Hidden Love
Senyum merupakan ibadah, aku sering sekali mendengar kata-kata itu hingga mengerti artinya saat melihat salah satu senyum seseorang yang membawa dampak baik dalam hari-hariku. Seperti hari biasa, ketika keluar dari rumah, langkahku terasa berat dengan beban yang kupikul, namun begitu menemukan senyum seseorang ini, ajaibnya membuatku ikut tertular senyumnya hingga beban berat tadi mulai terasa berkurang.
“Aku tadi itut Momo sama Dydy, adek Kai tambah beyatnya. Tambah satu kilo!”
Aku berhenti sejenak, dalam diam menatap senyum seseorang yang tengah mengendong bayi berusia enam bulan, dengan balita di dekatnya juga yang tampak penasaran dengan si adik sambil terus berceloteh. Mereka ialah Athaar bersama dua keponakannya, si bayi bernama Kai dan si Kakak, Rigel.
“Rigel juga pasti tambah? Ikut ditimbang enggak tadi?”
“Iya, timbangannya bagus. Aku mamnya pintar. Mau mam woytel cama bayam.” Sikap percaya diri Rigel memang turun dari orang tuanya.
“Wortel yang benar, bukan woytel.” Athaar membenarkannya.
“Iya, woyteeel!”
Dengan tingkat kelembutan yang menyentuh hati, dia dengan sabar meladeni setiap ocehan si balita yang memang aku kenal sangat aktif dan kritis.
Athaar tertawa dengan tingkah dua keponakannya, hingga aku semakin menarik sudut bibirku, tersenyum lebar. Saat-saat seperti ini yang buatku bisa menikmati degup-degup berirama menyenangkan dalam rongga dadaku, selalu membuat aku betah berlama-lama diposisiku. Sayangnya, hanya bertahan beberapa detik saat suara ponsel berdering dan Athaar menjawabnya.
“Kamu sudah di depan, sayang?”
Artinya aku tidak bisa tetap diam di tempat dalam diam-diam mengamatinya terus, mendengar dia memanggil seseorang yang menghubungi dengan panggilan ‘istimewa’ pun buatku tersadar kenyataan. Terutama begitu aku berjalan, dia berdiri sambil mengendong Baby Kai, dan berbalik menemukanku, mataku langsung tertuju pada cincin di jemarinya.
“Dillah? Kapan datang?” tanyanya dengan sikap ramah seperti biasa.
“Baru sampai,” kataku berbohong, ya baru sampai sepuluh menit lalu kemudian memerhatikan kamu.
“Oh, bisa minta tolong pegang Kai?” sebelum aku mengiyakan, dia sudah mendekat. Aku sigap mengatur posisi tanganku menerima bayi enam bulan yang memang bobotnya terasa bertambah.
Athaar mendekat, membuatku sejenak menikmati aroma maskulin yang khas menguar dari tubuhnya.
“Rea datang, Aa?”
“Iya, mau pergi. Persiapan pernikahan,”
“Pasti makin sibuk ya, Aa? Tetap jaga kesehatan...” kataku sambil mengulas senyum bersamaan rasa sakit yang menikam hatiku, hingga membuat rasanya begitu sesak. Namun, aku tetap berusaha tidak pernah menunjukkan patah hati tersebut.
Dia memberi anggukan, “kalau Sea tanya, bilang padanya kalau aku langsung berangkat sama Rea ya.” Rea merupakan tunangannya, wanita beruntung yang dia bawa ke keluarganya, dikenalkannya beberapa bulan lalu. Wanita yang membuatku tahu diri, hingga menyadari jika perasaanku bertahun-tahun tak pernah ada kesempatan untuknya. Perasaan yang akan selalu tetap menjadi cinta tersembunyi.
Aku masih bertahan diposisiku saat Athaar tampak pamit pada keponakannya, Rigel. Sebelum pergi, dia kembali ke hadapanku. Aku menahan napas sejenak saat dia menunduk, mencium pelipis bayi Kai.
“Sama Nty Dil dulu ya, dadah...” pamitnya. Lalu sejenak saat ia mengangkat kepala dan kembali ke posisi, tatapan kami beradu. Lalu dia benar-benar pamit, berbalik.
Aku seharusnya tetap berdiri di tempat, bukannya ikut berjalan dan berhenti di dekat jendela. Menatap Athaar yang menemui seorang perempuan itu. Mereka berpelukan sejenak, membuatku mengeratkan pelukan pada bayi dalam pelukanku.
“Nty Dil!” Seruan itu menyelamatkan aku untuk segera mundur dari potensi sakit yang lebih besar jika tetap berdiri dan menatap ke arah pria yang aku cinta dalam diam selama beberapa tahun terakhir.
Aku berbalik, tersenyum pada Rigel. Aku berjongkok, “boleh peluk, Nty?”
Dia tampak bingung karena aku tiba-tiba meminta pelukan, namun anak baik ini segera mendekat. Dengan satu tangan bebas, tangan lain tetap menjaga pelukan pada bayi Kai, aku mendapat pelukan yang manis. Aku pejamkan mata, menghirup leluasa aromanya dan berharap cukup membuatku bertahan dalam rasa sesaknya.
Tak ada gunanya terus patah hati, ketika aku jatuh cinta dan membiarkannya, aku harus siap dengan setiap rasa sakit, kecewanya. Bukan salahnya, karena dia pun tidak pernah mengetahuinya.
“Lho, kalian di sini?” kemunculan Sea—merupakan sahabat sekaligus bosku, membuat aku segera berdiri.
Sea memberi tatapan bingung, karena pelukan kami.
Rigel berbalik, menghampiri ibunya. Sea juga merupakan adik perempuan dari Athaar.
“Nty dil, minta hug... Bial ndaaak cedih.” Lapornya.
Eh? Rigel kenapa tahu alasanku? Batinku.
Sea tentu memberi tatapan yang penuh makna, tanpa perlu aku ceritakan, dia langsung tahu maksud putranya.
“Aa sudah dijemput Rea?” Kan, lihat... pertanyaan itu sekaligus memastikan alasanku.
Aku memberi anggukan sambil mendekat, dan menyerahkan putranya yang kedua, Kai mulai merengek.
“Ya, baru saja. Dia minta aku sampaikan, kalau mereka langsung pergi.”
“Bagus deh, kalau mampir, enggak adil buat kamu.”
Aku tertawa, nadanya agak sumbang, “kenapa enggak adil buatku?”
“Masih tanya lagi!” dia memutar bola matanya, membuatku tertawa. Mencairkan suasana agar dia tahu, aku baik-baik saja. Sea memang sudah tahu mengenai perasaanku pada kakaknya.
“Nanti enggak usah datang deh, kamu buat alasan saja pas hari pernikahan Aa sama Rea.” Sarannya.
“Lho kok begitu? Masa enggak datang! Enggak enaklah sama Ibu, sama Aa juga. Aku pasti datang.”
Aku paham maksudnya, dia terlalu mengkhawatirkanku.
“Untuk bisa melupakan, aku memang perlu menghadapinya lebih dulu.”
“Dillaah...” Dia pasti tidak percaya kalimat santai itu yang aku katakan.
“Rasa kecewa, sakit, bagian dari proses sebelum mulai memaksa diri untuk terbiasa dengan yang terjadi lalu menerimanya.”
“Kayaknya cuman kamu, yang patah hati dan masih bisa positif vibes gini! Malah kayak aku yang denial parah!” katanya kemudian berbalik. Sebelum dia malangkah jauh, aku menyamakan langkah lalu merangkulnya.
Hidupku tidak benar-benar selalu buruk saat menyadari, dibalik keluargaku yang berantakan, kehidupanku yang rumit, aku menemukan sahabat sebaik Sea.
***
Aku tetap duduk tenang selama proses pernikahan Athaar berlangsung, aku bahkan ikut di barisan saat tiba kesempatan berfoto. Aku baik-baik saja sampai akhirnya acara selesai, dan aku pulang.
Ketika seseorang jatuh cinta, ada harapan jika seseorang itu yang akan mengantarkan kita pada bahagia. Namun, realitasnya tidak semua orang beruntung dalam cinta, ada juga yang berakhir pada harapan hampa berujung kenyataan yang getir karena patah hati tak bisa terbalas.
Aku pulang, mengendarai motor matic hasil kerjaku. Baru beberapa meter dari gedung acara saat aku memilih berhenti. Di dekat taman yang cukup ramai di malam minggu ini, meski sudah sekitar jam sembilan malam. Aku berjalan ke tukang asongan, membeli sebotol air mineral. Duduk di kursi taman, masih dalam jarak dekat dengan motor yang bisa kuawasi. Aku membuka segel minumannya, meneguk isinya, entah karena dahaga yang akhirnya terpenuhi dengan segarnya air atau perasaan yang tidak selalu bisa disembunyikan, air mataku tiba-tiba jatuh, aku menunduk dan berakhir menyekanya.
Namun, setiap kali menyekanya, air mataku semakin jatuh hingga terisak-isak tanpa peduli menarik atensi orang-orang di sekitarku.
Aku terpaksa berhenti saat ponselku berdering, Candani—adikku menelepon. Aku segera menjawab, “hallo Can—“
“Mbak Dillah di mana? Cepat pulang ya!” Suaranya gemetar sambil menangis menguarkan ketegangan yang membuat punggungku langsung tegak, tegang. Menerka-nerka yang terjadi.
Kali ini apalagi Tuhan?! Pikirku.
“Ibu baik-baik saja?” tanyaku yang langsung berdiri, tangan lain membawa air yang tadi kubeli. Aku mengambil langkah lebar menuju motorku, baru akan naik ketika mendengar lagi yang adik perempuanku ucapkan.
“Can, katakan ada apa?” desakku karena suaranya tidak jelas, dia semakin menangis bersamaan suara debat-debat di sekitarnya. “Mbak langsung balik, segera sampai! Kamu jaga Ibu!”
Setelah mendengar dia mengiyakan dengan suara gemetarnya, aku segera kembali mengendarai motor dan pulang. Berusaha secepat mungkin sampai, mencari jalan tercepat, menyalip sana-sini, hingga semakin dekat namun aku memelankan kecepatan, melihat di depan rumahku sangat ramai.
Satu yang terlintas, terdorong dari rasa takut terbesarku... kuharap bukan Ibu, aku tidak bisa kehilangannya meski dia sudah sakit-sakitan, atau aku tidak akan pernah bisa sekuat selama ini lagi.