Jadi asistennya Sea, yang dulu merupakan beauty influencer, membuatku belajar banyak tentang penampilan, make up pun. Dulu aku terbilang tidak begitu peduli dengan penampilan, paling-paling yang kupakai hanya lipstik. Sea bahkan lebih cerewet untuk buatku menyadari jika penting menghargai diri sendiri.
Berhubung Sky sedang tidak di Jakarta, jadilah Sea mengajakku malam Minggu ini menghadiri sebuah undangan dari kenalan Sea. Tanpa anak-anak yang dititipkan Sea ke mertuanya, jatah menginap di sana.
Aku duduk dekat Sea yang sedang mengobrol, menatap seorang pria yang sejak tadi menatap ke arah meja kami, aku mendekat pada Sea dan berbisik, “kalau Pak Sky ada di sini, kamu pasti sudah diamankan dari pria yang menatap penuh kagum begitu?!”
Sea menoleh.
“Arah jam tiga,” beritahuku sebelum duduk tenang.
Sea mencoba mencari tahu, kemudian dia terkekeh, “bukan aku, tapi kamu..”
“Huh? Ngarang kamu! Mana mungkin!”
“Enggak percaya?” tantangnya.
Aku tidak mengerti yang akan Sea lakukan, karena sudah pasti dia selalu jadi pusat perhatian para laki-laki. Bukan aku.
“Let’s then see...”
Aku tidak paham sampai Sea berdiri, pilih menghampiri temannya. Aku menahan tatapan tetap ke depan, sampai ponsel bergetar, ternyata Sea mengirim pesan.
[Orang itu masih menatap ke posisi kamu]
Aku perlu memastikan, jadi menoleh dan saat tatapan mata kami beradu, pria itu memberikan senyum seduktif yang membuatku merinding.
Aku mengalihkan tatapan pada Sea yang tengah tersenyum menang. Tidak lama Sea kembali, aku memilih mengajaknya pulang. Sea bersikeras selalu hal sama, yaitu untuk aku mulai menerima setiap pria yang serius mendekatiku.
“Kenapa? Sudah waktunya membuka diri, Dillah.”
Aku hanya tersenyum, tipis. Bukan tidak mau mengakhiri masa jomloku yang lama ini, tetapi dengan segala problematik dalam keluargaku, aku ingin benar-benar siap untuk menjalani hubungan dengan pasanganku kelak. Paling tidak, sampai Candani lulus, sudah bisa menghidupi dirinya sendiri, itu akan membuatku lega untuk memulai hidup baruku. Jika sekarang, aku tak mau berakhir beralasan prioritas pasangan dan keluarga baruku hingga membuat Candani kehilanganku.
Dampak sekitar, mulai dari orang-orang terdekat memang membawa rasa takut tersendiri untukku melangkah ke depan.
***
Aku dan Sea pulang terpisah, alih-alih pulang, aku malah berhenti di sebuah kafe. Senyumku mengembang saat salah satu menunya di sana ada mango sticky rice ala Thailand. Paling sulit menolak, ditambah pikiranku sedang sangat berat memikirkan waktu yang semakin sempit untuk menebus rumah orang tuaku. Tabunganku baru terkumpul seratus dua puluh lima, angka yang mati-matian kuusahakan tidak berkurang, harusnya bertambah.
Aku baru akan memesan, saat suara seseorang membuatku menoleh.
Hm, seperti pernah kudengar...
Aku menoleh, terkesiap menyadari jika wanita yang duduk santai sambil bergurau akrab dengan teman duduk di sampingnya, sangat dekat ialah Edrea Ginela, tak lain istri dari Athaar. Namun, yang bersama Rea jelas bukan Athaar.
Aku berdiri kaku, mempertimbangkan untuk mendekat, menyapa. Walau tidak akrab, kami sudah beberapa kali bertemu. Namun, ada keraguan yang menahan kakiku hingga tetap berdiri di tempat.
“Ka, silakan... mau pesan apa?” tanya kasir yang berhasil membawa fokusku pada depan lagi.
Aku menoleh, mendekat dan menyebutkan pesananku. Aku segera mencari meja dan kursi kosong. Berselisih tiga meja dari tempat Rea berada. Aku tidak bisa menghentikan diri untuk mengamati, menilai situasi sampai nekat mengambil foto dan videonya. Terutama saat Rea dirangkul, seperti pasangan.
Wanita sudah menikah, hanya bisa seakrab itu dengan pasangannya, atau mungkin saudara laki-lakinya, bukan teman biasa.
Makanan kesukaanku pun jadi terasa hambar karena situasi yang membuatku tidak tenang, hingga aku memutuskan keluar dari sana tanpa terlihat oleh Rea. Pastinya, sesuatu yang aku temukan malam ini, menimbulkan tanya yang menghuni kepalaku.
Bagus, Azizi mengirimkan pesan. Memintaku menyusul dia dan pacarnya, tak jauh dari posisiku berada. Ya, kami bertiga memang berteman baik, aku, Sea dan Azizi.
***
Azizi sudah lebih dulu memesankan espresso martini, “koktail kopi menyegarkan dan elegan favoritmu...”
“Thank, ditraktir ini ceritanya aku?” tanyaku sambil mengangkat gelas berkaki itu. Menghirup aromanya, ini kopi ke tigaku hari ini tentu dengan penyajian berbeda.
Dulu awal memasuki bar seperti ini membawa kegugupan tersendiri, aku tidak suka keramaian karena malah membuatku penat. Bisa bertahan di sini satu jam, sudah pencapaian rekor, berbeda dengan Azizi dan Sea dulu. Tapi, Sea setelah punya Rigel, tentu datang hanya saat mendapat undangan teman sejawatnya yang berulang tahun. Aku tidak pernah datang sendiri, kecuali Azizi yang memaksa.
Azizi sudah bertunangan dengan pacarnya yang kini tengah memangkunya, tidak sungkan bermesraan meski ada aku.
“Aku enggak bisa lama-lama, Zi.”
“Kenapa? Baru datang, sudah minum segelas masa pulang!”
Aku mengedikkan bahuku, “Candani di rumah sendirian,”
“Tunggu sebentar, aku mau kenalkan kamu sama temannya Firhan.”
“Iya, Dillah... sebentar lagi sampai.”
“Kapan aku minta dikenalkan?” tanyaku.
Azizi menyengir, “inisiatif aku kali,”
Aku menghela napas dalam-dalam, “hanya kenalan, untuk menghargai kamu dan Firhan. Setelah itu, please kasih aku balik. Benaran capek, tadi temani Sea dari sore.” Sulitnya jadi orang tidak enakkan memang begini, rasanya menolak seperti berbuat jahat. Padahal hakku jika memang tidak bisa, sebaiknya menolak.
Aku di sana sampai teman Firhan datang, dia bernama Satria. Setelah berkenalan, aku terpaksa duduk untuk meladeni beberapa pertanyaan perkenalan. Seputar pekerjaan pun tidak jauh, dan ketika Satria meminta nomor ponselku, aku bilang, “kalau ada pertemuan ketiga, aku baru bisa kasih nomorku.”
“Artinya kita akan bertemu lagi?” ada nada tertarik yang tidak ia tutupi. Tapi, sebaliknya, aku sama sekali tidak berharap ada pertemuan jika di awal merasa tidak nyaman.
“Jika terjadi karena semesta, bukan diatur Azizi atau Firhan.” Jawabku dan melompat turun dari kursi bar.
“Dillah...” panggil Azizi yang pasti kecewa dengan tanggapanku, dia jelas paham kalau aku menolak.
Aku memberi ketegasan saat memeluknya, bukan pertama kali Azizi berusaha memperkenalkan aku dengan seseorang teman prianya, atau kenalannya.
“Thank buat segelas espresso martininya. Lain kali aku yang traktir kamu dan Firhan.” kumemeluk dan cipika-cipiki singkat.
"Hati-hati dijalan ya, enggak mau bareng aja? Kami antar."
"Enggak, thank..." sambil mengulas senyum.
Kemudian berbalik, meninggalkan bar, aku berdiri di depannya. Sambil memesan ojek online, aku mengambil sebatang rokok, menyelipkannya di bibir dan saat akan menyalahkannya, sebuah tangan lancang segera menariknya.
“Apa—“
“Dillah,” panggilnya. Suara yang membuatku terdiam kaku, mataku mengerjap.
“Aa?”
Dia memberi tatapan yang membuat tengkukku merinding, lalu tangannya terangkat, “apa ini? sejak kapan kamu merokok?”
Entah terdorong rasa lelah, atau memang aku tidak siap tertangkap basah olehnya. Aku bertingkah impulsif saat berjalan mendekat, kemudian menarik sebatang rokokku dari sandera tangannya.
“Kembalikan,” kataku dan mengembalikan ke bibirku, di bawah sorot mata Athaar aku mencoba tenang, tak terpengaruh sama sekali saat mulai menyulut ujungnya dengan korek gasku.
Athaar tetap terlihat mengeraskan rahangnya, aku mengisapnya dan mengembuskan asap ke samping agar tidak mengenai wajahnya.
“Sea dan Pak Sky tahu, dan aku tidak pernah merokok saat ada mereka dan anak-anak. Pak Sky pernah komentar bau rokok yang menempel, habis itu aku dilarang gendong anak-anaknya.” Kataku sambil terkekeh, tetapi Athaar tetap menatapku tanpa senyum seperti biasanya.
“Aku melihatmu di dalam, bersama Azizi dan tunangannya, sama satu teman laki-lakimu. Pas aku mau menghampiri, menyapamu, kamu pamit jadi aku mengikutimu ke sini.” Beritahunya.
“Oh, Aa juga datang ke sini?”
“Janjian sama teman, dia malah menentukannya di sini. Sekarang sudah selesai, di dalam terlalu ramai." Athaar sama sepertiku, tidak terlalu tempat berisik dan ramai.
“Sama Rea?” tanyaku yang tidak melihat Rea, sebenarnya aku hanya ingin mencari tahu, jelas tadi aku melihat Rea dilain tempat. Bisa saja Rea menyusul begitu suaminya ini memberitahu keberadaannya di sini.
Athaar menggelengkan kepala, “tidak, dia tidak ikut. Punya agenda sendiri.”
Jawabannya semakin aneh.
Aku kembali mengangkat tanganku, menghisap rokokku. Athaar tetap memerhatikan, “mau pulang?”
“Aku mengangguk,”
“Ya sudah ayo! Aku antar.” Katanya.
“Aa—“ sebelum aku mencegah, dia berbalik dan menuju Mercedes-Benz GLC putih.
Aku terpaksa mengikutinya, “aku sudah mau pesan gojek, Aa! Enggak sudah di antar.”
“Sekalian,” jawabnya. Dia masuk lebih dulu, kemudian menutup pintu.
Aku benci situasi ini, sungguh. Kenapa juga harus bertemu Athaar sekarang?
Aku membuang sisa rokok itu, sebelum masuk dan duduk. Aku tahu Athaar tidak merokok, “aku bau asap rokok,”
Athaar menarik laci dashboard, aku mengernyit saat dia mengambil sebuah parfum yang kutahu dari lama memang dia selalu kenakan selama ini. Aku tahu maksudnya saat tiba-tiba Athaar menyemprotkannya padaku sampai membuatku melongo.
“Teratasi, ada alasan lain buat nolak diantar aku?” nada tanyanya jelas jengkel.
Aku memberi gerakan kepala.
“Pakai sabuknya,”
Menurut seperti robot, aku segera menarik sabuknya melingkupi tubuhku. Athaar mengemudi tanpa banyak bicara. Aku pun memilih diam, sambil berusaha duduk nyaman walau rasanya ingin melompat dari sana.
“Ini bukan pertama kali aku ngantar kamu pulang, sikapmu terlalu canggung dan asing,” tiba-tiba Athaar mengatakannya.
"Hanya perasaan Aa, aku biasa saja. Tidak mau merepotkan, mungkin Rea sudah menunggu Aa pulang."
"Tadi aku sudah bilang, Rea punya agenda malam minggu sendiri."
Apa memang normal pasangan punya agenda malam minggu masing-masing seperti mereka? Jika menyamakan dengan Sea dan Pak Sky, bahkan Sabtu dan Minggu mereka ada acara bersama kecuali suaminya Sea itu sedang tidak di Jakarta. Terlebih ini Aa, seorang pilot yang sekali tugas bisa berhari-hari bahkan minggu.
Aku tidak ingin menanggapi lebih selain pilih menoleh, menatap keluar jendela.
“Kamu bisa kapan pun datang ke rumah Ibu, meski sekarang Sea jarang di sana, atau kantor kalian sudah pindah ke Lais Tower. Ibu akan senang punya teman mengobrol, apalagi itu kamu—“
“Ibu pasti punya teman mengobrol yang menyenangkan Aa, meski Sea jarang di sana, dan aku jarang ke rumah. Ada istri Aa,”
Kurasa kalimatku tidak salah, atau nadanya pun biasa saja, tetapi tiba-tiba Aa jadi diam. Aku mengatakan itu, karena yakin jika Ibu sebagai mertua pun akan membuat menantunya dekat. Dari sudut pandangku, Ibu Anggita orang tua yang menyenangkan, penuh perhatian dan kasih sayang.
"Rea lebih banyak tinggal di rumah orang tuanya sejak kembali kerja," ucap Athaar, seperti yang pernah Sea ceritakan padaku.
Setelah dua kali pertemuan tidak terduga dengannya, aku berharap bisa kembali menghindarinya setelah malam ini.