Malam begitu cepat merangkak berkejaran dengan pagi. Awalnya posisi tidur kepala saling bertemu, tapi sekarang kaki Anes berada di d**a Anjas dengan ujung jari kaki menyentuh hidung. Sedangkan tangan Anjas berada di paha mulus Anes bagian atas hampir menyentuh sesuatu yang terlarang.
Posisi berbahaya entah sejak kapan bisa seperti itu karena awal mulanya mereka tidur dalam keadaan baik-baik saja.
“Euum …” lenguh Anes hendak membalikkan tubuh namun ada sesuatu yang mengganjal dan membuatnya geli di bagian bawah. Perlahan mata itu harus terbuka, tak lama kemudian mata sayu membeliak dan dia pun memekik saat melihat tangan Anjas anteng di pahanya.
“Aaa …” Spontan Anes menendang wajah tampan Anjas yang malang itu lalu dia bangun dan merapatkan kakinya. Pandangan frustrasi, tidak sanggup berpikiran jernih selain syok dan rohnya pun belum terkumpul semua.
Lantas korban tendangannya sama memekik memegang hidungnya. Untung tidak berdarah.
“Perempuan sialan, ngapain lu tendang gua, hah?” teriak Anjas menatap murka. Lagi enak-enak tidur malah ditendang, apa coba salahnya?
“Lo ngapain pegang-pegang paha gue?” Anes mengajukan protes malah menimbulkan tanda tanya dalam pikiran Anjas.
“Jangan asal tuduh! Siapa yang pegang-pegang lu? Ngibul,” seru Anjas merasa tidak bersalah. Jelas karena dia dikagetkan saat sudah ditentang Anes, sedangkan Anes melihat dengan nyata tangan Anjas berada pada paha bagian atas.
“Ngibul kata lo?” Anes menatap tajam meraih tangan Anjas lalu meletakkan di paha bagian atas. Tepat pada posisi tangan itu berada saat mereka ketiduran. “Tangan lo dari tadi di sini. Apa lo gak sadar?”
Anjas terserempak, buru-buru menarik tangannya kembali. Sentuhan yang cukup menyengat, bisa-bisa membuat urat-urat malu terbang.
“Astaga, berhenti menuduh hal yang gak akan pernah terjadi! Gua memang laki-laki normal, tapi setidaknya buat menyentuh lu, gua mikir-mikir kali. Lu bukan tipe gua! Apalagi … maybe tubuh lu ada kurap, kudis, panu, bisul, tambah jijik gua.”
Anes menganga, ke dua matanya menyala tersulut api kekesalan. Dia meremas seprei kuat-kuat.
“Apa kata lo?”
“Kudis, panu—” Anjas menjeda ucapannya karena syok melihat Anes mengangkat bajunya.
“Hei, apa yang lu lakukan?” Dia membuang wajah, mengalihkan pandangan untuk tidak melihat yang seharusnya dia hindari.
Sebenarnya itu halal, tapi rasanya asing saja, seperti ada tebok dan pernikahan yang terjadi bukanlah kenyataan, melainkan fotamorgana.
“Lo bilang gue panu, kudis, kurap, bisul, sini lihat sendiri! Ada gak?” cerocos Anes menantang menantang singa yang baru bangun.
“Lu gak malu apa buka-bukaan di depan laki-laki? Apa jangan-jangan lu keseringan pakai bikini di pinggir pantai?”
Sentilan yang sangat keras, kewarasan Anes kembali dengan cepat, buru-buru menurunkan baju lalu menarik selimut untuk menutupi sekujur tubuhnya.
Haish, malu banget. Batin Anes. Jika sudah terserang rasa panik dan kesal, kewarasannya suka buyar sehingga sering melakukan hal yang aneh.
Terlalu lama diam, Anjas pun menyentil jidat Anes, hingga wajah yang tadi menunduk terangkat menatap manik mata Anjas.
“Bodoh boleh, yang jangan g****k! Kalau sikap lu kaya tadi lagi, lu bisa-bisa dalam bahaya. Gak semua laki-laki kaya gua, kalau lu ketemu yang m***m, habis lu.” Anjas menasihati kelakuan spontan Anes yang bisa membahayakan dirinya sendiri, karena tidak semua orang bisa menahan diri dan ada yang malah memanfaatkan tidakan Anes untuk memuaskan nafsunya.
Jika bersama dengan Anjas saja Anes mudah diprovokasi, lalu bagaimana dengan orang lain?
Anes membisu. Dalam diam otak kecilnya mulai menelaah apa yang disampaikan Anjas.
Benar juga yang dikatakan Anjas. Aaaahh … kenapa gue kaya gini sih? Bikin malu umat. Anes mengutuk dirinya, meremas rambut seperti orang gila. Untungnya Anjas sudah menghilang di balik pintu kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, Anjas menyalakan shower hingga air mengguyur ke seluruh tubuhnya.
“Haish, ini benar-benar gila,” umpat Anjas mendorong dinding kamar mandi dengan kedua tangannya. Kejadian tadi masih utuh dalam kepalanya, meskipun sempat memalingkan wajah untuk tidak menatap lekat bagian tubuh yang terekspos tapi tetap saja pandangan pertama itu menimbulkan rasa penasaran dan terus terngiang-ngiang.
“Kenapa ada perempuan sebodoh dia? … gak bisa dibiarkan. Terlalu lama gua sama dia yang ada gua jilat air ludah gua sendiri.”
Anjas menyelesaikan mandi lalu mengambil bathrobe dan memakainya untuk menutupi bagian tubuhnya yang polos. Kemudian dia membuka pintu kamar mandi, seketika malah terkejut melihat Anes berdiri di depannya.
“Astaga, ngapain lu berdiri di situ?”
“Mau mandi.”
“Lu bisa tunggu di sofa ataupun di kasur. Kenapa harus berdiri di sini?” Anjas mendelik tajam. Dia tidak bisa menebak seperti apa jalan pikiran Anes sebenarnya. Satu hal yang dia yakini, mungkin setelah ini dia akan sering serangan jantung.
“Gue kebelet,” ujar Anes menarik tangan Anjas keluar lalu masuk ke dalam kamar mandi.
“Cari baju ganti satu buat gue!” teriaknya dalam kamar mandi sontak membuat alis Anjas mengerut.
“Gila.”
Itu hanya sekedar kata yang keluar dari lisannya saja. Tapi sebenarnya Anjas tidak akan mengabaikannya karena Anes bisa saja keluar dari kamar mandi dalam keadaan acak-acakan, buru-buru dia pergi membuka pintu kamar.
“Loh, kapan pintu ini terbuka?” gumam Anjas kaget melihat pintu tidak terkunci lagi.
Anjas mengabaikannya mungkin kemurahan hati ibunya yang membuka pintu kamar karena sudah pagi. Dia terus melangkah mencari ibunya sampai dia berhasil bertemu di ruang makan.
“Eh, Anjas, kenapa kamu turun dalam keadaan seperti itu?” Ibu Ida kaget melihat anaknya memakai bathrobe.
“Mi, minta baju satu untuk Anes.”
“Apa?” pekik Ibu Ida. Mata membeliak tapi hatinya tersenyum. Apa jangan-jangan mereka sudah … aaa, ini kabar baik, Jeng Lina harus tau.
“Anes gak bawa baju ganti, jadi pinjam punya Mami satu.” Anjas menjelaskan secara blak-blakan.
“Mari ikut Mami.”
Anjas mengikuti ibunya pergi ke kamar untuk mengambil baju, karena hanya ibunya satu-satu perempuan dalam keluarga Nugraha.
“Ok, Mi, thanks,” ucap Anjas usai menerima gaun dari ibunya. Gegas dia balik ke kamar dan melihat Anes baru keluar dari kamar mandi.
“Pakai ini!” ujar Anjas menyerahkan gaun ibunya kepada Anes. “Pakai di kamar mandi karena gua juga akan ganti baju.”
“Ok.” Anes kembali masuk ke dalam kamar mandi untuk memakai baju yang dikasih oleh Anjas, sementara Anjas pergi ke walk in closet untuk memakai baju. Bedanya, Anjas memakai baju kerja.
Jika yang terjadi semalam adalah pernikahan yang dia impikan, mungkin hari ini dia tidak akan memakai jas ke kantor, melainkan rebahan di kasur bersama dengan istri dan mengulangi setiap adegan intim yang dilakukan.
“Lo ada sunscreen gak?”
Anjas melihat Anes dari pantulan cermin, gaun ibunya cukup sosok dipakai Anes—gaun polos selutut dengan lengan pendek dan cuttingan leher berbentuk V.
“Lihat saja apa yang bisa lu pakai,” ujar Anjas bermurah hati.
Gegas Anes mendekat, sekelebat kemudian kaget melihat produk skincare dan body care yang tersusun rapi di atas meja rias.
“Gue gak nyangka lo suka pakai beginian.”
“Ketularan Laras. Semua yang ada di situ dia yang belikan," ujar Anjas. Dis tidak memiliki adik perempuan sehingga sering datang ke rumah Juanda untuk mengganggu Laras. Meskipun demikian nama Anjas tetap lebih unggul daripada Juanda, pertama Anjas di mulutnya saja perhitungan, nyatanya cukup royal dan juga pengertian.
“Laras?” Anes menoleh, keningnya berkerut. “Pacar lo?”
“Bukan, dia adiknya Juan.”
“Kenapa lo gak nikah sama dia aja, kenapa malah terjerat sama gue?”
“Sudah berusaha menghindar, tapi malah kecolongan.”
“Gimana kalau kita pisah, terus lo nikah sama Laras?” Anes memberi usulan agar dia bisa terbebas dari tali pernikahan yang mengikat dirinya.
“Gak segampang itu. Pertama masa depan gua bisa terancam sama bokap gua dan andai kita pisah, Laras bukan pilihan gua. Dia, 11 12 kaya elu, berisik,” tegas Anjas.
Siapa yang tidak ingin melarikan diri dari pernikahan konyol ini? Tapi malah yang dia hadapi sekarang lebih rumit dalam sebelumnya. Pak Anwar sudah turun tangan mengancam akan menarik semua yang ada pada Anjas, tentu saja Anjas sebagai laki-laki normal dan berpikiran logis, dia tidak akan semudah itu meninggalkan apa yang telah dia miliki. Dia lebih memilih untuk bertahan sejenak demi akhir yang bahagia.
“Yah sayang banget. Mungkin aja dia suka sama lo.”
“Jangan menilai rasa suka hanya karena sering memberi barang! Karena rasa cinta itu gak semurah harga barang.”
“Meskipun itu Hermes?”
“Hmm. Cinta itu mahal, jadi gak gampang untuk diartikan hanya karena sekedar ucapan maupun pemberian barang. Makanya elu harus pinter, jangan bego!” sarkas Anjas pada akhirnya juga menoyor kepala Anes.
“Bisa gak jangan main kepala terus! Entar kalau gue beneran bego gimana?” keluh Anes memanyunkan bibirnya.
“Emang udah bego.”
“a***y!” pekik Anes menatap tajam malah diolesi deodorant di wajahnya oleh Anjas.
“a***y! Lo benar-benar ya!”