bc

Jodoh Jalur Musibah

book_age18+
2.7K
FOLLOW
26.5K
READ
HE
arranged marriage
stepfather
bxg
lighthearted
assistant
like
intro-logo
Blurb

Romance Comedy

Spin Off Ok, Kita Nikah!

Anes kabur dari rumah setelah mendengar isu perjodohan. Malah bertemu dengan laki-laki yang berdebat dengan orang cacat, sok jadi pahlawan dan memporoti uang Anjas, ternyata dia malah tertipu dengan pria pura-pura cacat.

Pertemuan kedua saat Anes melamar kerja di Sultan Invest, malah bertemu dengan Anjas sehingga mereka sepakat untuk nikah agar terbebas dari perjodohan. Namun setelah dibawa ke rumah, ternyata mereka adalah pasangan yang ingin dijodohkan orangtua.

Sepakat menolak, tapi kedua orangtua mereka malah menyusun rencana dan membuat Anjas dan Anes terjebak dalam pernikahan.

#Summer Update Program#

chap-preview
Free preview
Kabur
Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Setiap pertemuan dan perpisahan sudah tercatat dalam kisah takdir Tuhan. Sekuat apapun kita berlari yang namanya jodoh tetap akan bertemu. -------- “Bunda, berapa usia putri kita?” tanya Pak Fuad secara tiba-tiba membuat perhatian istrinya dari majalah teralihkan. “23 tahun. Kenapa Ayah bertanya usia Anes? Tumben sekali.” “Ayah ingin menjodohkan dia dengan anak teman Ayah. Ayah rasa usianya sudah cukup untuk menikah.” Seseorang yang menjadi bahan omongan langsung menghentikan langkah kakinya saat mendengar sebuah berita besar. 'Apa? Aku mau dikawinin? Oh no, kabur.' Batin Anes langsung mundur dan lari. Dia tidak akan membiarkan hal buruk terjadi dalam hidupnya. Baru saja mendapat ijazah kelulusan masa harus langsung menikah? Harusnya dia menghabiskan masa mudanya dulu dengan bersenang-senang, bukannya diajak membangun rumah tangga. Yang benar saja? Tapi masalahnya sekarang Anes harus kabur lewat mana? Lewat pintu depan bakalan ketahuan orangtuanya. Lewat pintu dapur ada bibi. Anes mulai linglung, menggigit kuku. Sebuah ide lewat dengan cepat di dalam pikirannya, tak menunggu lama dia langsung masuk ke kamar. Mungkin hanya dengan lewat jendela bisa aman. Namun bagaimana caranya dia keluar dari kamar yang ada lantai dua itu? “Buset, tinggi amat,” gerutu Anes melihat batu yang ada di tanah sangat kecil. Bisa dipastikan jika dia melompat dia akan masuk dua tempat, pertama ke ICU, jika lewat langsung masuk ke dalam kuburan lewat jalur undangan. Undangan setan karena mati bunuh diri. Anes berdengkus kasar mengingat-ingat tutorial kabur dari rumah yang pernah diajarkan dalam sinetron. Bibir mengulas senyum lebar, dia sudah tahu caranya sehingga dengan cepat dia mengambil semua seprei lalu diikat ujung dengan ujung dan ditarik-tarik untuk memastikan keamanan. Setelah semuanya selesai, dia ikat di railing balkon dan ujungnya di lempar ke bawah. “Yah, malah gak sampai ke tanah. Aku harus tambah dengan apa dong? Sepreinya habis,” gerutu Anes melihat ujung seprei tidak menyentuh tanah. Ada sekitar satu meter dan dia harus melompat. “Bismillah aja deh, semoga malaikat maut gak datang.” Anes nekad turun dari lantai atas dengan seprei. Jantung sudah mulai tidak aman, berdetak tidak karuan, apalagi saat melihat ke bawah bawaannya malah pusing. Tapi dia tidak bisa tinggal diam, harus tetap kuat—memejamkan mata dan menggigit bibir bawah, perlahan dia mulai turun, bergelantungan memegang seprei. “Dikit lagi, pasti bisa,” ujarnya terus menyemangati diri. “Hahaha, aku udah kaya pemain film aja. Big movie.” Masih sempat-sempatnya Anes mengkhayal sembari tertawa. Namun, detik kemudian malah dikagetkan dengan suara melengking adiknya. “Ayah, Bunda, Teh Anes kabur.” “Astaga … aww.” Keburu kaget, tangan terlepas dari pegangan membuat Anes tersungkur ke tanah. “Aduh.” Dia bangun memegang pinggangnya yang ngilu, lalu menatap adiknya dari bawah. “Oi, tiang listrik, bikin kaget aja.” “Ayah, Bunda, Teh Anes kabur.” “Anes!” teriak Bu Lina membuat Anes kaget dan panik. “Kabuurr.” “Anes, mau ke mana?” teriak Bu Lina melihat Anes melarikan diri. “Dafa, cepat cari tetehmu! Jangan biarkan dia kabur!” Tidak hanya Dafa, adiknya Anes, tapi semua orang di rumah kecuali Pak Fuad heboh mengejar Anes yang kabur secara dadakan. Entah apa yang merasuki Anes, mereka pun tidak tahu pasti. “Ayah, kenapa masih bisa minum kopi sih? Anaknya kabur tuh,” omel Bu Lina melihat suaminya masih bisa duduk santai menyeruput kopi di saat yang lain panik mengejar Anes. “Dia tidak bisa kabur jauh. Anak manja, tidak tahu cara hidup susah, pasti akan kembali ke rumah dengan sendirinya.” “Ayah kenapa gitu sih ngomongin ke anak sendiri?” “Ya mau gimana lagi? Buktinya sudah jelas. Kapan dia pernah cuci piring di rumah ini? Bahkan piring dia makan saja bibi yang harus pindahkan ke dapur.” Bu Lina berdengkus kasar. Yang dikatakan suaminya memang kenyataan yang ada. Bukan tuduhan maupun berkomentar negatif. Maklum saja, hidup serba ada dan tidak merasakan hidup susah, sehingga semuanya serba dilayani. Kini Bu Lina melangkahkan kakinya menuju kamar Anes, penasaran bagaimana caranya Anes bisa kabur dan apa sebenarnya yang menyebabkan putri sulungnya kabur. Tidak sengaja Bu Lina melihat secarik kertas di atas nakas, segera diambil dan dibaca. Ayah, Bunda, Anes izin kabur ya. Gak usah dicari! Lari gak jauh tapi sembunyi aja. Ingat gak usah dicari! Anes kabur dulu sekalian bersemedi biar Ayah sama Bunda diberi hidayah, dihilangkan pikirannya untuk jodoh-jodohin anak. Peluk cium dari Anes yang paling cantik. No debat. “Astagfirullah, Anes. Bisa-bisanya kabur karena perjodohan.” Bu Lina membuang napas kasar. Dia pergi mencari suaminya dan membahas alasan kepergian Anes. “Dia pasti menguping,” kata Pak Fuad memberi komentar. “Jadi gimana, Yah? Putri kita kabur.” “Biarkan saja! Tidak akan lama lagi pasti dia kembali. Kita pantau saja, di mana dia akan menarik uang, ke situ kita jemput dia,” ujar Pak Fuad dengan pasti. Anes pasti membutuhkan uang untuk bertahan hidup di luar sana dan mau tidak mau harus menarik uang yang ada dalam rekeningnya. Sepertinya begitu, tapi tidak sekarang. Anes masih bersembunyi dari orang-orang yang ditugaskan mencarinya. Begitu dia rasa aman, baru dia lari sejauh mungkin. “Eh, mereka lagi ngapain?” Pandangan Anes teralihkan pada sosok pria berjas hitam sedang berdebat dengan seorang laki-laki tuna netra. Rasa penasaran lekas menuntun Anes untuk mendengar lebih dekat, apa yang didebatkan oleh laki-laki dengan segudang pesona dengan laki-laki tuna netra yang terlihat miskin. “Eh, apa-apaan ini?” Kedatangan Anes malah jadi penengah. Dia memandang laki-laki berjas dengan tatapan rendah. “Kalau salah langsung minta maaf, ganti rugi, bukannya nyolot.” “Kamu gak tau apa-apa. Sebaiknya diam!” tegas laki-laki itu bernama Anjas. “Gak tau apanya? Situ menabrak orang buta, ya ganti rugilah,” ujar Anes dengan satai. “Siapa yang menabrak, hah? Laki-laki ini yang datang ke mobil saya. Pahami dulu kasusnya sebelum menuduh.” Anjas dibuat jengkel oleh perempuan yang sok pahlawan ingin membela laki-laki berkacamata hitam dengan memegang tongkat di tangannya. Tiba-tiba dia dapat panggilan masuk lagi dari rumah sakit membuatnya tidak ingin memperpanjang masalah dan masuk ke dalam mobil, tapi malah ditarik bajunya oleh Anes. “Apa lagi?” “Ganti rugi dulu baru boleh pergi.” Anjas berdengkus kasar. Dia buru-buru ingin ke rumah sakit karena ibunya mendadak drop. Dia bisa saja memperpanjang kasus ini, tapi percuma karena di rumah sakit, ibunya sedang membutuhkan dirinya. Segera Anjas mengeluarkan dompet. “Nih!” Anjas hanya punya uang pecahan Rp 10.000 dalam dompetnya. Lupa menarik uang tunai karena terburu-buru. “Hah, cuma sepuluh rebu? Yang benar aja? Miskin amat? Jangan-jangan sopir ya?” “Saya buru-buru, minggir!” Anjas hendak masuk tapi malah dihadang oleh Anes. “Bayar dulu! Atau aku teriak biar semua orang datang dan reputasimu juga yang jelek karena menabrak orang tuna netra.” “Sialan!” umpat Anjas mengusap dahinya. Lalu membuka jam tangan branded yang baru dibeli di Amerika dan diserahkan pada Anes. “Ini ori. Sebagai jaminan.” Anes menerima sambil terus memindai sementara itu Anjas sudah masuk ke dalam mobil kemudian pergi. “Wah, jam tangan mahal ini Neng,” kata laki-laki buta itu hendak mengambil jam dari tangan Anes. Seketika Anes malah curiga dan menarik paksa kacamata hingga terlihat kedua mata laki-laki itu bercahaya. “Anying, gue dikibuli,” umpat Anes kecewa. Saat laki-laki pura buta itu hendak merebut jam dari tangan Anes malah ditempeli duit 10.000 di jidat laki-laki itu. “Itu lebih cocok buat elo. Dasar tukang tipu.” Anes pada akhirnya berlari membawa jam tangan milik Anjas. Dia menyesal sudah membela laki-laki yang salah. Ah, semuanya karena dia tidak mau mendengar penjelasan kedua belah pihak dan asal menuduh karena terlalu respect dengan orang cacat dan miskin. “Lah, aku di mana ini?” Saking semangatnya berlari, Anes jadi lupa dengan jalan mana yang diambil. Bingung setengah mati, dia pun akhirnya memilih untuk menghubungi sahabatnya. “Nina, jemput gue! Gue tersesat.” “Kebiasaan banget, gak hafal jalan. Share loc sekarang juga!” omel Nina. Di balik wajah cantik dan tubuh yang ideal, ternyata Anes tidak mampu menguasai arah jalan dengan baik. Sering tertukar dan tersesat. Untungnya dia memiliki sahabat yang siap siaga dalam membantunya. “Cepat naik!” titah Nina menghentikan mobil tepat di depan Anes yang sedang duduk di trotoar. “Gue kabur dari rumah. Jadi jangan bilang-bilang gue ikut sama lo!” ujar Anes duluan mewanti-wanti sahabatnya untuk tidak membocorkan keberadaannya. “Kabur kenapa? Kok tumben?” “Gue mau dikawinin sama bokap-nyokap gue.” Nina terserempak, detik kemudian malah tertawa terbahak-bahak. “Serius?” Anes menghela napas panjang sembari mengangguk kepala—putus asa. “Anjrit, jadul banget. Berasa jaman Siti Nurbaya.” “Jangan dibahas lagi! Nyesek.” “Itu jam tangan siapa?” tanya Nina tidak sengaja malah melirik benda asing di tangan Anes yang dipegang sejak tadi. “Oh ini, punya laki-laki yang gue temui di jalan.” “Mahal loh itu.” “Masa? KW gak sih?” “Asli. Lo cek aja sendiri!” ujar Nina dengan sangat serius memperhatikan jam tangan miliki seorang laki-laki yang tidak jelas asal usulnya. “Masa sih?” Anes masih tidak percaya. Ditatap lekat bahkan digigit, yang ada malah giginya yang ngilu. “Apa itu pertanda jalan jodoh?” “Apaan sih lu gak jelas?” “Bukan gue yang gak jelas, tapi elo. Masa jam tangan orang ada di elo? Apalagi kalau bukan jodoh?” seru Nina membuat Anes membisu. 'Jodoh? Masa sih? Ah gak mungkin. Tapi kalau benar? … enggak, enggak, enggak, gue harus kembalikan jam tangan ini. Oh apa gue jual aja? Kayanya mahal, untung dong.' Anes terus berbicara dengan hatinya. Tiba-tiba dia menggeleng kepala. 'Gak bisa. Gue gadaikan saja.'

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
18.9K
bc

My Secret Little Wife

read
115.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
218.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
201.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook