1. Si Putra Pertama
Mobil dengan baluran cat berwarna putih itu melaju kencang. Membelah jalanan berkabut yang membentang panjang. Masih sepi, karena memang hari masih terlalu pagi. Membuatnya seolah melaju di perlintasan miliknya sendiri. Tanpa ada satu pun kendaraan yang melaju dengan arah berlawanan, atau justru dengan berani menyalipnya.
Ini bahkan masih pukul empat. Panggilan beruntun dengan satu oknum utama membuatnya harus rela membuka mata. Mengendarai mobilnya dalam keadaan setengah mabuk. Jelas sekali bukan kegiatan mengendarai yang baik. Namun tidak ada pilihan lain, Abimanyu hanya tidak ingin mendengarkan deretan kalimat panjang sang bunda ditambah tatapan tajam mematikan milik ayahnya.
Salahnya juga yang membuat rentetan kesalahan dalam waktu satu malam. Sudah terpampang sangat jelas bagaimana wajah mengerikan sang ayah saat menyambutnya nanti. Dua hal yang harus Abimanyu siapkan, telinga dan kesadarannya. Semoga saja selera marah-marah milik sang ayah hilang saat berhadapan dengannya nanti.
Sehingga Abimanyu bisa melanjutkan tidurnya dengan nyenyak. Tanpa harus mendengarkan kalimat panjang bernada tajam yang hanya bersarang semenit sampai dua menit di telinganya. Setelahnya sudah. Siapa yang peduli? Abimanyu tetaplah Abimanyu. Si lelaki muda dengan telinga tertutup rapat dari nasihat.
Ponsel di saku hoodie berdering kencang. Sempat mengembuskan napas beberapa kali sebelum mengangkat panggilan itu. Tanpa melihat nama yang tertera pun Abimanyu sudah tahu siapa gerangan yang menghubunginya.
"Halo, Yah."
"Yah? Ini Bunda, Sayang. Bukan Ayah."
Senyumannya refleks mengembang. Syukurlah bukan suara marah ayahnya yang berdengung di balik telepon. Justru suara lembut sang bunda yang menyapa. Ini sangat-sangat baik. Setidaknya telinganya tidak akan mengalami sakit di pagi hari akibat teriakan sang ayah.
"Sayang dengerin Bunda, kamu pulang nanti pagi aja nggak masalah. Ayah memang marah tapi bahaya kalau kamu pulang pagi buta begini. Nunggu agak siangan, ya?"
"Tapi aku udah di jalan, Bun."
"Astaga! Ayah kamu benar-benar!"
Abimanyu kembali tersenyum saat suara pekikan Bunda terdengar. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan setelah ini. Karena sudah pasti Ayah yang akan dimarahi Bunda karena memaksa si sulung pulang pagi buta. Tahu betul, Bunda terlampau menyayangi anak sulungnya ini.
"Bunda nggak perlu khawatir. Aku pelan-pelan bawa mobilnya."
"Hati-hati ya. Ingat jangan ngebut, tapi kalau bisa kamu cepat sampai rumah."
Abimanyu hanya mengiyakan itu. Kembali fokus pada kemudinya. Masih dengan suara Bunda yang menyahut dari balik ponsel.
"Sampai rumah nanti langsung istirahat aja. Nanti Ayah, Bunda yang urus. Yang terpenting kamu cepat sampai di rumah. Ya, Sayang?"
Anggukan singkat. Padahal sudah jelas, Bunda di seberang sana tidak akan menyadari itu. Membiarkan suara Bunda terus terdengar tanpa sahutan. Kepalanya kembali terasa berat, dan parahnya ini masih setengah jalan. Membuatnya harus menahan rasa pusing serta kedua mata yang ingin terpejam.
Nasib buruk menimpanya pagi ini. Tepat di belokan ada sebuah taksi yang berjalan pelan. Karena kondisinya kurang baik ditambah kecepatan mobilnya yang belum memelan, membuatnya tanpa sengaja menabrak bagian belakang taksi tersebut.
"Ah s**t," umpatnya tanpa sadar setelah bunyi tabrakan itu terdengar cukup keras.
"Apa? Kamu ngatain Bunda?" Suara di balik telepon membuat Abimanyu kalang kabut. Baru sadar jika sedari tadi Bunda terus memberinya nasihat panjang lebar, tanpa ada satu pun yang digubris.
"Bukan! Bukan gitu, Bun. Aku cuma … hah aku matiin dulu. Sebentar lagi aku sampai rumah, bye Bunda."
Mematikan sambungan sepihak. Bukan hal yang baik memang, apalagi tadi Bunda yang menghubunginya. Tapi Abimanyu tidak terlalu memedulikan itu.
Masih ada satu hal lagi yang harus diurus. Kesalahan pertamanya pagi ini. Sudah jelas, Ayah akan sangat marah kalau sampai mengetahuinya.
Abimanyu bergegas keluar. Menemui supir taksi yang sudah berdiri di samping mobilnya. Menatap khawatir pada kerusakan dua mobil itu. Atau lebih tepatnya khawatir dengan kondisi bagian depan mobil Abimanyu yang rusak. Tidak terlalu parah memang, namun cukup mahal biayanya untuk ukuran mobil yang dikendarai putra pertama keluarga Patra ini.
Supir taksi itu seketika dibuat semakin khawatir saat mendapati sosok Abimanyu. Bagaimana tidak, perawakannya yang tinggi dengan badan berotot, rambut berwarna biru, dan punggung tangan yang penuh tato.
Jika seperti ini, tidak penting lagi siapa yang bersalah. Sosok seperti Abimanyu tentu memiliki keberanian serta kuasa yang lebih tinggi. Takut dengan hal yang akan terjadi selanjutnya. Tentu bukan hanya tentang biaya yang harus dibayarkan atas kerusakan mobil bernilai tinggi itu. Supir itu juga khawatir dengan jalur hukum yang mungkin ditempuhnya.
"Maaf Aden, saya …."
"Nggak, Pak. Saya yang seharusnya meminta maaf karena sudah menabrak taksi Bapak," ucapnya penuh penyesalan. Supir taksi itu dibuat tidak percaya. Ternyata manusia berantakan seperti Abimanyu tidak semengerikan yang dipikirkan. Justru tanpa malu menyatakan kesalahannya dan meminta maaf.
"Saya akan bayar semua kerusakannya," ucapnya lagi sembari mengotak-atik ponselnya. Menghubungi seseorang di seberang sana dan memaksanya agar cepat datang.
Benar saja, tidak lama kemudian sosok lelaki dewasa datang dengan wajah kesal. Langsung memberi pukulan di kepala bagian belakang Abimanyu. Sebagai pelampiasan rasa kesal karena mengganggunya pagi-pagi begini.
"Abi kamu tahu ini masih pagi?" tanyanya dengan nada tinggi. Melotot tajam begitu mendapati dua mobil dengan kerusakan yang tidak seberapa. Tapi cukup menyebalkan karena Abimanyu melakukan kesalahannya di pagi hari. Saat paling menyenangkan untuk melanjutkan tidur.
"Astaga! Ini apa lagi ha?"
"Om tolong bawa mobilku dan taksi ini ke bengkel. Jangan sampai Ayah tahu soal ini."
Lelaki dewasa itu mengacak rambutnya kesal. Tidak anak tidak ayah, sama-sama merepotkan.
"Om, kunci mobil."
"Untuk apa?"
"Aku udah ditunggu Ayah dan Bunda di rumah. Kalau sampai telat Ayah nggak cuma marah soal masalah semalam. Tolong, Om."
Dengan teramat berat lelaki dewasa itu menyerahkan kunci mobilnya pada putra sahabatnya itu. Membiarkan si lelaki muda itu membawa mobilnya pergi. Menyisakan dirinya dan si supir taksi yang tentu saja meminta pertanggungjawaban.
Hanya bisa mendengus sebal. Bertahun-tahun berjalan tugasnya tetap sama. Membereskan masalah yang dibuat oleh sahabatnya dan anak dari sahabatnya. Benar-benar pasangan ayah dan anak yang serasi.
***
"Kenapa bawa mobil Om Vincen?"
Tepat setelah Abimanyu menutup pintu mobil, sang ayah sudah berdiri di sana. Melipat kedua tangannya di depan d**a sembari menatap Abimanyu sengit.
"Ayah nggak tahu? Aku tidur di rumah Om Vincen semalam."
"Yakin kamu? Sejak kapan akrab sama Virgi?"
Abimanyu tertawa bodoh. Siapa juga yang akrab dengan putri kesayangan Tante Elen dan Om Vincen itu? Perempuan culun berkacamata yang menyebalkan.
Nyaris menghabiskan seluruh hidupnya untuk belajar. Sangat jauh berbeda dengan kehidupan Abimanyu yang bebas dan mudah bergaul.
"Mana ada aku akrab sama Virgi. Tidur di rumah Om Vincen bukan berarti akrab sama Virgi, Yah. Lagi pula Tante Elen nggak kasih izin anaknya bergaul sama aku."
"Jelas. Kamu bodoh, trouble maker begitu."
Abimanyu mengumpat dalam hati begitu ayahnya berbalik.
"Masuk! Ada yang harus Ayah bicarakan," ucapnya tegas membuat Abimanyu memilih menurut. Tidak mau mendapatkan nasihat yang lebih panjang lagi. Membuat telinganya panas.
"Kenapa kemarin nggak datang ke acara Ayah dan Bunda?"
Mendesis kesal. Abimanyu tidak sempat menyiapkan alasan untuk rentetan kesalahan di hari kemarin. Terlalu sibuk menghabiskan banyak alkohol bersama teman-temannya sampai tertidur di meja bar.
Abimanyu baru bangun pagi tadi. Saat ponselnya terus berbunyi. Menampilkan satu nama yang sudah menjadi aba-aba awal. Sudah menjadi ketetapan hidup. Manusia membuat kesalahan, maka ada hukuman yang harus dibayar.
"Aku ada …."
"Di bar bareng teman-teman kamu?"
Ayahnya tahu? Sialan! Kenapa ayahnya bisa tahu hal ini?
"Habis berapa banyak sampai baunya masih tersisa sampai sekarang?"
Abimanyu hanya diam sembari menundukkan kepalanya. Berperan sebagai putra yang baik. Mendengarkan nasihat orang tua dan tidak menyela. Padahal kenyataannya tentu tidak begitu.
"Alasanmu itu terlalu bodoh. Dipikirkan dulu kalau mau bohongin Ayah. Jangan asal bicara. Tidur di rumah Om Vincen. Om Vincen dan keluarganya ada di acara Ayah kemarin."
"Ayah selalu berharap kamu bisa membagi waktu. Tidak masalah kamu bergaul dengan teman-temanmu itu, tapi tahu waktu! Waktunya pulang ya pulang, jangan menunggu Ayah dan Bunda marah-marah."
"Kamu itu putra pertama! Tahu diri, jaga sikap, tanggung jawabmu berat!"
Sang ayah mengembuskan napas lelah. "Bundamu mau bicara," ucapnya datar. Setelahnya beranjak dari sana. Bergantian dengan sosok perempuan dewasa yang terlihat semakin anggun di setiap pertambahan usianya.
Bunda merangkul pundak putranya. Mengusapnya lembut. Selalu seperti ini saat suaminya baru saja memberi wejangan panjang lebar.
Menghela napas panjang begitu menyadari rambut Abimanyu yang berantakan dengan warna baru. Serta tato di sebelah tangannya yang bertambah banyak. Jauh berbeda dengan yang dilihatnya terakhir kali.
"Ini baru dibuat?" tanyanya sembari mengusap punggung tangan putranya.
Abimanyu mengangguk. "Udah sekitar dua minggu, Bun."
"Bunda juga minta hadiah rambut hitam di hari perayaan pernikahan Ayah dan Bunda kemarin. Kenapa belum dirubah?"
Rasa bersalah itu merambat naik, memenuhi hatinya. Ini yang Abimanyu tidak suka. Ketika melihat sang bunda berucap halus namun ada nada kekecewaan di sana.
"Maaf, Bun." Abimanyu berujar lirih. Bunda tersenyum lembut. Mengusap rambut putranya.
"Nggak ada ucapan selamat untuk perayaan pernikahan Bunda dan Ayah?"
Abimanyu menoleh ke arah sang bunda. Yang juga sedang menatapnya dengan sayang. Ditambah senyuman manisnya yang menenangkan.
"Selamat atas pernikahan Bunda dan Ayah yang sudah berjalan selama ini. Maaf karena lagi-lagi membuat Bunda kecewa," ucapnya tulus. Bunda tersenyum lembut. Menepuk bahu Abimanyu beberapa kali.
"Ayah begitu karena sayang sama kamu. Benar kata Ayah, kamu putra pertama kami. Tanggung jawabmu lebih besar dibanding adikmu. Belajar lagi. Bunda nggak mengharuskan kamu cepat berubah, pelan-pelan aja."
Si lelaki muda mengangguk patuh. Nasihat sang bunda memang lebih banyak yang membekas. Bunda mengucapkannya dengan nada lembut dan penuh kasih sayang. Sangat jauh berbeda dengan pembawaan ayahnya yang tegas dan tajam.
"Ke kamar, mandi. Kamu bau alkohol. Setelah itu istirahat, nanti pagi jangan sampai terlambat ke kampus."
Bunda kembali menepuk bahu putra sulungnya sebelum beranjak dari sana. Membiarkan Abimanyu memikirkan kesalahannya. Tidak terlalu fatal memang. Tapi ini sudah terjadi untuk kesekian kali.
Itu normal, Abimanyu yang baru saja beranjak dewasa. Bergaul dengan orang-orang yang memiliki karakter berbeda. Membuatnya terkadang terlepas terlalu jauh dan membuat kesalahan.
Baik Ayah maupun Bunda tidak ingin membatasi pergaulan si sulung. Karena saat Abimanyu membuat kesalahan dan ada akibat buruk menimpanya, lelaki muda itu akan belajar mengenai hal baru. Begitu seterusnya. Sehingga Abimanyu bisa tumbuh dengan beragam rasa yang membuatnya lebih berpengalaman. Selama itu masih berada di koridor yang benar.
Ayah juga selalu menasihati untuk tetap menjadi laki-laki sejati. Nakal tidak masalah asal jangan bermain perempuan. Itu yang menjadi alasan sampai detik ini, Abimanyu belum memiliki kekasih. Mungkin nanti, saat Tuhan sudah berkehendak untuk mempertemukan dengan perempuan yang sesuai.
***