2. Pahlawan Pejuang Wanita dan Dua Dayangnya

1446 Words
"Oh ini yang gangguin bokap gue pagi buta dan ngerampok mobilnya." Tepat setelah Abimanyu menutup pintu mobil suara itu menyahut. Refleks menoleh, mendapati perempuan berponi dengan rambut hitamnya yang menjuntai bebas. Tatapan sinis yang sama, seperti yang selalu didapatkan di hari-hari sebelumnya. Abimanyu tersenyum singkat. Mengangkat sebelah alisnya sok menantang. Sepertinya akan menyenangkan bermain-main sejenak dengan si putri tunggal yang genius ini. Sahabat sejati jurnal-jurnal ilmiah berbahasa asing yang memuakkan. "Ekhem, kenapa? Apa putri kesayangan harus berangkat pakai taksi pagi ini?" Virgi berdecih. Menggeleng beberapa kali sembari menunjukkan raut wajah tidak suka. Lebih ke arah terheran-heran. Ada manusia sejenis Abimanyu di dunia ini. Yang memiliki kadar ketidaksopanan sangat tinggi. Virgi selalu tahu, berurusan dengan Abimanyu bukanlah hal yang baik. Tidak peduli dengan hubungan persahabatan kedua orang tua mereka yang sangat erat. Virgi memang menyayangi orang tua Abimanyu layaknya orang tuanya sendiri. Virgi juga menyukai gadis remaja adik kandung Abimanyu yang menggemaskan. Tapi pengecualian untuk satu makhluk tinggi dengan badan kekar ini. "Heh cupu, gue belum selesai bicara lo main pergi aja," ucap Abimanyu seraya menyelaraskan langkah kakinya. Terkikik geli mendapati wajah kesal Virgi yang berusaha mengabaikannya. "Tumben nih lo nggak mau marah-marah?" Virgi mengangkat bahunya tak acuh. Tanpa menoleh sedikit pun. Malah mempercepat langkahnya untuk menghindari Abimanyu yang masih betah mencari gara-gara. "Pulang nanti tungguin gue," ucapnya lagi. Berhasil mengalihkan fokus Virgi. Si perempuan juga menghentikan langkah cepatnya. Hanya untuk menatap Abimanyu dengan tatapan heran. "Harus?" "Ya. Harus!" "Kenapa? Lo merasa bersalah karena berhasil ngerampok mobil bokap gue pagi buta. Terus sekarang dengan baik hati lo mau nganter gue, gitu?” Abimanyu tertawa pelan dengan gaya meledek. Layaknya Abimanyu yang selalu nampak. Virgi berdecih sebal. Menyesali satu hal, untuk apa merespon kalimat manusia satu ini dengan kalimat panjang. Benar-benar hanya membuang waktu saja. “Gue minta tolong satu hal sama lo, nggak usah sok asik. Karena pada kenyataannya kita nggak seakrab itu.” Virgi berucap tajam. Sepasang matanya melotot dari balik kacamata yang ia kenakan. “Ck, ck, ck Virgi. Ternyata masih sama seperti Virgi yang gue kenal terakhir kali.” Virgi memutar bola matanya malas. “Cepetan! Lo tahu waktu gue terlalu berharga untuk meladeni makhluk nggak jelas kaya lo!” Abimanyu sempat mengangkat dua alisnya sebelum menjawab. "Gue takut aja lo nyasar. Anak ayam kaya lo nggak pantes berkeliaran sendirian di kota besar." Abimanyu berucap santai. Setelahnya menunjukkan senyuman menyebalkan yang justru terlihat begitu manis di mata para mahasiswi. Terbukti, beberapa di antaranya yang tidak sengaja mendapati pemandangan itu memekik heboh dengan pipi bersemu merah. Abimanyu beranjak dari sana, sempat berdadah-dadah ria masih dengan wajah menyebalkan. Menghindari Virgi yang mungkin sebentar lagi akan mengamuk. Terlihat dari wajahnya yang sudah memerah dengan tatapan kesalnya. "Ck, dasar sialan!" umpat si perempuan kesal sembari berjalan pelan ke arah kelasnya. *** "Loh Abi, gue kira lo skip," ujar Yonathan begitu Abimanyu masuk ke dalam perkumpulannya di salah satu meja cafe. Menggeleng cuek, langsung mengambil duduk di sebelah lelaki tinggi itu. "Nggak ada mobil lo di parkiran. Naik apaan?" sahut Guntur seraya memasukkan stik kentang ke mulutnya. Memperhatikan satu temannya yang masih belum berniat masuk dalam pembicaraan. "Ada. Paling pojok deket pohon beringin." "Sumpah! Lo berangkat bareng Virgi?" Abimanyu berdecak sebal. Melirik sekilas ke arah Dicky yang baru saja meletakkan seporsi makanannya. "Mana ada." "Ya kali aja, lo berdua gede bareng, orang tua saling kenal, siapa tahu ‘kan ada rencana perjodohan." Guntur berucap santai yang langsung diangguki setuju oleh Dicky. Membuat Abimanyu menghela napas malas. "Yang kemarin lo minggat jangan-jangan pertunangan lo sama Virgi, ya?" tanya Yonathan semakin menjadi. Abimanyu tidak menanggapi lebih. Enggan meneruskan pembicaraan karena memang tidak penting. Ah bukan. Pembicaraan mereka memang selalu tidak penting lebih tepatnya. Benar adanya, Abimanyu dan Virgi tumbuh bersama. Dididik di lingkungan yang sama baiknya. Hidup berkecukupan, nyaris semua keinginan akan terkabul dengan mudah. Dulu, keduanya bersahabat dekat. Tertular dari hubungan baik pihak orang tua. Hanya saja, setelah menginjak bangku sekolah menengah, Abimanyu mulai bergaul dengan banyak orang lengkap dengan aneka ragam karakternya. Membuatnya memiliki kenyamanannya sendiri. Sedangkan Virgi yang memang putri tunggal, dengan kadar kasih sayang yang terlampau besar dari orang tuanya, merasa kehidupan Abimanyu bukanlah lingkungan yang baik untuknya. Membuat hubungan keduanya merenggang dan semakin menjauh. Lambat laun, seiring pertambahan usia, banyaknya manusia yang datang dan pergi, baik Virgi maupun Abimanyu memutuskan untuk hidup di jalan masing-masing. Bagaimanapun Abimanyu tidak akan bisa mengimbangi kehidupan Virgi yang didominasi oleh buku-buku pengetahuan memuakkan. Begitu juga dengan Virgi yang menganggap kehidupan Abimanyu tidak lebih dari kegiatan tanpa makna, tidak berguna. Yonathan tersenyum meledek begitu mendapati tiga orang yang memasuki cafetaria. Berhenti sejenak dari kegiatannya, hanya untuk bersandar dan mengeluarkan siulannya. Sontak tiga temannya yang lain mengikuti arah pandangan Yonathan. Tertawa pelan begitu mendapati tiga perempuan yang dituju sudah memasang wajah garangnya masing-masing. “Ekhem, ada pahlawan pejuang wanita sama dua dayangnya. Anak itik nggak ikut sekalian,” seru Abimanyu. Memasang wajah super menyebalkan yang minta dicakar. “Kanaya, malam Minggu jalan yuk,” ajak Yonathan saat Kanaya, Allura, dan Dhia sudah menduduki kursi yang tidak begitu jauh dari tempat duduk keempat lelaki ini. Terpaksa. Karena memang sudah tidak ada lagi kursi yang tersisa. “Aduh maaf Yo, aku ada kursus jahit sama pasang konde.” Jawaban yang tidak berasal dari Kanaya. Justru Dicky yang berseru heboh, membuat tiga temannya tertawa. Merasa begitu bahagia menatap perubahan wajah Kanaya yang menjadi cemberut dengan warna kemerahan yang nampak jelas. “Aduh, aduh sakit banget perut gue. Yaya lo bawa jamu kunyit beras kencur nggak?” Kali ini giliran Dicky yang berulah. Memasang wajah kesakitan sembari memegang perutnya. Menimbulkan suara tawa yang lebih menggelegar di area cafetaria. Sebenarnya suara tawa itu hanya berasal dari dua temannya yang lain, Abimanyu dan Yonathan. Sedangkan Guntur hanya tersenyum tipis seraya menggelengkan kepalanya beberapa kali. Benar-benar kelakuan sahabatnya tidak ada akhlak. “Yah nggak bawa, ‘kan kemarin aku ada kursus tari. Mana sempat racik jamu sakit perut.” Kali ini Yonathan yang menimpali. Mengikuti suara halus Kanaya yang khas namun terdengar menjijikan begitu Yonathan dan Dicky yang mengucapkan kalimatnya. Allura yang duduk di hadapan Kanaya hanya mengusap punggung tangan Kanaya. Ini memang bukan yang pertama. Komplotan Abimanyu memang selalu mencari gara-gara tiap kali empat manusia itu mencium keberadaan Kanaya. Kanaya juga awalnya tidak peduli. Tapi lama-kelamaan empat lelaki itu semakin menyebalkan. Membuat tensi darahnya naik dan terasa belum lengkap jika Kanaya belum mengungkapkan kekesalannya. “Please, jangan marah dulu. Nanti yang ada mereka makin bahagia ngeliat umpannya lo tangkap,” ucap Allura dengan wajah meyakinkan. Sementara Dhia sudah berkali-kali menghela napas kesal. Walaupun Kanaya terlampau menyebalkan jika berbicara dengannya, Kanaya tetap sahabat dekatnya. Yang sesekali memberi wejangan bermanfaat untuk keberlangsungan hidup Dhia dan Allura sebagai anak rantau. Tentu saja Dhia dan Allura tidak terima jika Kanaya diledek apalagi oleh empat manusia yang dinilai tidak memiliki masa depan itu. “Udah, Ya. Biarin aja. Anggap aja mereka kumpulan anjing yang minta makan. Makanya berisik terus.” Dhia bersuara keras. Sengaja agar empat lelaki itu mendengar. Dhia selalu tidak suka jika harus sindir menyindir. Lebih baik langsung menyampaikan ketidaksukaannya secara gamblang. Karena tidak semua orang bisa memiliki tingkat kepekaan yang tinggi. Abimanyu cs adalah salah satu contoh nyatanya. “Wah, wah sialan! Kita dikatain anjing sama dayangnya pahlawan pejuang wanita,” sahut Yonathan. Memasang wajah sok marah. “Lo kesel nggak, Abi?” lanjutnya. “Jelas kesel dong. Enaknya kita apain nih, mumpung si anak itik nggak ikut,” sahut Dicky memasang wajah super menyebalkan. Sementara itu Abimanyu hanya menyeringai tipis. Menatap wajah Kanaya yang sedang menahan marah. Jika saja Kanaya adalah sebuah bom, pasti dalam hitungan detik cafetaria akan porak poranda lantaran ledakan amarah. Sedangkan Guntur hanya tersenyum. Para sahabatnya memang menyebalkan. Belum lengkap rasanya jika satu hari saja tidak membuat Kanaya marah-marah. Walaupun perempuan Jawa tulen itu tidak pernah marah sampai meledak-ledak. Tapi tetap saja, wajahnya yang memerah juga cemberut terasa sangat sayang jika dilewatkan begitu saja. Belum lagi celotehan dua sahabat Kanaya yang menambah kesenangan tersendiri. “Udah nggak usah diapa-apain. Kasihan nanti nangis terus mogok deh nggak mau les pasang konde,” ucap Abimanyu santai yang membuat tiga temannya tergelak. Dicky malah sampai memukul meja café. Terlihat sangat menikmati aksi meledek itu. “Marah lo udah sampai ubun-ubun belum, Ya?” tanya Allura halus. Sebelah tangannya sibuk mengusap bahu Kanaya. Agar amarah Kanaya tidak mencuat keluar dan membuat empat manusia itu bahagia. Kanaya mengangguk tanpa kata. Allura dan Dhia saling pandang dan mengangguk bersamaan. Membawa Kanaya pergi dari sana. Menghindari empat manusia menyebalkan yang kalau diladeni akan semakin menyebalkan. Ketiganya memang cenderung menghindari perdebatan. Kecuali jika tidak lagi bisa ditoleransi. Bukan karena takut, hanya saja terlalu malas untuk meladeni keempatnya. Karena bagi Kanaya cs meladeni Abimanyu cs adalah satu hal percuma, buang-buang waktu dan tenaga. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD