ANNA
--
Aku ingat ketika aku berusia lima belas tahun, ibuku mengatakan bahwa wanita pantas mendapatkan sesuatu yang lebih dari yang dimilikinya, tapi aku tidak merasakan hal itu saat ini. Semua rutinitas ini membuatku muak. Aku pernah memikirkan diriku duduk di salah satu gerbong kereta itu, menatap ke arah bangunan tua yang kutempati saat ini dan bergerak menuju London. Rumah itu di sisi lain menatapku kosong. Kedua jendelanya terbuka. Lampu-lampu dipadamkan kecuali lampu tidur kecil yang kuletakkan di kamar Emma.
Ben sedang duduk bersantai di halaman depan. Sebuah surat kabar terbentang di satu tangannya dan sebotol wine di satu tangan lainnya. Laki-laki itu mengangkat wajahnya dan menatap ke balik jendela kereta di gerbong ketiga, tepat ke arahku. Aku melihatnya menyeringai, kemudian entah darimana asalnya, suara tangisan Emma terdengar.
Aku terbangun dengan perasaan gelisah setelah mimpi itu berlalu. Setiap detiknya menjadi semakin menyiksa. Kemudian aku memikirkan hal ini: pergi ke pusat kota dan mencari pekerjaan baru.
Aku menghubungi teman di tempat yogaku pagi tadi. Julie datang beberapa menit setelah Ben pergi, dan kami menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengobrol. Dia menawarkan diri untuk menjaga Emma sementara aku pergi ke kota. Ben tidak akan menyetujuinya, tapi aku tidak peduli. Aku bisa merahasiakannya selama aku pulang lebih cepat darinya.
Jadi, disinilah aku. Berdiri di depan pintu masuk sebuah pub dan memandang ke dalam. Seorang pria muda di balik meja kasir sedang melambai ke arahku. Dia memberiku isyarat untuk masuk. Ketika itulah aku melihat wanita itu memunculkan dirinya dari balik pintu staff. Cathy, temanku adalah istri dari pemilik pub yang terkenal di kota. Dia mengajakku duduk untuk mengobrol dan menyuguhkan segelas wine berkualitas. Aku begitu larut hingga tidak sadar kami telah menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengobrol.
“Aku turut sedih mendengarnya, bagaimana Emma?”
“Dia baik-baik saja.”
“Itu pasti tidak menyenangkan untukmu ketika kau terkurung di dalam rumah itu dan tidak bisa berpergian seperti di London dulu, benar?”
“Ya. Ini membuatku muak.”
“Kau sudah membicarakannya dengan suamimu?”
“Ya, tapi dia tidak menanggapinya dengan serius.”
“Kau tahu kau pernah mengatakan tentang mantan istrinya yang gila itu..?”
“Ya, ya, itu dia.”
“Siapa namanya?”
“Grace. Dia mendatangi kami kemarin dan dia benar-benar membuatku ketakutan. Aku sedang mandi dan aku tidak tahu bagaimana dia menyusup masuk ke kamar putriku. Dia bertingkah aneh dan mengatakan kalau aku tidak boleh membiarkan jendela kamar Emma terbuka. Entahlah. Aku tidak tahan dengan wanita itu. Aku terpikir untuk menghubungi polisi, tapi Ben selalu menolak. Dia bilang itu terlalu berlebihan.”
“Tidak ada salahnya, hanya untuk berjaga-jaga.”
“Aku harap Ben juga berpikir begitu. Wanita itu tidak akan berhenti sebelum dia ditempatkan di rumah sakit jiwa.”
“Kau tahu apa yang dia inginkan?”
“Aku tidak tahu, dia hanya bertingkah aneh dan melakukan hal-hal bodoh. Dia berbahaya.”
“Menurutmu begitu?”
“Ya.” Aku mendekatkan gelas itu ke bibir dan menyesap anggur dari sana. “Apa kau bisa membantuku? Aku benar-benar membutuhkan pekerjaan ini.”
“Aku perlu mendiskusikannya dengan Ed jika kau memang hanya membutuhkan pekerjaan untuk shift siang.”
“Ya, aku sangat menginginkannya.”
“Aku akan menghubungimu besok.”
“Itu tidak masalah.”
“Kau yakin Ben tidak akan tahu soal ini?”
“Tidak, tentu saja tidak. Aku akan berhati-hati.”
“Oke.”
Kami mengobrol beberapa menit setelah itu, kemudian sekitar pukul empat sore, aku memutuskan untuk pergi. Aku melewati petak-petak bangunan bertingkat dan gang sempit kemudian berhenti beberapa saat di tempat pemberhentian bus. Langit cerah menggantung rendah di atas kepalaku, orang-orang yang berlalu lalang tampak sibuk dan untuk sesaat aku hanya duduk di sana, memerhatikan orang-orang yang bergerak di sekelilingku sebelum memutuskan untuk pergi.
Aku mempercepat langkahku, kubiarkan mantelku mengayun rendah di samping bot-ku. Tas hitamku tersampir dengan nyaman di bahu dan aku membawa langkahku dengan cepat menyusuri jalanan melandai itu. Asap tebal dari pabrik roti menguar ketika aku melewati jalanan sempit yang mengarah ke sungai. Dua orang pria berpakaian lusuh yang sedang berdiri di sana menatapku. Mereka bersiul ketika aku bergerak semakin dekat dan aku berusaha sebaik mungkin untuk mengabaikan mereka.
Ketika salah seorang pria itu bermaksud mendekatiku, aku menatapnya tajam hingga dia melangkah mundur. Bau busuk tubuhnya membuatku bergerak cepat menyusuri gang itu. Samar-samar aku mengingat ibuku meneriakiku: “jangan sentuh apapun!” dan tiba-tiba air mataku merebak. Aku bergerak lebih cepat menyusuri gang-gang sempit dan jalanan yang rusak. Nyaris berlari ketika melewati anak sungai hingga sampai di terowongan gelap dengan udara pengap.
Kegelapan menyelimutiku. Kali ini aku melangkah dengan hati-hati. Desauan angin membelai wajahku, lubang-lubang kecil di jalanan mencipratkan air ketika aku menginjakkan botku secara tidak sengaja di atas sana. Kemudian dua titik cahaya dari lampu sen yang dinyalakan menyorot dari kejauhan. Sebuah van melintasi jalanan di bawah terowongan itu dengan cepat. Gemuruh mesinnya terdengar dari kejauhan dan klaksonnya dibunyikan keras. Van itu melintas begitu cepat hingga ketika ban-nya menggilas lubang di atas aspal, genangan air yang besar terciprat ke araku.
Aku belum sempat menghindar hingga genangan air yang berwarna kecoklatan itu membasahi sepatu dan ujung mantelku.
“Sialan!”
Suara berisik mesin itu menghilang tepat ketika van berbelok di ujung terowongan. Kemudian, aku mendengar seseorang meneriakkan sesuatu dari belakang.
“Hei!!”
Tubuhku tersentak dan aku berbalik dengan cepat. Jantungku terpompa kuat ketika aku melihat sosok wanita yang berdiri di ujung jalan sana. Kegelapan di dalam terowongan membuatku tidak bisa mengenali wajahnya dengan jelas, tapi aku bisa melihat mantelnya yang menggantung rendah di bawah kakinya, sebuah syal yang melilit lehernya dan tas hitam yang menggantung di sana. Rambut ikalnya tergerai memanjang di belakang bahu dan suaranya serak ketika memanggilku.
“Hei!!”
Aku berbalik dengan cepat, berusaha sebaik mungkin untuk menghindarinya. Kulangkahkan kakiku lebih jauh menyusuri terowongan itu. Bulu romaku meremang, nafasku memburu dan aku nyaris terjatuh ketika kakiku terlilit mantel. Kini aku bisa mendengar suara langkah kakinya semakin dekat dan sesuatu seakan membisikanku: lari lebih cepat!
Dua titik cahaya dari lampu sen mobil melintas cepat. Suara klaksonnya yang keras berdengung di telingaku. Ketika suara itu hilang aku menatap ke belakang dan menyadari bahwa wanita itu ikut menghentikan langkahnya. Ia berdiri diam di ujung sana untuk waktu yang lama dan aku mengambil kesempatan itu bergerak menjauh. Aku berlari.
Suara telepon dari ruang tengah mengejutkanku. Aku menyentak tubuhku untuk mengangkat telepon itu. Begitu suara Ben muncul di seberang, benakku dibanjiri oleh kelegaan.
“Dimana kau?” aku tidak memberinya kesempatan untuk bicara ketika panggilan itu tersambung.
“Aku di jalan, apa Emma baik-baik saja?”
“Bisakah kau tiba lebih cepat?” suara tangisan Emma dari kamar bayi di lantai atas berdengung hingga aku tidak menyadari bahwa aku telah berteriak keras di telepon.
“Tenang! Tenang, oke. Beritahu aku keadaannya!”
“Tidak, pulang saja!”
Ben memarkir mobilnya di halaman depan lima belas menit kemudian. Langit telah gelap dan aku sengaja tidak menyalakan lampu depan sehingga kegelapan terlihat menyelimuti pekarangan. Setelah mematikan mesin mobilnya, laki-laki itu bergegas menyambar pintu dan aku sudah menunggunya di ruang depan dengan Emma merengek di bahuku.
“Apa yang terjadi?”
“Aku tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi! Aku bersumpah padamu, aku tidak tahan!”
“Tenang! Jelaskan dengan tenang.. apa yang terjadi?”
“Istri gilamu!”
“Mantan,” Ben mengeraskan suaranya. “Sudah berkali-kali kukatakan padamu mantan istriku.”
“Terserah! Aku mau pergi dari tempat ini.”
“Tidak, kita tidak harus pergi sampai kau menjelaskan situasinya.”
“Dia masuk ke rumah ini, demi Tuhan!”
“Apa?” Kedua alis Ben bertaut dan aku bisa merasakan wajahku memerah ketika berteriak di hadapannya.
“Dia masuk ke kamar Emma dan tidak ada seorangpun yang tahu! Apa yang akan terjadi jika aku tidak menyadarinya? Kau tidak tahu, kan? Kau tidak tahu karena kau sibuk bekerja dan kau tidak peduli!”
“Apa katamu?”
“Aku bilang, kita harus pindah secepatnya!”
“Itu tidak masuk akal. Bagaimana dia bisa masuk? Apa yang kau kerjakan? Kau seharusnya mengawasi putri kita.”
“Aku sendirian di rumah ini! Aku bersumpah padamu aku mengawasi bayiku hingga aku tidak punya waktu luang untukku sendiri! Aku melakukan yang terbaik untuk melindunginya. Aku hanya meninggalkannya ke kamar mandi kemudian wanita itu menyusup masuk! Dia mengatakan hal-hal aneh dan apa yang akan kulakukan jika dia mencelakai Emma? Dimana kau saat itu?”
“Dengar, Anna! Aku minta maaf oke.. kita bisa membicarakan ini dengan tenang. Kau tidak perlu berteriak. Kau membuat putri kita ketakutan. Kau ingin membicarakan masalah pengasuh untuk membantumu? Ayo kita bicarakan, tapi kumohon pelankan suaramu..”
Kalimat itu entah bagaimana membuat darahku mendidih. Ben masih menatapku hingga aku mengacungkan satu jariku di depan wajahnya.
“Tidak, aku ingin kau mengambil tindakan. Jika aku melihat wanita itu lagi, aku bersumpah akan menghubungi polisi. Aku tidak peduli dengan pendapatmu, aku melakukan hal terbaik yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan putriku.”
Aku tidak memberinya kesempatan untuk berbicara ketika aku berbalik dan menaiki tangga menuju kamar Emma. Perasaanku kacau dan satu-satunya hal yang kuinginkan hanyalah menjauh. Rumah ini membuatku menjadi semakin gila setiap detiknya dan aku merasa seakan telah terjebak dimana aku tidak punya pilihan selain duduk diam dan menikmatinya.
..
- LAST WITNESS -