6. Game

1749 Words
Club malam. Tempat di mana Abimanyu sering kali menghabiskan waktu malamnya. Sekadar untuk berkumpul dengan teman-temannya, menenggak minuman beralkohol sampai mabuk, dengan bonus pemandangan liar yang nampaknya sudah terlalu biasa dalam pandangannya. Dentuman musik yang tidak ramah langsung menyapa telinga begitu ia mendorong pintu berwarna hitam itu. Suasana yang sama, pemandangan yang sama. Panas, liar, dan mengerikan. Abimanyu terus berjalan menuju meja di pinggiran yang sudah penuh dengan gelas-gelas kaca. Mengabaikan bau-bauan yang menyengat, juga para perempuan berpakaian minim dengan segala aktivitasnya. Sudah terlalu biasa membuatnya tidak lagi tertarik dengan hal semacam itu. Tujuannya malam ini hanya satu, berkumpul dengan dua temannya yang secara tiba-tiba mengajaknya bertemu. Entah untuk alasan apa. Padahal Abimanyu sudah berniat untuk menghabiskan malam ini di apartemennya. Memendam diri di kasurnya untuk tidur lebih awal. Baru lima menit menduduki kursi di sisi meja bar, seorang bartender langsung menyuguhkan satu botol kaca berisi minuman kecoklatan lengkap dengan gelas bening berukuran kecil. Whisky. Minuman wajib saat Abimanyu mengunjungi tempat ini. Yang sebenarnya memiliki kadar alkohol lebih tinggi dan membuatnya cepat mabuk. “Thanks, Bro,” ucap Abimanyu yang diiyakan oleh si bartender. Keningnya berkerut begitu satu gelas kecil berhasil ditenggaknya. Merasakan afeksi yang menyapa tenggorokannya. Kembali meletakkan gelas itu dan meraih bungkusan rokok di saku hoodie. Sisa empat dari total isi dua belas batang. Mengerikan. Mungkin jika parunya bisa berbicara, sudah lama Abimanyu mendapatkan protes lantaran asap yang selalu dihisapnya. “b****k juga paru-paru lo.” Yonathan hadir. Mengisi kursi di samping Abimanyu. Merebut satu batang rokok milik Abimanyu dan menyesapnya. “Di rumah lo nggak ada kaca?” celetuk Abimanyu. Yonathan langsung tertawa keras menatap wajah datar Abimanyu. Kalimatnya sarkas, berisi luapan kekesalan. Namun ekspresi wajahnya tidak berubah. “Ngapain Yo?” Yonathan menyesap rokoknya. Mengembuskan napas yang mengeluarkan kepulan asap. “Ngapain lagi. Kita ‘kan nokturnal.” Abimanyu menghela napas malas. “Lo ngapain tiba-tiba ngajakin gue ke sini?” “Bukannya udah biasa ke sini.” “Lo nggak mungkin ngajak tanpa alasan.” Yonathan mengangguk tanda setuju. “Emang punya alasan. Nunggu Dicky sebentar.” Abimanyu mengangguk saja. Tidak ingin menanyakan lebih lanjut. Lebih memilih menikmati whisky juga rokok. Membuatnya melayang, menghilangkan penat, juga beban berat di pundak. Walaupun pada kenyataannya Abimanyu tidak pernah merasa memikul beban berat. Ia hanya menyukai hal semacam ini. Abimanyu masih muda. Sang ayah tidak pernah menuntutnya dalam pergaulan, asal tidak mempermainkan perempuan. Bukan lelaki jika bermain perempuan, itu nasihat yang selalu didengar dari sang ayah. Ia hanya ingin menikmati hidupnya yang seperti ini. Sebelum beban berat itu benar-benar hadir dan harus dipikulnya. Anak sulung dari keluarga Patra. Yang harus bisa melanjutkan apa yang sudah dirintis keluarga. Menjadi teladan untuk adik perempuannya. Itu akan Abimanyu lakukan nanti. Setelah bosan dengan kebahagiaannya sendiri. Lagi pula, Abimanyu tidak mau m*****i kehidupannya di masa depan nanti. Jika ia sudah lulus dan harus mengambil alih pekerjaan sang ayah, ia tidak akan lagi kembali pada kehidupan kelam seperti sekarang. Itu janjinya pada diri sendiri. Abimanyu juga mau menjadi lelaki sejati yang menikahi perempuan yang dicintainya. Hidup bahagia bersama keluarga. Dan juga, ya walaupun Abimanyu memiliki tingkah semacam ini, ia sudah memikirkan akan menjadi sosok ayah yang bisa diteladani oleh anak-anaknya. Seperti apa yang ayahnya lakukan padanya. “Woi mblo,” sapa Dicky. Cengengesan mendapati dua ekspresi yang sama kesalnya. “Lo lupa ngaca sebelum ke sini,” celetuk Yonathan. Kembali menyesap rokok dalam apitan dua jarinya. “Kenapa? Gue ganteng banget malam ini?” “Stres,” umpat Yonathan. Memukul kepala Dicky yang justru menimbulkan gelak tawa. Abimanyu hanya bisa tertawa kecil. Dua temannya memang sudah gila. Dan sialnya, ia harus tergabung dalam perkumpulan orang gila ini. “Dik, buruan!” Abimanyu menghentikan aksi Dicky yang sedang memesan minuman pada seorang bartender perempuan. Sembari melayangkan kalimat-kalimat gombalan murahan. Tentu saja si perempuan tidak tertarik sama sekali. Sudah terlampau biasa mendapati manusia aneh satu itu. “Wes santai dong, Bro. Kenapa lo, buru-buru amat.” Menenggak minumannya santai. Masih sesekali melayangkan kalimat pujian yang ditanggapi dengan tatapan sinis si bartender. “Masih sore,” lanjutnya. Abimanyu langsung mendesis kesal. Sore katanya. Ini bahkan sudah pukul setengah sebelas. Ya walaupun memang masih sore untuk ukuran manusia nokturnal seperti mereka. Tapi tetap saja, Dicky mengulur waktu sampai setengah jam dari jadwal janjian. Dan Abimanyu membenci hal semacam itu. “Gue nggak mau basa-basi. Kalau lo nggak ngomong sekarang. Gue balik.” Dicky sempat melirik Yonathan, meminta persetujuan. Begitu Yonathan mengangguk, Dicky menyunggingkan senyuman miring. Menyembunyikan hal lain yang tidak Abimanyu ketahui. “Kita main,” ucapnya seraya melirik dartboard yang terpasang tidak jauh dari tempat mereka. Abimanyu mengikuti arah pandangan Dicky dan memincangkan mata curiga. Sudah bisa menangkap ada hal lain dari ajakan Dicky malam ini, permainan yang ditawarkan, dan juga tanpa kehadiran Guntur di sini. Sialan! Kenapa Abimanyu baru menyadari hal ini? “Zero-One,” lanjutnya. Menyunggingkan senyuman miring yang nampak menyebalkan dalam pandangan Abimanyu. “Lo mau apa, ngomong yang jelas?” Dicky tertawa renyah. Tanpa perlu berbicara banyak, Abimanyu sudah mampu menangkap maksudnya. Bukankah permainan akan lebih menyenangkan jika ada harga yang harus dibayarkan oleh pihak yang kalah? “Siapa pun yang kalah dalam permainan ini, harus bisa bawa Kanaya ke sini. Ngedrink bareng.” Sialan! Abimanyu mengumpat tanpa sadar, begitu kalimat itu terucap dengan lancarnya. Juga wajah Dicky yang nampak asing dalam pandangannya. Bukan lagi Dicky yang berdiri sebagai sosok teman di sampingnya. Tapi Dicky si musuh menyebalkan yang sedang menyesar titik lemahnya. Refleks tubuhnya, langsung meraih kerah kemeja Dicky dan menariknya kasar. Tatapannya menajam. Juga rahangnya mengeras. Yonathan sampai harus menahan dua temannya agar tidak terjadi baku hantam malam ini. “Abi santai, dia teman lo,” ucap Yonathan. Mencoba menahan emosi Abimanyu yang siap meluap keluar. Jika hal itu tidak ditahannya, Dicky akan berakhir babak belur di tangan temannya sendiri. “Maksud lo apa?” teriak Abimanyu. Emosinya tidak bisa ditahan apalagi diredam. Dicky sempat tersenyum sesaat. “Cuma mau memastikan satu hal,” jawabnya jujur. Melepaskan tangan Abimanyu yang mencengkeramnya kuat. Mengusap lehernya yang sempat tercekik. Abimanyu memang mengerikan jika sudah dikuasai amarah. “Kanaya lain dari yang lain. Dia bukan cewek biasa yang gampang takluk sama cowok. Lo atau gue yang kalah nanti, akan merasa tertantang. Karena hukuman nggak mungkin mudah, Bro. Gimana, deal?” Abimanyu menatap uluran tangan itu untuk beberapa saat. Kepalanya tidak mampu berpikir benar. Yang ada hanya amarah yang terus menyelimuti. Ia atau Dicky yang kalah nanti. Hanya merasa tidak seharusnya menggunakan anak orang sebagai bahan dari permainan mereka. Apalagi Kanaya yang memang bukan perempuan sembarangan. Perempuan itu menjunjung tinggi nilai-nilai yang mulai punah di kalangan anak muda seperti mereka. Sopan santun, menjaga diri, menjunjung tinggi norma. Walaupun Kanaya memang salah satu yang menyebalkan, Abimanyu tidak mungkin bertindak terlalu jauh sampai m*****i si perempuan. Membawa dalam kehidupan malam semacam ini. Ini bukan tempat Kanaya. “Lo keberatan?” tanya Dicky begitu Abimanyu masih mematung di posisinya. Senyumannya kian jelas. “Kanaya bukan cewek gue, bukan cewek lo juga. Kita nggak ada kewajiban buat ngejagain dia. Lagi pula cuma ngedrink, Bro. Masa depannya nggak akan hancur cuma gara-gara minum setenggak.” Dicky masih setia melayangkan kalimatnya. Mengompori agar Abimanyu menyetujui. Dicky tentu tahu, Abimanyu dididik untuk tidak mempermainkan perempuan. Abimanyu juga terlampau cuek pada perempuan-perempuan di luar sana yang mengaguminya. Walaupun ada yang suka rela menemani saat Abimanyu mengunjungi club. Mendapat bonus pelukan sampai ciuman. Ada juga beberapa yang menawarkan sampai hubungan yang terlalu jauh. Tapi Abimanyu selalu tahu batasannya. Tidak sekalipun ia mengiyakan ajakan-ajakan iblis berbentuk manusia itu. Abimanyu yang cuek juga tidak pernah peduli dengan para perempuan yang mabuk bersamanya. Karena mereka yang datang padanya, bukan Abimanyu yang meminta. Maka kehadiran mereka bukanlah tanggung jawabnya. Tidak peduli mabuk semalaman di club, tidak peduli ketiduran di jalan, atau apapun itu. Tapi kali ini, Dicky bisa melihat hal lain dari Abimanyu. Abimanyu memiliki cara pandang yang berbeda pada perempuan yang sering kali menjadi bahan olok-olokannya itu. Abimanyu selalu nampak bahagia saat melihat wajah kesal Kanaya. Bahkan bisa tertawa lebar saat Kanaya menanggapi olok-olokan itu. Sangat jauh berbeda dengan responnya pada perempuan lain. “Lo nggak naksir Kanaya, ‘kan?” Tepat sasaran. Tatapan Abimanyu yang sempat meredup kini kembali menajam. Menyoroti wajah penasaran Dicky yang sedang menunggu jawabannya. Bukan penasaran karena tidak tahu jawabannya. Justru penasaran karena menginginkan pembenaran atas jawaban yang sudah Dicky ketahui. “Udah gue duga sih kalau lo naksir Kan ….” “Deal,” jawab Abimanyu cepat. Menyalami tangan Dicky yang tidak lagi terulur. Dicky dan Yonathan sampai menatap Abimanyu lama. Merasa tidak percaya karena persetujuan itu akan menjadi jawaban pada akhirnya. Dicky mengangguk-angguk di tengah keterkejutannya. Melirik papan dart, menandakan jika keduanya akan segera melakukan permainan ini. Dengan Kanaya sebagai hukumannya. “Lo yakin ini nggak berlebihan, Dik?” tanya Yonathan dengan suara lirihnya. Menatap punggung Abimanyu yang sudah mulai menjauh. Mendekati papan dart di depan sana. “Kita lihat aja nanti. Lo bakalan lihat langsung kalau temen lo itu gengsinya ketinggian.” Abimanyu dan Dicky memulai permainan melempar dart. Kali ini keduanya menggunakan permainan Zero-One. Bukan siapa yang paling cepat mendapat skor dan mengambil pencapaian tertinggi sebagai pemenangnya. Melainkan menggunakan azas first to zero wins. Jadi siapa yang lebih dulu mendapat nilai nol, dia yang akan menjadi pemenangnya. Suara orang mengumpat, mendesis, sampai suara dart yang mengenai papan, menjadi irama dalam permainan tersebut. Senyuman Dicky kian lebar begitu skornya hampir mencapai nilai nol. Yang artinya, ia akan menjadi pemenang. Dan Abimanyu harus membayar atas kekalahannya. Abimanyu mahir dalam permainan ini. Namun nampaknya, takdir sedang tidak memihaknya malam ini. Membuatnya keluar sebagai loser. Si kalah yang harus membawa Kanaya untuk meneguk minuman laknat itu. Rahangnya mengeras, tatapannya sama tajam. Menatap kemenangan Dicky yang terpancar jelas dari sorot matanya. “Bawa Kanaya ke sini dan ajak dia ngedrink. Dua minggu cukup, ‘kan?” tanya Dicky mengejek. Rahang Abimanyu kian mengeras. “Tiga hari juga gue mampu bawa tuh cewek ke sini.” Dicky mengangguk. Senyumannya kian lebar. “Bagus. Gue tunggu.” Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Abimanyu berbalik. Melangkah menjauhi dua temannya yang malam ini menjadi musuhnya. Membawa beban kemarahan yang ditahannya, juga rasa tidak terima karena dalam tiga hari ke depan, ia harus membawa Kanaya ke tempat mengerikan ini. Bukan tempat yang seharusnya Kanaya datangi. Sementara itu, Dicky dan Yonathan hanya tersenyum menatap punggung Abimanyu yang kian menjauh. Kalau saja keduanya hidup dalam dunia kartun, mungkin ada api-api yang menyambar dari tubuh Abimanyu. Lantaran emosi yang meluap, namun tidak mampu disalurkan dengan memukuli orang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD