The Man 6

1048 Words
Tok... tok... tok... Evelyn mengetuk pintu, rumah itu masih sama. Masih berdiri kokoh meski sudah puluhan tahun, arsitektur dan warna catnya pun masih sama, tidak ada yang berubah sama sekali termasuk taman dengan penuh bunga kesukaan Ibunya. Mawar merah... Evelyn mengetuk beberapa kali, namun tak kunjung ada jawaban. Ia mengintip melalui jendela, di dalam sana gelap. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali, memang ini sudah larut. Seharusnya Evelyn tidak mengganggu waktu istirahat keluarganya selarut ini, jika bukan karena rasa penasarannya akan kasus Adam Rig, ia mungkin tidak akan repot-repot pergi jauh-jauh kembali ke kota kelahirannya ini. Beberapa bulan pergi tanpa kabar, kini ia kembali hanya karena urusan pekerjaan. Ayahnya pasti tidak suka ini, pria itu tidak pernah menyukai pekerjaan Evelyn yang harus berpergian jauh dari rumah. Evelyn bahkan tidak yakin Ayahnya mau memberinya informasi, tapi, jika tidak dilakukan ia tidak akan tahu. Cekle.... Pintu terbuka dengan sendirinya, ternyata sedari tadi tidak terkunci. Perlahan Evelyn memasuki rumah, gelap dan dingin. Ia kemudian menyalakan saklar lampu dan kembali menutup pintu. Suaranya menyerukan panggilan Ayah dan Ibu, tapi kembali tak ada sahutan dari dalam sana. Evelyn berkeliling, ruang keluarga dan akhirnya menaiki lantai atas. Ia menengok kamar Ibunya, terbuka dan tak biasanya kamar itu terbuka. Tidak ada seorangpun di sana, ia menghela nafas kasar lalu beralih ke kamar Jason adiknya. Tidak ada seorang pun, ia mendesah resah. Kemana semua orang di malam yang sudah larut seperti ini? Saat ia hendak menuruni tangga, Evelyn sempat melirik kamarnya sendiri. Kamar itu masih sama, masih dengan dekorasi yang lama dan tak sedikit pun berubah semenjak kepergiannya. Paduan warna hitam dan putih, meski hitam lebih mendominasi karena itu adalah warna kesukaan Ibunya. Terdapat banyak gambar kelelawar seperti halloween, seolah Evelyn sedang merayakan Halloween setiap hari. Evelyn menyunggingkan senyum, lalu kembali turun ke lantai satu berniat mengisi kerongkongannya yang terasa kering. Dapur itu terlihat gelap, Evelyn lalu menyalakan lampu, dan betapa terkejutnya dia.. Evelyn hampir berteriak kencang, ia seperti melihat hantu yang duduk di kursi dengan santainya. Melihatnya juga namun dengan pandangan datar dan tanpa ekspresi. "Jadi dari tadi di situ?" Tanya Evelyn, Adrian hanya mengangguk menyeruput kopinya. Ayahnya itu, tidak pernah berubah. Masih seperti itu, tidak banyak bicara. Wajahnya pun tak banyak berubah, hanya beberapa kerutan kecil yang sedikit menghalangi ketampanannya. "Dimana Mom dan Jason?" Tanya Eve masih berdiri. "Pergi ke rumah Uncle Roy, sedang merayakan ulang tahun Bibi Rose." jawab Adrian, Evelyn mengangguk. Tidak heran jika ia berteriak memanggil Ayah dan Ibunya, tapi ternyata Ayahnya sedari tadi duduk di dapur seorang diri. Itu sudah jadi ciri khas Ayahnya dan Evelyn tidak terkejut akan hal itu. Evelyn menaruh tasnya di meja, mengambil air mineral dari dalam kulkas lalu duduk berseberangan dengan Ayahnya. "Hah..." ia menegak cukup banyak air, perjalanannya yang memakan waktu beberapa menit dan semenjak kali terakhir ia bertemu dengan Adam Rig, Evelyn sama sekali tidak menegak apapun. Melihat hal itu, Adrian berniat membuatkan makan malam untuk Evelyn. Meskipun ia tahu ini sudah terlalu larut untuk makan malam. Dengan sigap, Adrian membuatkan telur dadar. "Datang kemari untuk urusan pekerjaan?" Tanya Adrian. "Ya" jawab Evelyn singkat, tak lama kemudian. Hidangan sederhana yang menggugah selera makannya tertata rapi di meja. Beserta coklat hangat kesukaan Evelyn. Ayahnya dulu sering membuatkannya coklat hangat, bahkan sampai Evelyn dewasa sekalipun. Tanpa menunggu waktu lama, Evelyn memakannya, ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali makanan masuk ke tenggorokannya. Adrian kembali duduk di depan Evelyn melihat gadis itu menghabiskan makanannya. "Menginap di sini hingga meliput besok pagi?" Tanya Adrian. "Ya, jika kau mengijinkan. Eh, tapi aku di sini bukan untuk meliput." ujar Evelyn, dengan mulut penuh makanan. "Lalu?" "Justru aku ingin mewawancarai Daddy..." balas Eve. "Tentang?" "Ledakan 25 tahun yang lalu." kata Eve. Setelah itu suasana menjadi hening, Adrian tidak lagi bertanya dan karena itu Evelyn menjadi salah tingkah. Apa ia salah bicara? Evelyn hanya melanjutkan kembali makannya di saat Ayahnya berusaha menelisik sesuatu dari dirinya. Terlihat sekali tatapan itu, sama seperti tatapan ketika Eve masih sangat kecil dan ia berbohong kepada Ayahnya. Dan Evelyn tahu, Ayahnya tidak suka jika ia berbohong. "Kasus apa yang kau liput Eve?" Tanya Adrian, saat beberapa lama tidak bersuara. Evelyn menghembuskan nafas kasar, menghabiskan s**u cokelatnya dan kini piring dan gelas itu benar-benar kosong sekarang. "Hm... aku meliput kasus Adam Rig." tukas Evelyn, dia tahu dia tidak dapat berbohong kepada Ayahnya itu. Ayahnya pasti akan tahu cepat atau lambat, jadi, tidak ada gunanya menyembunyikan hal itu dari Ayahnya. "Tidak bisakah kau meliput laporan cuaca setiap pagi Eve? Daddy lihat kau bagus dengan hal itu." Evelyn menghembuskan nafas kasar, seharusnya ia sudah tahu. Ayahnya tidak akan pernah mendukung apapun keputusannya. Termasuk dalam pekerjaan, ia memang memiliki banyak kesamaan dengan Ayahnya. Tapi, pria itu sama sekali tidak mendukung pekerjaan Evelyn. Semenjak, Evelyn memutuskan untuk mengambil pekerjaan sebagai jurnalis, dari situlah ia selalu bertengkar dengan Ayahnya. Dan berakhir dengan Ibunya yang selalu menengahi pertengkaran. Sementara Jason, tidak berani ikut campur karena tidak berani menentang Ayahnya. "Kau tidak pernah mendukungku bukan?" Tanya Evelyn, wajahnya terlihat sedih meski gadis itu berusaha tegar. Kedua matanya berkaca mengingat pertengkarannya dan Ayahnya beberapa bulan lalu ketika ia meninggalkan rumah. Adrian terdiam beberapa saat, ketika Evelyn menatapnya menunggu jawaban. "Tidak." Jawab Adrian singkat. Evelyn mengangguk, dengan wajah lesu. Ia lalu mengambil tasnya dan berlalu pergi. "Maaf mengganggumu semalam ini, terimakasih untuk makan malamnya. Dan sampaikan salamku untuk Mom, sepertinya aku tidak bisa menginap malam ini." ujar Evelyn hingga pada akhirnya, ia meninggalkan rumah itu. Saat Evelyn keluar dari rumah itu, air matanya menetes. Dan ia tidak menyangka, Ibu dan Jason akhirnya pulang meskipun begitu, ia tidak ingin tinggal lebih lama di rumah itu. "Eve, apa itu kau? Mengapa tak memberi kabar kepada Mom? Apa kau di sini untuk liputanmu? Dan apa yang terjadi padamu?" Tanya Ibunya dengan pertanyaan beruntun setelah melihat wajah sedih Evelyn, sementara pria di belakang Ibunya hanya nenatapnya datar. Evelyn bilang sekarang dia sangat buru-buru, ia hanya memeluk Ibunya sebentar lalu pergi begitu saja. Ibunya melihat sesuatu yang tidak beres dengan Putrinya itu, "Jason, ikuti Evelyn!" Katanya, Jason menurut lalu mengikuti Kakaknya itu. Sementara itu, wanita itu memasuki rumah dan mencari suaminya. "Apa yang terjadi?" Tanyanya saat melihat Adrian yang masih duduk di dapur. Ia sudah menduga, karena Adrian sama sekali tidak bisa akur dengan Putrinya sendiri meski mereka memiliki banyak kesamaan. "Kamu pasti tidak akan percaya jika kuberitahu." balas Adrian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD