3. Kesialan di Pagi Hari

2024 Words
Kesialan yang diterima di pagi hari. Kanaya kesiangan. Satu hal yang sangat jarang terjadi pada Kanaya yang disiplin. Dan parahnya, hari ini ada kelas pagi, dimulai pukul setengah delapan. Kanaya yang biasanya anggun, kini harus mempercepat pergerakannya. Karena pilihannya hanya ada dua, tetap anggun seperti biasanya tapi terlambat sampai di kelas. Atau melupakan sejenak segala aksesoris wanita anggun yang melekat padanya demi mengejar waktu agar tidak terlambat. “Mas Rangga, antar Yaya ke kampus,” teriak Kanaya begitu keluar dari kamarnya. Perempuan yang mengenakan dress batik sebatas lutut itu berjalan sembari memakai flat shoesnya. Mengabaikan tatapan keheranan dari Ibu dan Bapak yang mengisi meja makan. Rangga muncul dari belakang sembari membawa kunci mobilnya. Terkejut begitu Kanaya berteriak tanpa memakai kata ‘tolong’ di awal kalimatnya. Padahal biasanya Kanaya tidak pernah meninggalkan kata-kata seperti tolong, maaf, dan terima kasih. Tapi begitu melihat sang adik yang terburu-buru, Rangga bisa menyimpulkan jika Kanaya sudah hampir terlambat. “Ibu, Bapak, Yaya berangkat duluan.” Bahkan berpamitan pada orang tua dengan secepat kilat. Langsung berlari menemui sang kakak di halaman depan setelah menyalami kedua orang tuanya. “Nggak sarapan dulu, Nduk?” tanya Ibu halus. Kanaya menolak itu. Kelasnya lebih penting daripada sarapan di pagi hari. Kesialan kedua. Mobil yang Kanaya naiki mogok di tengah jalan. Padahal jarak kampus Kanaya masih jauh. Tidak mungkin menunggu bus karena akan terlalu lama. “Harus dibawa ke bengkel kayaknya, Dek,” ucap Rangga setelah memeriksa mobilnya. Kanaya menghela napas panjang. Panik juga kecewa. Kanaya adalah mahasiswi rajin yang taat peraturan. Tidak pernah sekalipun melanggar. Karena memang sudah dibekali hal-hal baik sejak di dalam rumah. Mungkin bagi mahasiswa/i lain, terlambat atau bolos adalah hal biasa. Terutama untuk Sheryl Dhianara. Salah satu sahabat Kanaya yang gemar melanggar peraturan. Dhia termasuk penganut paham, aturan ada untuk dilanggar. Tapi bagi Kanaya tentu ini sebuah hal buruk. Kemunduran, bukti tidak taat, kebodohan, dan ungkapan tidak baik lainnya. “Udah dapat ojeknya?” tanya Rangga. Menatap sang adik yang terlihat semakin pucat. Kedua tangannya memegang ponsel, dengan tatapan cemas. Sedang memesan ojek online yang sayangnya belum juga diterima pengemudi. “Nggak ada yang ambil pesanan Yaya, Mas,” adu Kanaya. Hampir saja menangis. Membuat Rangga yang sebelumnya santai jadi ikut panik. Padahal Rangga bisa saja memberitahu Kanaya jika membolos satu hari untuk satu mata kuliah bukanlah masalah besar. Karena setiap mahasiswa diperbolehkan membolos tiga kali untuk setiap mata kuliah. Jadi jika ingin digunakan sekaligus bisa membolos tiga minggu lamanya. Dan selama berkuliah, Kanaya belum sekalipun menggunakan jatah bolosnya. Tapi Rangga sadari betul, adiknya bukanlah tipe mahasiswa yang memanfaatkan tiga kali kesempatan bolos itu. Jika masih bisa berusaha, masih bisa dikejar, maka Kanaya akan mengusahakan sebaik mungkin. Satu hal baik memang. Namun terkadang terlalu berlebihan jika kondisinya seperti saat ini. Di tengah kepanikan Kanaya, juga pergerakan jam yang enggan memelan. Ada sebuah motor berhenti tepat di depan mobil Rangga. Melepaskan helmnya dan turun dari atas motor. Menghampiri Rangga dan Kanaya di samping jalan. Keduanya menatap Abimanyu dengan tatapan seperti, baru saja melihat makhluk langka di era modern seperti saat ini. Terutama Rangga yang memang baru melihat Abimanyu. Perawakannya yang tinggi kekar, rambut berantakan dengan warna biru di bagian tengah ke ujung, punggung tangan penuh tato, juga telinganya yang penuh tindik. Rangga sampai menarik Kanaya mendekat. Menyembunyikan adiknya di belakang punggungnya. Sebagai bentuk perlindungan dari kakak laki-laki pada adik perempuannya. Abimanyu berdecih sebal. Tahu arti tatapan dua orang di hadapannya. Tapi Abimanyu tidak mau ambil pusing. Wajah Kanaya yang panik lebih menarik perhatiannya. “Mobilnya mogok, Mas?” tanya Abimanyu pada Rangga. Rangga mengangguk ragu. Lelaki di hadapannya tidak berbahaya, ‘kan? Bukan semacam preman yang ditugaskan untuk memalak pengguna jalan yang kebetulan berhenti atau mobilnya mogok seperti keduanya. “Kamu teman Yaya?” tanya Rangga. Abimanyu bisa menangkap nada keraguan yang terdengar jelas. Mungkin Rangga tidak percaya jika Kanaya yang anggun, penuh sopan santun, berbudi pekerti luhur, serta enak dipandang memiliki teman dengan penampilan membingungkan seperti ini. Abimanyu menatap Kanaya untuk beberapa saat. Meminta persetujuan. Tapi si perempuan tidak memberi jawaban apa-apa. Hanya menatapnya dengan sorot kebencian. Tatapan yang sama, seperti yang sering kali dilayangkan Kanaya pada Abimanyu. “Ya, kami satu prodi,” jawab Abimanyu. “Benar teman Yaya?” tanya Rangga lagi. Hanya untuk memastikan jika laki-laki dengan penampilan tidak jelas ini benarlah teman dari adiknya. Abimanyu menghela napas panjang. Sedikit kesal dengan respon menyebalkan itu. Memang kebanyakan orang akan langsung memberi penilaian pertama dari penampilan. Tidak mau menelisik lebih dalam lagi. Abimanyu meraih dompetnya di saku celana. Mengambil kartu tanda mahasiswa di dalam sana dan memberikannya pada Rangga. Rangga membaca keterangan di kartu itu, kemudian mengangguk-angguk. Percaya, jika lelaki di hadapannya benarlah teman kampus Kanaya. “Mau ke kampus?” tanya Rangga. Abimanyu mengangguk. Ya, pagi ini Abimanyu berada di kelas yang sama seperti Kanaya. “Boleh Yaya nebeng sampai kampus?” tanya Rangga lagi. Kanaya jelas protes. Tidak terima dengan permintaan tolong kakaknya. Jika saja bukan Abimanyu, mungkin Kanaya akan menurut saja. Tapi ini Abimanyu. Si pangeran kampus yang dikenal hampir semua perempuan di kampusnya. Kanaya hanya tidak mau mengusik para penggemar Abimanyu. Ia hanya ingin menjadi mahasiswi rajin, taat peraturan, dan berteman dengan orang-orang baik. Agar hidupnya yang damai tetap damai tanpa gangguan. Walaupun semenjak Abimanyu cs hadir, kedamaian hidup Kanaya mulai terusik. Setidaknya hubungan mereka tidak lebih dari musuh bebuyutan. “Yaya nggak mau, Mas,” ucap Kanaya. Jelas saja Kanaya menolak. Kanaya bukan perempuan bodoh yang iya-iya saja. Walaupun kondisinya sangat terdesak lantaran kelas pertama hampir dimulai. “Kamu pesan ojek dari tadi nggak ada yang ambil, ‘kan? Mau naik bus?” tanya Rangga dengan suara halusnya. Memberi penawaran pada sang adik. Karena tidak mungkin asal menitipkan Kanaya. Kenyamanan Kanaya juga menjadi perhatian utama di sini. Abimanyu sampai keheranan. Ia kira hanya Kanaya yang lemah lembut, ternyata kakak laki-lakinya juga memiliki suara yang lembut untuk ukuran laki-laki. Pantas saja Kanaya sangat membencinya. Abimanyu berada sangat jauh dari orang-orang yang selama ini berkeliaran di kehidupan Kanaya. “Udah jam tujuh dua puluh, Ya. Mau gimana?” Rangga kembali membuka suara. Menatap Kanaya. Sementara itu, Kanaya masih menatap Abimanyu tajam. Yang ditatap hanya menaikkan kedua alisnya, seolah bertanya ada apa. Ini masih pagi, keduanya baru bertemu. Abimanyu juga belum mengeluarkan kalimat super untuk meledek Kanaya. Kenapa Kanaya sudah menatapnya dengan sorot kebencian? Sebenci itukah Kanaya pada Abimanyu? “Mau pakai bus aja? Yuk Mas temani ke halte.” Kanaya mulai bimbang. Takut terlambat. Tidak tega dengan kakak laki-lakinya. Tapi enggan ikut Abimanyu. Abimanyu mengangguk-angguk. Mulai paham situasi. Kehadirannya tidak diharapkan. Jadi tidak ada alasan untuk tetap di sini. “Oke kalau gitu gue duluan,” pamit Abimanyu. Rangga mengangguk, sempat meminta maaf juga. Tapi begitu Abimanyu baru saja mengenakan helmnya, Kanaya meraih sebelah tangannya. Membuat pergerakannya terhenti. Dua pasang mata itu saling tatap untuk sepersekian detik. Abimanyu bisa melihat tatapan penyesalan di sana. Tapi sekali lagi, Abimanyu tidak ambil pusing. Menatap Kanaya dan tangannya yang masih melingkar di pergelangan tangan Abimanyu. “Kenapa?” tanya Abimanyu. Tampangnya benar-benar menyebalkan. Jika saja bukan dalam keadaan terdesak, Kanaya tidak akan suka rela menurunkan harga dirinya untuk mengatakan satu kalimat permintaan tolong. Kanaya menghela napas beberapa kali. Meyakinkan dirinya jika tidak ada salahnya meminta tolong pada manusia sejenis Abimanyu. Karena setelah ini, keduanya akan kembali pada jalur masing-masing. Jika perlu Kanaya tidak akan mengingat kejadian pagi ini. Menganggap hal ini sebagai mimpi buruknya saja. “Ehm, Abi. Aku boleh nebeng sampai kampus?” tanyanya lirih. Wajahnya nampak ragu membuat Abimanyu menatap untuk beberapa saat. “Yakin lo?” tanya Abimanyu. Hanya sekadar memastikan. Abimanyu paham betul, Kanaya sangat membencinya. Melihatnya saja kepala Kanaya langsung pusing. Belum lagi, beberapa menit lalu Kanaya bahkan masih berdiri kokoh di posisinya. Sembari melayangkan tatapan tajam sarat akan kebencian. Lalu sekarang, Kanaya mengatakan akan ikut Abimanyu sampai kampus. Abimanyu sudah bisa menduga, Kanaya sudah menurunkan harga dirinya sampai melebihi batas normalnya sebagai seorang Kanaya. Kanaya mengangguk. “Boleh, ‘kan?” tanyanya lagi. Abimanyu mengangguk saja. Tidak tega melihat tatapan tajam Kanaya berubah menjadi penuh harap. Seperti seekor kucing kelaparan yang ia temukan di jalan. Abimanyu menyalakan mesin motornya sembari menunggu Kanaya yang berpamitan dengan kakaknya. Setelahnya, Kanaya mengenakan helm yang diberi Abimanyu. Menatap motor Abimanyu yang tinggi, juga dressnya yang hanya sebatas lutut. Jika Kanaya naik, pasti dressnya akan tersingkap dan memperlihatkan bagian tubuh yang tidak boleh diperlihatkan sembarangan. Abimanyu menghela napas kesal. “Kenapa lagi sih? Kalau lo nggak mau nebeng gue ya udah. Gue duluan, telat nih,” bentak Abimanyu tanpa sadar. Tapi begitu menoleh, wajah kesalnya langsung berubah. Mendapati Kanaya yang sedang menggigit bibir bawahnya sembari meremas kedua tangannya. Satu ekspresi yang tidak pernah Abimanyu lihat sebelumnya. Karena selama mengenal, Kanaya hanya pernah menunjukkan satu ekspresi wajib saat bertatapan dengan Abimanyu. Wajah jutek, dengan tatapan tajam menusuk. Dengan gerakan cepat, Abimanyu melepas jaketnya. Memberikan pada Kanaya. “Pakai atau gue tinggal!” ancam Abimanyu. Tanpa berpikir lagi, Kanaya segera meraih jaket Abimanyu dan melingkarinya di pinggang. Setelahnya langsung naik ke boncengan Abimanyu. Abimanyu sempat berpamitan pada Rangga sebelum melajukan motornya. Membuat Rangga terpaku menatap dua manusia yang sudah pergi jauh itu. Entah hanya perasaannya saja atau memang ada yang aneh dari tatapan Abimanyu pada adiknya. Satu tatapan yang bisa Rangga kenali sebagai sesama laki-laki. *** “Makasih,” ucap Kanaya setelah turun dari boncengan Abimanyu. Melepaskan helm dan jaketnya. Memberikan dua benda itu pada sang pemilik. Abimanyu mengangguk saja. Bukan masalah besar. Karena tujuan keduanya sama. Sama-sama akan mengikuti kelas pertama, di kampus yang sama, di kelas yang sama. “Ehm, Abi aku boleh minta tolong.” Kanaya menggigit bibir bawahnya saat mengucapkan kalimatnya. Abimanyu yang baru saja turun dari motornya menatap Kanaya heran. Sepertinya hari ini ada yang lain dari Kanaya. Perempuan ini lebih banyak menunduk dengan suara lirih. Tidak seperti Kanaya yang biasanya. “Apa?” “Bisa minta tolong untuk nggak bilang-bilang orang lain kalau aku nebeng kamu pagi ini?” tanya Kanaya. Ada raut ketakutan yang nampak jelas. Abimanyu sedikit tersindir karena kalimat itu. “Kenapa? Segitu nggak sukanya lo sama gue sampai harus nutupin hal biasa kaya gini?” Kanaya menggeleng cepat. “Bukan. Bukan itu maksud aku.” “Terus?” “Penggemar kamu.” Abimanyu semakin kebingungan. Menatap Kanaya penuh tanya. Meminta penjelasan lebih lanjut. Bukan kalimat terpotong-potong seperti ini. “Kamu punya banyak penggemar. Hampir semua perempuan di kampus suka sama kamu. Aku cuma nggak mau punya masalah sama mereka.” Abimanyu menyunggingkan senyuman. Menatap Kanaya yang masih menunduk dalam. Karena memang dasarnya jahil, Abimanyu mendekatkan jarak wajahnya dengan Kanaya. Memperhatikan raut Kanaya dari jarak yang begitu dekat. Sampai keduanya bisa merasakan embusan napas masing-masing. “Jadi lo mengakui kalau gue ganteng dan digemari banyak perempuan?” bisiknya lirih. Kanaya yang terkejut langsung mendorong wajah Abimanyu. Pipinya bersemu merah. Membuat Abimanyu mati-matian menahan senyum. Kapan lagi bisa melihat raut seperti ini dari Kanaya? “Santai aja. Gue nggak segabut itu sampai sebar-sebarin hal nggak penting begini.” Kanaya mengangguk. “Aku harap ucapan kamu bisa dipegang.” “Ya terserah lo mau percaya sama gue atau nggak.” Abimanyu terlihat cuek. “Ehm, tapi karena gue udah bantuin lo pagi ini. Bisa ‘kan lo bantuin gue di lain waktu, kalau gue butuh bantuan?” Kanaya nampak berpikir. Tidak mau langsung mengiyakan kalimat Abimanyu. Bagaimanapun sosok di hadapannya ini bukan laki-laki baik menurut versinya. “Gue yakin lo paham yang namanya balas budi,” lanjut Abimanyu. Ada senyuman miring yang tidak begitu nampak. “Jadi kamu nggak tulus bantu aku?” Abimanyu mengangkat bahunya tak acuh. “Lo minta tolong tadi. Sebagai sesama manusia gue bantuin karena memang tujuan kita sama. Tapi yang namanya balas budi tetap ada, ‘kan? Entah gue tulus atau nggak.” Kanaya menghela napas panjang. Abimanyu memang menyebalkan. Dan sayangnya Kanaya baru menyadari setelah si lelaki menolongnya. “Asal kamu bisa pegang ucapanmu tadi.” Abimanyu mengangguk. “Aman.” “Aku harus bantu apa?” “Untuk saat ini gue belum butuh bantuan. Nanti, kalau gue butuh lo harus bantuin gue.” Setelahnya Abimanyu menepuk bahu Kanaya beberapa kali. Melangkah menjauhi Kanaya yang masih terpaku di tempatnya. Memikirkan kalimat terakhir Abimanyu. Kanaya tidak salah mengambil keputusan, ‘kan? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD