Hening, Anes dan Anjas saling merenungi sambil mengatur napas dan akal logika yang sempat terbang beberapa saat yang lalu. Sulit untuk dipahami bahwa apa yang mereka lakukan tak ayal seperti dua orang anak PAUD sedang bertengkar.
Sejenak Anjas melirik Anes yang tengah duduk di lantai dengan kedua kaki berselonjor, dirapatkan agar tidak kelihatan celana dalam dan bagian d**a ditutup dengan ke dua tangan yang disilang.
Pintu hati kasihan milik Anjas terketuk membuat langkah kakinya menghilang di balik walk in closet. Pria jakun itu membuka lemari untuk mengambil satu setelan baju tidur yang sudah lama tidak dipakai karena ukurannya yang kecil. Entah itu muat atau longgar bagi Anes, tetap saja dia mengambil lalu melempar ke wajah Anes.
“Pakai itu!”
Anes melongo memegang setelan baju tidur warna dongker. Tanpa pikir panjang, segera dia pergi ke walk in closet untuk mencoba baju yang dikasih oleh Anjas.
Badannya terlalu kecil untuk ukuran baju Anjas yang dianggap kecil, apalagi saat Anes memakai celana, sudah seperti memakai sarung. Anes mengedik ngeri ketika melihat penampilannya di pantulan cermin.
“Mirip Jojon,” kelakar Anjas muncul di balik pintu walk in closet.
“Gak ada yang lebih kecil apa?”
“Boxer mau gak?”
“Gak ah. Apalagi yang doraemon. Jijik gue.” Anes lantang menolak sembari melepaskan celana membuat Anjas memalingkan wajah.
“Lu gak tau malu ya? Buka celana sembarangan,” omel Anjas resah. Meskipun tidak punya rasa terhadap Anes, tapi jika buka-bukaan seperti ini siapa yang sanggup menahan nafsu? Anjas laki-laki tulen yang memiliki hasrat dan pecinta wanita. Jadi jika Anes terus membukanya takut khilaf.
“Lo siapa suruh berdiri di situ? Kalau demen bilang aja,” seru Anes membalikkan tubuh, menghadap Anjas yang kini menoleh padanya.
“Ini kamar gua dan semua yang ada di sini milik gua!” Anjas memberi penekanan bahwa tidak ada satupun yang bisa mencegahnya untuk berdiri di manapun yang dia sukai.
“Dan lo harus tau kalau malam ini lo gak sendiri,” balas Anes dengan santai melewati Anjas lalu mengambil tempat di kasur milik Anjas.
“Jangan banyak protes! Gue cuma tidur di sebelah sini dan lo tidur di sebelah sana! Janji gak akan lewat batasan,” papar Anes membagi wilayah kasur. Lebih baik malam ini tidur bersama seranjang dengan Anjas daripada tidur di sofa yang pada akhirnya berakhir di lantai.
Lantas Anjas pun tidak bisa menghindar. Percuma karena ujung-ujungnya malah berantem lagi. Sekarang saja kamarnya sudah seperti kapal pecah. Selimut dan bantal di lantai, gorden sudah copot dan seprei pun ikut berantakan.
“Oke, tapi bereskan dulu kamar ini! berantakan sekali,” titah Anjas, si pria perfeksionis, tidak suka lihat yang kotor apalagi berantakan.
“Besok aja. Gue capek, mau istirahat,” ujar Anes menolak perintah dari Anjas, tapi ketika melihat mata tajam itu seakan ingin menelan dirinya, buru-buru dia pergi mengambil bantal dan selimut lalu di letakkan di atas ranjang.
“Rapikan dulu sepreinya, baru kamu tata bantal!” seru Anjas dengan wajah yang cukup serius.
“Tinggal tidur aja napa? Nanti juga berantakan lagi.” Jika ada cara mudah ngapain menyulitkan diri dengan cara yang susah? Iya, itulah Anes, kebalikan dari Anjas. Tipe perempuan berantakan, tapi ketika sudah dandan sampai pangling dan lupa bahwa dia suka lupa meletakkan barang-barangnya di mana. Oleh karena itu ART yang ada di rumahnya sudah paham betul sehingga sering sekali ketika Anes pergi merapikan semua barang-barang Anes dan meletakkan di tempat semula.
“Ini kamar gua, lu harus ikut ucapan gua atau lu tidur di lantai!” tegas Anjas tidak akan mau berkompromi dengan Anes soal kasur yang berantakan boleh ditempati begitu saja. Apalagi sudah diinjak-injak tadi saat lari-lari.
“Jahat banget sih lo? Di lantai dingin loh,” keluh Anes tidak bisa membayangkan jika harus tidur di lantai. Di sofa saja harus mikir puluhan kali, jika di lantai dia harus mikir ratusan kali.
“Makanya cepat bereskan tempat tidurnya! … setelah gua keluar dari kamar mandi, semuanya sudah rapi!”
Anes berdengkus kasar. Untuk pertama kalinya dia dipaksa untuk merapikan tempat tidur. Sudahlah, percuma untuk berdebat, tubuhnya sudah sangat lelah setelah kejar-kejaran dengan Anjas, apalagi pikirannya, hampir gila dengan kejadian yang terjadi hari ini. Seakan tidak memberi jeda sedikitpun untuk mengambil napas dan berpikir.
Bagaimana tidak, kemarin dia kabur dari rumah, pagi tadi bertemu dengan Anjas di kantor Sultan Invest, lalu siangnya ketemu dengan orangtuanya di rumah orangtua Anjas, malamnya malah ditangkap warga dan dinikahkan.
Beginilah kalau Tuhan ingin memberi jodoh melalui jalur musibah, sama sekali tidak bisa diprediksi. Semakin menghindar, tali merah perjodohan tetap terhubung dan pada akhirnya masuk ke lobang pernikahan juga.
“Benar-benar jodoh jalur musibah,” gerutu Anes menarik sisi seprei. Semakin di tarik bukan malah rapi tapi malah yang satunya naik. Anes ke sisi atas malah sisi bawah yang naik. Terus saja mondar mandir pada pekerjaan yang sama sampai terdengar suara pintu kamar mandi terbuka.
“Masih belum selesai juga?” tanya Anjas melihat kondisi kasur bukan malah rapi tapi malah berantakan.
“Sepreinya kekecilan. Apa gak ada yang lain?” Anes malah menyalahkan seprei untuk menutupi dirinya yang tidak bisa memasang seprei.
Kini Anjas menatap lekat wajah Anes lalu membuang napas kasar. “Apa lu bodoh?”
“Bukan bodoh, tapi kurang pinter aja pasang seprei.” Anes menjawab dengan mantap tanpa menjatuhkan harga dirinya. Enak saja dibilang bodoh, kemarin saja saat wisuda dia diumumkan sebagai salah satu mahasiswa yang berhasil mendapat predikat cumlaude.
“Tetap saja bodoh. Sekarang perhatikan cara gua pasang seprei!”
Anes memperhatikan dengan sungguh-sungguh cara Anjas menarik seprei agar tidak terangkat sisi yang lain lalu memasukkan ke bawah kasur. Satu persatu dilakukan dengan telaten sampai ke empat sisi terpasang dengan sempurna.
“Saatnya tidur.” Anes kegirangan, tapi detik kemudian malah melongo. “Kenapa malah dilepas lagi?”
“Lu yang pasang!”
“What?” Anes memekik. “Lo buang-buang waktu tau gak sih? Sudah dirapikan ngapain diberantakin lagi? Astaga.”
Anes sampai mengusap gusar wajahnya saking tidak percaya dengan tindakan yang dilakukan oleh laki-laki yang baru dikenalnya itu. Geram, kesal, ingin mencabik-cabik wajah itu tapi sayang terlalu sempurna ciptaan Tuhan.
“Cepat lakukan seperti yang gua contohkan tadi!” seru Anjas dengan tegas.
Anes berdecak sebal, terpaksa mengikuti perintah Anjas. Masih saja seperti tadi, tapi dia tetap berusaha untuk memasang seprei sampai rapi.
“Astaga, kenapa om Fuadi punya putri bodoh kaya lu?”
“Jangan bawa-bawa nama bokap gua diurusan kaya gini!”
“Lu gak pernah pasang seprei di kamar lu ya?” tanya Anjas dengan sangat serius sambil menahan satu sisi seprei agar tidak ikut terangkat karena Anes menarik sisi yang dipegang dengan sangat kuat.
“Untuk apa kita gaji orang kalau kita harus ikut membereskannya?"
“Memasang seperti bukan tugas ART, tapi tugas siapa yang ingin tidur di kasur yang bersih dan rapi,” balas Anjas.
“Gue gak suka yang ribet.”
“Dandan seharian apa gak ribet?”
“Itu beda cerita, memang sudah kewajiban kami para perempuan untuk menghias diri biar tampil lebih cantik. Kalau ini mah tugas ART,” jawab Anes dengan lempeng.
“Dasar manja,” umpat Anjas.
“Kok malah jadi manja? Kan gue udah bilang, ini tugas orang yang udah kita gaji.” Anes membantah, harus argumen dirinya yang benar.
“Orangtua lu yang gaji.”
“Iya ya, tetap sama aja.”
“Beda.”
“Terserah ah, bodo.” Anes mengembalikan selimut dan bantal di atas ranjang lalu dia merebahkan tubuhnya.
“Haish, cepet banget tidurnya?” Anjas malah melongo. Baru beberapa menit saja Anes sudah tidak sadarkan diri. Tidur terlelap sampai mulutnya terbuka sedikit.
Anjas menghela napas panjang, ikut tidur di samping Anes, tetap menjaga jarak bahkan memunggungi perempuan berisik yang sudah sah menjadi istrinya itu.
“Apes, kenapa juga gua harus berjodoh sama perempuan kaya dia? Sudah berisik, berantakan, kekanak-kanakan lagi. Ahh, apa gak ada kandidat lain ya Tuhan?” gumam Anjas merasa ada yang salah dengan hidupnya. Niat hati mencari jodoh seperti istrinya Juanda, eh malah ketemu yang cerminan diri—sama-sama berisik, tapi Anjas tidak mengakui bahwa dirinya berisik.
Tidak hanya di situ saja, mungkin ini akan menjadi ujian terberat bagi Anjas karena mendapati istri selain berisik, juga anak manja yang tidak pernah tahu cara memasang seprei.
Suara dengkuran halus mengundang rasa penasaran Anjas untuk menoleh ke sisi kanan, sorotan matanya tertuju pada bibir Anes yang mengeluarkan ileran.
"Astaga, jorok banget. Kok bisa ada perempuan kaya dia? Malah bikin pulau Jawa di bantal gua." Anjas merinding plus jijik dengan kelakuan tidurnya Anes, buru-buru membalikkan tubuhnya lalu memejamkan mata.
"Semoga saja ini cuma mimpi buruk. Amiin."