Tok tok..
Kali ini kaca di samping tempat duduk Karina diketuk tak lama saat mobil mereka berhenti di lampu merah, seorang anak berbadan silver menadahkan ember kecil ke arahnya.
"Dashboard," ucap Bara singkat memberitahu agar Karina memberi uang ke manusia silver itu.
Karina memberikan selembar uang lima puluh ribu, manusia silver itu pergi sembari berterimakasih.
Karina yang iseng menghitung jumlah uang di dalam dompet tersebut.
"Ini uang emang buat di foya - foyain di lampu merah ya?" tanyanya padahal ia sudah sering bertanya soal ini.
Bara menoleh singkat.
"Memangnya kenapa?"
Karina menggeleng sembari memasukkan kembali dompet tersebut ke dalam dashboard.
"Gak apa - apa sih, tapi kadang Bapak itu terlalu menghamburkan uang."
Bara tersenyum kecil, "Saya punya rezeki yang lebih, mencicipi sedikit dari gaji Saya ke orang yang membutuhkan tidak akan membuat Saya menjadi miskin."
"Yah emang benar sih katanya makin banyak sedekah makin berkah, tapi Bapak itu terlalu baik."
"Terlalu baik gimana?"
"Em gimana ya. Bapak kalau beli tisu aja sekotak bisa lima puluh ribu mana setiap yang nawarin dagangan Bapak beli lagi."
Bara tersenyum kembali, setelah sekian lama Karina kembali bertanya.
"Kalau Saya bisa ngasih segitu berarti Saya mampu. Mereka berdiri seharian di jalan menjajahkan jualannya, coba pikir betapa senangnya mereka saat dapat rezeki sedikit lebih? Kebahagian itulah sebenarnya yang ingin Saya lihat."
Karina tertegun sesaat, merasa senang mendapatkan bos sebaik Bara, orang yang bahkan tidak pernah sungkan mengeluarkan uang untuk membeli barang yang sebenarnya bahkan tidak ia butuhkan, mubazir? tidak juga karena biasanya Bara akan memberikan barang tersebut ke orang lain, ke Karina contohnya sampai ia tidak perlu lagi membeli tisu.
"Semoga Tuhan selalu melimpahkan rezekinya untuk Bapak,"
"Aamiin," jawab Bara singkat sedikit menoleh ke arah Karina.
"Kita mau makan di mana Pak?"
"Nanti juga tahu," jawabnya santai dan jelas Karina tahu tempat makan yang Bara maksud karena jalan yang mereka lalui begitu familiar untuknya.
Mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah rumah makan bertuliskan 'Rumah Makan Bundo' tempat makan favorit Bara sejak dia masih SMA dulu katanya.
"Siang Bundo," sapa Karina saat memasuki rumah makan yang terlihat padat itu.
Orang yang makan di sini memang selalu memanggil wanita paruh baya ini dengan sebutan Bundo, sesuai nama, rumah makan ini menyajikan kesan seperti makan di rumah orang tua sendiri.
"Eh Neng Karina, Mas Bara, masuk-masuk," Bundo berjalan duluan mengantar ke tempat Kami biasa duduk, bahkan Bundo harus meminta orang yang sudah duduk di tempat itu untuk pindah dan diiming-imingi diskon.
Karina yang melihat itu tersenyum canggung ke pembeli lain. Tapi mungkin ini adalah cara Bundo berterimakasih ke Bara yang secara tidak langsung mempromosikan rumah makannya. Bara sering membawa beberapa rekan bisnisnya makan di sini sehingga rumah makannya semakin ramai pengunjung.
Karina menyendok nasi hingga piringnya terlihat menggunung, menumpahkan sepiring gulai ke dalam piring nasinya serta sambal ijo dan kerupuk. Bara yang sudah biasa melihat hal itu hanya menggelengkan kepala, terkadang ia tak habis pikir kenapa bisa badan dan mulut yang sekecil itu bisa menghabiskan nasi dengan porsi kuli begitu.
"Laper banget kayaknya?" sindir Bara membuat Karina menatap sinis ke arahnya.
"Salah siapa coba yang bikin Saya sering lembur?"
Bara mengangkat bahunya acuh. Memang apa hubungannya sering lembur dengan nafsu makan Karina yang fantastis itu?
Karina memincingkan matanya kemudian menunjuk Bara dengan tangannya yang berlumur nasi dan kuah gulai.
"Karena harus ngikutin jam kerja Bapak yang super padat itu, Saya jadi butuh banyak energi."
"Iya. Iya makan itu abisin sampai bakul - bakulnya." Bara menahan senyum kadang menjahili Karina lucu juga.
Tenang Karina tolong jangan sampai Lo membalikkan meja ini pikir Karina menenangkan diri.
"Gara-gara Bapak," desisnya ingin saja menyalahkan Bara atas rasa lelahnya.
"Iya gara - gara Saya. Tapikan udah Saya kasih bonus," ucap Bara tak mau kalah. Sepintas mereka seperti sepasang kekasih dengan Bara yang sedang mengalah pada pacarnya.
"Tapi Sayakan kasih tenggat waktu sampai besoknya, Kamu aja yang semangat ngerjainnya sampai selesai malam itu juga. Kemarin juga pulang cepat kan? Jangan bilang Kamu malah begadang nonton bukannya tidur."
"Pak." Karina menenggak air minum di tengah kunyahannya.
"Bapak pikir Saya sekali dua kali lembur? Tiap hari loh Pak kalau Bapak lupa."
"Pokoknya salah Bapak. Bapak harus tangung jawab," ucap Karina sembarang membuat Bundo yang menaruh bakul nasi tambahan kaget.
"Neng Karina hamil?" tanyanya polos membuat Karina dan Bara kompak menoleh dengan wajah syok.
"Gak Bundo, darimana ceritanya Karina hamil?" jelasnya tidak terima disebut hamil, bisa berabe urusannya kalau sampai ada gosip yang tersebar.
"Lah itu tadi minta tanggung jawab?"
Karina nyaris melongo.
"Minta tanggung jawab bukan berarti hamil Bundo, masalah kerjaan," jelas Karina lagi yang hanya di senyumi oleh Bundo yang sebenarnya hanya ingin menggoda mereka.
"Yah kalau hamil juga gak apa-apa, kan biar kalian cepat menikah, sudah bertahun-tahun ke mana - mana barengan masa gak nikah-nikah?" Karina yang sedang minum nyaris tersedak berbanding terbalik dengan Bara yang terlihat anteng sembari menyuap makanannya.
"Bundo, Karina ini sekretarisnya bukan calon istri, ngapain Karina harus nikah sama orang ini," tunjuk Karina dengan dagunya memberi kode kalau hal itu tidak akan terjadi.
"Yo siapa yang tahu kan ya masa depan nanti gimana. Biasanya jodoh itu bisa datang dari sekitar Kita ini" Bundo mengedipkan sebelah matanya kemudian pergi meninggalkan mereka berdua.
Bara terlihat santai bahkan setelah mendengar ucapan yang terkesan kurang ajar dari Kirana tadi. Dan akhirnya setelah perdebatan itu mereka melanjutkan makan dalam diam.
"Kita mau ke toko mana lagi Pak?" tanya Karina saat duduk di belakang kemudi. Seperti biasa sekarang jadwal Karina yang membawa mobil. Ia ingat dulu ia sampai di kursuskan mengemudi demi bisa menyupiri Bara, luar biasa.
"Kita ke pabrik."
"Balik ke kantor ni?"
"Bukan, pabrik plastik yang baru Kita buat," jawab Bara masih fokus ke layar tabnya. Pasti sang bos sedang menganalisa penjualan pikir Karina.
Mereka keluar dari parkiran menuju arah pabrik yang baru akan dibuat tersebut.
"Ngapain ke situ Pak?"
"Mereka lagi tester mesinnya. Jadi Saya mau lihat."
"Oh." Karina mengangguk.
"Mulai besok Saya langsung yang akan mengambil andil dalam produksi plastik. Jadi Kamu analisa data survey pasar." Karina mengedipkan matanya beberapa kali, eh survey pasar?
"Loh bukannya itu kerjaan bagian produksi dan tim research ya Pak?"
Bara menoleh ke arah Karina.
"Oh Saya belum bilang ya, Kalau mulai sekarang Saya yang bertanggung jawab langsung pada produksi plastik Kita," katanya santai nyaris membuat Karina menginjak rem mendadak saking syoknya.
"Bapak belum bilang!" katanya nyaris berteriak.
Kerjaan Bapak itu udah menggunung kenapa juga Bapak sampai ngurusin produksi plastik, teriak frustasi Karina di dalam hati.