Intinya Rio sangat malas mengingat satu demi satu nama asli dari para sepupu yang tingkahnya nyaris selalu buat jengkel hati. Maka ia pun membuat julukan tersendiri yang menggunakan urutan angka. Sungguh sia-sia rasanya mengingat nama manusia yang hobi campuri hidup orang lain seperti mereka. Bisa meledak duluan otaknya. Jadi, jangan heran kalau setelah ini tidak akan ada banyak nama melainkan urutan angka saja. Mereka bukan robot. Hanya manusia yang hatinya sudah dibekukan oleh ketamakan.
.......
"Ojala baru aja memenangkan sebuah kompetisi Matematika di Beijing. Mengalahkan para orang sananya asli. Padahal selama ini dia lebih tertarik sama Fisika. Ternyata Matematika juga jago. Aneh ya anak yang satu itu. Diam diam menghanyutkan," cerita (pamer) Sepupu Satu. Ia sedang memamerkan prestasi dari sang anak pertama.
"Kalau Pradikta kan habis ikut lomba pramuka di Rusia. Terus menang. Pas diminta kasih pidato kemenangan dia bicara pakai bahasa Rusia masa. Mana fasih banget lagi. Sampai membuat para gurunya terkagum-kagum. Heran tuh anak kapan lagi belajarnya," cerita (pamer) Sepupu Tujuh.
"Si Lelana, baru kemarin hari melihat video tutorial main trading beberapa kali. Sudah bisa beli Mersi dari hasil main tradingnya. Pantes aja tuh anak suka berdiam diri megang hape di kamar. Kirain ngapain. Taunya ngasilin duit. Dasar anak jaman sekarang mah seperti itu ya, Bapak-Bapak. Sungguh berbeda jika dibandingkan dengan zaman kita muda dahulu," cerita (pamer) Sepupu Empat Belas.
Setelah itu para sepupu yang lain pun tak begitu saja tinggal diam. Mereka turut memamerkan beragam prestasi yang baru saja anak-anak mereka dapatkan. Menang olimpiade renang lah, menang kejuaraan kriket lah, menang lomba bulu tangkis lah, menang lomba matematika, fisika, biologi, kimia, teknika, ekonomi, atau sosiologi lah, menang kompetisi menulis karya ilmiah lah, menang lomba bowling lah, menang lomba berkuda lah, menang lomba panahan lah, menang kejuaraan catur lah, bahkan yang terkesan sakral seperti memenangkan lomba tilawah Qur'an pun tak luput untuk senantiasa disombongkan. Dibanggakan.
Seperti semakin memberi bensin untuk api rasa bangga. Sesuatu yang menghanguskan akal sehat manusia dari dalam diri mereka sendiri.
Rata-rata metode membanggakan atau memamerkan atau menyombongkan mereka ya sama saja. Buat seolah anak tidak pernah atau tidak suka pada suatu bidang. Lalu, voila, mereka memenangkan perlombaan atau kejuaraan di bidang tersebut secara ajaib karena berkah “gen Senna” yang sudah mereka turunkan.
So cliche. Sangat klise.
Tak begitu terpengaruh dengan semua “omong kosong” dari para sepupunya. Rio berusaha untuk tetap serius membaca si buku membosankan. Yang ia bawa dan baca hanya agar terkesan intelek saja di hadapan para sepupunya. Buku yang memang sengaja ia bawa karena tau hal memuakkan seperti ini pasti akan terjadi. Ia cukup tutup telinga dari obrolan yang membuat seluruh makanan yang baru saja ia telan tadi jadi terasa ingin termuntahkan saja.
"Ah, Rio, kok kamu malah diam aja? Ada apa? Padahal kita kan jarang bisa berkumpul seperti ini. Cerita dong soal bagaimana kabar anakmu," tanya Sepupu Dua. Super resek. Merusak zona nyaman.
Terpaksa ia tutup bukunya. Plop. Melihat canggung ke semua saudara sepersepupuannya. Bibir pria itu tersenyum tipis. Menjawab, "Maaf, Kak. Saya tidak berminat menyombongkan kemampuan anak-anak saya. Delvin sendiri adalah seorang anak yang punya sikap cukup pemalu. Mereka lebih suka hidup apa adanya dan jauh dari riya serta ujub (berbangga diri)."
Malah sok ceramah ini orang, batin beberapa orang sepupu yang lain. Ketujuh belas pria itu terbengong-terbengong menatap wajah Rio.
Kalian pikir itu akan terjadi? Tentu saja tidak.
Berbangga diri, sombong, riya, ujub, dan semua kata turunannya selalu dihalalkan selama HANYA untuk prestasi para anak dan diri mereka sendiri. Adi Pram Will Sastro Mi Senna mengizinkan hal itu hanya di dalam keluarganya. Untuk memancing semangat kompetisi mereka.
Rio tersenyum dan berkata lagi, "Alhamdulillah Delvin bisa menjalani pendidikan akselerasinya dengan baik. Insya Allah tahun depan dia sudah bisa menyelesaikan pendidikan setingkat sekolah menengah atas-nya. Baru-baru ini dia memenangkan lomba penulisan essai untuk masalah lingkungan hidup. Saya merasa sangat bangga padanya," "pamer" pria itu juga pada akhirnya.
"Wahh, boleh juga, tuh. Delvin itu memang paling mirip ya dengan Eyang Adi Pram Will Sastro Mi Senna, ya. Jeniusnya sangat natural. Jeniusnya to the bone," puji Sepupu Sembilan. Satu-satunya sepupu yang Rio anggap keberadaannya sebagai keluarga di sana saat itu.
Sepupu Lima Belas menyambung, "Iya sih, boleh juga. Tapi, nggak akan aku biarkan anakku kalah dalam Compétition le meilleur nanti."
"Masih ada banyak waktu untuk bertumbuh dan berkembang. Kita semua akan berusaha untuk melakukan yang terbaik demi masa depan para anak kita," ucap Sepupu Enam Belas.
Rio langsung membatin, kita semua akan melakukan yang terbaik untuk tumbuh kembang anak-anak kita kepalamu! Kalian semua kan hanya memikirkan keuntungan untuk diri kalian sendiri. Ya Tuhan, saudara sepersepupuanku kenapa punya sikap yang sangat menyedihkan serta memalukan seperti ini semua.
Hahh...
Ia bertanya, "Tapi, apa boleh saya me-request suatu hal, saudara-saudara?"
"Apa?" tanya Sepupu Empat balik.
"Jangan pernah katakan apa pun mengenai hal ini pada Delvin," jawab Rio.
"Soal dia yang kamu nominasikan dalam pemilihan Compétition pour être le meilleur des nanti?" tanya Sepupu Delapan.
"Benar. Dia bahkan tidak tau kalau saya ikut dalam pertemuan malam ini," jawab Rio.
"Apa yang jadi alasannya?" tanya Sepupu Satu.
"Delvin sendiri merupakan seorang anak yang sangat cerdas. Dia memiliki banyak minat akan ilmu pengetahuan secara garis besar. Saya tidak mau dia fokus pada pemilihan itu. Mengabaikan minatnya pada bidang yang lain. Saya ingin dia tumbuh menjadi manusia yang bebas. Sampai waktunya ia harus memikirkan berbagai macam topik yang harus dipikirkan oleh orang dewasa," terang Rio.
Sepupu Sebelas berkata, "Lagipula Delvin adalah kandidat paling muda dalam pemilihan nanti. Sepertinya tidak apa-apa, ya?" tanyanya ke para sepupu yang lain.
"Iya. Kalau begitu tidak mengapa. Itu berarti kita juga harus menjaga informasi ini dari para anak dan pasangan kita masing-masing. Tau sendiri perempuan itu paling tidak bisa menyimpan rahasia. Aha ha ha ha ha ha ha ha," putus Sepupu Satu diiringi tawa lebar.
"Apalagi kalau lagi arisan mereka. Bawaannya pasti ngerumpiii aja. Nggak ada habisnya, deh," tambah Sepupu Empat Belas.
Sepupu Enam tiba-tiba menghentikan interaksi di antara para sepupunya. Ia tampak berpikir. Lalu, melihat ke arah Rio. "Rio, anakmu itu bukannya ada dua, ya? Delvin . . . dan siapa lagi yang satunya? Namanya terdengar cukup sulit untuk diucapkan, jadi aku tidak begitu ingat,” tanyanya.
PRAANK! PRAANK! PRAANK! PRAANK! PRAANK!PRAANK! PRAANK! PRAANK! PRAANK! PRAANK! PRAANK! PRAANK! PRAANK! PRAANK! PRAANK! PRAANK!PRAANK! PRAANK! PRAANK! PRAANK! PRAANK! PRAANK!
Barikade kaca tipis yang sudah berusaha keras untuk Rio jaga sejak tadi. Tiba-tiba semua hancur lebur begitu saja. Entah mengapa Sepupu Enam bisa-bisanya malah membahas mengenai hal itu. Para sepupu yang lain langsung membenarkan. Iya, ya. Iya, ya. Iya, ya. Iya, ya. Iya, ya. Iya, ya. Iya, ya. Benar juga. Benar juga. Benar juga. Bagaimana keadaannya saat ini? Apa saja prestasi yang sudah ia peroleh? Bagaimana keadaannya saat ini? Apa saja prestasi yang sudah ia dapatkan? Bagaimana keadaannya saat ini? Apa saja prestasi yang sudah ia peroleh?
Rio berusaha "keras" untuk tetap tersenyum dengan tenang menyikapi pertanyaan “minta dilempar ke dasar jurang” yang para sepupunya lontarkan. Berusaha keras menahan napas panas dan dongkol dalam hati yang siap meledak ke mulut para tuan besar di hadapannya. Mereka saja hanya menceritakan anak-anak yang memiliki prestasidserta patut untuk dibanggakan. Mengapa anaknya yang seperti "itu" harus ikut dibahas, sih?
Menyebalkan sekali. Ia membatin, urusi saja anak-anak kalian sendiri!
Mereka pasti begitu karena anak-anak mereka yang lain normal, batinnya merasa sedikit kecewa. Hanya sedikit saja.
Apa hal yang sudah ia alami membuat dunia ini jadi tidak adil? Atau malah sebaliknya? Membuat kehidupan ini jadi sangat "adil". Entahlah.
Rio pun berusaha merespon dengan tetap menjaga agar intonasi suaranya tidak sampai terdengar berlebihan, "Iya, benar. Delvin memang memiliki seorang adik. Seorang adik perempuan."
"Saya dengar dia home schooling, ya? Kenapa seperti itu?" tanya Sepupu Lima.
"Padahal pendidikan soal bagaimana kita menjalani kehidupan sosial itu kan juga sangat penting untuk tumbuh kembang otak seorang anak. Ck ck ck. Sepertinya kamu kurang mengerti soal yang satu itu, Dek Rio," ucap Sepupu Tiga Belas.
Fiuuhh. "Yaahh, sebenarnya anak keduaku memiliki kondisi tubuh yang sedikit kurang sehat jika dibandingkan dengan anak lain seusianya. Tapi, dia tetap mendapatkan pendidikan yang intensif dan paling berkualitas. Baik sekolah, bimbingan belajar, maupun rekreasi untuk pendalaman minat serta bakat," jawab Rio tenang.
"Apa dia sudah memenangkan suatu kejuaraan? Yahh, habis kakaknya saja memiliki kemampuan yang begitu hebat dan juga membanggakan. Adiknya sudah pasti sama hebat, dong," ucap Sepupu Tujuh Belas. Entah kalimat itu memiliki makna yang berarti pertanyaan. Atau malah sebenarnya hanya penghinaan yang terselubung.
"Tentu saja. Dia selalu dan akan selalu sama hebat dengan kakaknya. Tidak ada yang berbeda antara kedua anak saya. Baik sudah atau belumnya ia memenangkan kejuaraan," jawab Rio. Kesabarannya hampir habis. Sudah tinggal sangat tipis.
"Padahal mereka kakak beradik yang usianya tidak terpaut begitu jauh. Tapi, bisa sangat berbeda, ya. Sungguh mengherankan," ucap Sepupu Dua Belas sambil geleng-geleng kepala.
"Namanya juga kan manusia. Tidak ada yang akan bisa sama di belahan dunia mana pun juga. Semirip apa pun penampilan atau rupa fisik mereka. Bukankah seperti itu, Bapak-Bapak?" tanya Sepupu Sembilan. Membela salah satu adik sepupunya dengan senyum yang sangat bijaksana.
Mereka semua hanya terdiam. Dan melanjutkan obrolan seolah pertanyaan yang Sepupu Sembilan. Tidak akan pernah memiliki jawaban yang harus dilontarkan.
"..."
Dan pertemuan malam itu pun usai.
+++++++
Malam itu Rio memutuskan untuk tidak langsung kembali ke kota di mana ia tinggal. Ia memutuskan untuk menginap saja. Malam sudah cukup larut. Dan lagi ia kasihan pada supirnya yang sudah mengantarkan ke berbagai macam tempat sejak pagi hari.
Pria paruh baya itu pasti sudah cukup lelah. Ia yang tinggal duduk dan melihat pemandangan saja sudah sangat lelah.
Di dalam kamar hotel bintang tiga yang ia sewa malam itu. Ia lepas bajunya dan berbaring tanpa atasan di atas kasur yang menggunakan bed cover berwarna putih. Seperti hotel-hotel lain yang pernah ia datangi di seluruh dunia seumur hidup. Bidang perut pria itu yang masih kotak-kotak berbentuk bak roti sobek. Ia biarkan terpapar angin AC yang tidak begitu dingin.
Tiba-tiba ia bangkit dari posisi tiduran. Dan duduk tertunduk mencengkram kepala di tepi tempat tidur. Terdapat begitu banyak hal yang tidak bisa begitu saja ia “tinggalkan” (ia lupakan). Selepas dari pertemuan dengan tujuh belas orang sepupunya barusan.
Ia pangkukan rahang tegasnya yang indah dan tajam di punggung tangan yang bertumpu di atas paha. Ia tatap wajahnya yang lelah. Yang terpantul lewat kaca jendela yang kelambunya sengaja ia buka. Ia berkata, "Saki . . . kenapa kamu harus seperti itu?” tanyanya dengan raut sedih. Rio melanjutkan, “Demi Tuhan, Shaquille Vromme Senna. Sampai mati juga Ayah tidak akan pernah rela. Tidak akan pernah ikhlas membiarkan kamu terus dilecehkan oleh para orang picik seperti mereka.
“You are . . . my one and only beloved daughter . . . (Kamu . . . adalah satu-satunya putri yang begitu aku kasihi . . . )
“Selalu belajarlah dengan giat dan semangat. Sekalipun itu menyakiti dirimu sendiri. Dunia ini akan sangat kejam pada orang bodoh yang juga memiliki sikap malas. Karena itu, Saki, jadilah anak yang sepintar Kak Delvin. Jadilah anak yang semembanggakan dia. Buatlah dirimu berharga di mata orang lain juga, Sayang. Jangan pernah menyerah pada keadaan seberat apa pun itu, Nak.
"Ayah mohon.
“Sebenarnya kamu itu sangatlah pintar, Saki. Ayah tau betul soal itu. Kamu bahkan lebih jenius timbang semua anak yang mereka banggakan sampai mulut berbusa. Ayah tau betul soal itu. Karena kamu adalah anak seorang Aristide Alterio Senna. Karena darah seorang Aristide Alterio Senna mengalir di dalam nadimu . . ."
Aristide Alterio Senna menundukkan lagi wajahnya. Ia tatap kedua paha yang dilapisi oleh celana berwarna khaki. Berharap andai saja mampu ia katakan semua yang baru ia ucapkan pada dirinya sendiri. Pada sang putri.
“Maafkan Ayah, Saki. Maafkan Ayah, Delvin. Karena belum bisa menjadi orang tua yang baik untuk kalian berdua. Anak-anak yang paling aku sayangi di dunia.
“Ayah sangat menyayangi kalian berdua. Sangat cinta. Maafkan semua kesalahan, kelemahan, dan juga ketidakbergunaan Ayah.”
Dan Aristide Alterio Senna pun memejamkan kedua mata. Berharap saat ia buka lagi kedua netra. Sudah ada cahaya yang tampak bersinar menerangi kegelapan dunia yang saat ini tengah menenggelamkannya. Sekalipun dari sisi dunia yang berbeda dengan tempat ia berada.
Sama sekali tidak mengapa. Tidak perlu dipikirkan.
OMONG KOSONG SEMUA! SEMUA ITU TIDAK NYATA!