Jika bukan karena putra Sea yang masih ingin di sana, aku pasti sudah cari alasan meninggalkan rumah Ibu Anggita.
“Jangan buru-buru, Ibu kangen lho dil” ditambah Ibu Anggita mencegahku. “Perginya habis makan siang ya, Rigel juga masih kangen sama Athaar.”
Aku memang orangnya tidak enakkan, meski keadaannya tidak nyaman akhirnya aku mengangguk. Tetap di sana.
“Tolong ya dil, Aa minta kopi ini Ibu lagi nanggung banget.”
“Biar Dillah saja, bu.”
Ibu mengulas senyum, “masih hafalkan takaran kopinya Aa?”
Kopi gayo adalah favoritnya Athaar, “iya, masih ingat.”
“Terima kasih ya,” ucapnya.
Aku menuju rak penyimpanan, semua posisinya tidak ada yang berubah. Aku tidak merasa asing meski sudah setahun kalau datang hanya sebentar-sebentar saja.
Aku membuatkan minuman untuk Aa, aroma kopi yang khas langsung terhirup memenuhi area dapur. Aku membawanya, Athaar belum kembali jadi aku letakkan saja di meja makan.
Beberapa saat setelah aku duduk, dia datang. Aku pilih berinteraksi seadanya saja terutama cincin di jemari tangannya bertanda jika ada batasan untuk situasi kami yang tak sama lagi.
Athaar duduk berseberangan denganku, aku pilih menunduk sok sibuk dengan ponsel sambil mempertimbangkan apa perlu untuk memberitahu Sea, bila Athaar ada di rumah?
“Kopi buatan Ibu selalu juara, pas...”
Aku mengeratkan genggaman di ponselku saat dia bilang begitu, Ibu yang mendengar malah terkekeh, “Enak, Aa? Pas seperti biasa?”
Aku mendongak menatap Ibu.
“Iya, Rea selalu gagal kalau buatkan... kepahitan atau kemanisan. Airnya juga kebanyakan terus.”
“Kamu yakin Ibu yang buat kali ini?”
Athaar terdiam setelah menyeruput kopinya, kemudian matanya menatap ke arahku tepat aku juga menatapnya. Dia menurunkan cangkirnya dan tersenyum, “pasti kamu, kan?”
Pertanyaan itu terlempar dengan senyumnya.
“Iya, Ibu lagi repot. Barusan minta aku,”
“Terima kasih, setelah Ibu, kamu berikutnya yang tahu takaran pas untukku.” Sambil kembali mengangkat cangkirnya, lalu menikmati.
Aku memilih kembali diam, berharap Ibu Anggita segera selesaikan titipannya untuk Sea dan membiarkan aku pergi.
“Kamu dari tadi belum minum atau makan apa pun, dil.”
Aku kembali menatapnya, apa dia begitu memerhatikanku sampai tahu aku bahkan belum minum seteguk pun dari tadi.
“Hm, ini aku mau minum. Air putih saja.” Kataku kemudian baru akan menarik gelas kosong di tengah-tengah meja, terdiam saat Athaar mengambilkannya lebih dulu serta mengisinya.
Lalu meletakkan gelasnya di hadapanku, “terima kasih Aa,”
Dia memberi anggukan dan terus menataku, “sejujurnya, aku senang bisa melihatmu duduk bersamaku di meja makan rumah ini lagi—“
“Uhuk! Uhukkk!” aku tersedak minumku.
Dia sigap mendekat, kemudian menepuk pelan punggungku, “pelan-pelan minumnya, Dillah...”
Aku sudah pelan, tapi mengapa dia harus mengatakan kalimat itu sih?!
Aku benar-benar kesal, dulu suka dengan sikap perhatiannya, tapi sekarang jelas sikapnya hanya akan menyulitkan aku setelah pertemuan ini.
“Aku sudah nggak apa-apa Aa,” kataku sambil memberi gerakan menjauh dan berdiri. Dia terdiam menatapku. “Aku mau ke kamar mandi dulu,”
Ya seperti biasa, kalau situasinya sudah tak nyaman, aku ahli dalam melarikan diri.
Aku segera ke kamar mandi, hanya untuk menetralkan diri pun berpikir, “temui Ibu, terus bilang harus balik ke kantor sekarang. Bilang kalau Sea udah nunggu? Eh... nggak! Nanti Ibu telepon Sea terus ketahuan bohong bagaimana?!” gumamku.
Aku masih terus mondar-mandir di sana, sesekali menggigit ujung jariku. Terkadang pun mendesah. Belum nanti Rea datang, pasti akan semakin membuatku kesulitan berada di rumah ini?
Setelah beberapa saat, aku kembali untuk mencari Ibu Anggita. Namun, baru beberapa langkah aku melihat punggung kokoh Athaar.
Aku malah terdiam, terutama saat nada marah darinya untuk orang ditelepon turut menyentakku.
“Ibu menanyakanmu, aku sudah mengirimkan pesan bukan? Apa yang aku minta? Kamu memang suka seenaknya begini ya, Rea?!”
Rea, ternyata Athaar sedang menelepon dengan istrinya. Nada suara Athaar sangat aku kenali, dia serius sedang marah dan kecewa.
Aku masih cukup rasional untuk tidak berdiri lebih lama, lagi pula dalam suatu hubungan, sebagai pasangan hal wajar sesekali berdebat bukan?
Ya pikirku begitu, sampai aku menggelengkan kepala dan tidak memusingkan yang kudengar barusan, menjauh dari batasan yang tak bisa kulewati.
Aku berjalan menuju Ibu, mengatakan harus segera kembali ke kantor.
Baru aku menghela napas dalam, Ibu Anggita kembali membuat kejutan.
“Aa mau temui Rea ya?”
Athaar memberi anggukan, “ya,” wajahnya agak berbeda. Seperti murung tetapi berusaha terlihat biasa. Pasti Athaar tidak ingin Ibu tahu jika ia sedang berselisih kecil dengan istrinya.
“Antar Dillah, Rigel dan susternya sekalian ya? Mereka tidak usah naik taksi.”
“Bu, aku—“
“Ya, kebetulan searah dan aku tidak buru-buru.” Protesku tertelan saat Athaar menyetujui.
Aku mengepalkan tanganku, sudah berusaha untuk menghindar lebih cepat malah berakhir tetap bersamanya.
“Dillah, keberatan aku antar?” Athaar rupanya mengamati.
Aku melirik Ibu yang juga memerhatikanku. Aku memberi senyum kecil, “ya, sekalian saja kalau memang tidak merepotkan.”
Dengan terpaksa, aku menyetujui.
***
Bisa meninggalkan rumah Ibu Anggita harusnya membuatku bisa merasa lega, bukan karena tidak betah. Bahkan dulu, dibanding rumah sendiri yang banyak problematiknya, datang ke rumah Ibu dari sahabatku ini membuatku seperti merasa benar-benar masuk ke rumah yang kuharapkan.
Bukan karena lebih besar dan bagus, melainkan ketenangan dan kasih sayang yang tidak kudapatkan lagi di rumah. Aku bahkan ingat, saat mendapati keadaan ibuku yang harus lumpuh karena sakit hipertensinya bertahun-tahun, ditambah baik Fusena atau Suta yang justru menambah bebanku, aku datang ke rumah ini. Aku menemui Ibu Anggita.
Ibu Anggita tidak bertanya, sampai aku menangis—meluapkan segala rasa campur-aduk yang aku rasa. Dia memberiku pelukan yang membuatku merasa jauh lebih baik. Sama seperti saat aku kehilangan Ibu, bahkan Ibu Anggita yang mengurus semuanya. Dia datang hampir setiap hari sampai hari ketujuh kepergian Ibu, dia juga memaksaku dan Candani tinggal bersamanya sementara. Selain Sea, kebaikan itulah yang membuatku tidak bisa benar-benar menjauh meski menghindari Aa.
Sepanjang jalan tadi, aku hanya diam. Lebih banyak Rigel yang berceloteh. Aku bersyukur jalanan pun lancar, walau tetap saja rasanya terjebak bersama Athaar, waktu jadi begitu lama.
“Momo, Wawa sudah pulang!” Rigel memang sudah mulai tidak cadel-cadel seperti dulu.
“Oh, sudah pulang?” tanya Sea tetapi tatapan matanya langsung terarah padaku. Dia menahan diri karena masih ada anak-anak dan para pengasuhnya.
“Dillah, bertemu Aa dong?” setelah hanya tinggal kami berdua.
Aku memberi anggukan, jelas bertemu!
“Diantar juga, dia langsung lanjut, jadi cuman antar sampai depan lobi utama tadi.” Kuberitahu dia.
“Aisssh! Sorry ya, benar deh... aku enggak tahu kalau jadwal Aa pulang hari ini! Kupikir besok!”
“Sekali lagi minta maaf, aku mogok ngomong sama kamu!” ancamku serius. Kenapa juga Sea yang harus merasa bersalah?
“Aku kan enggak enak—“
“Justru bagus lagi,”
“Apanya yang bagus?” heran Sea sambil berjalan ke belakang mejanya, bukannya memeriksa pekerjaan dia malah memeriksa make up di wajahnya. Aku yakin sebentar lagi Sky akan video call.
“Ya, jadi tahu... aku ternyata bisa menghadapinya.”
Sea meletakkan kaca, menatap diriku dengan jenis tatapan tidak percaya. Sungguh aku terlihat susah move on, kah?
“Sudah biasa saja juga? Enggak berdebar-debar?”
Aku memberi anggukan kecil, “dia sudah menikah, itu saja sudah cukup jadi batasan untuk melihatnya berbeda dari dulu.”
Sea menghela napas dalam-dalam, kemudian duduknya mengubah jadi serius, “mengenai rumah tangganya, belakangan aku merasa jika ada yang lagi Aa sembunyikan dari aku dan Ibu.”
Keningku mengernyit, tidak tahu harus berkomentar apa. Terlebih dibanding menggosipkan Athaar dan istrinya, lebih baik kami mulai bahas pekerjaan Sea. Tetapi, Sea sepertinya berbeda pikiran denganku.
“Rea balik kerja setelah di rumah hanya beberapa bulan, dengan alasan tempat kerjanya lebih dekat dari rumah orang tuanya, Rea tinggal di sana lagi. Aa tetap pulang ke rumah, tapi malamnya baru balik menyusul ke rumah mertuanya. Awal bulan lalu, untuk pertama kalinya, aku dengar Ibu dan Aa agak debat... Ibu enggak mau ikut campur, aku tahu... yang Ibu khawatirkan ya rumah tangga Aa. Kalau Rea tetap sibuk sendiri, sedangkan Aa tugasnya bisa berhari-hari sampai minggu, masa pas di rumah dia tetap enggak punya waktu sama istrinya. Ke aku pun, Ibu selalu wanti-wanti kalau jam kerjaku padat, padahal Sky habis sibuk melalang buana ke luar negeri.”
Kini aku mengerti alasan tidak menemukan Rea tadi di rumah Ibu.
***
Bertemu dengan Athaar lagi walau sebentar, selalu berhasil membuat aku jadi sedikit kembali murung. Sebisa mungkin aku melupakannya.
Dulu aku terbilang tidak begitu peduli dengan penampilan, paling-paling yang kupakai hanya lipstik. Sea bahkan lebih cerewet untuk buatku menyadari jika penting menghargai diri sendiri.
Berhubung Sky sedang tidak di Jakarta, jadilah Sea mengajakku malam Minggu ini menghadiri sebuah undangan dari kenalan Sea. Tanpa anak-anak yang dititipkan Sea ke mertuanya, jatah menginap di sana.
“Tadinya aku mau ajak Aa, tiba-tiba dia nggak bisa. Kayaknya ada acara sama Rea.”
Bagusnya memang tidak jadi, atau aku tak bisa menikmati acara malam ini bila ada Athaar.
“Aa sempat menanyakan kamu, habis kalian bertemu waktu itu.”
Kali ini aku menatapnya, “tanya apa?”
“Kamu sedang dekat dengan seseorang atau masih sendiri.”
Aku terdiam, “mungkin penasaran saja, masa bertahun-tahun aku jomlo.” Kataku sambil terkekeh.
“Aku bilang kalau yang dekati kamu banyak,”
Aku menatap Sea, “biar apa bilang begitu?”
“Ya, biar enggak ngenes kalau tahu kamu masih betah sendiri!”
“Sialan!” umpatku.
Sea terkekeh senang dengan reaksiku.