“Lura buruan, mendung nih. Gue nggak mau kebasahan sampai kos ya,” teriak Dhia begitu kelas terakhir hari ini selesai.
“Ck, dasar emang cewek jadi-jadian,” celetuk Yonathan sembari menatap Allura yang terburu-buru memasukkan bukunya karena teriakan Dhia. “Kasihan ‘kan mantan calon gue. Buru-buru gitu,” lanjutnya yang langsung dihadiahi pukulan di kepala oleh Dicky.
“Jangan gitulah, Yo. Ngenes banget hidup lo. Cewek masih banyak noh,” ucapnya seraya melirik Kanaya yang masih berada di kursinya.
Yonathan menggeleng. Melirik dua temannya yang lain, dengan tatapan sama, Kanaya. “Bentar lagi sold kayaknya, dua teman lo ngincer,” ucapnya. Dicky tertawa saja. Tidak berniat melanjutkan pembicaraan. Takut Abimanyu dan Guntur mendengar.
“Iya sabar kali,” sahut Allura seraya berjalan mendekati Dhia yang sudah berdiri di depan pintu.
“Yaya, kita duluan ya,” pamitnya pada Kanaya yang kebetulan berada di kelas yang sama sore ini. Virgi tidak ada bersama mereka. Karena kelas Virgi sudah selesai sejak siang tadi. Setelah makan siang bersama, Virgi langsung pamit pulang karena tidak ada hal lain yang akan dikerjakan di kampus. Menyisakan Kanaya dengan empat manusia menyebalkan itu. Yang nampaknya belum berniat untuk pulang.
Dicky dan Yonathan hanya bisa menghela napas malas karena dua temannya tidak juga menyelesaikan aksi menatap itu. Dua-duanya masih berada di posisi yang sama, sembari menatap Kanaya. Sampai Dicky dan Yonathan ingin mengompori keduanya agar segera beranjak dan mengajak Kanaya pulang bersama.
“Apa susahnya sih, lo berdiri, deketin, terus ajak balik bareng,” ucap Yonathan yang sudah geregetan.
“Ya susah, Yo. Yang dideketin cewek langka begitu. Kedudukannya tinggi, nggak bisa sembarangan bonceng motor. Kecuali salah satu dari temen lo ada yang mau bawa-bawa delman, baru Kanaya dengan senang hati mau diajak pulang bareng,” jelas Dicky.
“Delman?”
“Iya. Kanaya ‘kan putri keraton yang suka naik kereta kencana.”
“Sumpah b**o banget lo, njir!” umpat Yonathan yang langsung dibalas pelototan oleh Dicky. Sudah disumpahi, diberi sebutan bodoh, sampai disebut anjing. Benar-benar temannya ini.
Tanpa mengucapkan apa-apa, Abimanyu bangkit terlebih dahulu. Membuat dua temannya menatap pergerakan Abimanyu yang akan melewati kursi Kanaya. Bukannya berhenti dan menawarkan tumpangan, Abimanyu justru terus berjalan ke luar kelas tanpa menatap Kanaya.
“Yah si bos insecure,” celetuk Dicky kecewa.
“Sialan berasa cewek lagi jerawatan insecure,” ucap Yonathan. “Balik yuk,” lanjutnya menepuk bahu Guntur. Lelaki berkulit gelap itu mengangguk. Beranjak mengikuti langkah Dicky dan Yonathan. Tidak secuek Abimanyu, Guntur masih melempar senyum pada Kanaya yang dibalas dengan senyuman yang sama.
“Duluan ya, Yaya,” pamit Dicky. Kanaya mengangguk saja.
“Atau mau balik bareng?” tawar Dicky, sedikit mengeraskan suaranya. Berniat memancing Abimanyu yang sudah berjalan di depan sana. Sayangnya, Abimanyu tidak tertarik sama sekali. Tetap melanjutkan jalannya, tanpa berniat berhenti atau bahkan berbalik untuk menawarkan boncengan pada Kanaya.
Kanaya menggeleng. Memasang senyuman ramah. “Nggak usah. Aku nunggu jemputan.”
Kanaya mendesah panjang begitu empat manusia aneh itu sudah tidak lagi terlihat. Mendung di luar kian jelas. Beberapa kali terdengar suara gemuruh, menandakan hujan akan segera turun. Kanaya harus menelan kecewa, lantaran kakak laki-lakinya tidak bisa menjemput. Mobil masih di bengkel dan motor sedang dibawa Bapak pergi.
Ini sudah sore, seharusnya Kanaya segera keluar dan memesan ojek. Agar ia bisa sampai rumah sebelum hujan turun. Sayangnya, rasanya sangat malas.
Kanaya memang bukan perempuan manja yang ke mana-mana minta diantar. Tapi kali ini rasanya berbeda. Apalagi hari sudah mendung. Kanaya malas untuk basah-basahan kalau nanti pulang dengan ojek pesanannya.
Kekecewaan itu kian terlihat jelas begitu rintik-rintik hujan mulai turun. Membasahi jendela kaca di sepanjang gedung kampusnya. Kanaya baru keluar kelas begitu bagian akademik masuk untuk mengambil presensi dan mengunci ruangan.
Kampus sudah sepi. Karena nampaknya para mahasiswa buru-buru pulang agar tidak kehujanan. Sedangkan Kanaya malah memilih menunggu hujan reda.
“Belum balik?” tanya Abimanyu yang muncul dari arah belakang. Kanaya sampai berjengit kaget.
“Loh bukannya kamu udah pulang?” tanya Kanaya keheranan.
Abimanyu diam, menelisik. “Lo ngeliatin gue dari tadi?” tanyanya. Ada senyuman miring yang nampak sangat menyebalkan.
Kanaya hanya menghela napas malas. Setelahnya melanjutkan jalannya menuju lantai satu. Mungkin menunggu hujan reda sembari duduk di tepian kolam akan lebih menyenangkan. Daripada meladeni Abimanyu yang selalu menyebalkan.
“Ngapain ikut di sini?” tanya Kanaya, begitu Abimanyu mengambil duduk di sebelahnya.
Responnya sama. Menatap dengan sebelah alis terangkat. Kanaya sampai heran, wajah menyebalkan seperti ini yang dikagumi banyak perempuan. Apa perempuan-perempuan itu mengalami sakit mata sampai tidak menyadari jika Abimanyu adalah sosok yang sangat menyebalkan?
“Ini lingkungan kampus, bukan punya lo. Gue juga bayar UKT,” jawab Abimanyu. Kanaya mengangguk saja. Ya, kesimpulannya memang selalu sama. Abimanyu menyebalkan. Tidak seharusnya membuka pembicaraan. Karena tensinya akan kembali naik.
Setelahnya, hanya rintikan hujan yang terdengar. Kanaya dan Abimanyu sama-sama diam dengan pikiran masing-masing. Berdekatan tapi enggan saling bertukar kata. Karena inti dari hubungan mereka tetap sama, musuh bebuyutan.
Kanaya hanya menoleh sekilas begitu Abimanyu berdecak sebal. Hari sudah semakin sore, tapi hujan belum juga reda. Mungkin Abimanyu ada janji dengan salah satu pacarnya, tapi hujan tidak bisa diajak berkompromi. Malah membuat si lelaki terjebak, dengan perempuan yang dibencinya itu.
“Awet kayaknya. Gue mau balik, lo ikut sekalian nggak?” tawar Abimanyu. Meraih kunci motor di saku celananya.
Kanaya menatap heran. Memang sejak kapan keduanya akrab? Sampai Abimanyu menawarinya tumpangan pulang. Mereka memang berangkat bersama pagi tadi, tapi bukan berarti Kanaya mau bergaul dengan manusia sejenis Abimanyu. Masih ada banyak manusia lain yang lebih layak menjadi temannya.
“Nggak usah. Aku nunggu reda,” jawab Kanaya. Jelas saja Kanaya menolak. Membonceng Abimanyu hanya sekali saja dalam hidup, dan itu terjadi pagi tadi.
“Beneran nggak mau ikut? Udah sore nih. Lo nggak lupa sama rumor hantu kampus, ‘kan? Banyak yang bilang suka nongkrong di tangga samping,” ucap Abimanyu seraya melirik tangga di samping koperasi mahasiswa.
Kanaya bergidik ngeri. Ingin tidak mempercayai kalimat itu. Tapi apalah daya, jika pada kenyataannya ia sudah sibuk merinding.
“Buru Ya, gue nawarin sekali ini aja. Kalau lo nggak mau ikut ya udah. Silahkan bermalam sama hantu-hantu kampus,” ucap Abimanyu. Menatap Kanaya untuk beberapa menit berjalan. Setelahnya berjalan menjauh dari sana. Menerobos hujan yang sepertinya akan lama berhentinya.
Kanaya refleks mengejar Abimanyu. Menyelaraskan langkah kakinya dengan langkah lebar Abimanyu. Kanaya janji, ini yang terakhir!
“Jangan harap kali ini gue bakalan kasih jaket gue buat lo,” ucapnya. Kanaya kembali kebingungan.
“Ini dingin banget dan gue yang di depan. Jadi jangan nyusahin,” lanjutnya seraya menaiki motor. Tidak lagi memperhatikan ekspresi Kanaya yang sudah berubah. Benar-benar lelaki menyebalkan.
***