The Man 10

988 Words
Hari ini Evelyn melanjutkan bacaannya, hampir setengah buku ia baca dan sama sekali tidak mengurangi rasa penasarannya. Evelyn beralih ke lembar di mana semua daftar orang hilang selama beberapa tahun yang lalu tercantum di sana, hampir semuanya seorang gadis, tidak ada gambar, hanya nama. Nama lengkap dan asal kota. Tapi anehnya, semua kasus penculikan itu berakhir di kota ini. Gadis-gadis yang diculik berasal dari luar kota dan berakhir ditemukan di kota ini, dalam keadaan hidup atau pun mati. Dan ada juga beberapa yang sama sekali tidak pernah ditemukan. Evelyn sudah menduga, ini semua pasti ulah organisasi itu. Pembunuhan, penculikan, perdagangan daging dan organ manusia. Itu semua saling berhubungan dengan kasus penculikan ini, hanya saja, tidak ada yang berani mengulik berita ini. Dan semua potongan teka-teki kota ini hampir berhasil Evelyn tebak, mungkin ada sebagian peristiwa yang belum ia ketahui, dan mungkin, itu dapat menghubungkannya dengan orang tuanya. Hingga, ia sampai pada bab yang menerangkan tentang pertunjukan pembunuhan. Dan inilah yang Evelyn tunggu-tunggu, pertunjukan tersebut dilakukan oleh golongan elit. Penculikan korban dilakukan oleh orang-orang pilihan, setelah itu korban akan dikurung di sebuah box kaca sebagai pertunjukan. Dan orang-orang akan membayar mahal demi melihat sebuah seni dalam membunuh. Evelyn menghela nafas kasar, benar apa yang dikatakan oleh Adam Rig. Semua hal ada seninya, dan hanya orang-orang yang tidak normal yang menganggapnya sebuah seni. Seni bertarung, seni memasak, bahkan seks juga memiliki nilai seni. Dan kini ia sadar, membunuh juga memiliki nilai seni... Evelyn kembali membaca, bahwa ada sebuah kasus di malam hari pada pertunjukan gila itu. Yang seketika menghancurkan golongan elit tersebut, seorang wanita yang tengah hamil besar. Berhasil membunuh eksekutor yang ditugaskan untuk melakukan pertunjukan dan membunuh wanita itu. Tapi, sesuatu yang hebat pada malam hari itu terjadi. Bahkan membunuh sang pemilik bisnis keji itu, wanita hamil tersebut memenggal kepala sang iblis... "Wanita hamil?" Evelyn berbisik. "Wanita hamil?" Ulangnya lagi sambil berpikir keras. "Wanita hamil dan itu adalah tahun kelahiranku." Evelyn lalu buru-buru kembali ke lembaran sebelumnya, kedua matanya mencari sebuah nama di deretan nama orang-orang hilang. Sampai pada akhirnya, dugaannya benar. "Alexandra...." bisik Evelyn. Kedua matanya berkaca-kaca, pandangannya kosong menatap tembok yang juga kosong. Jantungnya berdetak kencang, dugaannya selama ini benar. Dan bodohnya selama 25 tahun terakhir ini tidak menyadarinya, dan Adam Rig, sengaja menuntunnya kembali ke rumah, ke orang tuanya. Yang ternyata lebih paham atas semua kejadian ini. "Mom...." Evelyn berlari ke rumahnya, membawa serta buku di tangan kanannya meski ia tahu itu sangat berat. Hari ini, ia harus berbicara pada Ibunya. Ia harus memaksa wanita itu menceritakan segalanya. Meskipun begitu, ia harus tetap menghindari Ayahnya. Mungkin dengan sedikit bantuan dari Jason. "Bisakah kau ajak Daddy keluar?" Tanya Eve mengendap di balik tanaman. "Kenapa?" Tanya Jason. "Lakukan saja! Aku perlu bicara dengan Mom." titah Eve. "Baiklah." Jason lalu menaruh selang air yang ia gunakan menyiram bunga lalu mematikan kerannya. Bersiul ria sambil memasuki rumah. Eve menunggu cukup lama sambil melirik jam tangan, bersembunyi di sana agar Ayahnya tak melihat. Cukup lama Eve menunggu, dan ia dapat bernafas lega karena Jason berhasil membujuk Ayahnya keluar dari rumah. Walaupun ia sedikit curiga, karena tak biasanya Ayahnya itu terlalu mudah untuk dikelabui. Ketika Jason dan Ayahnya pergi mengendarai mobil dari rumah itu, Evelyn memasuki rumah lagi-lagi mengendap seperti maling. Setelah memastikan kendaraan itu benar-benar menghilang dari pandangannya. Ia membuka pintu, mencari Ibunya yang sudah ia duga selalu berada di dapur. Ibunya itu, sangat suka memasak. "Mom..." panggil Eve, wanita itu berbalik. Awalnya sedikit terkejut dengan kedatangan Evelyn yang tiba-tiba, tapi akhirnya dia memeluk putrinya yang sudah lama ia rindukan. "Kau selalu seperti itu Eve, maafkan Daddymu yang bersikap sedikit kasar malam itu. Kamu tahu dia seperti apa kan?" Ujar Ibunya, wanita itu masih sangat cantik dan lembut. Evelyn begitu mengagumi kelembutan dan keramahan Ibunya itu. "Tidak apa Mom, sepertinya aku terlalu ingin cepat meliput berita ini." balas Eve, berkata soal berita, Ibunya kembali merubah raut wajahnya menjadi khawatir. Evelyn membahas hal itu lagi, "Mom... kumohon..." pinta Evelyn dengan wajah memelas seraya memegang kedua tangan Ibunya, karena ia tahu. Ibunya akan selalu mengabulkan apapun permintaan anak-anaknya. "Eve... kamu sudah terlalu jauh, Daddy akan marah." tukas Ibunya. "Daddy tidak akan tahu-" "APA YANG TIDAK AKAN DADDY TAHU?!" Seketika Evelyn melepas jemari Ibunya dan berbalik ketika mendengar suara besar namun dengan nada datar di belakangnya. Adrian datang bersama Jason, adiknya itu memasang wajah takut menatap Evelyn di balik tubuh besar Ayahnya. Seolah berkata 'maaf' kepada Evelyn. Sementara gadis itu, hanya terdiam di tempatnya berdiri saat ini. Ibunya sendiri tidak tahu harus berbuat apa, jika Adrian sudah berkata 'tidak', itu artinya benar-benar 'tidak'. Dan seharusnya Evelyn sudah menduganya, bahwa Ayahnya itu tidak semudah itu diperdaya. Dan Evelyn sangat menyesal telah membawa Jason ikut serta dalam keadaan yang menegangkan ini. Ini semua salahnya, dan sekarang Jason dan mungkin juga Ibunya akan terkena amukan Ayahnya. "Evelyna Hunter, mulai saat ini kamu dilarang kembali ke pekerjaanmu!" Ujar Adrian, Evelyn menggelengkan kepala. Baru saja ia ingin meminta pertolongan Ibunya, Adrian lalu menarik lengan Evelyn. Ibunya dan Jason tidak dapat berbuat apapun meski mereka khawatir dengan Evelyn. Adrian terus menarik Evelyn ke lantai atas menuju kamarnya, sudah terlalu lama ia membiarkan anak gadisnya itu pergi terlalu jauh. Dan seharusnya, ia tak membiarkan Evelyn mengambil pekerjaan itu. Sementara Evelyn mulai menangis dan merengek kepada Ayahnya, terakhir kali Ayahnya mengurungnya di kamar, sewaktu ia masih sangat kecil karena telah berani memasuki hutan seorang diri. "Kumohon Daddy..." rengek Eve yang menangis. "Kamu tidak lagi boleh keluar dari kamar!" Cecar Adrian seraya menunjuk wajah Evelyn. "Kenapa? Apa yang selama ini Dad dan Mom sembunyikan? Apa yang terjadi? Apa Daddy takut untuk memberitahu kejadian yang sebenarnya?!!" Evelyn balas mencerca, ini kali pertama ia berani menentang perkataan Ayahnya. Baru saja Adrian ingin melangkah keluar dari pintu kamar Eve, ia berbalik kearah Evelyn dengan pandangan tajam. "Percayalah, kamu tidak ingin tahu Eve!" Desis Adrian. Brak!!! Setelah itu, pintu kamar terkunci dari luar. Evelyn tertunduk lesu, ia bahkan menjatuhkan buku perpustakaan yang harusnya ia kembalikan esok hari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD