My Boss and I (1)
***
"Arrggghhh..." Karina berteriak kesal, mengantukkan kepalanya ke atas meja, sebentar lagi jam pulang dan lagi - lagi nampaknya ia harus lembur, lembur kok tiap hari.
Ia mengumpat kesal. "Perasaan gue dikontrak jadi sekretaris bukan buat jadi upik abu."
"Kerjain aja biar cepat pulang." Karina mendongak melihat sang biang penumpuk laporan di atas mejanya sedang berdiri sembari membawa sebuah map.
"Harus banget ya Pak selesai hari ini?" tanya Karina masih membaringkan kepalanya di atas meja.
"Lebih cepat lebih baik," jawab sang bos santai, lengan kemeja yang ia kenakan rapi tadi pagi sekarang sudah di gulung sesiku.
"Gitu aja terus sampai dinosaurus dibangkitkan." Karina menggerutu, ia sudah bekerja hampir lima tahun sebagai sekretaris manusia bernama Baradean Raditya Putra, Direktur pemasaran yang tiap hari suka sekali membebaninya dengan banyak pekerjaan yang seharusnya tidak dikerjakan oleh sekretaris.
"Mangkanya daripada ngomel mending dikerjakan."
Nah kan gimana Karina gak gondok kalau tiap hari selalu begini masuk jam normal pulang tengah malam, akhir pekan kadang masih juga harus mengurusi bosnya ini, bisa - bisa mati muda dia. Rip masa muda Karina Adelia.
"Inikan udah dicek dari cabang Pak. Udah dari bagian keuangan juga."
Ia terlalu lelah melihat angka - angka di laporan keuangan dari salah satu cabang yang salesnya baru - baru ini melarikan uang tagihan bernilai kurang lebih delapan puluh juta.
"Dicek ulang biar nggak ada yang coba manipulasi lagi."
Ini nih efek sekali di kibulin, berikutnya jadi terlalu sulit percaya pikir Karina.
Bara masuk kembali ke ruangannya.
"Gabut banget kayaknya tu orang keluar cuma mau bikin gue emosi."
"Emosi kenapa?"
"Uwaah.." Karina berteriak kaget.
"Sialan lo," umpatnya melempar pena ke arah Farhan yang entah muncul darimana.
"Hahaa. Bos ada?" tanyanya.
Karina melirik ke tangan Farhan yang membawa map berwarna hijau.
"Menurut lo? Gue masih di sini berarti tu makhluk setengah astral masih di dalam," ucap Karina yang memang terdengar kasar tapi seisi kantor ini sudah amat sangat terbiasa dengan sikap Karina, mereka mengerti betapa stressnya ia menjadi sekretaris seorang Bara yang sangat mencintai pekerjaannya ketimbang dirinya sendiri.
"Sabar Neng. Gue masuk dulu yak." Farhan tertawa canggung, dia harus memberikan laporan mingguan.
"Eh wait."
Farhan menoleh.
"Itu map nggak akan bikin kertas di meja gue bertambahkan?" tanya Karina was - was. Farhan menggedikkan bahu kemudian ngeloyor masuk setelah mengetuk pintu dan tentunya Karina komat kamit agar hal itu tidak terjadi.
Karina keluar dari toilet, pantas saja moodnya jelek sekali ternyata ini penyebabnya, apalagi kalau bukan tamu bulanan. Dengan langkah gontay ia kembali ke mejanya, jam sudah menunjukkan pukul enam sore dan kebanyakan karyawan sudah pulang satu jam yang lalu.
"Tadi pas nggak tahu, ni perut gak kerasa sakit, kenapa sudah tahu tiba - tiba jadi sakit begini?" keluhnya.
Pekerjaannya masih menumpuk, bos sejenis kanebonya itu masih anteng dan tidak ada tanda - tanda akan keluar.
Ayo katakanlah Karina dulu bodoh karena terdesak, serampangan menandatangani kontrak kerja di mana dalam kontrak tersebut banyak poin - poin yang lebih mirip mengajaknya romusa. Tapi mau bagaimana ia sangat butuh pekerjaan untuk membayar hutang orang tuanya.
Sebenarnya keluarga Karina dulunya hidup berkecukupan, tujuh tahun yang lalu bapaknya ingin melebarkan bisnis grosirnya dengan meminjam uang di bank menggadaikan sertifikat rumah dan toko namun naas uang pinjaman tersebut justru dibawa kabur oleh sahabatnya sendiri, orang yang bapaknya percayai dan akhirnya Karina terpaksa harus bekerja seperti ini.
Bukannya apa, gaji sebagai sekretaris seorang Baradean tidaklah sedikit. Yah walau ia harus romusa karena salah satu poin di dalam kontrak kerjanya adalah bersedia mengikuti jam kerja Bara, waktu itu Karina tidak berpikir kalau maksud mengikuti itu adalah sampai Bara mau pulang. Mau loh ya bukan karena jam kerja sudah selesai.
Untungnya bos Karina ini bukanlah orang yang tempramen padanya. Bara juga cenderung tenang dan lempeng sampai-sampai mau Karina nyerocos bagaimanapun mengatainya sang Bos akan biasa saja, bahkan nampak tak tersinggung sama sekali.
Intercom di atas meja Karina berbunyi dengan malas ia memencet tombolnya.
"Pesan makan malam." Satu kalimat yang setiap hari kerja Karina dengar.
"Pak bisa nggak hari ini saya pulang duluan?" Suara Karina terdengar lesu.
Bara diam sesaat, "Sakit perutnya?" tanyanya kemudian.
Karina hanya menjawabnya dengan gumaman, lihatkan saking lamanya mereka bersama sampai Bara saja hafal tanggal datang bulannya.
"Sakit, lemas, lesu, kangen kasur," ucap Karina sengaja dibuat semakin lesu.
Terdengan desahan napas di seberang sana. "Ya udah, beres - beres. Kita pulang."
Karina tersenyum riang, menyimpan semuan file itu ke dalam brangkas, akhirnya ia bisa tidur jam delapan malam hari ini.
Tak lama Bara keluar sembari menetang tas dan jas yang tersampir di bahunya. Sesaat Bara diam memperhatikan Karina yang sengaja bertampang lesu.
Mereka berjalan beriringan, kantor sudah nampak sepi dan seperti biasa mereka berjalan dalam diam. Setibanya di samping mobil Bara membukakan pintu untuk Karina, yah memang beginilah Bara kalau Karina sedang sakit, dia akan bersikap lebih lembut coba kalau Karina sehat wal afiat boro - boro mau membukakan pintu yang ada Karina yang harus menyetir.
"Kita mampir sebentar," ucap Bara tak sadar kalau Karina sudah terlelap di bangku sebelahnya.
Bara menoleh melihat kepala Karina tergolek ke kanan. Menurunkan sedikit posisi kursi yang di duduki Karina kemudian mengambil bantal kepala di kursi belakang dan dengan pelan memakaikannya ke leher sekretarisnya itu.
Mereka sampai di depan kontrakan Karina, Ia masih terlelap.
"Nana," seru Bara mencoba membangunkan Karina, walau setengah tak tega saat melihat wajah lelah Karina.
"Nana bangun."
Karina menggeliat bangun dari tidurnya.
"Udah sampai ya Pak?" tanyanya sambil menguap. Jaga image di depan Bara? Lupakan, sudah entah sejak kapan Karina masa bodoh dengan pandangan Bara.
Bara hanya menggumam mengiyakan.
"Oh. Makasih Pak sudah ngantarin saya pulang." Karina bersiap turun.
"Bawa ini." Bara menyodorkan kantong belanja yang cukup besar ke arah Karina.
"Termakasih Pak," katanya kemudian turun dan tak lupa melempar sembarang bantal kepala itu ke kursi belakang. Dan seperti biasa dia tidak ambil pusing dengan pandangan Bara, bantal kepala itu memang ia yang minta karena saking seringnya mereka pulang larut malam dia jadi sering ketiduran di dalam mobil.
Mobil Bara berlalu, Karina masuk ke rumahnya. Setelah mandi ia mengecek apa saja yang Bara belikan untuknya.
Kantong tersebut berisi banyak cemilan, lalu ada obat penghilang nyeri datang bulan dan dua jenis pembalut siang dan malam tidak lupa sebungkus nasi goreng favorite Karina lengkap dengan empingnya.
"Tiap bulan beliin gue ginian, apa nggak malu ya dia?"
Karina menatap dua benda berwarna pink dan hitam itu bergantian, dia tidak terbayang seperti apa wajah Bara yang lempeng itu waktu di kasir membayar pembalut, atau saat sang bos berdiri di depan etalase khusus roti jepang tersebut.
"Nggak salah lagi, si bos titisan penjajah itu pasti sudah sering beliin pacarnya beginian. Pasti," desisnya. Tapikan bosnya jomblo akut, bahkan selama hampir lima tahun mereka berkerja bersama tak sekalipun bosnya nampak berkencan dengan seseorang.
Karina masa bodoh, toh kalau malupun itu bukan dirinya, kemudian memilih untuk tidur.
***