Aku melakukan Paddling menuju ombak, menunggu momentum yang tepat untuk menangkap gelombang ombak yang datang. Berusaha mendapatkan paddling yang efisien, berusaha menghindari terjebak di belakang ombak. Saat inilah insting dalam surfing untuk perkiraan ombak datang harus dilakukan dengan baik dan tepat.
“Ayo, Dillaaaah!” aku menyemangati diri sendiri, bersiap melakukan take-off. Jantungku juga berdebar-debar, sebisa mungkin tetap tenang saat bergerak dari posisi duduk di atas papan selancar, berdiri. Saat inilah kekuatan serta seimbang kaki diperlukan. Selain itu harus tepat dan cepat, agar tidak terjatuh.
“Woaaaahhh!” Senyumku mengembang saat berhasil menguasai diri, setelah berhasil selanjutnya aku berupaya tetap berdiri di atas papan selancar. Menjaga posisi tubuh rendah, memperhatikan titik berat termasuk menggunakan lengan untuk menjaga keseimbangan. Teknik yang kupelajari berbulan-bulan, hingga akhirnya menemukan kepuasan sendiri saat berhasil melakukannya.
Ada beberapa pantai yang menjadi tujuan para pecinta peselancar, namun karena aku terbilang masih pemula, aku kini berada di Canggu.
Ombak menghempaskan tubuhku, menggulungku. Aku berenang ke permukaan. Liburan semacam ini, menjauh sejenak dari rutinitas maupun masalah yang kumiliki, harus kulakukan agar aku tetap waras. Satu-satunya hal yang disebut boros tetapi aku tidak keberatan sama sekali. Aku merasa pantas melakukannya, setelah hari-hari panjang setahun belakangan yang kulalui.
Aku kembali mengambil papanku dan kembali ke bibir pantai setelah puas beberapa kali menaklukkan ombak.
“Dillah!” temanku, Madewi yang membawaku mencintai surfing juga ikut menyudahi selancarnya. Dia sangat profesional, bahkan beberapa kali ikut turnamen Surfing lokal maupun lebih besar.
“Bagaimana aku tadi?” aku butuh pendapatnya.
“Sudah semakin ahli kamu, bagus!” pujinya yang terlihat bangga akan banyak kemajuanku menguasai papan selancarku tadi. Hanya sekitar tiga kali aku gagal take off dan tertinggal ombaknya. Progres dibanding sebelum-sebelumnya.
Aku tersenyum mengangguk, kakiku berjalan di atas pasir. Beberapa langkah lalu menyandarkan papan selancar sebelum mendudukkan bokongku di atas pasir. Madewi ikut duduk di sampingku. Kami bicara seputar selancar yang baru terjadi, termasuk pengalamannya di beberapa pantai dengan ombak tinggi yang diperuntukkan bagi para profesional, bukan pemula sepertiku.
Jemariku mengusap rambut yang basah dan sudah lengket, tetapi sunset di depan mataku terlihat indah, membuatku betah tetap di sana.
“Aku ambil kamera dulu!” kataku beranjak menuju tasku berada, mengambil kamera yang setia menemaniku ke tempat-tempat yang kujelajahi saat mengambil cuti.
Sea, bos sekaligus sahabatku seolah selalu memberi ruang untukku cuti dan menikmati hobi-hobiku. Hobi yang membuat Sea belakangan iri apalagi setelah melihat hasil foto-foto yang kubagikan di akun media sosialku.
Aku kembali ke hotel tempatku menginap, mandi lalu setelah berpakaian membuka laptop untuk melihat hasil foto-fotoku dan ada juga yang dipotret oleh temanku. Aku memilih satu foto, di mana aku duduk di atas papan selancar putihku yang hanya memperlihatkan satu tanganku, serta kedua kakiku. Slide kedua kupilih foto punggungku, beberapa cangkang kerang berjajar di tengah-tengah punggungku. Madewi yang memotretnya. Lalu bagian ketiga, fotoku tampak rambut yang ter-kepang dua, aku tertidur di ayunan kain yang memperlihatkan kulitku berjemur.
Aku mengetik sebuah kata-kata..
BtariD.Lituhayu: Take it or leave it
QailulaSea.Zi: @BtariD.Lituhayu Bikin iri terus deh!
Aku tersenyum membaca balasan Sea yang cepat, dia pasti sedang aktif sambil menjaga Kai atau Rigel, atau mungkin sekalian bayi besarnya, Pak Sky. Aku terkekeh sendiri, ikut berbahagia terhadap kehidupan temanku yang kini menemukan bahagianya.
Aku memilih beberapa foto pemandangan, yang kira-kira punya jual bagus, kemudian mengunggahnya ke sebuah website foto yang bisa dijual. Tiap bulan aku dapat tambahan, bayarannya berupa dollar Amerika. Belum banyak, paling besar aku bisa menarik sekitar lima ratus dollar bulan lalu. Dulu menemukan cara ini, untuk sampingan.
Tidak terasa sudah jam tujuh, aku harus makan malam sebelum jam delapan dan mulai makan lagi jam dua belas siang besok. Jadi, aku memutuskan untuk keluar kamar hotel.
Aku menaiki lift, untuk turun. Kamarku berada dilantai enam, tidak ada siapa pun di dalam lift. Kebetulan hanya aku.
Sambil menunggu lift turun, aku kembali fokus ke ponsel. Dari berbalas dm di instagraam, aku pindah ke chat dengan Sea juga setelah menanyakan keadaan Candani yang tidak bisa ikut liburan karena sedang ujian.
Aku menghela napas dalam-dalam, tidak menyesali keputusan sekitar tiga bulan lalu yang memutuskan untuk tidak pernah memberitahu Sea tentang foto dan video yang kumiliki mengenai Rea bersama pria yang bukan Athaar. Bagusnya lagi, harapanku terwujud, tiga bulan ini kembali tidak bertemu Athaar.
Aku merasa lift berhenti, aku menatap papan tanda jika berhenti dilantai tiga. Aku tidak minat menatap seseorang yang masuk. Aku masih sibuk ke ponsel, sampai mendengar percakapan seseorang di sampingku—lebih tepatnya berdua, lengkap dengan celoteh anak kecil.
Aku menoleh, wajah pria di sampingku terhalang posisi bocah kecil perempuan.
“Enggak mau tinggal, mau ikut Papa!” ujarnya dengan nada manja, namun juga menahan tangis.
“Iya ini sudah ikut Papa. Mata Nara sudah kelihatan ngantuk,”
“Bobonya sama Papa juga,”
“Enggak sama Umi?”
Kepalanya menggeleng, kemudian bersandar manja dibahu ayahnya. Aku memperkirakan, mungkin usianya di bawah Rigel sedikit walau bicaranya sudah cukup jelas dan lancar.
Aku kembali menatap ponsel, saat lift sampai, pria itu mengendong putrinya dengan satu tangan. Tidak sulit, tetapi boneka yang dipegang putrinya jatuh. Tepat ke dekat kakiku.
Refleks aku berjongkok, mengambilkan boneka tersebut karena lelaki ini pasti sulit mengambil dengan posisi anaknya dalam pelukan.
“Terima kasih...” ucapnya dan akhirnya aku bisa melihat wajahnya.
Aku terdiam, mengangguk kecil. Seperti pernah melihatnya, pikirku. Kami sama-sama keluar lift, berjalan mengambil arah tidak sama sampai aku mendengar namanya disebut.
“Pak Dzaki, mobil sudah siap.”
Langkahku berhenti, terdiam kaku sambil bergumam, “Pak Dzaki?”
“Ya, sebentar...” katanya. Kemudian aku mendengar suara langkah mendekat, aku pilih untuk melangkah sampai terdengar suara, “apa kita pernah bertemu, maaf? Rasa-rasanya begitu...”
Dia jelas bicara padaku, aku menghela napas dalam-dalam sebelum berbalik dan menatapnya yang masih dengan memeluk gadis manis yang tampak mengantuk tetapi tidak mau melepaskannya.
“Saya pikir, Pak Dzaki tidak mengenali saya.”
“Ya, sekarang ingat.” Dia mengangguk, “teman dari istrinya Sky Xabiru Lais, bukan?”
Aku memberi anggukan, “ya, wanita yang sempat Pak Dzaki bantu saat harus menghadapi beberapa orang hari itu.”
Dia memberi anggukan, “tapi, rasanya kamu terlihat berbeda.”
Aku mengangguk, jelas bedanya karena aku berhasil menurunkan angka timbanganku cukup banyak.
“Di sini ada pekerjaan? Sama Sea dan Sky?” tanyanya.
Aku menggeleng, “liburan...”
Seseorang yang tadi menghampirinya, kembali mendekat dan mengatakan sesuatu yang membuat kerabat Sky itu harus segera pergi.
“Saya duluan, Dillah...”
“Ya,” aku mengangguk sambil mengulas senyum, terutama pada putri kecilnya yang terus menatapku.
“Siapa Papa? Teman Papa?” tanya si cantik itu dengan nada penasaran.
“Temannya Tante Sea, kamu ingat?”
“Oh Momo-nya Aa Rigel?”
Mereka pasti sudah beberapa kali bertemu sampai gadis kecil itu mengingat Sea merupakan ibu dari Rigel. Aku pilih berbalik, melangkah menuju tempat tujuanku. Makan malam yang akan terlambat.
***
"Saya sudah minta Pak Dzaki untuk tidak bilang apa-apa pada Sea maupun Pak Sky. Kenapa Pak Dzaki tetap melaporkan kejadian tadi?" Ada nada kesal dari suaraku. Aku menghampirinya sesaat Sky dan Sea akhirnya tahu hal apa yang terjadi denganku sebelum sampai di rumah keluarga mereka.
Kalimat yang membuat langkah Dzaki berhenti, dia menoleh dan menatap aku yang tadi terlibat insiden dengan sejumlah pria. Setelah memerhatikanku, ku yakin ia sadar bila bukan hanya nada suara melainkan raut wajahku pun menunjukkan kesal akan keputusannya melapor pada Sky.
Dia seorang Mayor, aku dengar dari Sea saat membicarakannya di malam setelah acara resepsi pernikahan Sea dan Sky. Tanpa Sea beritahu, sorot mata pria ini jelas sesuatu yang bisa membuat orang segan atau tunduk. Namun, aku tidak merasa takut untuk balas menatap matanya.
"Saya tetap harus bilang, karena saya tahu kamu kerja dengan istri dari saudara saya, Sky" ujarnya tenang, memberitahu alasannya.
Aku terdiam beberapa saat sembari menghela napas dalam, sudah terlanjur semua terungkap pada sahabat baikku sekaligus suami sahabatku itu.
"Tanpa bantuan dari Pak Dzaki, saya yakin tadi bisa hadapi dan atasi mereka. Saya tetap akan ucapkan terima kasih sekali lagi."
"Kamu punya tekad, tapi posisi kamu jelas sudah tersudut tadi." Tiga pria tinggi besar, lawan satu wanita.. pasti pria ini berpikir aku nekat dan gila saat menghadapinya. Mata Dzaki kemudian tertuju pada tangan kiriku, "kamu juga harus memeriksa tanganmu,"
"Hanya luka kecil, tidak sakit sama sekali kok!" kemudian aku akan berlalu saat kembali bicara, "saya mungkin terlihat lemah, padahal hal-hal semacam ini sudah sering saya hadapi ."
Dzaki hanya mengulas senyum tipis, membiarkan aku berlalu sambil kembali Dzaki bicara, "saya bisa lihat, kamu justru tidak terlihat lemah. Terbukti, kamu tidak gemetar sama sekali saat menghadapi orang-orang tadi."
Sebentuk pujian bisa dipercaya yang membuat langkahku berhenti, aku mendengar dengan jelas.
Kejadian itu terjadi saat aku menuju rumah Sea, sekitar dua tahun lalu. Astaga, ternyata sudah benar-benar lama sekali, saat itu bahkan Kai masih diperut Sea dan kini usianya sudah satu tahun lebih. Ketika aku sedang dihadang oleh tiga orang suruhan tempat sangkut paut dengan kakakku, sikap mereka yang kasar membuatku tetap tenang, sampai tiba-tiba sebuah mobil berhenti dan ternyata Dzaki—kerabat dari suami Sky.
Aku juga sempat tidak enak hari itu, terungkap pada Sea dan Sky. Jelas Sky tidak mau ancaman begitu datang saat aku sedang bersama Sea dan anak-anaknya. Aku menolak bantuannya untuk dibantu, walau begitu dua hari berikutnya aku terkejut saat mendapati Pak Sky tetap membantuku. Salah satu alasanku sampai sekarang, sangat malu untuk kembali menyusahkan Sea dan suaminya.
Aku menarik selimut lebih tinggi, “Pak Dzaki ternyata masih mengingatku.” Gumamku. Rasanya aku tetap malu bertemu dengannya lagi, terbayang dia yang merupakan orang asing, orang luar, tetapi tahu masalah pribadiku waktu itu.
Tanganku meraba ponsel, mengambilnya kemudian segera mengetikkan pesan pada Sea...
[Sea, aku bertemu kerabat Pak Sky... Pak Dzaki, tadi satu lift dan dia bersama putrinya] Pesan terkirim.
Pesan balasan dari Sea tidak kunjung datang, “paling dia sudah dikekepin Pak Sky sih...” gumamku sambil terkekeh tahu betapa cintanya Sky pada sahabatku.
Terkadang aku juga berpikir, kapan tiba giliranku? Menemukan seseorang yang akan mencintaiku dengan tulus, menjadi tempatku bersandar hingga tak merasa harus menghadapi semuanya sendiri lagi.