Badai Shaquille Vromme Senna (1) A

1284 Words
Dan Aristide Alterio Senna pun memejamkan kedua mata. Berharap saat ia buka lagi kedua netra. Sudah ada cahaya yang tampak bersinar menerangi kegelapan dunia yang saat ini tengah menenggelamkannya. Sekalipun dari sisi dunia yang berbeda dengan tempat ia berada. Tidak mengapa. Tidak mengapa. Tidak mengapa. ....... Anak berusia sembilan tahun yang sudah bisa duduk di kelas sebelas sekolah menengah atas. Apa itu akan membuat orang lain merasa kagum? Tidak perlu membatasi diri dengan usia. Apa orang yang bisa hidup dengan digelimangi oleh begitu banyak prestasi itu akan membuat orang lain... atau bahkan dirimu sendiri mungkin. Merasakan perasaan kagum? Apa orang yang kaya, pintar, rupawan, taat menjalankan ibadah agama, memiliki sikap yang baik, terkenal serta popular, itu mampu membuat kamu merasakan perasaan kagum? Kalau jawaban yang kamu atau siapa saja berikan adalah iya. Maka itu berarti bisa jadi “kita” itu sama saja. Manusia yang normal memang pada umumnya akan merasa kagum dan “terhibur”. Pada “pencapaian” yang didapatkan oleh “orang lain” seperti barusan. Bagaimana pun juga bentuknya. Akan tetapi... kekaguman seperti itu tidak akan pernah berlaku “di sini”. Kekaguman seperti itu telah sekian lama dihapus dalam tradisi dan sejarah para keluarga yang terdapat di dalam klan Senna. Dan semua itu karena... semua rasa kagum di alam semesta ini sama sekali tidak ada gunanya kalau bukan kamu yang dikagumi! Untuk gampangnya: tidak peduli sebagus apa pun sebuah “kisah”. Itu tidak akan pernah jadi cerita yang menarik apabila bukan kamu yang jadi tokoh utamanya. Seluruh keluarga yang tergabung dalam klan Senna seperti ingin menciptakan sebuah lingkup dunia yang berukuran kecil. Di mana hanya mereka yang berada, tinggal, saling berkembang biak, dan membentuk relasi untuk saling berhubungan di sana. Seperti sebuah... fasisme keturunan? Fasisme genetika? Atau malah... fasisme arogansi pencapaian diri sendiri? Entah yang mana. Yang jelas untuk alasan itulah mereka mendirikan bank di berbagai negara, rumah sakit di berbagai macam tempat, hotel, resort, rumah makan, di berbagai macam kawasan wisata strategis, (termasuk theme park, kebun edukasi bercocok tanam & agrikultur, dan kolam renang atau water boom), perusahaan yang bergerak di berbagai bidang, pembangkit listrik mandiri, wahana peluncur satelit mandiri, pabrik moda transportasi bermotor mandiri, pabrik untuk berbagai macam gadget mandiri, penyulingan air laut jadi air tawar dan penampung serta pemurnian air hujan mandiri, sawah dan perkebunan mandiri, dan juga berbagai macam bentuk kemandirian (atau bisa kita sebut sebagai sikap individualistis (?)) yang lain sebagainya. Untung saja belum ada anggota dari klan Senna yang menjadi pemimpin di negeri pertiwi. Kalau memang ada . . . bisa jadi akan mereka ubah nama dari negara ini. Menjadi Negara KRIS . Alias Negara Kesatuan Republik Indo Senna. +++++++ Narasi di atas adalah buah pemikiran Delvin. Yang sedang duduk di ruang belajarnya sembari menanti waktu ujian kemampuan akan pengetahuan umum. Ia sudah membaca beberapa buku dan ensiklopedia tadi malam. Harusnya sudah cukup untuk mempertahankan posisinya sebagai anggota keluarga Senna yang diakui serta pantas untuk “dibanggakan”. Yang selalu dapat memenuhi harapan. "Pak Teguh, apa saya boleh meminta sesuatu?" tanya Delvin. Pak Teguh yang sedang menulis laporan sejenak melihat anak didiknya. Ia bertanya, "Ada apa, Delvin?" "Saya ingin jam pelajaran hari ini dipangkas. Saya sedikit lelah dan ingin segera kembali ke kamar untuk beristirahat," jawab Delvin pelan sekalian sok ia lemah-lemahkan dengan sengaja agar terlihat jadi semakin meyakinkan. Pak Teguh menyentuh dahi anak didiknya. Tidak panas, sih. Tapi, wajah anak itu memang cukup pucat dan tampak kaku. Maka ia pun berkata, "Baiklah kalau memang begitu. Akan kita selesaikan saja ujiannya dengan lebih cepat, ya. Itu bisa membuat bobot soalnya semakin berat. Apa tidak masalah?" tanya pria itu. "Tidak masalah, Pak Teguh. Saya benar-benar hanya ingin membaringkan tubuh di tempat tidur saat ini," jawab Delvin. "Baiklah." Pak Teguh menutup buku laporannya. "Delvin sangat pandai dalam ilmu pasti. Tuan Besar dan Nyonya Besar jadi sedikit khawatir kalau kemampuan ilmu sosial Delvin berkurang. Untuk itulah ujian ini diadakan. Di luar pelajaran ilmu sosial Delvin di sekolah." "Iya, Pak Teguh. Saya mengerti," jawab Delvin. Pak Teguh mengeluarkan alat penghitung waktu. "Tolong sebutkan nama asli dari ibukota negara Thailand!" Ia nyalakan penghitung waktunya. "Krung Thep Mahanakhon Amon Rattanakosin Mahinthara Ahuthaya Mahadilok Phop Noppharat Ratchathani Burirom Udomratchaniwet Mahasathan Amon Piman Awatan Sathit Sakkathattiya Witsanukam Prasit," jawab Delvin secara perlahan dan teratur untuk menyesuaikan dengan cara pengejaan bahasa Thai yang baik dan benar. "Bacot itu merupakan singkatan dari kata apa saja?" tanya Pak Teguh. "Bad Attitude Control Of Tounge. Ketidakmampuan seseorang dalam mengontrol lidah atau ucapannya dengan baik," jawab Delvin. "Kapan Anisilin ditemukan?" tanya Pak Teguh. "Saat abad dua puluh," jawab Delvin. "Berapa besar resolusi mata manusia?" tanya Pak Teguh. "Lima ratus tujuh puluh enam," jawab Delvin. "Dalam satu menit ada berapa banyak sel darah merah yang bisa dihasilkan oleh tubuh?" tanya Pak Teguh. "Delapan ratus lima puluh delapan dwiyar dua ratus delapan puluh dua dwita tiga ratus empat puluh milyar (atau kalau bingung angkanya seperti ini 858. 282. 340. 000. 000. 000) sel darah merah," jawab Delvin fasih. "Suatu peraturan yang mewajibkan para pengusaha makanan untuk mencantumkan harga makanannya terdapat dalam?" tanya Pak Teguh. "Pasal 10 UU 8 tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan," jawab Delvin. Tiba-tiba ia menutupi mulut dan tubuhnya yang seperti terdorong setelah itu dimajukan paksa. "HOEEKK!" Pak Teguh langsung panik dan membawa tubuh Delvin ke sofa yang terdapat di dekat jendela. "Kamu baik-baik saja, Delvin?" tanya Pak Teguh. Mencari minyak kayu putih di first aid box. "Se, Se, Sebaiknya segera kita lanjutkan saja ujiannya, Pak Te . . . " ucap Delvin lemah. Seperti sudah akan kehilangan kesadaran. "Tidak, itu sudah tidak perlu. Ujiannya kita tunda saja di lain waktu nanti. Sekarang akan saya antar kamu ke kamar, ya," tawar Pak Teguh sembari menggendong tubuh anak itu. "Baiklah, Pak Teguh. Anda sungguh baik dan pengertian sekali," balas Delvin pelan. +++++++ Pak Teguh membaringkan tubuh anak itu di atas tempat tidur. "Sekarang kamu istirahat yang baik, ya," pinta pria itu lembut seraya menepuk-nepuk bed cover. Puk puk puk. Saat Pak Teguh bergerak akan meninggalkannya. Delvin menarik ujung jas di bagian belakang pria itu. Pak Teguh langsung kembali berjongkok di sisi tempat tidur. "Ada apa, Delvin? Apa perlu saya panggilkan seseorang?" tanya Pak Teguh khawatir. Delvin menangis. "Jangan... Pak Teguh. Saya mohon. Ayah dan Ibu bisa marah besar sampai mengetahui kalau saya ketahuan memotong jam pelajaran. Aahh..." Pak Teguh memandang anak lelaki kecil itu dengan raut wajah yang sangat khawatir. “Delvin,” panggilnya lirih. "Tolong lakukan sesuatu agar mereka tidak tau kalau pelajaran kita sudah berakhir. Saya sangat takut, Pak," rintih anak laki-laki itu. Pak Teguh tersenyum dan mengangguk. "Tenang saja,Delvin. Saya akan atur semua. Sebaiknya kamu segera istirahat agar tidak perlu ketahuan kalau sakit, ya." "Terima kasih banyak, Pak Teguh. Saya akan sangat berhutang budi sama Bapak," ucap Delvin dengan raut wajah bahagia, tapi lemas. Pak Teguh pun pergi. Entah apa yang akan ia lakukan setelah itu. Delvin beranjak duduk dan menghapus air mata buaya yang masih membasahi kedua pipinya. Ia melangkah pelan keluar dari kamar. Cklek. Setelah itu mengendap-endap menyusuri koridor. Terdapat beberapa orang penjaga dengan stelan hitam di sekitar sana. Ia sudah sangat lama tak mengunjungi tempat itu. Ia harap lokasi jalan menuju ruangan di tempat itu belum berubah. Delvin sedikit menyesal saat menyadari tubuhnya yang tumbuh dengan begitu jenjang. Jauh lebih tinggi dibanding dengan anak seumurannya yang lain. Ia sampai cukup kesulitan menyembunyikan diri di antara vas bunga atau meja pajangan. "Puji Tuhan!" ucapnya langsung bersyukur saat berhasil sampai di koridor yang dituju. Ruangan yang sedang ia tuju berada di ujung koridor itu. Gudang. Apakah yang akan anak kecil laki-laki itu temukan di dalam sana? Apakah sesuatu yang memancing perhatiannya? Ataukah sesuatu yang jauh lebih luar biasa? Bukankah yang disebut kenyataan itu seringkali tidak terduga?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD