mengingat sejak isterinya melahirkan satu bulan yang lalu dia selalu begadang membantu isterinya mengurus bayi kembarnya.
"Mertua Lo bukannya di sini ya?" tanya Sesil mengingat Tomi pernah bercerita kalau mertuanya yang terkenal bermulut pedas itu mulai dari usia kandungan isterinya mendekati lahiran sudah menginap di rumahnya, alhasil dia yang harus kuat-kuat menahan telinga mendengar ocehan sang mertua.
"Di sini juga gak bantu banyak Sil, udah berumur juga kasian kalau begadang, syukur-syukur biar dikata cerewet gitu beliau masih mau bantu urusin kerjaan rumah."
Karina dan Sesil mengangguk bersamaan, walau mereka tidak menyangka Tomi yang dulunya terkenal playboy akhirnya melabuhkan hati seutuhnya ke Shareen mantan bagian perpajakan dan sekarang sudah resign karena ingin fokus mengurus bayi kembarnya.
"Kalian...," Mereka bertiga kompak melihat ke arah pintu, Anggun menampakkan diri.
"Eh Mbak Anggun, ngopi Mbak?" Tomi mengangkat gelas kopinya.
"Tadi Saya ketemu Stevi di Lift, dia bilang kalian enak-enakan ngegosip di sini bukannya kerja," jelasnya.
"Dasar tukang ngadu," ejek Sesil.
"Kamu kenapa? diapain lagi Kamu sama Bara?" Yah ini sudah pertanyaan ketiga yang didengarnya sepanjang pagi ini. Dan sepertinya mereka selalu tahu siapa penyebab seorang Karina menjadi murung.
"Biasa di romusa," jelas Sesil singkat.
Anggun tertawa ringan, tahu betul apa yang mungkin dilakukan Bara pada sekretarisnya itu, Anggun memang dekat dengan Bara bahkan diantara karyawan biasa di perusahaan ini hanya dia yang memanggil Bara langsung dengan namanya tanpa embel-embel Pak.
"Yah resiko kerja," ucap Anggun ikut mengelus pelan punggung Karina yang sekarang meletakkan kepalanya ke atas meja. Anggun yang dulunya mewawancarai Karina sebelum menandatangani kontrak kerja sudah mewanti-wanti bahwa pekerjaan ini bukanlah pekerjaan biasa seperti kebanyakan sekretaris lainnya.
"Tapi ini melanggar hak asasi Saya Mbak, lelah Aku tuh," keluh Karina tetap tidak terima diperlakukan seperti itu.
"Kamu bayangin, Kamu aja yang sekretarisnnya secapek ini apalagi Dia? tekanan di Bara pasti jauh lebih banyak."
Karina menghela napas, ya dia tahu pasti pekerjaan bosnya itu jelas lebih berat daripada dia, tapi ayolah seorang Karina juga butuh istirahat, dia bukan makhluk imortal seperi bosnya.
"Mbak.." Karina menegakkan kepalanya. "Pokoknya Mbak harus cari pengganti Saya sebelum kontrak kerja Saya habis, setelah kontrak ini berakhir Saya gak akan pernah mau kembali lagi menjadi pekerja romusa. Dan gak ada cerita nunggu sampai ada pengganti. Pokoknya saya mau resign. Merdeka." katanya menggebu - gebu tanda ia sadari ada orang lain yang ikut mendengarkan ucapannya.