Bab 14

2722 Words
GRACE  -- Tammy sedang menggeliat di bawah kakiku sembari menjilati sisa makanannya di bawah sana. Melalui kaca jendela kamarku, aku melihat langit cerah mengantung di luar sana. Lalu lintas terlihat lebih renggang. Aku menatap ke bangunan dua lantai tepat dimana Jane Foster tinggal. Ketika aku melihatnya berjalan melintasi dapur, aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku. Kali ini aku melihat Raul sedang bersandar di tepian mejanya. Satu tangannya menggenggam sebuah cangkir yang ia sodorkan ke mulutnya. Kopi, pikirku. Kemudian – jenis kopi apa? Aku mulai menebak-nebak. Disisi lain Jane masih berdiri di sana, dan aku melangkah mundur, menjauh dari kaca jendela kemudian berpaling pada layar komputer di atas mejaku. Tiga pesan muncul begitu aku masuk ke halaman terapi online-ku. Satu diantaranya dari pasienku bernama Lidya, dua yang lain adalah pesan dari Abby.   Dia memukulku semalam.. Aku tidak tahu mengapa aku masih tetap menginginkannya.   Aku membaca pesan itu dengan cepat. Diam-diam aku merasakan irama jantungku berdentam kuat.   Hai Abby. Itu terdengar sangat buruk. Apa kau akan menceritakannya padaku?   Ya, hanya jika kau berjanji tidak akan mengatakannya pada siapapun.   Tentu saja tidak.   Dia menggunakan tongkat golf ketika memukulku. Lukanya di belakang punggungku.   Apa yang terjadi? Bisa kau jelaskan dari awal?   Ya, awalnya kami hanya bertemu. Lalu kami minum dan dia mabuk. Dia mulai menggila dan mengatakan hal-hal kasar. Aku mengatakan kecurigaanku bahwa dia melakukan hal yang sama pada temanku. Kemudian dia menjadi marah, dan.. aku juga marah. Aku tidak tahu, dia mabuk. Yang kutahu, ada tongkat itu di tangannya, kemudian dia menggunakannya untuk memukulku. Awalnya di tanganku, kemudian di punggungku.   Apa saja yang dia katakan?   Itu hanya kata-kata kasar, bodoh.   Apa yang kau ingat?   Dia menatapku saat melakukannya. Wajahnya mengerikan, aku tidak pernah melihatnya semarah itu.   Apa dia menyadarinya?   Tidak, aku meninggalkannya sendirian. Aku merasa sangat buruk. Aku tidak tahu, mungkin aku hanya kebingungan.   Dia tidak seharusnya memukulmu, bukan begitu?   Dia mabuk. Dia tidak akan melakukan itu jika tidak.   Bagaimana kau tahu?   Entahlah.   Apa kau akan memberitahu sesuatu tentangnya padaku?   Dia tinggal di Stratford tidak cukup jauh dariku.   Aku tinggal di sana juga.   Oh ya? Bagaimana aku bisa menemuimu?   Maaf, tapi aku tidak menemui pasienku. Itu pekerjaanku.   Oke, itu sebuah kebetulan yang menarik bukan.   Apa dia pernah mengajakmu ke tempatnya?   Tidak, dia selalu menyewa penginapan. Terkadang di tempat tersembunyi. Selalu tempat yang berbeda.   Menurutmu mengapa dia melakukannya?   Aku tidak tahu..   Mungkin dia menyembunyikan sesuatu darimu?   Dia tidak bilang begitu.   Semua orang melakukannya..   Kupikir begitu.   Jadi apa yang akan kau lakukan setelah ini?   Aku tidak tahu, tapi perlu mengakui sesuatu padamu.. aku rasa aku sudah tergila-gila padanya hingga aku tidak bisa menolong diriku sendiri..     Itu gila. Aku pernah mencintai Ben seperti itu – kurasa aku masih mencintainya seperti itu sekarang. Tidak ada yang benar-benar berubah kecuali karena kepergian Liz. Itu adalah awal dari kehancuran hubungan kami. Aku masih mengingat beberapa kata yang disampaikan Ben malam itu: bahwa dia tidak menginginkan semua ini terjadi, bahwa semua itu adalah kesalahanku. Dia menyudutkanku dan mengayunkan tongkat golf itu ke arahku ketika dia mulai marah. Aku sempat terpikir untuk menghubungi polisi, tapi aku tidak cukup berani karena terus membayangkan apa yang selanjutnya akan terjadi? Kemudian segalanya menjadi semakin buruk. Abby mengalami hal yang sama sekarang. Dia mungkin tidak menyadari dimana posisinya saat ini. Pria itu membutakannya dan Abby menolak untuk meninggalkannya. Aku merasakan dorongan kuat untuk menolongnya. Dulu ketika aku masih seusianya, aku melakukan hal-hal bodoh yang kusesali hingga saat ini. Aku pernah mencintai seorang pemandu tur-ku dan kami berbagi ranjang untuk beberapa malam. Aku telah menaruh harapanku padanya, dan aku suka membayangkan dia membawaku pergi meninggalkan kota ini dan pergi ke London, atau Chicago, tempat dimana ia dilahirkan. Kemudian dia meninggalkanku dengan mengatakan bahwa ia telah memiliki seorang istri dan bayi perempuan yang tidak mungkin dia tinggalkan. Dan aku marah besar, kecewa. Aku tidak bisa menolong diriku sendiri saat itu, sampai akhirnya aku bertemu Ben dan semuanya berubah. Waktu akan berlalu sangat lambat dalam penyesalan. Aku harap Abby tidak mengalami hal yang sama sepertiku. Ada sesuatu tentangnya yang membuatku merasa tertarik. Aku suka mengingat diriku saat seusia Abby. Kehidupan yang kujalani benar-benar berbeda dari yang sekarang dan untuk satu alasan yang tidak kupahami, aku merindukan masa-masa itu. Abby mungkin hanyalah satu dari serangkaian pasienku, tapi aku merasakan suatu ikatan yang mendorongku untuk mengenalnya lebih jauh. Seperti apa kehidupannya? Apa yang diinginkannya dan mengapa dia merasa membutuhkan seorang psikolog untuk membantunya? Sesuatu telah mengocok seisi perutku. Mungkin karena alkohol yang kuminum pagi ini, atau tadi malam – aku tidak ingat. Ketika aku baru saja memuntahkan seisi perutku di dalam kloset, aku mendengar suara gerendel pintu dibuka. Alarm dari depan berbunyi namun hanya sesaat sebelum suara derap langkah seseorang yang menuruni tangga besi terdengar. Sean, pikirku. Aku berniat untuk mengurung diri lebih lama di dalam kamar, tapi aroma bacon dari arah dapur mengundangku keluar. Ketika aku mencapai ruang tengah, seisi ruangan itu terlihat gelap. Tidak ada cahaya yang masuk melalui jendela, semua tirai-tirainya di tutup. Api di perapian menyala kecil. Televisinya padam dan Tammy tampak sedang tertidur nyaman di atas sofa. Aku melihat sisa botol bir di atas meja kemudian bergerak ke arah dapur. Dari arah lorong aku menatap ke arah punggung Sean. Laki-laki itu sedang menuang alkohol ke dalam gelasnya dan menyesapnya dengan cepat. Ketika aku hendak berbalik pergi, laki-laki itu menghentikanku dengan berkata. “Kau mau minum dan mengobrol?” Aku menatapnya, tapi laki-laki itu masih memunggungiku. “Aku tidak punya kegiatan khusus hari ini. Bagaimana denganmu? Kupikir tidak ada yang kau lakukan.” “Aku bekerja.” Sean mendengus. Ia memutar tubuhnya dan memperlihatkan sederet giginya yang tidak rata, namun laki-laki itu memiliki senyuman khas Tom Cruise yang mampu membuat semua wanita meleleh – semua wanita kecuali aku. Tiba-tiba aku penasaran berapa banyak wanita yang sudah ditidurinya? “Aku melihatmu berkeliling sepanjang pagi dan petang, kemudian berdiri di belakang jendelamu ketika malam, dan melakukan hal yang sama di hari berikutnya. Apa kau sedang berusaha menghiburku? Akui saja, kau tidak memiliki pekerjaan tetap.” “Kau salah. Aku bekerja secara online.” “Benarkah?” Sean menarik kursi kayu dan duduk di atas sana. Ia meletakkan gelasnya di atas meja kemudian melambai ke arah kursi kosong di seberang. Semburat keemasan dari lampu di dapur membanjiri wajahnya, membuatnya terlihat seperti cahaya remang-remang di sana. Kemudian yang mengejutkanku, aku terdorong untuk duduk di sana, bertatapan dengannya dan menerima pemberian anggurnya. Ketika aku menyesap anggur itu, rasanya aneh di lidahku. Aku tidak pernah menyesap anggur merah jenis itu, tapi Sean menyukainya. “Kau berdagang secara online, mengajar di sekolah privat online atau..?” “Aku membuka terapi online.” “Kau psikiater?” “Ahli psikologi. Dulunya. Aku bekerja di rumah sakit selama beberapa tahun.” Kedua alisnya terangkat. “Kenapa kau berhenti?” Aku hendak mengatakan bahwa izin praktikku dicabut karena masalah psikologisku, tapi aku memutuskan untuk berbohong. “Aku hanya merasa tidak menjadi profesional lagi.” Laki-laki itu mendengus. Aku memerhatikan ketika ia mendekatkan tepi gelas itu ke bibirnya dan menyesap minumannya dari sana. “Aku tidak mengerti, apa maksudmu?” “Hanya masalah kecil pada pernikahanku. Semuanya sudah berakhir.” “Oke, aku mengerti. Bagaimana suamimu? Apa kau masih menghubunginya? Eem.. namanya.. Ben, benar? Kau menyebutnya saat itu. Pria yang menelepon ke apartemen ini?” “Ya, itu dia.” “Kedengarannya dia mengkhawatirkanmu?” “Dia sudah menikah dan memiliki anak dari perempuan lain.” “Oh,–” “Ada sebuah kecelakaan.” “Kau ingin membahasnya?” “Tidak.” “Oke, tidak masalah.” Selama sesaat keheningan di antara kami nyaris saja mencekikku. Aku mendapati Sean menatapku dari atas gelasnya. “Aku minta maaf soal kemarin,” kataku. “Aku tidak bermaksud begitu..” “Tidak, tidak, tidak,” seolah aku baru saja menyentuh topik yang sensitif, laki-laki itu langsung mendorong kursinya ke belakang dan mencondongkan tubuh ke depan. Kini seluruh perhatiannya terpusat padaku. “Itu kesalahanku. Seharusnya aku tidak menyentuh barangmu tanpa seizin darimu.” “Tidak, aku hanya.. kelelahan – aku rasa.” “Tidak masalah.” “Jadi apa kau cukup dekat dengan Tess?” “Maaf?” kedua matanya menyipit. “Teresa.” “Oh, tidak.. kami tidak cukup dekat sebenarnya. Kami hanya saling kenal dan bertemu beberapa kali. Dia anak dari bibiku dan dia punya kakak laki-laki yang cukup dekat denganku. Kami hanya sesekali berbicara dan ketika aku di London, aku sedang mencari tempat penginapan, kemudian Tess menawariku untuk menempati apartemen ini untuk beberapa minggu ke depan.” “Jadi apa yang kau lakukan disini?” “Aku punya teman, namanya Henry. Kami ada proyek bersama-sama.” “Apa kau tidak punya kekasih?” Dengusan lagi. “Apa?” “Maksudku.. kau sering berpergian..” “Tidak. Aku menjalin hubungan cukup dekat dengan seorang wanita ketika aku di New York. Itu berlangsung selama dua tahun, tapi kemudian semuanya berakhir. Aku tidak menjalin hubungan lagi setelah itu.” Sean tersenyum. “Kenapa?” “Kau tidak bermaksud membedah seisi otakku, bukan?” Untuk pertamakali sejak kami bertemu, Sean berhasil membuatku tertawa atas sarkasmenya. “Tidak, tentu saja tidak.” “Oke, itu membuatku sedikit lega. Pertama, aku tidak begitu tertarik. Kedua, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Wanita terakhir yang berhubungan denganku, aku menghamilinya dan dia menggugurkan kandungan itu. Dia bilang dia tidak ingin membesarkan bayi itu sendirian dan aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Aku tidak begitu suka terikat dalam suatu hubungan.” “Aku tidak mengerti mengapa orang-orang sepertimu melakukannya.” “Well, itu akan membatasiku.” “Jadi kau punya rencana di London?” “Tidak ada rencana. Aku melakukan semuanya sesuai keinginanku.” “Pasti menyenangkan memiliki kehidupan seperti itu.” “Tidak juga. Tunggu.. maksudmu kau terkurung saat ini? Kau tidak bisa berkeliaran bebas dan melakukan apa yang kau inginkan?” “Kecelakaan itu.. mengubah hidupku.” Jari-jariku menyentuh bibir gelas dan kini cairan keemasan itu bergerak tenang di dalam sana. Dari sudut mataku, aku melihat Sean duduk bersandar dengan kedua tangan terlipat. Laki-laki itu menatap ke arahku dengan serius dan menunggu. Tapi aku tidak yakin tentang apa yang akan kukatakan padanya. “Terkadang aku merindukan saat-saat ketik aku masih bekerja di rumah sakit. Aku ingat bau obat-obatan di ruanganku, semua alat-alat terapi dan catatan-catatan pasienku. Terkadang aku bekerja sampai larut untuk memikirkan obat bagi kesembuhan mereka. Aku mengingat salah satu pasienku, namanya Jesicca, usianya dua puluh delapan tahun, dia terlihat seusiamu saat itu. Dia mengalami kelainan sedikit aneh dimana dia sangat takut melihat air yang menggenang. Tapi itu sebabkan oleh trauma ketika dia tenggelam ke dasar sungai saat dia masih berusia belasan tahun. Kemudian, Jesicca mengatakan padaku bahwa dia tidak bisa tenang selama air itu masih memenuhi bak mandinya. Jadi aku bertanya, apa yang kau lakukan? Dia katakan, dia menyumbat keran dan menjadi gila sepanjang hari. Dia bisa menangis sendirian di dalam kamar dan terkadang, semua suara-suara di sekelilingnya menjadi pudar. Yang dia dengar hanya suara air yang menggenang, kemudian dia pingsan dan ketika dia terbangun dia menyadari bahwa hal itu terulang lagi dan lagi. Jadi aku mengambil kesimpulan bahwa seseorang bisa menjadi sangat terganggu oleh suatu hal kecil yang disebabkan oleh riwayat masa lalunya. Aku memikirkan itu sepanjang malam, aku bertanya-tanya bagaimana jika itu terjadi padaku? Kurasa itu sudah terjadi padaku sekarang.” “Apa kau mendatangi psikiater?” “Suamiku membawaku ke psikiater. Dia memaksaku untuk melakukannya dan dia mengancam akan bercerai denganku jika aku tidak bisa sembuh. Jadi aku melakukannya. Tapi aku tahu masalahnya bukan itu. Aku selalu merasa ada sesuatu di kepalaku yang tidak bisa kuutarakan. Sesuatu yang membuatku begitu ketakutan. Aku tidak pernah bicara dengan pasienku lagi sejak saat itu dan aku merasa kebingungan. Aku berpergian, mencoba untuk mengerjakan sesuatu, mengingat-ingat, tapi aku mendapati semua itu sia-sia. Sesuatu yang salah terjadi padaku dan aku tidak bisa memperbaikinya. Itu membuatku menjadi semakin gila, setiap menit, setiap detiknya.. dan suamiku menjadi tidak tahan dengan sikapku dan dia memutuskan perpisahan ini.” “Kenapa dia masih menghubungimu?” “Kami sering berbicara. Itu tidak berarti hubungan kami berakhir, itu hanya memberi kami waktu untuk saling membiasakan diri. Tapi kurasa aku tidak bisa. Bahkan jika dia sudah pulih sepenuhnya dan bersedia untuk menjalani kehidupannya tanpaku, aku tidak bisa melakukan hal yang sama. Aku tidak tahu mengapa, aku hanya tidak bisa berhenti mengirimkannya pesan, aku perlu memastikan semuanya baik-baik saja.” “Apa itu bekerja?” “Tidak, aku rasa. Dia mengatakan padaku kalau aku harus berhenti melakukannya.” Sean tertegun. Ia membiarkan keheningan menyelimuti kami selama beberapa menit. Kini kedua mataku terasa menyengat. Pelupuk mataku telah digenangi oleh air mata dan aku bisa merasakannya jatuh di atas wajahku. Suara tarikan nafas Sean ketika ia mencondongkan tubuhnya kemudian menyadarkanku bahwa laki-laki itu masih menatapku. Jari-jarinya saling bertaut di depan tubuh dan aku bisa membaca rasa simpati di wajahnya – sebuah perasaan yang tidak aku harapkan akan muncul di wajah siapapun saat aku mengatakan apa yang kurasakan. “Kau tahu apa? Aku mengalami hal yang sama saat aku masih berusia delapan tahun. Saat itu, aku baru saja kehilangan ibuku karena penyakitnya. Dia dirawat selama hampir setahun di rumah sakit, dan itu tidak membantunya sama sekali, itu hanya menunda kematiannya. Tumor itu memakannya, dan ketika dia menjadi begitu kesakitan, aku diminta untuk memutuskan kematiannya. Bisa kau bayangkan itu. Itu semacam alternatif dalam dunia medis yang memperbolehkan seorang pasien menentukan kematiannya sendiri. Dia memintaku dan ayahku untuk mengakhiri penderitaan itu dengan suntik mati. Aku tidak bisa berkata-kata. Disana alternatif semacam itu dilegalkan. Jadi, ayahku memutuskan untuk menyetujuinya, aku bilang padanya ‘tidak’, tapi dia katakan itu yang diinginkan ibumu. Sebagai anak berusia delapan tahun, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Serangkaian prosesnya sangat rumit, kami harus mendapatkan persetujuan dari pengadilan, dan ayahku diminta untuk menandatangani berkas yang banyak, ada banyak sekali.. aku tidak bisa menjelaskannya. Kemudian itu terjadi. Pada bulan Desember, aku harus melepas ibuku. Tidak lama setelahnya, aku mendapat kabar buruk kalau ayahku meninggal dalam kecelakaan. Aku merasa buruk sekali. Aku sering mendengarnya mengangis seharian di rumah kami. Dia pernah mengatakan padaku kalau dia merasa bersalah dengan keputusannya, dia merasa telah membunuh ibuku secara tidak langsung. Aku bilang padanya bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi itu saja tidak cukup. Aku ketakutan. Aku tidak tahu.. maksudku, aku hanya bocah berusia delapan tahun yang tidak mengerti apa-apa. Aku bahkan masih mengeja namaku dan.. dan aku dipaksa untuk menghadapi semua ini.. itu konyol! Tapi itu terjadi.” Seluruh perhatianku terpusat padanya. Laki-laki itu mulai bergerak dengan gelisah di kursinya dan aku langsung meraih satu tangannya. Aku merasakan dorongan kuat untuk memeluknya dan memberinya penenangan, tapi aku bahkan tidak bergerak di kursiku. “Apa hal itu membuatmu takut sekarang?” “Aku tidak tahu..” “Kau bilang kau takut menjalani hubungan dengan komitmen, apa karena trauma itu? Kau takut kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupmu lagi, itu sebabnya kau tidak menginginkannya?” “Mungkin..” Sean mendengus, suaranya bergetar dan jari-jarinya menekuk di bawah tanganku. “Sialan, aku benci ini.” “Tidak apa-apa. Jika aku mengalaminya, aku pasti merasakan hal yang sama.” “Well, aku merasa senang mengatakannya pada seseorang. Seperti baru saja melepaskan beban berat di punggungmu.” Aku tersenyum. Laki-laki itu meremas tanganku dengan lembut kemudian mencondongkan tubuhnya ke arahku. Ketika kupikir dia akna menciumku, ia justru bertanya. “Apa kau merasa takut padaku sekarang?” Mulutnya berbau perbaduan alkohol dan aroma bacon yang menyenangkan. Aku merasakan dorongan kuat untuk bergeser mendekat sehingga aku bisa melihat wajahnya lebih jelas. “Kenapa aku harus takut?” “Oke, itu membuatku merasa lega. Tapi aku perlu kau menyimpan rahasia itu sendiri. Jangan katakan pada siapapun.” “Aku janji.” Sean bangkit berdiri. Ia meletakkan gelas kosongnya di bak pencuci piring sedang aku tidak bisa melepas tatapanku dari Sean. Celana jeans itu menggantung rendah di pinggulnya sedang kaus putih yang digunakannya memperlihatkan lekukan indah otot lengan dan bentuk tubuhnya. Secepat mungkin aku membuang tatapanku ke tempat lain. Sesuatu mengocok seisi perutku dan aku dilanda oleh perasaan bersalah yang mulai menggerogotiku. Apa yang baru saja kupikirkan? Bercinta dengan teman satu apartmenku? Apa yang akan dikatakan Tess, dan bagaimana rekasi Ben jika mengetahuinya? Tapi itu sudah lama sekali sejak aku tidak merasakan kontak dengan lawan jenis. Itu sudah berbulan-bulan yang lalu dan kurasa aku mulai merindukannya. Aku ingat kali terkahir aku meniduri seorang penyewa yang menempati apartemen sebelah. Kami tidak sengaja berpapasan di tangga dan satu hari setelahnya, dia mengetuk pintu apartemen ini. Tess sedang bekerja siang itu dan aku merasa bersalah karena membawa pria asing itu ke kamarnya dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk bercinta di sana. Aku tidak bisa membohongi diriku bahwa aku terus membayangkan Ben saat melakukannya. Kemudian, beberapa hari setelahnya pria itu menghilang seperti angin lalu. Kali ini, aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama dengan Sean, bahkan jika aku menginginkannya, aku hanya tidak siap untuk dilanda oleh perasaan hampa lagi setelah melakukannya dan aku jelas bukanlah wanita yang akan ditiduri Sean dalam kategori apapun. Tubuhku terlalu berlemak, meskipun tidak bisa dikatakan gemuk, aku tetap wanita tua yang tidak mampu menyandingi gairahnya di atas kasur. Kemudian, aku bertanya-tanya apa Sean akan mempermasalahkannya? “Aku ingin keluar sebentar,” katanya. “Kurasa aku tidak akan kembali sampai besok. Aku ingin menetap di rumah Henry sampai urusan kami selesai. Aku meninggalkan nomor ponselku untuk berjaga-jaga jika ada sesuatu yang darurat.” Aku mengangguk. Ia meletakkan gelas kosong yang baru saja dicucinya ke dalam lemari, kemudian berbalik menatapku ketika teringat sesuatu. “Kau bilang lotengnya bocor?” “Ya.” “Akan kuperbaiki setelah aku kembali. Dan.. oh, apa kucing itu milikmu?” Seolah menyadari panggilan itu, Tammy baru saja memunculkan dirinya di balik lorong dan mulai menjilati lantai untuk mencari-cari makanan. “Ya, itu Tammy.” “Tom? Siapa?” “Tammy.” “Terserah. Sebaiknya kau singkirkan kucing itu. Dia membawa bangkai tikus kemarin. Mungkin dia menyimpan beberapa di loteng. Aku akan memeriksanya.” “Oh, tidak. Dia suka mengacau, tapi.. dia tidak selalu melakukannya, hanya jika dia baru beradaptasi dengan penghuni baru.” Sean mengernyitkan dahinya dengan tidak setuju. “Dia mencakar-cakar sofa itu dan merusaknya.” “Tidak apa-apa, aku akan mengurusnya.” “Kau yakin?” “Ya.”  .. - LAST WITNESS -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD