Athaar tentu saja terkejut ketika aku mengatakan ke mana dia harus mengantarku, bukan lagi ke rumah yang sebelumnya dia tahu. Pasti Sea dan Ibu tidak mengatakan yang terjadi pada rumahku padanya, dia hanya menurut, mengikuti arahanku hingga, “ya di sini saja,”
Tepat depan gerbang. Kontrakan yang aku temui, sudah kutempati hampir setahun ini, hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumahku. Kontrakan sederhana, dua kamar dengan dapur dan kamar mandi di dalamnya.
“Aa mau mampir dulu?” niatku hanya basa-basi, berharap Aa bilang tidak.
Terkadang basa-basi memang tidak diperlukan, hasilnya sering kali tidak sesuai harapan. Ketika Aa mengangguk, “mobil bisa masuk?”
“Ah, iya... masukkan saja, halaman parkirnya lega. Bisa menampung banyak motor dan mobil.” Kataku yang kemudian turun, berlari cepat membuka gerbangnya.
Aa memasukkan mobilnya, aku menunggu sambil merasakan tangan berkeringat saat mengepal. Dia benar-benar turun, menghampiriku, “tinggal sama Candani?”
“Iya, sama siapa lagi? Ibu sudah tidak ada...” jawabku kemudian memintanya mengikuti langkahku.
Kontrakanku berada di bawah, pintu pertama. Aku menghela napas melihat jemuran besi di sana, bagusnya Candani sudah mengangkatnya, bisa malu jika pakaian dalam bisa terlihat masih ada di sana.
“Candani sudah tidur pasti?”
Sepertinya ada secercah untuk membuatnya menyadari kehadirannya tidak diperlukan untukku, mulutku baru kan terbuka saat suara seseorang memanggil, “Mbak Dillah...” baik aku dan Athaar berbalik, Candani datang menghampiri dengan pakaian santainya, kaus dan celana pendek selutut, ditangannya dia membawa kantung plastik hitam—pasti habis dari warung Madura yang buka dua puluh empat jam di depan rumah.
“Kamu dari mana?” tanyaku.
“Beli mie dan telur,”
“Mbak tanya tadi, sudah makan belum... kamu bilang sudah. Tahu gini, bisa aku bawakan makanan, Can.” Kataku.
“Tadi makannya sore, ini sudah lapar lagi.” Lalu Candani menatap Athaar, mendekat untuk salim, “sama Aa, aku kira sama siapa?”
“Sudah makin tinggi kamu ya,” Athaar tersenyum.
Candani mengangguk, “Aa mau dibuatkan apa? Kopi, es teh atau air putih?”
“Air putih saja, terima kasih.”
“Kalian sudah makan, kan? Kalau belum, biar aku sendirian—eh lupa, kalau Teteh tutup jendela makan jam delapan.”
Andai Candani tahu, hari ini aku tidak melakukannya. Tadi bahkan sempat makan Mango sticky rice Thailand lalu menghabiskan segelas espresso martini yang ditraktir Azizi dan tunangannya.
“Aku belum makan, sudah lama juga tidak makan mie. Jika tidak keberatan.”
Candani mengulas senyum lebar, “mie buatanku enak!”
“Apa bedanya? Semua rasa mie sama, Can.” Kataku sambil menerima kunci, membuka pintu dan mempersilakan Athaar masuk. Dia melepas sepatunya, meletakkan di rak depan jendela.
Aku baru melangkah saat Athaar menghentikanku, “boleh aku ikut Isya?”
“Oh,” aku memberi anggukan kecil. Mengarahkannya ke kamar mandi. Aku ke kamarku. Merapikannya, segera mengambilkan sajadah dan menggelarnya. Ini nilai lebih yang membuatku jatuh hati padanya, selain kedekatannya dengan Ibu dan para keponakan, Athaar terlihat taat.
Aku keluar, mengulurkan handuk bersih untuk mengelap wajah dan rambut depannya yang basah. “Di kamarku saja, Aa.”
“Hadapnya?”
“Sudah aku atur,”
“Terima kasih,” dia tersenyum, kemudian masuk. Aku menutup pintu kemudian menarik napas dalam-dalam, sambil menyentuh letak debar-debar yang sejak tadi sudah membuatku tidak tenang.
Candani muncul mengagetkan, “Mbak—“
Aku menariknya menjauh, “kamu buatkan mienya yang cepat ya,”
“Hah, kenapa?”
Aku tidak mungkin bilang padanya biar Athaar cepat makan, kemudian pergi?
“Uhm, kayaknya sudah lapar.”
Candani mengangguk, kemudian siap melangkah saat kembali bertanya, “sudah nikah kan ya?”
Aku mengangguk.
"Istrinya enggak marah dia antar Mbak?"
"Kenapa harus marah? Athaar anggap aku hanya teman adiknya. Udah sana..." Jawabku berbisik, segera mendorongnya kembali ke dapur, sementara aku menunggu Athaar selesai.
Dia membawa jaket berwarna cokelatnya, berjalan menghampiriku kemudian duduk bersila.
“Dari kapan pindah ke sini?” akhirnya dia bertanya juga. Athaar sudah beberapa kali, terbilang sering dulu mengantarku, ya sebelum dia muncul memperkenalkan Rea lalu dekat, menikah.
“Sudah setahun lebih Aa...” jawabku, berharap dia tidak tanya lebih lagi. Aku tidak ingin membagi alasannya.
Candani sungguh membuatkan semangkuk mie rasa ayam bawang, ditambah telur dan sayuran hijau. Athaar menikmatinya, terasa tidak asing saat duduk bersamaku dan Candani di kontrakan kami.
Kami mengobrol, kemudian hampir jam sebelas saat Athaar pamit pulang.
Athaar sudah pulang dari satu jam lalu, aku juga sudah berbaring dikamarku, tetapi dia seolah masih ada di dekatku karena aromanya yang tertinggal. Dia menggunakan kamarku tadi, lalu parfum yang dia sempat semprotkan padaku, hanya agar aku diam dan setuju diantar tanpa banyak alasan lagi.
“Sadar Dil, dia suami wanita lain!” decakku.
Kesal akhirnya aku bangun, mengambil baju yang tadi kupakai, langsung kubawa ke tempat baju kotor di luar. Aku kembali, mengambil semprotan anti nyamuk beraroma lavender. Pilih mengusir aroma Athaar dengan itu, lalu aku membawa bantal dan selimut. Menuju kamar Candani, “dek sudah tidur?”
“Belum, Mbak.”
Aku melangkah masuk, kemudian mintanya bergeser, “Mbak tidur di sini ya,”
“Iya, kangen Ibu ya?” tebaknya.
“Setiap detiknya memang kangen banget, kangen bapak juga...” jawabku.
Candani mendekat, menempelkan kepala ke sisi kepalaku, “aku cuman punya Mbak sekarang, Mbak harus sehat ya...”
Aku memberi anggukan, “sudah malam, tidur.”
Aku mendengarnya membaca doa-doa sebelum tidur, yang kuikuti kemudian coba memejamkan mata.
***
Hari ini aku bisa datang siang karena Sky baru kembali sore kemarin. Habis lunch, Sea baru akan muncul bersama suaminya juga yang kuingat ada agenda meeting dengan orang kementerian.
Aku baru turun hendak lunch, saat menemukan Althaf.
“Aku kira kamu libur, Al... habis dari luar sama Pak Sky.”
“Mana ada,” jawabnya yang menyamai langkah denganku. “Makan di mana, Teh Dil?”
Aku mengangkat tempat makanku, turun ke kantin karyawan hanya agar menemukan suasana baru, biar tidak bosan makan di ruang kerja.
“Ngapain turun kalau bawa bekal!” decaknya.
“Ada larangan begitu?” tanyaku balik. “Kamu makan di mana? Teteh ikut.”
Althaf ternyata pilih makan di warung-warung yang ada di pemukiman tepat di belakang, tidak jauh. Aku ikut, memesan tea tawar saja untuk temani makan siangku.
“Aa kemarin malam minggu pulang sendiri, Ibu tanya dari mana, katanya bertemu kamu dan sempat antar pulang—“
“Uhuk! Uhuk!” Sialan aku tersedak dengar ucapannya!
Althaf menepuk punggungku sambil mengambilkan gelasku. Aku menetralkan diri, sungguh terbatuk yang tidak nyaman. Kenapa juga Althaf harus membahasnya sekarang?!
“Jadi benar?” dia masih melanjutkan.
Aku menghela napas dalam-dalam, mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa berbohong juga, bukan?
“Ya, kebetulan bertemu.”
“Oh,” tanggapnya sambil kembali menyuap makanannya. Nasi rames komplit, pakai telur dan ayam pula. Aku heran dengan metabolisme tubuh manusia, sangat iri menemukan yang bisa makan banyak tanpa khawatir timbangannya terus naik. Padahal menu makanku terasa normal, tapi dampaknya membuatku mudah gemuk.
“Pulang sama Rea?” Aku penasaran, bisa jadi Athaar setelah mengantarku langsung menemui istrinya dan mengajak ke rumah Ibu untuk bermalam karena besoknya hari minggu.
Althaf menggeleng, “Ka Rea masuk kerja hari Minggu, liburnya lagi pas Jumat-Sabtu.” Jawabnya.
Aku terdiam. Pilih melanjutkan makan dibanding menuruti keinginan terus bertanya, memenuhi rasa penasaranku. Aku tidak bisa berpikir ada yang salah dengan pernikahan yang Athaar jalani, sebab aku tetaplah orang luar yang tidak pernah tahu keadaan sebenarnya. Bisa jadi, yang terlihat justru kebalikan dari kenyataan jika memang mereka baik-baik saja.
***
Sea ternyata tidak jadi datang ke kantor hari ini, hasilnya aku pulang lebih awal tetapi mampir untuk mengantarkan beberapa berkas yang dia butuh karena besok pun Sea tidak ke kantor lagi untuk acara di sekolah Rigel. Anak ganteng itu, sudah punya jadwal padat. Selain sekolah, dia ikut kelas bela diri sampai ada jadwal ikut Sky dan kakeknya golf, terus kelas renang juga.
Aku duduk, memangku Kai yang anteng sedang mengemut dot berwarna birunya. Dia lepas asi sendiri sejak usia empat belas bulan, tidak seperti Rigel dulu yang menunggu dua tahun, dipaksa berhenti.
Aku sebenarnya sedang mempertimbangkan, bertanya menggunakan foto dan video yang kumiliki mengenai Rea yang kutemui Sabtu itu bersama pria yang bukan Athaar. Bisa saja Sea kenal, jika mungkin itu salah satu sepupu, saudara Rea. Namun, aku menahan itu, karena merasa tidak punya hak untuk ikut campur jika pun memang Rea terbukti dengan pria lain.
“Dillah, ini sudah semua...” dia meletakkan fail yang sudah diperiksa, akan aku bawa lagi besok ke kantor. Aku menurunkan Kai untuk duduk di sampingku, merapikan berkas itu lagi dan memasukkannya ke tas yang kubawa.
“Jangan langsung pulang, makan malam di sini dulu. Kamu bisa pakai kamar tamu buat bersih-bersih.”
“Enggak bawa baju ganti,”
“Pasti ada baju aku yang cukup ditubuh kamu,” katanya dan berdiri.
Aku menghela napas dalam-dalam, “pulang saja ya, Sea... Candani di rumah sendiri.”
Sea tidak lagi bisa memaksaku begitu dengar alasanku tidak bisa ikut makan malam di apartemennya.
Sea memberi anggukan, aku berdiri untuk pamit pada para bocah ganteng di sana.
“Menurutmu, Aa mungkin enggak rahasiakan sesuatu yang besar dari aku dan Ibu?” tiba-tiba Sea bertanya saat aku baru mencium kepala Rigel.
“Rahasia?” tanyaku.
Sea memberi anggukan, “sudah beberapa bulan, Aa selalu ada alasan tiap kali Ibu tanya kenapa enggak pernah datang sama Rea. Paling enggak menginap semalam saja di rumah, pas Aa ada dan Rea libur. Ibu jadi sedih, merasa bersalah, bila memang Rea menjauh, enggak betah di rumah karena Aa memaksa tinggal di sana atau Rea enggak nyaman sama Ibu.”
“Nggak nyaman bagaimana? Ibu Anggita kayaknya bukan tipe mertua yang suka mengatur, ikut campur deh.” Pendapatku. Bahkan aku pernah dengar Ibu minta Athaar pertimbangkan, paling tidak untuk tak memaksa Rea tinggal bersamanya, jika memang tidak mau. Ibu berpikir perlu menjaga perasaan masing-masing, yang walau rasanya sudah hati-hati, tetap saja ada kemungkinan menyakiti.
“Nah itu dia, Ibu juga bingung. Ibu merasa baik-baik saja, sampai Rea bilang mau kembali tinggal sama orang tuanya, yang dekat dengan tempat kerja barunya. Aa dan Rea juga enggak terdengar bertengkar. Ibu lagi tunggu, kalau sampai akhir bulan ini, pas Aa di rumah, tidak ada bawa Rea menginap sehari, Ibu minta aku temani untuk datangi Rea. Mau ajak bicara.”
Aku kembali terdiam, kemudian rasanya sulit untuk menutupi sesuatu yang aku temukan, “Sea, sebenarnya...” aku memulai. Belum sempat melanjutkan, ponsel Sea bergetar.
“Sebentar, Ibu kirim pesan.” Dia lalu fokus membacanya, dan menghela napas lega, “Aa datang sama Rea, menginap walau semalam karna besok Aa berangkat tugas lagi.”
“Oh, syukurlah... artinya semua hanya kekhawatiran kamu dan Ibu, Aa dan istrinya baik-baik saja.”
Sea memberi anggukan, namun mengingat, “oh iya, kamu tadi mau bilang apa?”