Pukul tujuh. Waktu yang masih terlalu pagi bagi seorang Abimanyu Patra. Pasalnya, ia sudah memarkirkan mobilnya di parkiran gedung fakultas Ekonomi. Belum berniat turun untuk menuju kelas. Memilih menajamkan pandangannya. Memperhatikan satu manusia yang baru saja turun dari mobil. Memasang senyuman lebar, juga lambaian tangan pada seseorang yang mengantarnya.
Abimanyu tentu masih mengingat kekalahannya melawan Dicky tadi malam. Juga harga yang harus ia bayar. Membawa Kanaya ikut serta dalam kehidupan yang tidak seharusnya didatangi. Abimanyu masih memegang teguh prinsip yang sang ayah turunkan padanya. Tidak untuk mempermainkan perempuan. Tapi Abimanyu juga bukan lelaki yang tidak memegang omongannya. Ia sudah kalah, maka harga itu harus ia bayar.
Berkali-kali memutar otak untuk mengatasi hal semalam. Tanpa mengikutsertakan Kanaya dalam hal ini. Bagaimanapun Kanaya tidak ada hubungannya sama sekali dengan permainannya dan Dicky. Tidak seharusnya Kanaya turut mendapatkan dampak buruknya. Namun sayangnya, Abimanyu buntu. Tidak bisa menemukan jalan keluar atas kebingungannya.
Baru saja menutup pintu mobil, hendak mengejar Kanaya. Namun dua dayang dan si anak itik sudah terlebih dahulu mendekati Kanaya. Menyelaraskan langkah, sesekali saling berbagi cerita. Yang sebenarnya lebih didominasi oleh mulut cerewet Allura dan tawa keras milik Dhia. Ditimpali dengan mulut pedas Virgi. Sedangkan Kanaya hanya bertugas tersenyum tipis, tanpa memperlihatkan gigi. Salah satu cara tersenyum yang sudah diajarkan oleh sesepuh Kanaya.
Jika dilihat dari jarak sekian, persahabatan Kanaya dengan tiga manusia itu terlihat sangat-sangat tidak normal. Berbanding terbalik dengan persahabatan Abimanyu cs yang memang berisi manusia-manusia bengal, sama-sama tidak jelas, namun terlihat sama rata.
Sedangkan Kanaya cs terlihat sangat senjang. Kanaya si lemah lembut yang mencintai kebudayaan, harus tergabung dengan Virgi yang begitu mencintai jurnal-jurnal ilmiah. Manusia paling kuper yang hobi memendam diri dalam kamar. Juga kehadiran Allura dan Dhia yang nampaknya hanya membawa pengaruh buruk untuk Kanaya. Karena dua manusia itu memiliki sikap yang jauh berbeda dengan Kanaya.
Tapi anehnya, persahabatan keempatnya terjalin begitu baik. Walau sering kali Allura dan Dhia terlihat menggerutu, karena perbedaan pendapat dengan Kanaya. Sisanya, hubungan keempatnya baik-baik saja. Tidak ada hal besar yang membuat keempatnya harus memutuskan persahabatan dan berjalan di jalur masing-masing.
Tatapannya kian menajam. Guntur muncul dari lorong kiri. Mendekati empat perempuan yang masih sibuk dengan dunia mereka. Membuat keempatnya berhenti dan berbincang sejenak dengan Allura yang memimpin di barisan paling depan.
Abimanyu tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan. Tapi nampak dari ekspresi wajah, Guntur sedang memohon entah untuk apa. Setelahnya Allura mengangguk. Menyisakan Kanaya dan Guntur, tanpa tiga perempuan lainnya. Karena ketiganya memilih berjalan terlebih dahulu ke kelas. Allura juga sempat berteriak, “jangan sampai lecet, awas lo!” Dengan suara cemprengnya.
Helaan napas lelah. Usahanya pagi ini untuk mendekati Kanaya dan membicarakan hal semalam gagal lantaran kehadiran manusia lain. Abimanyu justru harus menatap pemandangan yang entah bagaimana membuat rasa kesal menghampirinya di waktu sepagi ini.
Setelahnya Abimanyu memilih memutar balik. Tidak lagi mengikuti dua manusia itu ke kelasnya pagi ini. Abimanyu membutuhkan udara segar untuk menetralkan perasaan aneh yang memenuhi dadanya. Dan membuatnya ingin memukuli siapa saja.
***
“Kalah jauh, Bro.”
Abimanyu menoleh. Menghentikan sejenak aksi menatap tajam pada interaksi Kanaya dan Guntur di depan sana. Tatapannya berubah jengah begitu mendapati Dicky yang baru saja menepuk pundaknya, cengengesan, nampak begitu bahagia melihat raut kesal Abimanyu yang nampak jelas. Sedangkan Yonathan di belakangnya tidak banyak berekspresi. Hanya menghela napas panjang.
Sejak permainan dartboard malam itu, Abimanyu selalu mengeluarkan aura mengerikan. Panas jika berada di dekat si lelaki bertato. Abimanyu jadi lebih temperamen, sering kali memasang wajah kesal. Yonathan juga sudah mengajukan banding pada Dicky jika tantangannya tidak jadi dilaksanakan. Bagaimanapun ini berada di luar kebiasaan mereka.
Kanaya tidak tahu apa-apa. Akan menjadi satu kesalahan jika Abimanyu sampai benar-benar menyeret Kanaya untuk menenggak minuman beralkohol. Ya, memang Kanaya bukanlah pacar dari ketiganya. Tapi tetap saja, Kanaya itu perempuan terjaga yang tidak bisa dimanfaatkan seenaknya.
Lalu, Yonathan juga mengkhawatirkan hal lainnya. Mengenai hubungan persahabatan mereka yang mungkin akan sedikit goncang. Jika Kanaya benar-benar datang ke club malam bersama Abimanyu. Ada satu manusia yang sudah terang-terangan mendekati Kanaya. Guntur, si manusia hitam yang sudah lama memanfaatkan Allura untuk pendekatannya dengan Kanaya. Dan saat ini Abimanyu dicurigai sebagai pesaing Guntur dalam memperebutkan Kanaya.
Yonathan sudah menyadari hal itu lama. Jauh sebelum Guntur secara terang-terangan menyukai Kanaya. Sayangnya, Abimanyu yang gengsinya ketinggian itu tidak bisa terang-terangan mengatakan perasaannya pada Kanaya. Justru memilih menggoda si perempuan setiap kali bertemu. Menimbulkan raut kesal dan rasa benci yang kian melambung dalam diri Kanaya.
Berada di posisinya, Yonathan tidak bisa memihak siapa pun. Baik Abimanyu maupun Guntur adalah sahabatnya. Yonathan juga tidak mau jika hubungan persahabatan mereka harus mengalami masalah hanya karena perempuan.
“Udah lewat sehari, lo belum ngomong juga?” tanya Dicky basa-basi. Kelewat basi. Tanpa bertanya pun seharusnya Dicky tahu. Dan pertanyaan demikian membuat Abimanyu merasa kesal. Dicky masih berada di pihak lawan yang seenaknya menertawakannya. Mengeluarkan kalimat meledek yang langsung menyesar pada emosi Abimanyu.
“Baru sehari. Waktu gue tiga hari.”
Dicky mengangguk-angguk. Senyuman mengejek itu masih nampak jelas. “Lo udah kalah start, yakin masih bisa?” tanyanya menyebalkan. Mengarahkan pandangannya pada Kanaya dan Guntur di depan sana. Begitu menyadari emosi Abimanyu yang kian jelas, Dicky menepuk bahunya beberapa kali dan berjalan menjauh.
“Manfaatin waktu yang lo punya. Ingat Abi, jangan emosi,” tambah Yonathan. Mengikuti Dicky keluar dari kelas. Guntur juga melakukan hal yang sama setelah sesi berdadah-dadah ria dengan Kanaya.
Guntur itu lelaki humoris dan mudah bergaul. Memiliki tingkat kepercayaan diri melebihi yang lain, suka tebar pesona, dan playboy tentunya. Bukan hal yang sulit untuk mendekati perempuan mana saja. Jauh berbeda dengannya yang terlampau cuek dengan kaum perempuan.
Tapi ini Kanaya. Yang jelas-jelas tahu tabiat Abimanyu cs termasuk Guntur di dalamnya. Kenapa juga si perempuan bisa mudah bergaul dengan Guntur? Mengobrol sampai tertawa bersama. Walaupun tetap pada kebiasaan Kanaya, tertawa tanpa memperlihatkan giginya.
Tanpa mau menunggu lagi, begitu tiga temannya tidak lagi terlihat, Abimanyu langsung mendekati Kanaya yang sedang sibuk membereskan peralatan kuliahnya. Persetan dengan menghargai perempuan. Ia akan tetap membawa Kanaya bersamanya dan menunjukkan wajah kemenangan di depan Dicky.
“Astaga,” pekik Kanaya begitu Abimanyu menarik sebelah tangannya. Memaksanya agar mengikutinya. Kanaya sempat berontak, tapi tidak mampu melepaskan cekalan Abimanyu. Mau bagaimana lagi, dilihat dari porsi tubuh sudah jelas. Kanaya tidak akan mampu melepaskan cekalan yang mencengkeram pergelangan tangannya.
“Abi ada apa?” tanya Kanaya. Mengikuti langkah tergesa Abimanyu. Meminta penjelasan atas ketidaksopanan si lelaki yang seenaknya membuat jantungnya berdebar kencang lantaran kaget. Juga banyaknya pertanyaan yang belum mampu ia temukan jawabannya.
“Gue perlu ngomong sama lo.” Jawaban yang tidak menjawab pertanyaan dalam kepala Kanaya. Abimanyu terus menariknya ke lorong di lantai tiga. Membawanya masuk ke dalam ruangan kecil di bagian paling pojok. Yang harus Kanaya akui, kalau itu toilet laki-laki.
Sepi. Mungkin karena ini masih masuk waktu perkuliahan. Banyak mahasiswa masih sibuk mengikuti kelas. Kelasnya selesai lima belas menit lebih cepat.
Gerakan yang lebih mengejutkan, Abimanyu mendorong Kanaya sampai kepalanya terbentur tembok. Menarik dua tangan Kanaya agar melingkari lehernya. Kanaya tentu saja berusaha memberontak, namun cengkraman tangan Abimanyu di pinggangnya membuatnya diam. Tidak bisa berkutik. Juga jarak wajah keduanya yang terlampau dekat. Dan yang terakhir, tatapan mematikan milik Abimanyu yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan.
Selama 21 tahun hidupnya, Kanaya tidak pernah berada dalam jarak dekat dengan laki-laki lain. Kecuali Bapak dan Mas Rangga. Dan Abimanyu termasuk satu yang kurang ajar karena berperilaku seenaknya.
“Lo ingat janji lo tempo hari?” Pertanyaan pembuka yang mengerikan. Kanaya bukan anak kecil yang tidak memahami sinyal-sinyal buruk di sekitar. Ditambah tatapan mematikan Abimanyu juga posisi keduanya yang mengerikan.
“Kamu mau apa?” sentak Kanaya kesal. Tidak mungkin mempertahankan posisi semacam ini lebih lama lagi. Kaki Kanaya sudah benar-benar lemas.
Senyuman satu sudut itu nampak lebih mengerikan. Sebelah tangan Abimanyu merambat naik. Memberi usapan lembut di sebelah pipi. Sangat lembut sampai membuat Kanaya merinding.
“Gue mau tagih janji lo sekarang.”
“Kamu mau apa, Abi? Lepasin!” sentak Kanaya lagi. Bergerak mendorong d**a Abimanyu menjauh. Tapi si lelaki tidak bergeser sedikit pun. Kembali tersenyum miring.
“Bilang dulu kalau lo mau nurutin kemauan gue.”
“Apa? Kamu mau apa? Aku nggak mungkin menuruti sesuatu yang merugikan.”
Senyuman Abimanyu kian mengerikan. Lelaki itu bahkan mendekatkan jaraknya, mengembuskan napas dengan sengaja di perpotongan leher Kanaya. “Gue rasa ini menguntungkan untuk lo dan gue.”
Kanaya yang murka langsung mendorong wajah Abimanyu menjauh. Menatapnya nyalang. Tidak terima dengan perlakuan kurang ajar lelaki yang memiliki tato di tangannya itu.
Sial seribu sial. Kanaya tidak pernah menyangka jika mendapatkan pertolongan dari Abimanyu tempo hari sama dengan memasukkannya dalam kenyataan buruk semacam ini.
“Pergi bareng gue besok malam.”
Mata Kanaya kian melotot tajam. “Kamu gila?”
Abimanyu mengangguk-angguk saja. “Terserah lo mau ngatain gue apa. Lo harus mau pergi bareng gue besok malam kalau nggak mau ada gosip beredar di kampus.”
Kanaya semakin kebingungan. Abimanyu bergerak mengacak rambut bagian belakangnya. Juga melepas tiga kancing kemeja teratasnya. Senyumannya nampak berkali-kali lebih mengerikan. Kalau saja Kanaya hapal kata-kata u*****n, mungkin ia akan mengumpat saat ini. Ingatkan Kanaya untuk berguru mengenai jenis-jenis kata u*****n pada Dhia dan Allura.
“Maksud kamu apa?” tanya Kanaya nyaris berteriak. Tidak terima dengan perlakuan Abimanyu yang seenaknya.
“Menurut lo apa yang bakalan orang-orang pikirin kalau lo keluar dari toilet cowok dengan gue yang berpenampilan berantakan begini?” Abimanyu meraih ponselnya dan menatap layarnya sejenak. “Lima menit dari sekarang kelas selesai dan akan ada banyak mahasiswa yang berkeliaran.”
Kanaya tahu ini ancaman. Baik menuruti ajakan Abimanyu atau tidak itu sama-sama merugikan untuk Kanaya. Posisinya terhimpit. Kanaya tidak bisa berbuat apa-apa.
“Jadi gimana, Kanaya?”
Napas Kanaya mulai memburu. Pertanda sedang menahan emosinya. Ia tidak akan mudah kalah dengan lelaki semacam Abimanyu. Kanaya tidak bersalah dalam hal ini. Abimanyu yang memanfaatkan situasi dan posisinya.
“Jangan berharap lebih,” ucap Kanaya tajam. Mengeluarkan tenaga yang ia punya. Mendorongnya menjauh, sembari melayangkan tatapan tajam. Kanaya sempat menghapus air matanya yang menetes. Setelahnya beranjak pergi. Meninggalkan Abimanyu yang masih memasang wajah menantang.
“Oke, kalau itu yang lo mau.”
***