Dipecat?

812 Words
Pagi ini Lastra berangkat ke kantor dengan gusar, hatinya gelisah tidak berbentuk. Di dalam pikiranya masih terngiang-ngiang kejadian sabtu malam yang dialami dengan bosnya. Zio sampai mengantarkannya tepat di depan pintu kamar apartemen yang ditempatinya, memastikan ia masuk dan mengunci pintu baru bosnya itu pergi. Begitu mendudukkan tubuhnya di kursi kerjanya, Lastra dikejutkan dengan sapaan dari seorang wanita cantik. “Selamat pagi, Mbak Lastra.” Lastra diam, tidak menjawab atau memberi respon apapun. Ia malah memandang wanita itu dengan penuh selidik, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Wanita yang berada di depannya kini, penampilannya sangat sopan, memakai kemeja dengan lengan tiga perempat berwarna navy blue dan celana bahan hitam. Wanita itu terlihat cantik dan tentunya, lebih muda darinya. “Kalian berdua ikut saya.” Perintah Zio yang baru saja datang dan langsung melesat masuk ke dalam ruangannya. Astaga! apa cewek ini yang mau gantiin aku? Lastra membatin dengan tenggorokan yang tercekat. Perasaannya mulai tidak enak mengingat kejadian yang telah di alaminya dengan bosnya pada malam itu. Sesampainya di ruangan Zio, mereka berdua dipersilakan duduk di sofa. Wanita cantik tadi tidak lepas memasang senyum manis pada wajahnya. Zio pun langsung duduk berhadapan dengan keduanya. “Lastra, kenalkan ini--" Belum sempat Zio menyelesaikan kalimatnya Lastra langsung maju tiba-tiba memegang lengan baju bosnya itu dengan erat dan duduk berlutut di samping Zio dengan tampang memelas. “Pak .., Pak Zio beneran mau pecat saya? Saya kan sudah bilang saya gak akan pake baju kurang bahan seperti malam itu lagi. Tapi. ternyata, Bapak sudah nyiapin pengganti saya pagi ini, Pak Zio bohong sama saya, Pak Zio tega…” “Mbak--" Wanita cantik itu hendak menyela untuk menjelaskan hal yang terjadi, tapi Zio memberi kode, agar tidak berbicara atau melakukan hal apapun. “Tiga tahun lebih loh Pak, saya jadi sekretaris Bapak. Saya jarang buat kesalahan, Saya juga jarang sekali sakit, jarang izin juga. Saya juga gak pernah nolak kalau disuruh lembur. Saya ... Saya ..." Lastra tak sanggup meneruskan kata-katanya lagi, karena saat ini suaranya sudah tercekat dan terganti dengan isak tangis yang tertahan di mulutnya. “Lastra, duduk dulu biar--" “Pak Zio bahkan tidak mau dengar omongan saya, hiks ...” Lagi-lagi Lastra memotong ucapan bosnya. “Kamu keluar dulu gih.” Zio meminta wanita cantik tadi untuk keluar terlebih dahulu. Setelah pintu tertutup, Zio mengajak Lastra yang masih sesegukan untuk pindah duduk di sofa panjang dan merekapun duduk berdampingan. “Air mata buayanya di lap dulu nih.” Sambil meletakkan tisu dipangkuan Lastra Lastra mengangkat wajahnya yang dari tadi hanya tertunduk lesu, ia menatap tajam kesal, tidak terima dengan ucapan yang dilontarkan Zio. “Air mata saya bukan buaya, lagian yang buaya itu Pak Zio. Bapak seharusnya ingat kalau selama ini saya juga yang sudah nolongin Bapak untuk menghindari cewek-cewek yang lalu lalang nyariin Bapak. Kenyang saya dicaci, dihina, dikata-katain sama pacar-pacar Pak Zio, ikhlas saya Pak ikhlas! Hiks.” Nada bicara Lastra sudah meninggi satu oktaf. Zio yang sadar akan perubahan Lastra langsung menangkup wajahnya dan mengusap air mata yang masih jatuh itu dengan ibu jarinya. Lastra sontak mundur menjauhkan dirinya, tiba-tiba saja jantungnya berpacu lebih cepat dan wajahnya langsung bersemu merah dengan perlakuan bosnya tersebut. Zio yang melihat perubahan wajah Lastra itu, lalu tersenyum tipis dan merasa ada sesuatu yang aneh tiba-tiba muncul di hatinya. “Sudah nangisnya?" Tanya Zio dengan lembut. "Kamu gak ingat, jumat sore, sebelum saya pulang, saya ada ngomong apa sama kamu?” Lastra menggeleng. “Last … Last … Waktu itu saya bilang senin pagi akan ada anak magang namanya Levi yang sementara bantuin kamu karena Diki lagi cuti nikah, makanya kalau Bosmu lagi ngomong itu didengar, telingamu ini dipake!” Seraya menjewer telinga Lastra “Aauuww… sakiiit Pak!” Seraya mengusap telinganya yang memerah karena di tarik oleh Zio. Astagaaa!! Bodoh! Dasar bodoh! Batin Lastra membelalakan matanya, sekali lagi ia merutuki dirinya. Ia baru mengingat apa yang di katakan bosnya sesaat sebelum Zio meninggalkan kantor jumat lalu. Yaa Lastra lupa karena saat itu ia sedang menerima panggilan dari sebuah perusahaan untuk membuat janji meeting. “Sudah ingat?” Tanya Zio lagi. Lastra mengangguk dan menunduk menahan malu, menyembunyikan wajahnya yang memerah agar tidak dilihat bosnya itu. “Bersihkan ingusmu sebelum keluar dari sini!” Zio pun berdiri dan berlalu menuju meja kerjanya. Lastra dengan polosnya membersihkan hidungnya yang masih meler karena menangis itu tanpa segan di hadapan Zio. Srott srott Entah sudah habis berapa tisu yang ia pakai dan ia hanya menaruhnya begitu saja di meja tanpa merasa bersalah. “Ya ampun Lastra! kamu itu jorok banget tau gak, pergi sana cuci mukamu di kamar mandi!!” Perintah Zio Tanpa berkata-kata Lastra pun berdiri hendak berjalan keluar ruangan. “Last! Mau kemana kamu?!” Lastra memberengut. “Katanya disuruh cuci muka di kamar mandi.” Menjawab dengan hati yang sangat kesa. "Itu, pakai kamar mandi saya, nanti kalau ada yang lihat kamu habis nangis, dikira kamu habis saya apa-apain lagi!” “Kan nyatanya emang gitu, Pak Zio habis ngapa-ngapain saya, sampai saya nangis!” Ia langsung berlalu begitu saja masuk kamar mandi yang berada di ruangan Zio dan menguncinya dari dalam. Zio yang mendengar jawaban dari Lastra hanya menggelengkan kepalanya sembari tersenyum tipis. Entah mengapa ada sebuah gelenyar aneh yang ia rasakan saat melihat dan berbicara dengan Lastra pagi ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD