Bisa meninggalkan rumah Ibu Anggita membuatku rasanya lega, bukan karena tidak betah. Bahkan dulu, dibanding rumah sendiri yang banyak problematiknya, datang ke rumah Ibu dari sahabatku ini membuatku seperti merasa benar-benar masuk ke rumah yang kuharapkan.
Bukan karena lebih besar dan bagus, melainkan ketenangan dan kasih sayang yang tidak kudapatkan lagi di rumah. Aku bahkan ingat, saat mendapati keadaan ibuku yang harus lumpuh karena sakit hipertensinya bertahun-tahun, ditambah baik Fusena atau Suta yang justru menambah bebanku, aku datang ke rumah ini. Aku menemui Ibu Anggita.
Ibu Anggita tidak bertanya, sampai aku menangis—meluapkan segala rasa campur-aduk yang aku rasa. Dia memberiku pelukan yang membuatku merasa jauh lebih baik. Sama seperti saat aku kehilangan Ibu, bahkan Ibu Anggita yang mengurus semuanya. Dia datang hampir setiap hari sampai hari ketujuh kepergian Ibu, dia juga memaksaku dan Candani tinggal bersamanya sementara. Selain Sea, kebaikan itulah yang membuatku tidak bisa benar-benar menjauh meski menghindari Aa.
“Momo!” seruan itu membuatku tersenyum, menatap Rigel yang berlari menuju Sea.
Aku menyusul bersama Delia—pengasuh Rigel dari dia bayi. Sementara Kai, balita yang kini sudah menginjak satu tahun setengah itu, sudah lebih dulu ada di sana.
Ada kamar khusus, untuk anak-anak tidur siang bahkan bermain dalam ruangan Sea.
Sea meminta Rigel bermain dengan adiknya, “main di sana yuk, dek!” ajaknya.
Aku selalu gemas melihat tingkah keduanya, anak-anak tampan itu selalu mencuri perhatian dengan mudah.
“Momo, Wawa sudah pulang!” Rigel memang sudah mulai tidak cadel-cadel seperti dulu.
“Oh, sudah pulang?” tanya Sea tetapi tatapan matanya langsung terarah padaku. Dia menahan diri karena masih ada anak-anak dan para pengasuhnya.
“Iya,” angguk Rigel, kemudian merangkul adiknya yang sudah bisa berjalan menuju kamar. Para suster mengikuti.
“Dillah, ketemu dong?”
Aku memberi anggukan, “iya,”
“Aisssh! Sorry ya, benar deh... aku enggak tahu kalau jadwal Aa pulang hari ini! Kupikir besok!”
“Sekali lagi minta maaf, aku mogok ngomong sama kamu!” ancamku serius. Kenapa juga Sea yang harus merasa bersalah?
“Aku kan enggak enak—“
“Justru bagus lagi,”
“Apanya yang bagus?” heran Sea sambil berjalan ke belakang mejanya, bukannya memeriksa pekerjaan dia malah memeriksa make up-nya. Aku yakin sebentar lagi Sky akan video call.
“Ya, jadi tahu... aku ternyata bisa menghadapinya.”
Sea meletakkan kaca, menatap diriku dengan jenis tatapan tidak percaya. Sungguh aku terlihat susah move on, kah?
“Sudah biasa saja juga? Enggak berdebar-debar?”
Aku memberi anggukan kecil, “dia sudah menikah, itu saja sudah cukup jadi batasan untuk melihatnya berbeda dari dulu.”
Sea menghela napas dalam-dalam, kemudian duduknya mengubah jadi serius, “mengenai rumah tangganya, belakangan aku merasa jika ada yang lagi Aa sembunyikan dari aku dan Ibu.”
Keningku mengernyit, tidak tahu harus berkomentar apa. Terlebih dibanding menggosipkan Athaar dan istrinya, lebih baik kami mulai bahas pekerjaan Sea. Tetapi, Sea sepertinya berbeda pikiran denganku.
“Rea balik kerja setelah di rumah hanya beberapa bulan, dengan alasan tempat kerjanya lebih dekat dari rumah orang tuanya, Rea tinggal di sana lagi. Aa tetap pulang ke rumah, tapi malamnya baru balik menyusul ke rumah mertuanya. Awal bulan lalu, untuk pertama kalinya, aku dengar Ibu dan Aa agak debat... Ibu enggak mau ikut campur, aku tahu... yang Ibu khawatirkan ya rumah tangga Aa. Kalau Rea tetap sibuk sendiri, sedangkan Aa tugasnya bisa berhari-hari sampai minggu, masa pas di rumah dia tetap enggak punya waktu sama istrinya. Ke aku pun, Ibu selalu wanti-wanti kalau jam kerjaku padat, padahal Sky habis sibuk melalang buana ke luar negeri.”
Kini aku mengerti alasan tidak menemukan Rea tadi di rumah Ibu.
“Dillah... yeah.. kok malah diam sih?” protes Sea terdengar karena selanjutnya aku hanya diam.
“Kalau menurutku, bagaimana pun keadaan rumah tangganya, Aa dan Rea pasti sudah sepakat sebelum mengizinkan Rea kembali kerja. Memang sulit sih, kalau yang sudah biasa kerja, tiba-tiba jadi cuman di rumah. Kamu saja belum bisa, kan?”
“Iya sih...”
“Sudah, kita bersiap buat—“
“Aku butuh sepuluh menit, Sky video call...” katanya mendahului sambil berdiri membawa ponselnya, menuju anak-anaknya berada.
Tandanya aku bisa memanfaatkan waktu yang aku punya untuk berdiri, menuju pantry, membuat kopi tanpa gula. Arti dari sepuluh menit Sea, bisa lebih.
***
Aku punya jatah cuti tahunan yang biasanya kuambil jika ada rencana tertentu, bulan depan aku ada rencana untuk ke Bali, memuaskan hobi belum lamaku yaitu surfing, menambah hobi fotografiku yang sudah lama.
Aku bukan perempuan yang khawatir tersengat matahari, aku menyukai warna gelap kulitku. Walau sebagian orang melihatnya dekil... Sea bilang, kulitku eksotis, asal aku bisa merawatnya dan tetap sehat.
Rasanya aku baru ingin istirahat saat mendapati gedoran pintu, dan Mas Suta sudah di depan.
“Mas Suta datang,” beritahu Candani yang berlalu ke dapur kecil kontrakan kami untuk membuatkan Mas Suta kopi.
“Sama siapa?” tanyaku.
Sebelum aku bertanya, keponakanku yang sudah kelas empat SD masuk, Abizar mengendong kucing peranakan Persia dan kucing kampung yang kuberi nama Sunkist. Kuberi nama itu, karena bulunya yang kuning agak gelap, aku menemukannya depan rumah sekitar empat bulan lalu hingga resmi menjadi anggota rumah ini, “Tante Dillah...”
Meski kerap kesal pada Suta, terutama istrinya, aku tetap sangat menyayangi keponakan-keponakanku. Mereka tidak mesti ikut disalahkan dengan sikap menyebalkan orang tuanya.
Sunkist meronta hingga melompat, kemudian hewan pemalas itu naik ke tempat tidurku. Abizar menyukai kucing juga, tetapi tidak dapat izin dari ibunya yang takut kucing, setiap kali ke rumahku, Abizar sangat senang main dengan Sunkist.
“Main sama Sunkist di sini saja, Tante temui ayahmu dulu.”
Dia memberi anggukan, aku menemui Mas Suta. Dia duduk sambil merokok, mengangkat bungkusan rokok yang sebenarnya milikku, “ada tamu sebelum aku?” tanyanya.
“Enggak,” jawabku.
“Terus ini rokok siapa yang ketinggalan?”
“Punyaku,” jawabku tanpa ragu.
Candani datang mengantar segelas kopi pesanan Suta, dia memang lebih sering datang untuk melihat keadaan aku dan Candani setelah Ibu tiada.
“Dillah, kamu merokok? Mas baru tahu, dari kapan?”
Aku menghela napas, tetap menghadapi dengan tenang dan menarik bungkus rokok dari tangannya, “sejak Ibu enggak ada. Sudah aku enggak mau bahas tentang ini, kenapa Mas datang?”
Suta menatapku lekat, aku yakin dia terkejut sekaligus kesal karena aku tidak akan berhenti meski dia meminta. Aku memang jalani hidup sehat, tetapi juga tidak benar-benar sehat. Aku membutuhkan benda itu jika sedang ditingkat penat luar biasa.
“Mas mau lihat keadaan kalian.” katanya, tetapi aku merasa ada tujuan lain, “kerjaan kamu bagaimana?”
“Berapa?” tanyaku sambil bersedekap, jika Mas Suta sudah bertanya mengenai pekerjaanku. Dia selalu punya tujuan lain yang sudah aku hafal.
“Berapa?” ulangnya.
“Mas butuh duit?” Kuperjelas saja sekalian.
“Dil—“
“Abang dan Mas punya kesamaan, datang kalau memang kalian butuh aku saja.” kataku.
Suta terdiam, “lima ratus, bulan depan Mas ganti...”
Aku tersenyum masam, “yang dua bulan lalu, satu juta empat ratus... Mas juga janjikan yang sama,”
“Nanti sekalian,” jawabnya. Aku tidak percaya akan sesuai janjinya itu.
Entah mengapa, aku ingin mengujinya, “aku belum gajian, enggak ada—“
“Masa kamu enggak punya simpanan? Apalagi sekarang sudah enggak ada Ibu, gajimu pasti bisa disisihkan kalau cuman buat kamu dan Candani.”
Aku menatap kakakku tidak percaya, kalimat itu yang keluar. Mengikuti keinginan, ingin aku langsung mendebatnya. Suta satu dari sekian banyak, ada saja orang yang seenaknya. Berpikir karena aku belum menikah, Ibu pun sudah tiada, aku tidak punya kebutuhan. Padahal dia tahu, aku berupaya keras untuk menebus rumah kami yang terancam dilelang! Bahkan, dia dan Sena tidak berkontribusi membantu biaya apa pun padaku dan Candani.
“Jangan boros-boros, Dillah... Kamu harus bisa nabung.”
“Boros? Bahkan ponselku ini, masih ponsel lama yang kubeli empat tahun lalu... Mas lihat ada barang-barang mewah di sini? Mas dan Abang, selalu menekanku untuk enggak boros, supaya bisa kasih kapan pun kalian butuh! Kalian bahkan lupa, aku harus kumpulkan uang empat ratus juta lebih untuk menebus rumah Ibu dan Bapak!”
“Mas sudah minta kamu relakan saja, kalau ada uang mending beli rumah lain.”
“Enak banget ya kamu ngomongnya, Mas!”
Bagus, Abizar muncul membawa Sunkist, jika tidak aku akan melanjutkan perdebatan melelahkan ini.
Aku mengambil uang, tetapi memilih tidak memberikan sesuai permintaannya.
“Cuman ada tiga ratus,” dia tetap mengambilnya, tetapi aku menahannya, “Mas, kalau aku yang ada diposisi Mas... apa Mas akan bantu seperti yang aku lakukan ini?”
Dia terdiam, menghela napas dalam-dalam, “kalau Mas ada, Mas pasti bantu... tapi, kamu tahu sendiri, bukan Mas yang atur uang di rumah tangga Mas.”
Aku tersenyum masam, mengangguk paham. Bahkan saat kami diusir dari rumah yang disita, dia dan istrinya sangat keberatan menampung kami walau semalam.
“Ayah dan Ibu selalu berpesan, sebelum ke orang lain... kita harus saling bantu-membantu sesama saudara. Kita harus saling peduli, perhatian... Nyatanya itu enggak berlaku salamannya ya? Entah aku yang keliru artinya, atau kalian yang tidak paham arti ‘saling’, karena seringnya aku yang merasa jadi tumpuan kalian. Berjalan hanya searah.”
“Dil—“
“Aku dan Candani benar-benar merasa hanya tinggal kami berdua, setelah Ibu tiada. Aku mampu untuk biayai hidup kami, aku berusaha untuk tidak menjadi beban Mas maupun Abang... kami hanya berharap, benar-benar ada perhatian yang tulus, untuk sekedar tanya apa yang kami berdua rasakan setelah hidup hanya berdua tanpa Ibu...”
Aku segera berbalik, dengan alasan ingin istirahat. Aku yakin Bapak maupun Ibu di sana, sangat sedih melihat keadaan anak-anaknya yang semakin menjauh. Bukan kehidupan seperti ini yang mereka harap ada setelah mereka tiada.