"Ini..."
Adrian menyerahkan sebuah buku kepada Madam Lorain, wanita itu sedikit terkejut kenapa buku itu bisa berpindah tangan. Meskipun ia tahu bahwa Adrian adalah Ayah Evelyn.
"Terimakasih tuan." Lorain mengambil buku tersebut, Adrian lalu mengangguk dan berlalu pergi meninggalkan perpustakaan itu. Lorain sempat berpikir, Adrian dan Evelyn sangat jauh berbeda.
Jika gadis cantik dan ceria itu selalu ramah kepada setiap orang, tidak halnya Adrian, Ayahnya itu sedikit, kaku.
Adrian kembali ke rumah, memasuki rumah dan langsung menuju dapur. Pagi ini rumah terdengar sangat sepi, Jason pergi ke sekolah dan Evelyn sama sekali tak bersuara di atas sana.
"Dia tidak mau makan." kata istrinya yang sibuk memasak, Adrian hanya diam. Meskipun begitu, istrinya tahu bahwa Adrian juga berpikir keras tentang Putrinya.
Sebenarnya, istrinya itu sedikit kesal kepada Adrian. Walaupun dia tahu sifat dan karakter Adrian yang terlalu dingin kepada anak-anaknya, setidaknya dia harus bisa bersikap baik sedikit saja kepada Putrinya.
Evelyn masih sangat muda, sudah sewajarnya ia memiliki rasa penasaran apalagi di awal karirnya. Dan Adrian, lagi-lagi tidak tahu bagaimana cara memperlakukan anak gadisnya.
"Kamu mau duduk saja di situ atau bicara dengan anakmu?!" Suara istrinya sedikit meninggi, masih membelakangi Adrian yang duduk di meja makan dengan raut wajah datarnya yang membuat istrinya bertambah kesal.
"Ini semua salahmu Al, tidak seharusnya kamu membiarkan dia keluar dari rumah ini-"
"Dan mengurungnya di sini? Itu maksudmu?" Alexandra memotong kalimat Adrian.
"Demi Tuhan Adrian, bisakah kamu sedikit saja tidak egois? Apapun yang telah terjadi, dulu atau sekarang. Itu sudah terjadi, dan aku ingin sekarang kamu benar-benar bisa memberi pengertian kepadanya!" Bentak Alexandra, setelah itu dia melanjutkan pekerjaannya dan mengabaikan Adrian.
Adrian tertunduk lesu, kakinya kemudian berdiri. Melangkah menuju lantai atas dan berdiri tepat di depan kamar anaknya, hanya berdiri. Ia takut menyakiti perasaan Evelyn karena dia sama sekali tidak bisa menenangkan Putrinya itu.
Tapi, sampai kapan ia harus menyiksa gadis kecilnya itu seperti ini?
Adrian memasukan kunci, memutar kenop pintu dan membukanya perlahan meski ia ragu untuk memasuki kamar itu.
Kamar itu, Adrian sendiri yang memberi dekornya. Dan ketika Eve sudah besar, dia berkata kepadanya bahwa Eve sangat menyukai warnanya. Itu artinya, Evelyn sangat menyukai hasil kerja keras Adrian.
Pintu kembali tertutup, Eve nendengarnya namun ia masih tak bergeming. Raut wajahnya begitu muram dan kesal menatap keluar jendela. Membelakangi Ayahnya, meski Eve tidak menoleh sedikit pun ia tahu bahwa itu Ayahnya. Karena sudah jelas sekali, seseorang yang datang tanpa bicara itu pasti Ayahnya.
Adrian hanya berdiri di depan pintu, sudah ia duga Evelyn tidak akan menghiraukannya. Dia dan Evelyn tidak pernah akur, gadis itu lebih dekat dengan Ibunya dari pada dengannya. Karena Adrian sadari, dirinya sama sekali tidak seramah istrinya, Alexandra.
"Mau mendengar sebuah dongeng?" Tawar Adrian sambil menaruh kunci kamar Evelyn di meja dan duduk di kursi belajar Evelyn.
Meskipun hati Evelyn tergerak untuk mendengarnya, ia masih kesal dengan Ayahnya yang telah melarang pekerjaannya, meskipun ia tahu pekerjaannya itu sangat berbahaya.
"Aku sama sekali tidak tertarik." balasnya ketus.
"Hm... dari pada membaca sebuah buku tebal, lebih baik kamu mendengarkan sebuah cerita." ujar Adrian.
Evelyn berbalik badan, melihat Ayahnya duduk tak jauh darinya. Kalimat Ayahnya barusan, apa dongeng itu berhubungan dengan apa yang dicarinya selama ini?
"Daddy mau menceritakannya?" Tanya Evelyn tertarik.
Adrian mengangguk, "tentu, tapi kamu harus berjanji satu hal."
"Aku berjanji." balas Evelyn mantab, meskipun Adrian sama sekali belum mengeluarkan isi dari perjanjian yang ditawarkan. Namun Evelyn berjanji, ketika ia selesai dengan ini semua, ia akan menepati janjinya tentu saja.
"Setelah kamu mengulas berita ini, berjanjilah kamu akan menjauhi Adam Rig!" Tukas Adrian, Evelyn mengernyitkan dahi. Ia pikir, Ayahnya itu akan menyuruhnya pulang ke rumah dan meninggalkan pekerjaan. Tapi, permintaan Ayahnya itu hanya satu. Yaitu, menjauhi pria itu.
"Daddy tidak akan menyuruhmu pulang jika itu yang kamu pikirkan." ucap Adrian, Evelyn menunduk, Ayahnya seperti selalu bisa membaca pikirannya.
"Daddy tahu kamu sangat mencintai pekerjaanmu, Daddy hanya khawatir pada pria itu. Jadi, maukah kamu berjanji untuk Daddy?" Tanya Adrian sekali lagi.
Evelyn berpikir sejenak, setelah ia mendengar cerita ini. Ia akan meliput berita kota ini sekaligus berita Adam Rig, mengucapkan salam perpisahan pada Adam karena telah banyak membantunya. Dan setelah semuanya selesai, ia akan kembali ke rumah.
"Ya Daddy, aku berjanji." ujar Evelyn.
"Gadis pintar." Adrian menyeringai.
Evelyn lalu berpindah duduk di kasur, mendengarkan sebuah cerita seperti ia sedang mendengarkan Ayahnya mendongeng kala tidur. Tanpa alat tulis atau catatan apapun, Evelyn mendengarkan dengan seksama.
Raut wajahnya terkesima, ia pasti akan mengingat setiap kejadian yang diceritakan oleh Ayahnya ini. Maka dari itu, dia sama sekali tidak perlu sebuah catatan. Karena ini ternyata adalah berita penting yang akan selalu ia ingat sampai kapanpun.
Sementara itu, di balik pintu.
Alexandra melihat Adrian dan Evelyn terlihat akur di dalam sana. Dan pada akhirnya, Adrian menceritakan segalanya kepada Evelyn. Semua yang telah terjadi pada Alexandra dan juga Adrian sampai pernikahan dan memiliki dua orang anak.
Alexandra dapat melihat raut wajah Eve, wajahnya kadang berubah sedih mendengar pengorbanan Ibunya ketika Eve masih berada di kandungan Ibunya. Dan terkadang raut wajah itu berubah merona merah mendengar kisah cinta Ayah dan Ibunya.
Evelyn terlihat menyesal dan juga sedih. Alexandra yakin, dengan begini, akan membuat semua orang yang ada di rumah ini mengerti dan paham. Apa saja yang boleh di lakukan dan mana yang tidak boleh di lakukan.
Seharusnya, ia dan Adrian mengatakan kebenaran ini dari dulu. Agar Evelyn mengerti apa yang terjadi kepada keluarga mereka, mengapa mereka tidak boleh terlalu banyak berkomunikasi dengan orang lain. Mengapa mereka tidak memiliki Kakek dan Nenek seperti teman-temannya.
Dan mengapa, mereka sama sekali tidak memiliki sanak keluarga selain Uncle Roy dan Bibi Rose.
Alexandra sadar, menyembunyikan sesuatu dari anak-anak mereka adalah sebuah kesalahan besar.
Kesalahan yang mengantarkan Evelyn kepada Adam Rig.
Karena kehidupan mereka, tidak senormal orang-orang pada umumnya.
Banyak yang harus dihindari meskipun Adrian telah memusnahkan sebagian Psikopat yang ada di dalam komunitas itu. Dan kenyatannya benar, yang selama ini ia khawatirkan. Semua orang tidak benar-benar mati, menyisakan satu anak lelaki yang sayangnya adalah seorang kanibal.
Adam Rig....
Alexandra berharap Evelyn tidak lagi berurusan dengan pria seperti itu, seperti dirinya dulu dengan Adrian.