4. "Abi, lo nggak naksir Kanaya juga, 'kan?"

2061 Words
“Gue yakin ada yang nggak beres,” ucap Dicky setelah meletakkan makanan pesanan teman-temannya. Memang dari mereka berempat, Dicky ini yang bertugas memesan makanan setiap kali keempatnya nongkrong di tempat makan. Alasan utamanya, karena Dicky pintar dalam hal hapal menghapal. Daripada mengerahkan Yonathan dan Guntur yang jelas salah pesanan. Atau Abimanyu yang tidak akan pernah mau diperintah. Dicky yang memang pengertian memilih mengalah, karena perutnya memang lebih sering meronta-ronta. “Apaan?” tanya Yonathan. Melirik Dicky yang sedang menata makanannya. Mengambil segelas es teh dan menyeruputnya sampai sisa setengah. Dicky tidak menjawab lebih. Hanya mengangkat dagunya, menunjuk Abimanyu yang sejak tadi belum bersuara. Yonathan sampai keheranan karena kali ini diamnya Abimanyu tidak seperti biasanya. Abimanyu memang lebih banyak diam dibanding temannya yang lain. Tapi kali ini raut wajahnya nampak berbeda. Sumringah dan berseri-seri. Ada senyuman tipis juga yang nampak di sana. Begitu mengikuti arah pandangan Abimanyu, Yonathan hanya bisa tersenyum aneh seraya mengedipkan matanya beberapa kali pada Dicky. Dicky bergidik ngeri. “Lo nggak usah macem-macem. Gue masih doyan cewek.” “Sialan anjir! Lo ngatain gue homo?” “Lo kedip-kedip genit begitu, Yo. Nggak usah nyangkal. Gue tahu, gue ini manusia tampan seantero kampus. Tapi sadar posisi dong. Nggak seharusnya lo naksir gue,” ujar Dicky percaya diri. Setelahnya sibuk menyuapkan makanan yang dipesannya. Yonathan melotot tajam. Temannya yang satu ini memang memiliki mulut menyebalkan. Cerewet seperti perempuan. “Nggak normal lo!” “Lo yang nggak normal, sialan!” Yonathan mengangkat bahunya tak acuh. Memilih memakan pesanannya. Daripada merespon kalimat menyebalkan Dicky yang tidak bermutu. Buang-buang waktu dan tenaga saja. “Abi, udah kali. Ketelen ntar kalau lo lihatin terus,” celetuk Yonathan saat Abimanyu belum juga mengalihkan perhatiannya dari perempuan di depan sana. Yang mengisi meja dekat kaca samping. Lengkap dengan dua dayangnya dan si anak itik. “Nanti naksir, gempar satu kampus,” lanjut Dicky ikut serta. Memang kalau dalam hal meledek, menggoda, dan membicarakan hal tidak bermutu, Dicky dan Yonathan ahlinya. Abimanyu saja sampai keheranan, sebenarnya dua temannya ini laki-laki atau perempuan. “Udah naksir kayaknya, tatapannya begitu banget,” ucap Yonathan yang diangguki setuju oleh Dicky. “Emang benci tuh beda makna kalau udah ngikutin perasaan. Di luarnya aja sok nggak suka, sok anti banget sama tuh cewek, eh aslinya cinta mati. Tatapan lo nggak bisa bohong, Abi.” Abimanyu menggeleng tak acuh. Mengalihkan tatapannya ke arah makanan yang sejak tadi terhidang di hadapannya. Menyudahi aksinya untuk memulai makan siang. Bukan karena Abimanyu enggan menatap lagi. Tidak bisa berbohong, perempuan di depan sana jauh lebih menarik perhatiannya. Tapi karena dua sahabatnya sudah berkicau tidak jelas, Abimanyu memilih berhenti. “Naksir si Yaya, Bi?” tanya Dicky bercanda. Abimanyu menggeleng tak acuh. “Mana ada. Bukan tipe gue,” jawabnya singkat. “Halah sok banget lo. Ngaku aja kalau naksir, gue bantuin,” sahut Yonathan. Senyuman anehnya kembali nampak. Tapi kali ini Dicky tidak menyalahkan. Malah mengangguk menyetujui. “Bantuin apa. Kaya sanggup aja naklukin cewek,” sarkas Abimanyu. “Wah nggak tahu temen lo, Bro,” ucap Yonathan dengan tatapan kesal. Yonathan jelas tidak terima. Setelah Abimanyu yang menempati posisi nomor satu sebagai laki-laki yang paling dikagumi, Yonathan ada di posisi kedua. Bedanya, jika Abimanyu lebih cuek dan tidak peduli dengan para gadis yang menyukainya, Yonathan ini lebih terbuka. Lebih bisa menyambut kehadiran para gadis dan membuat mereka melayang jauh ke angkasa. Abimanyu si cuek yang mempesona, sedangkan Yonathan si ramah yang suka tebar pesona. “Kasih paham, Yo,” seru Dicky. Kompor menyebalkan yang gemar memperkeruh suasana. “Coba sebutin cewek dari fakultas mana yang belum jalan sama gue? Ekonomi ada, Psikologi ada, Hukum, Biologi, Peternakan, sampai Kedokteran ada, Bro. Cuma satu yang nggak bisa gue deketin.” Yonathan menjeda kalimatnya. Membuat dua sahabatnya menunggu dalam diam. “Fakultas Teknik,” lanjut Yonathan. Dicky refleks memukul kepala Yonathan. Tawanya lepas bersahutan dengan Yonathan. “Iyalah anjir. Cowok semua,” ucap Dicky di sela tawanya. Abimanyu menghela napas panjang. “Tuh satu yang lo kejar dari zaman maba nggak tertarik sama lo,” ucap Abimanyu. Menatap Allura yang sedang sibuk marah-marah pada Guntur di sampingnya. Ya salah satu teman mereka, si kedelai hitam sudah melancarkan aksinya untuk mengganggu Allura. Pundak Yonathan melemas. Menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Matanya menatap Allura yang masih sibuk marah-marah. Dibantu Virgi yang sibuk memukul Guntur. Agar segera pergi dari meja mereka. “Dia beda,” ucap Yonathan lirih. Tatapan yang sebelumnya menyiratkan semangat membara, kini meredup. Hanya ada senyuman tipis. Putus asa karena memang Allura sudah tidak bisa dikejar, sudah tidak bisa diusahakan. “Ganti topik, Bro. Ngegalau nih temen lo,” ucap Dicky. Prihatin dengan cinta bertepuk sebelah tangan yang dialami Yonathan. “Sok bad boy tapi kalau udah pakai hati nggak punya nyali lo, Yo,” ucap Abimanyu. Tersenyum mengejek. “Lo belum ngerasain ya sialan!” umpat Yonathan. Abimanyu hanya terkekeh pelan. “Udahlah. Emang udah paling bener Allura sama suaminya si burung. Baik, mapan, bertanggung jawab begitu. Justru kalau sama lo, bukan cinta namanya, Yo. Bukan cowok kalau bikin hidup ceweknya sengsara.” Kalimat Dicky disambut tepuk tangan bangga oleh Abimanyu dan Yonathan. Membuat lelaki itu menepuk dadanya dua kali. Sebuah pengakuan jika Dicky memang layak diberi reward berupa tepuk tangan. “Bad boy begini gue ngerti yang namanya ketulusan cinta, Bro,” ujar Yonathan. Kembali ke mode menyebalkan. “Temen lo satu itu nggak sadar kalau Allura udah ada yang punya?” tanya Abimanyu. “Itu si Guntur modus. Dia mau deketin Kanaya, tapi lewat Allura. Di antara tiga temen Kanaya, Allura ini yang paling bisa diajak kompromi. Nggak bar-bar kaya Dhia, nggak galak luar biasa kaya Virgi. Makanya sok deketin Allura, mau diajak kongkalikong,” jelas Yonathan. Abimanyu langsung menghentikan pergerakan tangannya. Menatap Guntur yang masih berbicara pada Allura. Dengan respon yang sama, Allura sibuk marah-marah. “Guntur naksir cewek antik?” tanyanya. Menatap Yonathan dan Dicky penasaran. “Lo baru tahu?” Dicky menimpali. Abimanyu mengangguk. Karena memang baru mengetahui kenyataan ini. Padahal mereka berempat sering kali bersama, tapi untuk fakta mengenai Guntur yang menyukai Kanaya baru saja didengarnya. “Udah lama kali. Lo ke mana aja deh, Abi,” jawab Yonathan. Abimanyu mendesah kecewa. Menatap sejenak ke arah Kanaya di depan sana. Dilihat dari sisi mana pun, Guntur jauh lebih bisa menggapai Kanaya. Guntur baik, ramah, dan bisa menyampaikan perhatiannya secara terang-terangan. Guntur juga bukan tipe laki-laki yang suka mempermainkan perempuan. Dan yang lebih penting, Guntur sudah memulai aksinya mendekati Kanaya. Jika dibandingkan Guntur, Abimanyu berada sangat jauh di belakang. Tertinggal dan mustahil bisa mengejar. Eh tunggu! Kenapa Abimanyu mendadak tidak percaya diri? Sampai membandingkan dirinya dengan Guntur yang merupakan sahabatnya. Abimanyu tidak menyimpan perasaan pada Kanaya, ‘kan? Sementara itu, Yonathan dan Dicky saling lirik. Mendapati Abimanyu yang langsung terdiam begitu membahas perihal Guntur yang menyukai Kanaya, sedikit menimbulkan perasaan curiga di hati masing-masing. “Abi, lo nggak naksir Kanaya juga, ‘kan?” tanya Dicky hati-hati. “Ya nggaklah. Udah gue bilang, dia bukan tipe gue,” jawab Abimanyu tegas. Kedua sahabatnya hanya mengangguk mengerti. Anggap saja keduanya percaya dengan ucapan Abimanyu. *** “Ya, lo ada bikin masalah sama si Abi?” tanya Dhia. Jangan kira Dhia tidak tahu jika sejak mereka mengisi salah satu meja café, Abimanyu sudah memperhatikan Kanaya. Tatapannya tajam, ada smirk menyebalkan juga yang tersemat di sana. Seolah-olah Kanaya adalah mangsa yang siap diterkam. Kanaya menoleh. Menatap Dhia dengan pandangan penuh tanya. Setelahnya menggeleng. “Nggak ada. Kenapa?” Dhia mengangkat dagunya. Menunjuk ke arah depan. Di mana tiga manusia menyebalkan itu berada. Salah satunya masih sibuk menjatuhkan tatapannya pada Kanaya. Untuk beberapa detik berjalan, tatapan Kanaya dan Abimanyu beradu. Menelisik arti dari tatapan masing-masing. Tatapannya sama seperti sebelumnya, hanya saja Kanaya seolah melihat arti lain dari tatapan itu. Begitu melihat senyuman tipis yang tersemat, juga jantungnya yang tiba-tiba mempercepat tempo debarannya, Kanaya buru-buru mengalihkan perhatiannya. Enggan menelisik lebih jauh lagi. Mata Abimanyu berbahaya. Itu yang Kanaya garis bawahi mulai saat ini. “Tajem begitu, ‘kan? Kaya yang mau bunuh lo,” komentar Dhia. Menangkap makna lain lagi. Kanaya mengangkat bahunya tak acuh. “Udah biarin aja, Dhi. Nggak usah diladenin.” “Tapi lo ngerasa ada yang aneh nggak sih dari Abi?” “Aneh kenapa?” Dhia menghentikan pergerakan tangannya. Menatap Kanaya penuh selidik. Ada satu pertanyaan yang mengganjal dalam diri Dhia. Karena sifat ingin tahunya yang terlampau besar. Dhia tidak bisa menahan untuk tidak bertanya. “Lo tadi nggak berangkat bareng Abimanyu, ‘kan?” Kanaya sontak terdiam. Menoleh ke arah Dhia yang sudah sejak tadi memperhatikannya. Kanaya kehilangan kata. Otaknya yang biasanya pintar jika digunakan untuk berpikir mengenai hal baik, kini seolah tidak mampu memutar. Tidak bisa menemukan jawaban atas alasan yang akan ia sampaikan pada Dhia. Dengan landasan kebohongan tentunya. “Lo tadi masuk kelas lima detik setelah Abi masuk. Dan nggak biasanya lo telat,” lanjut Dhia dengan tatapan menyelidik. Kanaya tidak mungkin mengaku jika pagi tadi ia dan Abimanyu berangkat bersama. Bagaimanapun ini adalah hal terbodoh sepanjang hidup Kanaya sampai detik ini. Karena ia harus menurunkan harga dirinya yang melambung tinggi, hanya untuk meminta tolong pada Abimanyu untuk menumpang di motornya. Walaupun kondisi Kanaya terdesak pagi tadi. Tapi tetap saja. Seantero kampus sudah tahu, jika Kanaya dan Abimanyu adalah musuh bebuyutan dalam kasta yang berbeda. Kanaya harus siap mendapat tatapan kebencian dari para penggemar Abimanyu jika sampai ada yang tahu mengenai hal pagi tadi. Ayolah. Kanaya hanya ingin hidupnya tentram selama belajar di sini. Tidak mendapat tatapan kebencian, tidak memiliki musuh, dan tidak-tidak lainnya yang didominasi oleh kehadiran Abimanyu. Sungguh, Kanaya tidak ingin memperpanjang masalah dengan mengenal lelaki itu lebih jauh. “Ya jelas nggaklah. Ya ampun Dhia b**o,” ucap Dhia seraya menepuk keningnya. “Mana mungkin Kanaya yang begini mau berangkat sama cowok begal begitu,” lanjutnya. Kanaya hanya bisa meringis. Dalam hati menghela napas lega. Karena Dhia tidak melanjutkan kecurigaannya. Jadi Kanaya tidak perlu mengucapkan kebohongan. Walaupun tetap diam dan tidak menyampaikan yang sebenarnya sama saja bisa disebut sebuah kebohongan. “Maaf, Ya. Mulut gue emang suka ngaco. Lagian gue paham betul level lo beda sama si Abi. Nanti yang ada lo alergi deket-deket manusia begitu.” Kanaya mengangguk saja. Kembali sibuk dengan makan siangnya. Sebagai bentuk peralihan. Agar Dhia tidak lagi membahas mengenai Abimanyu. Itu benar-benar mengganggunya. “Guntur, please ya. Go away from me!” teriak Allura heboh. Mendorong Guntur agar menjauh darinya. “Bilang iya dulu!” paksa Guntur. Masih setia menduduki kursi di sebelah Allura. “Nggak akan!” “Lura, please. Bantuin gue, setelah ini gue nggak akan gangguin hidup lo lagi.” “Heh b**o, yang ada lo bakalan berkeliaran terus di hidup gue kalau gue sampai mengiyakan permintaan lo. Nggak ada dan nggak akan! Nggak usah berharap lebih ya. Gue aduin Om Elang tahu rasa lo!” ancam Allura. Wajah putihnya memerah lantaran kesal. “Lagian banci banget ya jadi cowok. Ngomong sendiri dong kalau suka. Nggak usah melibatkan gue. Sumpah, gue nggak tertarik sama sekali untuk bantuin lo.” “Cuma lo satu-satunya harapan gue, Lura.” “Nggak peduli! Lagian lo nggak malu apa, lo sama teman-teman lo itu suka banget godain teman gue. Enak aja sekarang minta dicomblangin. Gue bukan biro jodoh!” “Gue yakin alasan lo bukan itu.” Allura menghela napas panjang. Menyabarkan diri untuk menghadapi laki-laki berpostur tinggi dengan kulit gelap ini. Sudah lelah berteriak kesal, namun si lelaki tidak mengindahkan kalimatnya juga. Allura memutar tubuhnya menjadi menghadap Guntur. Meninggalkan makan siangnya sejenak. “Dengerin gue,” perintah Allura. Guntur menurut dan mendekatkan telinganya pada Allura. Agar bisa mendengar bisikan Allura dengan jelas. “Kanaya itu teman gue. Walaupun rada sableng begitu dia tetap teman gue yang ada di saat gue jatuh. Dan gue tahu lo itu tipe cowok gimana. Gue nggak akan biarin lo deketin teman gue. Kanaya itu suci, berharga, tercipta bukan buat cowok nggak jelas kaya lo. Ngerti?” Guntur melongo dengan penuturan Allura. Tidak menyangka jika hubungan persahabatan mereka lebih dari yang Guntur kira. Karena selama ini yang terlihat, Allura dan Dhia seperti membenci keberadaan Kanaya. Keduanya bahkan suka membicarakan Kanaya di belakang. “Jadi silahkan pergi dan nggak usah balik lagi,” ucap Allura seraya melanjutkan makan siangnya. Guntur hanya bisa menghela napas. Setelahnya beranjak dari sana. Kembali menemui tiga temannya. Dua di antaranya sedang tertawa lebar. Kemungkinan besar sudah bisa menebak makna dari raut wajah Guntur yang suram. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD